NovelToon NovelToon

Lima Langkah Takdir

1. Keributan Pagi Hari

"WOI PENDEK!" teriak Satya dari depan pagar rumahnya. Nama lengkapnya Satya Mahardika. Tetangga depan rumah Sekar yang jaraknya hanya beberapa langkah saja. Pria muda berusia dua puluh tiga yang sudah seperti Abang bagi Sekar.

"BACOT!" Sekar membalas, mengacungkan dua jari tengah dari jendela kamarnya di lantai atas. Sekar Ayu, gadis berusia tujuh belas tahun yang sangat menyukai donat buatan Satya. Strawberry adalah rasa favoritnya.

"DONATNYA MASIH BARU NIH! RASA STRAWBERRY!"

"NANTI GUA KE RUMAH!"

Sekar turun dari kamarnya di lantai dua. Suara sepatu berdecit saat Sekar berlari kecil menuruni anak tangga.

"Aduhh, kalian bisa gak sih kalo sehari gak saling teriak gitu? Mama pusing dengernya." Serena yang sudah bersiap pergi ke kantor menegurnya. Meski sudah menjadi makanan sehari-hari baginya. Tetap saja rasanya tak pantas, takut tetangga menegurnya dan memarahi putri kesayangannya.

"Bang Satya yang ngajakin duluan," balas Sekar mengambil sepatu di dalam lemari.

"Kan bisa kamu samperin. Biar lebih sopan juga," katanya menasihati putrinya.

"Ngapain aku sopan sama bang Satya?" tanyanya heran. Sekar memakai sepatu sekolahnya yang berwarna hitam. Mengetuk ujung sepatunya ke lantai sebelum kembali melangkah.

"Udah ah Ma. Aku pamit dulu ya!"

"Hati-hati di jalan sayang."

"Iya Ma."

"Mana donatnya?" tanya Sekar saat sudah tiba di depan rumah Satya.

Satya, memberikan kotak kecil berisi donat untuk dibawa Sekar. "Nih, khusus buat lo doang gua bikin."

"Makasi bang Satya!" Sekar memasukkan kotak donat ke dalam tasnya yang berwarna merah. Hadiah ulang tahunnya dari Satya di tahun lalu.

"Berangkat sama siapa lo?" tanya Satya.

"Ojol."

Satya mengangguk singkat. Rambutnya yang sedikit panjang dikuncir berantakan. "Udah pesen?"

"Udah."

"Hati-hati diculik," canda Satya.

"Mana ada yang mau nyulik gua."

"Lo kan pendek, dijual di pasar gelap juga laku," balas Satya.

"Mulutnya kalo ngomong gak bisa banget disaring!"

Satya menarik Sekar ke luar pagar rumahnya. "Udah sana pergi! Lo nunggu apa lagi?"

"Uang saku," katanya mengulurkan satu telapak tangannya.

"Najis! Pergi sana!" usir Satya menendang pelan kaki Sekar.

"Pelit banget lo!"

"Yo! Morning semua!" Teriak Sekar di depan pintu kelas.

"Masih pagi udah semangat aja," balas Nala dari bangkunya. Nala Rananta nama lengkapnya.

"Balik sekolah mampir dulu yuk," ajak teman sebangku Sekar. Binar Cempaka, gadis berambut pirang dengan followers Instagram puluhan ribu.

"Ke mana?" Sekar menaruh tasnya di atas meja. Merapikan rambutnya yang sedikit berantakan berkat angin pagi.

"Ada tempat nongkrong baru, katanya banyak jajanan enak," jelas Binar.

"Ah gua skip dulu deh, soalnya mau belajar," tolak Darius Nathaniel, teman sebangku Nala sekaligus pacarnya. Biasa dipanggil Niel.

"Otak lo gak meledak belajar mulu?" tanya Nala sedikit mengejek.

"Orang bodoh tidak berhak berkomentar."

"Gua masih masuk 15 besar ya," ucap Nala membela diri.

"Gua sih peringkat pertama," ungkap Niel dengan sombong.

"Udah sih, kenapa kalian malah bahas rangking," keluh Sekar. Tak terima karena Sekar sadar diri dengan kemampuannya dalam belajar.

"Cie kesindir ya," ledek Nala.

"Kalo kata mama, yang penting anak mama sehat dan bahagia," kata Sekar dengan bangga.

"Minimal lo gak tidur di kelas juga kali," sahut Binar.

Sekar tersenyum hingga matanya menyipit. "hehe."

"Lo mau apa?" tanya Binar kepada dua temannya. Seperti rencananya, mereka mampir di salah satu tempat nongkrong yang baru buka. Tak jauh dari tempat mereka bersekolah, SMA Harapan Raya.

"Eumm, makaroni enak kayanya, pake keju" gumam Nala membaca satu-persatu menu yang tersedia.

"Gua juga mau deh satu, tapi jangan pedes ya. Sama thai tea!" pinta Sekar.

"Oke, biar gua aja yang pesen."

Sekar dan Nala memilih duduk di pojok. Tempatnya sedikit ramai, mungkin karena baru buka beberapa waktu yang lalu.

Sekar mengecek ponselnya, satu notifikasi masuk. Pesan dari Satya.

Sekar menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku. "Nal, pulangnya gua nebeng ya?"

"Santai, gua anterin sampe ke depan rumah lo."

"Thanks ya Nal"

"Foto dulu yuk!" ajak Binar. Menyapa penggemarnya di Instagram adalah hobinya.

Satu foto, dua foto, dan terus sampai Binar mendapatkan foto yang paling layak untuk ditayangkan di storynya.

Tak butuh waktu lama, seorang wanita menghampiri meja mereka dan menyusun pesanan mereka.

"Ini punya lo yang gak pedes, terus ini punya lo yang pake tambahan keju." Binar memberi pesanan kedua temannya seperti yang diminta. Sekar bukan tak suka pedas, hanya saja ia tak terlalu kuat untuk bisa makan pedas.

"Wangi banget," ucap Sekar tak sabar ingin mencicipi langsung. Aroma bumbu yang bercampur dengan makaroni membuat perutnya semakin lapar.

"Wait, foto dulu!" Sekar dan Nala mendesah pelan bersama. Mereka maklum saja karena sudah terbiasa dengan Binar yang selalu update.

"Selamat makan!" ucap mereka bersamaan setelah Binar puas dengan hasil fotonya.

"Sekar, kapan nih lo mau kasih kita pj," ucap Binar tiba-tiba. Sekar yang baru menikmati dua suapan makaroni menghentikan kegiatan makannya.

"Pj gimana? Punya pacar aja enggak!" sewot Sekar. Bagaimana ia tidak sewot? Binar seperti menyindirnya, padahal sama saja. Binar juga tidak punya pacar. Dan Sekar tidak peduli, tak ada yang membuatnya tertarik di sekolah. Dan itu cukup menjadi alasan Sekar tak punya pacar.

"Bang Satya," sahut Nala.

"Dia bukan pacar gua."

Binar dan Nala saling pandang. "Kalo bukan pacar, hubungan lo sama bang Satya tuh apa?"

"Tetangga," jawab Sekar.

"Yakin lo cuma tetangga doang?" ejek Nala.

"Dari dulu juga kan emang begitu," jawab Sekar.

"Ish gak peka lo!" kesal Binar.

"Kalo ternyata bang Satya suka sama lo gimana?" tanya Binar.

"Gak mungkin dan gak akan pernah jadi mungkin," ucap Sekar dengan tegas.

"Kalo nanti lo kemakan omongan sendiri, traktir kita berempat makan sushi ya." Nala mengulurkan satu telapak tangannya.

Tanpa berpikir, Sekar menerima uluran tangan Nala. "Oke, deal!"

![](contribute/fiction/10757391/markdown/53037455/1748610209869.png)

Meski rasa malas mendominasi, Satya tetap menuju rumah Sekar. Menggantung plastik putih berisi martabak manis di pagar besi hitam. Sesuai dengan permintaan Sekar.

"Oi pendek, keburu diambil orang nih!" teriaknya tak terlalu keras.

Sekar, yang sedang memasang masker wajah terpaksa membuka jendela kamarnya. "Bacot ah, entar gua turun," balasnya.

Tetangga? Sudah biasa mendengar keributan diantara mereka. Mungkin di dalam rumahnya, mereka menutup kedua telinga.

Satya tertawa melihat Sekar—dan wajahnya yang hitam pekat. Kemudian kembali ke rumahnya tanpa kata. Menyembunyikan tawanya sebisa mungkin. Meninggalkan Sekar dengan tatapan herannya karena Satya pergi begitu saja.

![](contribute/fiction/10757391/markdown/53037455/1748610209915.png)

Sekar melempar ponselnya begitu saja ke atas meja. Sudah habis tiga potong martabak yang ia makan. Mungkin, rencananya untuk diet harus ditunda lagi. Semua, berkat Satya.

2. Capek Sekolah

"Mira, nanti tolong bersihin meja yang di pojok ya!" pinta Satya pada seorang gadis sembilan belas tahun. Elmira Revalina, gadis pendiam yang menjadi salah satu pegawai Satya di Donat Suka Cerita.

Bangunan berlantai dua yang menyajikan donat dengan berbagai varian bentuk dan rasa. Tak hanya donat, ada berbagai macam minuman manis juga yang tersedia. Bangunan dengan cat dinding berwarna krem dan cokelat. Cocok menjadi tempat nongkrong bagi pecinta manis. Beberapa spot foto tersedia bagi pengunjung yang ingin mengabadikan momen manis.

"Iya Bang."

"Bos! Bahan-bahan baru dateng nih," ucap Rasya dari luar membawa satu kardus besar. Masih ada beberapa tumpuk kardus lain di depan. Rasya Adiansyah, sahabat Satya sejak SMA.

"Jangan panggil gua bos," tegur Satya.

"Kenapa sih, kan lo emang bos gua."

Satya melirik wanita yang berdiri di depan wastafel. "Lo bisa tolong cek dulu kan Kak?"

"Iya, pindahin aja ke belakang," jawab Aluna yang masih sibuk mencuci gelas kaca. Aluna Anulika, kakak kelas Satya yang sekarang menjadi pegawainya. Kebetulan, saat itu Aluna sedang butuh pekerjaan dan Satya menerimanya karena memang butuh tenaga tambahan.

"Gua rebahan dulu ya di dalem," pamit Satya. Kakinya melangkah menuju salah satu ruangan di lantai bawah. Ruangan khusus yang menjadi tempat singgah untuk Satya.

Di dalamnya tersedia sofa panjang untuk Satya beristirahat, juga beberapa figura foto yang dipajang. Satu ruangan yang penuh dengan kenangan. Foto wanita berambut panjang dan Satya kecil yang tersenyum ke arah kamera, di pangkuannya Sekar tertidur lelap. Saat itu usianya baru menginjak enam tahun, dan Sekar lahir menjadi adik perempuannya.

"Satya kangen Bu," gumam Satya.

Lima belas menit Satya menghabiskan waktunya di atas motor yang terparkir di depan gerbang SMA Harapan Raya. Desahan pelan terdengar, menunggu Sekar yang tak kunjung terlihat.

Murid-murid lain mulai berhamburan ke luar gerbang. Sekar, dari kejauhan berjalan bersama teman-temannya sambil berbincang dan bercanda tawa. Satya melambai, memberi kode agar Sekar menghampirinya.

"Lo ngapain jemput gua?" bukan ucapan terima kasih yang Satya dapat, melainkan satu tendangan pelan di kakinya.

"Minimal bilang makasi dulu," omel Satya.

"Gua mau main," rengek Sekar dengan wajah melas. Menarik-narik tangan Satya seperti seorang anak yang membujuk Ibunya.

"Gak ada, ikut gua," larang Satya.

"Gua mau nonton," katanya dengan wajah cemberut.

Satya memijat pelipisnya. "Masih hari sekolah, kalo mau nonton hari Minggu aja sama gua."

"Gua udah janji sama yang lain." Sekar menoleh ke belakang, Binar dan Nala mengikuti Sekar di belakangnya.

"Sekar gak boleh main dulu, kalian pergi aja tanpa Sekar."

"Oke Bang, hati-hati di jalan ya Sekar." Nala memberikan satu jempolnya pada Satya.

"Ih Nala, gua juga mau ikut." Sekar menahan tangan Nala yang mau meninggalkannya begitu saja bersama Satya.

"Udah, nanti lagi juga bisa main," sahut Binar. Satu tangannya merangkul pundak Nala. "Kita duluan ya Sekar, bye~"

Dengan kompak, Binar dan Nala melambaikan tangannya kepada Sekar, berbalik ke arah berlawanan dan meninggalkannya bersama Satya.

"Gara-gara lo!" omel Sekar.

"Sama-sama!"

Keheningan terjadi diantara keduanya dalam perjalanan, tak satu pun kata yang diucapkan oleh Sekar atau pun Satya. Matahari masih berada di atas kepala, menemani perjalanan sepi.

"Ngambek lo?" tanya Satya pada akhirnya. Tak tahan dengan keheningan yang Sekar ciptakan. Kedua telinganya sudah terbiasa mendengar celotehan Sekar.

Sekar tidak menjawab, tangannya bersedekap dada, kedua matanya menatap liar ke sekitarnya. Melihat kendaraan lain yang dilewatinya. Satya melirik sebentar dari spion, Sekar masih bertahan dengan diamnya.

"Minggu kita nonton deh, gua yang bayarin," ucap Satya dengan suara pelan, tapi masih jelas terdengar.

"Gua maunya sama temen gua, bukan sama lo!"

Satya menghela napas berat, lalu menepikan motornya ke pinggir jalan. Tepat di bawah pohon besar yang menutupi keduanya dari paparan matahari.

"Ngapain berhenti? Ayo pulang!" ajak Sekar tak sabaran. Seenaknya saja menyeret Sekar untuk pulang ke rumah. Tidak tahu saja, Sekar sudah tidak sabar untuk pergi bersama temannya. Ada film yang sangat ingin ditontonnya.

"Kalo gua minta anterin ke makam dulu mau gak?" tanya Satya pelan. Tak ada kesan memaksa. Hanya terdengar seperti seorang yang butuh teman.

Sekar sempat terdiam. Merasa bersalah setelah Satya bertanya, meminta persetujuannya terlebih dahulu. "Y-yaudah, tapi jangan lama. Sekarang bukan jadwalnya."

Ya, sudah menjadi rutinitas mereka untuk mengunjungi makam di hari Minggu pagi. Sejak keduanya sama-sama kehilangan salah satu peran orang tua.

"Makasi, maaf ya udah bikin bete."

Rinjani, satu nama yang terukir jelas di batu nisan. Satya berjongkok pelan, menyimpan satu plastik kecil berisi bunga yang ia beli di depan makam dan sebotol air.

Sekar berdiri di sampingnya, diam. Pandangannya tak lepas dari sosok Satya. Ada rasa tak nyaman dalam dada. Satya, pria itu terlihat lebih rapuh dari biasanya.

"Bu... Satya dateng, sama Sekar juga," ucapnya tersenyum hambar. "Satya mimpi Ibu semalam... cantik. Pake baju favorit Ibu."

Sekar ikut berjongkok di sampingnya. Satu tangannya mengusap pelan punggung Satya. Membuat Satya menoleh sesaat, merasakan sentuhan hangat yang diberikan Sekar. Tanpa suara, hanya meyakinkan jika Sekar selalu ada.

"Satya kangen Bu, kalo gak sama Ibu berat ya ternyata." tangannya mengusap nama sang Ibu di atas batu nisan. Menyalurkan rasa sayangnya dari dunia yang berbeda.

"Mau ke papa dulu?" tanya Satya.

Sekar mengangguk ragu. "Boleh."

Keduanya bangkit, Satya berjalan lebih dulu. Dari sana, tak jauh dari makam Rinjani, Satya berhenti. Setelah mengunjungi makam sang Ibu, kini giliran mereka mengunjungi makam dengan batu nisan bertuliskan Dika, Papa Sekar.

"Hai pa, Sekar main nih!"

"Sekar capek banget sekolah, pengen cepet lulus aja rasanya," ucapnya seolah sang Papa benar-benar mendengarkan ceritanya di depan mata. "Sekar gak suka belajar, nilai Sekar juga lebih sering dibawah rata-rata."

"Sekar mau berhenti sekolah aja ya Pa," ucap Sekar.

"Aduh," ringisnya saat Satya mencubit salah satu pipinya gemas. Menciptakan bekas merah di pipinya.

"Enak banget ngomongnya!"

"Diem dulu bisa gak sih! Gua kan lagi cerita sama Papa, bukan sama lo!" omel Sekar.

"Om Dika juga kalo denger lo bilang begitu bakal marah Sekar!"

"Tuh Papa liat gak? Sekar itu selalu aja dibully sama bang Satya."

"Bohong Om, Sekar emang anaknya bandel. Susah banget diatur."

3. Dua-duanya Enak

Sudah pukul empat sore saat mereka selesai mengunjungi makam Rinjani dan Dika. Keduanya sama-sama menyimpan kehilangan yang dalam. Tapi juga sama-sama tahu caranya saling menguatkan. Yang paling penting, keduanya merasa nyaman.

"Udah sore, pulang yuk!" ajak Satya mengulurkan satu tangannya.

Sekar tersenyum, berdiri dan menerima uluran tangan Satya, menepuk-nepuk rok pendeknya dari debu yang menempel. Keduanya berjalan beriringan keluar dari tempat pemakaman umum. Satya sempat menoleh ke belakang sesaat. Ingin memandangnya lagi lebih lama. Mungkin jika bisa, seterusnya.

Keduanya melanjutkan perjalanan dengan hening. Kali ini, Sekar memeluk pinggang Satya, mencari kenyamanan.

"Mampir dulu ke toko ya Bang, buat makan donat." pinta Sekar saat motor Satya berhenti di perempatan lampu merah. Suaranya beradu dengan hembusan angin sore.

Satya terkekeh. Kemana perginya Sekar yang tadi bersikap dingin? Mudah sekali moodnya berubah. "Laper lo?"

"Pengen main aja," jawab Sekar. Ia tak mau jika harus kembali ke rumah sekarang. Lagipula tak ada siapa pun yang menunggunya untuk pulang. Serena masih akan pulang larut malam. Terkadang, Serena akan pergi ke luar kota mendadak karena pekerjaannya. Tapi Sekar sudah biasa dengan hal itu. Bahkan sejak Sekar lahir, ia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Rinjani dan Satya.

"Izin dulu sama mama!" suruh Satya.

Sekar memukul punggung Satya pelan. "Iya, gua juga tau!"

Suara lonceng di atas pintu berbunyi saat keduanya masuk ke dalam toko donat milik Satya. Elmira yang pertama kali melihatnya tersenyum ramah, sedikit membungkuk saat keduanya datang.

"Siapin es cokelat sama dua donat karamel ya Mir!" pinta Satya.

"Iya Bang."

"Selamat sore bang Rasya!" sapa Sekar yang entah sejak kapan sudah berjalan mendahului Satya ke arah dapur.

Rasya, yang sedang membuat adonan donat tersentak kaget. Hampir saja menumpahkan adonan donat dalam wadah. "Sekar, tumben main!"

"Tanya aja sama bos lo Bang."

Rasya menaikkan satu alisnya. "Satya? Kenapa emang?"

"Dia yang maksa gua!"

"Lo yang minta gua ke sini... pendek!" Satya ikut menyusul Sekar ke dapur. Takut mengganggu pegawainya yang masih dalam waktu bekerja. Memang tidak terlalu banyak pengunjung saat ini, tapi Satya ingin semua pegawainya tetap profesional dalam bekerja. Sekali pun yang datang dan membuat rusuh adalah Sekar. Ia tak akan ragu untuk menegurnya.

"Berisik lo!"

Satya menarik Sekar dalam rangkulannya, mengajak Sekar meninggalkan area dapur. "Jangan ganggu pegawai gua, sana masuk ruangan gua!"

"Iya, nanti es cokelatnya pake banyak es batu ya!"

"Udah ditawarin gak boleh banyak nawar lagi," balas Satya.

"Enak mana? Strawberry atau karamel?" tanya Satya yang sedang bersandar di sofa sambil bekerja.

Sekar yang sedang menikmati donatnya melirik Satya. Berpikir sejenak sambil berusaha menelan donat karamel miliknya. "Strawberry... tapi dua-duanya enak."

"Btw lo tumben banget ngajak gua ke makam Ibu?" tanya Sekar.

"Iya, habis mimpi beliau semalam," jawab Satya. Matanya fokus pada laptop di pangkuannya. Mengecek data-data toko donat miliknya.

"Lagi kangen ya Bang?" Satya mengangguk tanpa menoleh. Matanya menyipit di depan layar.

"Jangan lupa ya hari Minggu kita ke bioskop," kata Sekar mengingatkan.

"Iya, tapi bayar tiket sendiri," balas Satya sambil tertawa.

"Enak aja! Lo yang bertanggung jawab lah!" sentak Sekar. Tak terima jika uang jajannya harus berkurang. Meski Serena tak pernah pelit dengannya dan sudah pasti akan memberikan berapa pun yang Sekar butuhkan.

"Iya nanti gua yang bayar," balas Satya pada akhirnya. Takut Sekar mengganggu pekerjaannya. Sungguh, terkadang kesabarannya habis hanya untuk menghadapi Sekar.

"Tuh liat, Binar sama Nala udah nonton filmnya, tapi gua masih belum." Sekar menyodorkan ponselnya, memperlihatkan story Instagram Binar yang sedang di bioskop bersama Nala. Poster film, tiket bioskop, dan foto di dalam studio keduanya.

Satya menggeleng. Jengah dengan ocehan Sekar. "Astaga Sekar, kan masih bisa nanti."

"Gua mau up story juga sama mereka," ucap Sekar cemberut. Jari jempolnya mengetuk ikon love di postingan Binar. Ya, meski hati kecilnya menggerutu karena tak bisa ikut.

"Jadi lo terpaksa tadi nganterin gua ke makam?" tanya Satya dengan wajah yang dibuat melas.

"Iya, sedikit."

"Bu, denger kan Sekar bilang apa? Nanti malem marahin aja ya lewa...." Sekar buru-buru menutup mulut Satya.

"Ish gak gitu bang Sat!" makinya.

Satya melepas tangan Sekar dari mulutnya. Kemudian mengelapnya dengan tisu. Sepertinya Sekar lupa jika ia makan menggunakan tangan. "Kasar!"

"Ayo pulang!" ajak Sekar tiba-tiba. Setelah menghabiskan donat karamel dan es cokelat yang diberikan oleh Satya. Memang dasar, sudah kenyang Sekar minta pulang. Padahal ia sendiri yang mengajak Satya.

"Gua masih ada kerjaan Sekar."

"Nanti lagi aja, kita ke pet shop dulu, nanti keburu malem." ajak Sekar dengan paksa.

"Mau beli apa?" tanya Satya.

"Snack buat Nero," jawabnya sambil merapikan piring dan gelas bekasnya. Kemudian mengelap tangan dan mulutnya yang lengket karena donat karamel.

"Tunggu jam lima, kalo toko udah tutup."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!