NovelToon NovelToon

Kultivasi X

Kudeta

Tang Xie Fu memasuki aula istana dengan penampilan yang menawan. Mengenakan jubah perak dengan ornamen keemasan menegaskan kharisma dirinya sebagai seorang pangeran. Tampan dan berwibawa.

Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-17. Ia akan didaulat menjadi seorang kaisar menggantikan Ratu Tang Xie Juan, ibunya yang telah memimpin lebih dari seabad lamanya.

Berbagai tamu undangan yang terdiri dari perwakilan kerajaan, sekte-sekte besar, dan klan bangsawan di wilayah Kekaisaran Tang telah datang menghadiri undangan.

"Salam, Ibunda," ucap Pangeran begitu sampai di depan sang ratu.

Ratu Juan mengecup lembut pipi putra semata wayangnya itu dan berkata, "Selamat ulang tahun, Fu'er. Bersiaplah untuk menjadi kaisar!"

"Terima kasih, Ibu," balas Xie Fu yang sedari tadi memperhatikan kecemasan yang tercermin dari sorot mata ibunya.

"Mengapa Ibu terlihat tidak tenang?" imbuhnya bertanya.

Ratu Juan tersenyum dan sesekali arah pandangnya tertuju pada tamu undangan. Entah apa yang membuat sang ratu begitu cemas? Xie Fu akhirnya mengikuti arah pandang sang ibu, memperhatikan para tamu yang hadir pada hari penobatannya menjadi kaisar. Ia terperanjat ketika sapuan matanya tidak menemukan keberadaan keluarga besar Klan Tang di aula istana.

"Ibu, di mana saudara-saudara kita? Tidak ada seorang pun dari mereka yang hadir. Apakah mereka tidak berkenan dengan penobatanku menjadi kaisar? Jika itu masalahnya, mohon Ibu untuk mempertimbangkannya!"

Lontaran pertanyaan dari Pangeran Xie Fu membuat kecemasan sang ratu akhirnya tersembul. Ia alihkan pandangan ke arah seorang pria berpakaian zirah yang berdiri tak jauh dari barisan para menteri.

"Jenderal Li, kenapa tidak ada satu pun keluarga besar istana yang hadir?" Tertaut ujung alis sang ratu ketika mempertanyakannya.

"Yang Mulia, keluarga besar istana sebentar lagi akan tiba. Mohon Yang Mulia bisa sabar menunggunya," sahut sang jenderal dengan lugas.

"Baik kalau begitu," timpal sang ratu mulai merasa lega.

Sorot mata Jenderal Li yang tidak biasa, tertangkap oleh Pangeran Xie Fu yang sedari tadi memperhatikannya.

"Ibu, tatapan Jenderal Li seperti sedang menyembunyikan sesuatu," ucap sang pangeran memberi tahu.

"Ya ..., Ibu sudah menduganya." Ratu Juan mengulas senyum untuk menenangkan kecurigaan sang anak. "Sebaiknya kita abaikan dahulu prasangka itu."

"Baik, Ibu," timpal Pangeran seraya mengangguk pelan.

Tak berselang lama, para prajurit tiba dengan membawa banyak hadiah dan menempatkannya di tengah aula. Namun, para prajurit tidak melaporkan dari mana hadiah itu berasal. Mereka hanya menjura dan langsung meninggalkan aula.

Kecemasan yang baru saja teredam, kini mencuat kembali. Ratu Juan menoleh ke arah sang jenderal dan bertanya, "Jenderal Li, mengapa tidak ada laporan dari mana hadiah itu berasal? Bukankah setiap hadiah yang datang selalu disebutkan asalnya?"

Jenderal Li menjura, tertawa, lalu berjalan ke arah hadiah yang tertumpuk di lantai aula. Semua tamu yang hadir berdiri dengan antusias. Lagi-lagi Pangeran Xie Fu menangkap adanya kejanggalan.

"Bu, apakah ada konspirasi di istana?" tanya Xie Fu membisiki ibunya.

Sang ratu menjadi gugup mendengarnya. Untuk sekarang, ia abaikan ucapan putranya itu. Fokusnya masih tertuju ke punggung sang jenderal yang melangkah ke arah tumpukan hadiah.

"Yang Mulia, hadiah ini adalah kejutan yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang sejarah kekaisaran," kata Jenderal Li yang di tangannya ia genggam satu kotak hadiah.

"Bukalah!" titah sang ratu.

"Baik, Yang Mulia," sahut Jenderal Li lalu membukanya.

Begitu dibuka, terlihatlah kepala salah seorang keluarga istana. Ratu Juan dan Pangeran Xie Fu terpana melihatnya, tetapi tidak dengan para tamu yang hadir di istana.

"Kakek Zhen!" Pangeran Xie Fu menghambur ke arah Jenderal Li yang tengah memegang kepala seorang keluarga istana lalu merebutnya.

"Ka ... Kakek Zhen." Suara Pangeran Xie Fu tercekat di tenggorokan. Ia tatap sang jenderal dengan amarah yang membara.

"Apakah kotak hadiah lainnya merupakan kepala dari keluarga besar istana?" tanya Pangeran Xie Fu sambil mencekik leher Jenderal Li.

Jenderal Li menghentak tangan Pangeran lalu menjawab, "Ya ... kau bisa membukanya sendiri." Tawa keras sang jenderal menggema di aula istana, disusul oleh para tamu yang menyerukan pergantian kekuasaan.

Xie Fu bergeming. Ia tidak menyangka akan terjadi kudeta pada saat dirinya akan didaulat menjadi kaisar.

"Bocah, kau jangan bermimpi untuk menjadi kaisar. Kau hanyalah sampah!" Kembali semua tamu istana tertawa.

"Ba ... bagaimana bisa semua ini terjadi?" gumam sang pangeran masih tak habis pikir.

Ia kemudian membuka satu per satu kotak di dekatnya. Tercekat kedua matanya mendapati semua kotak yang dibukanya berisi kepala dari keluarga istana.

"Apa maksud semua ini, Jenderal Li?" tanya Xie Fu dengan begitu geram.

"Fu'er ...!" pekik sang ibu yang berdiri di singgasana.

Xie Fu menoleh dan tercenung melihat seorang pengawal memenggal kepala ibunya dengan sekali tebasan.

"Ibu ...!" Xie Fu berlari ke arah ibunya, tetapi sang jenderal tidak membiarkannya. Ia tendang punggung Pangeran dengan keras hingga tersungkur jatuh, lalu menginjak kepalanya.

Jenderal Li menghunus pedang dari sarungnya dan diarahkan tepat ke leher sang pangeran di bawahnya.

"Selamat tinggal generasi terakhir Klan Tang!" ucapnya sambil bersiap untuk menyayat leher.

"Tunggu!" Seorang tetua sekte berkelebat mendekati.

"Ada apa, Tetua Zhao?" Sang jenderal tampak tidak senang eksekusinya diganggu.

"Kita tidak bisa sepenuhnya membinasakan Klan Tang," ujar si tetua.

"Jika dibiarkan hidup, anak ini akan menjadi monster di masa depan." Jenderal Li bersikukuh untuk mengeksekusinya.

"Kau tenang saja. Semua itu tidak akan terjadi." Tetua Zhao menyeringai dingin.

"Apa maksudnya, Tetua?"

"Aku akan menghancurkan kultivasinya dan membuatnya cacat seumur hidup. Bukankah itu cukup?"

"Kau memang bijaksana, Tetua Zhao." Jenderal Li kemudian melepaskan Pangeran Xie Fu dan menyerahkannya kepada Tetua Zhao.

Tetua Zhao membalikkan tubuh Xie Fu; merusak dantian; menghancurkan kultivasi; melumpuhkan meridian; terakhir mencabut garis keturunan.

Jerit pilu menggema di aula istana. Pangeran Xie Fu kini tak ubahnya hanyalah seonggok sampah yang tidak memiliki masa depan. Ia tergeletak tanpa bisa bersuara, hanya terdengar suara napasnya yang berat dengan tatapan menyalang penuh dendam.

Pesta istana dilanjutkan di tengah penderitaan sang pangeran yang menjadi satu-satunya generasi Klan Tang yang tersisa. Ia dibiarkan tergeletak bersama belasan kepala tanpa tubuh.

Kebencian dari semua orang di istana ditumpahkan padanya. Ia terus diludahi dan dinjak-injak oleh setiap orang yang sengaja menghampirinya.

"Tidak ada satu pun dari kalian yang akan kubiarkan hidup!" ucap batin Pangeran Xie Fu bertekad.

Proses peralihan kekuasaan telah selesai di tengah pesta kemenangan para pemberontak yang melakukan kudeta. Jenderal Li kini didaulat menjadi kaisar menggantikan Ratu Tang Xie Juan yang dieksekusi sebelumnya.

"Masa kegelapan telah berakhir, dan kita akan memasuki era baru yang gemilang. Sampaikan sumpah setia kepada dinasti baru!" seru Jenderal Li pada pidato pertamanya sebagai seorang kaisar. Tatapannya beredar ke semua orang yang hadir. Orang-orang yang selama ini membantunya mengambil alih tombak kepemimpinan dari Ratu Tang Xie Juan.

"Hidup, Kaisar! Hidup era baru!" Yel-yel terus diteriakkan di dalam istana.

Sang kaisar mengisyaratkan semua orang untuk diam, lalu pandangannya tertuju ke arah Pangeran Xie Fu yang tergeletak di tengah aula.

"Seret dia dan tubuh ibunya ke lubang pembuangan mayat!" titah Jenderal Li kepada para prajurit istana.

Xie Fu dan tubuh ibunya yang tanpa kepala diseret ke tempat pembuangan mayat yang berada di bangunan paling belakang istana. Sementara kepala sang ratu masih digenggam oleh Kaisar Li sebagai simbol kemenangan.

"Ibu," ucap Xie Fu sebelum dirinya dilempar oleh para prajurit ke lubang pembuangan mayat bersama jasad ibunya.

Raksasa dan Simbol Kuno

Lubang pembuangan mayat terlihat seperti lubang sumur pada umumnya, tetapi ruang di dalamnya menyerupai sebuah kolam besar yang sanggup menampung sampai seribu mayat yang dilemparkan dalam satu waktu. Sesuai dengan namanya, lubang pembuangan mayat atau bisa juga disebut sebagai kolam mayat dibangun untuk membuang mayat yang telah dieksekusi mati.

Xie Fu menjadi yang pertama dilempar dalam kondisi masih hidup. 

Tak lama kemudian, Xie Fu kembali sadar tatkala ia merasakan adanya minyak hitam tertumpah mengenai wajahnya. Ia menoleh ke sisi ibunya dan tersentak mendapati tubuh-tubuh tanpa kepala dari keluarga besarnya bertumpukkan di kolam mayat. Sebagian besar dari mayat yang terlihat dalam kondisi bengkak oleh sebab pembusukan.

Adapun minyak hitam yang mengenai tubuhnya merupakan minyak yang biasa digunakan untuk proses pembakaran mayat. Xie Fu bingung bagaimana cara ia keluar dari kolam mayat dengan kondisinya yang memprihatinkan? 

"Aku tidak boleh mati," gumamnya bertekad.

Kedua tangan dan kakinya tak dapat ia gerakkan setelah meridiannya dilumpuhkan oleh Tetua Zhao. Ia pun berusaha keras menggerakkan punggungnya dengan menekan tubuh dan memanfaatkan licinnya minyak agar bisa bergerak di antara tumpukan mayat.

Akan tetapi, yang terjadi berikutnya justru membuat tubuhnya terjepit di antara tubuh-tubuh yang membusuk. Nahas, ia malah mempersulit diri. Dan kini ia kesulitan bernapas setelah cairan minyak menyumbat pernapasannya. Seperti ikan di darat, Xie Fu bernapas melalui mulutnya. Itu pun sulit karena ketika ia membuka mulut untuk menghirup oksigen, cairan minyak ikut tertelan. Berkali-kali pula ia tersedak karenanya.

Detik berikutnya terlihat cahaya terang meluncur jatuh dari atas. Kedua mata Xie Fu membulat. Cahaya terang yang dilihatnya itu merupakan api yang dilemparkan untuk membakar mayat. 

Xie Fu gelagapan melihat jatuhnya api yang akan membakar semua jasad di kolam mayat. Namun apa daya, ia tak memiliki kekuatan untuk menghindarinya. Lidah api merambat cepat melahap tumpukan jenazah tanpa ampun. Ia hanya bisa menjerit histeris merasakan panasnya api yang mulai membakar kepalanya. Jeritannya menggema di dinding kolam hingga lenyap tertelan gemuruh kobaran api yang menyala.

Akan tetapi, semesta berkehendak lain. Alam menurunkan badai salju yang seketika itu juga meredam amukan api. Nyawa Xie Fu tertolong, tetapi wajahnya terlanjur rusak oleh lidah api yang menjilatinya. Kondisinya sungguh mengenaskan. Beruntungnya sebagian besar tubuhnya tak tersentuh jilatan api oleh sebab terjepit di antara tumpukan mayat.

Meskipun demikian, nyawanya masih terancam. Amukan api kini berganti dengan dinginnya udara yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Tubuh Xie Fu membeku seiring dengan tumpukan salju yang terus masuk melalui lubang pembuangan dan menciptakan lapisan es yang menggumpal.

Lambat laun lapisan es meleleh, mengapungkan mayat-mayat ke permukaan, dan menenggelamkan Xie Fu ke dasar kolam yang dipenuhi tulang belulang dari orang-orang yang telah dieksekusi mati.

Tiba-tiba saja sebuah pusaran muncul di tengah tumpukan tulang belulang, dan menghisap tubuh Xie Fu masuk ke dalamnya. Ia terlempar memasuki sebuah ruang rahasia berukuran cukup luas. Di dalamnya terdapat tengkorak seorang manusia raksasa yang duduk dalam posisi lotus, dan di depannya terdapat sebuah kitab pusaka yang terbuka beberapa halaman. Tampak sang raksasa itu mati ketika sedang membaca. 

Xie Fu baru tersadar setelah genangan air sepenuhnya surut. Ia terbatuk keras memuntahkan banyak air bercampur minyak. Wajahnya tak lagi sama seperti seorang pangeran. Sebagian besar kulit wajahnya melepuh, dan nyaris sulit dikenali. Ia pun kesulitan untuk membuka kedua mata karena kelopak matanya ikut melepuh. Sungguh tragis nasib yang dialaminya. Biarpun begitu, ia masih tetap hidup. 

Butuh beberapa waktu bagi Xie Fu untuk bisa melihat dalam kondisi seperti itu. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kusam dengan banyak lubang yang menganga. Ia kemudian menolehkan wajah memperhatikan sekitarnya. Tatapannya terpatri pada sosok raksasa yang berjarak dua tombak darinya. 

“Ternyata raksasa benar-benar ada,” gumamnya.

Xie Fu menyeret tubuhnya menggunakan punggung agar lebih dekat dengan raksasa yang ditemukannya. Namun, arah pandangnya teralihkan pada kitab kuno yang terbuat dari sisik, mirip seperti sisik ikan, tetapi berdiameter puluhan kali lipat dari sisik ikan pada umumnya.

Di tengahnya terdapat simbol-simbol aneh yang terukir. Abstrak dengan pola yang simetris dan unik. Sebagai seorang pangeran yang kenyang melahap berbagai kitab di perpustakaan istana, Xie Fu memilih untuk mengamati simbol di dalam kitab daripada mengamati sosok tengkorak raksasa yang sedang duduk dalam diam.

Sorot matanya berbinar memperhatikan tiap simbol yang harus diterjemahkannya dengan tepat. Meskipun ia harus mengamatinya dengan posisi terlentang dan kepala miring.

"Matahari membeku, bulan meleleh. Lembut menyakiti, keras melindungi. Mata tak pernah melihat, cahaya yang memperlihatkan. Telinga tak pernah mendengar, gelombanglah yang menyiratkan. Lidah tak pernah merasa, senyawalah yang merasakan," ujarnya menerjemahkan beberapa simbol.

"Semuanya terasa masuk akal. Kitab apa ini sebenarnya?" Xie Fu terus mengamati simbol-simbol yang terukir. Setiap kali ia mampu mengungkapkan artinya, simbol-simbol itu berubah menjadi serpihan yang berterbangan.

Simbol-simbol yang terukir dalam kitab yang diamatinya bukanlah mantra sihir, bukan pula jurus-jurus hebat para legenda kultivator, melainkan susunan hirarki yang saling berkaitan dan memiliki esensi nilai-nilai dari sumber daya kehidupan yang ada. 

"Kenapa nasibku tidak seperti dalam cerita? Biasanya seorang pahlawan akan menemukan guru hebat atau jurus hebat yang membawanya ke tingkat puncak dan menjadi legenda. Yang kutemukan malah tengkorak raksasa dengan kitab anehnya," keluhnya di sela pengamatannya.

Entah sudah berapa lama ia menghabiskan waktu mengamati isi dari kitab itu? Xie Fu tampak seperti mayat hidup. Tubuhnya sangat kurus, hanya menyisakan tulang yang dilapisi kulitnya yang pucat. 

Meskipun demikian, ia masih hidup dalam kondisi tubuh yang mati. Ajaib. Simbol-simbol kuno yang telah dikhatamkannya seperti esensi kehidupannya sendiri.

Meridian yang lumpuh tak lagi menghambatnya untuk menggerakkan bagian tubuhnya yang lumpuh. Jemari tangannya yang mati rasa, bisa ia rasakan kembali. Begitu pun dengan anggota tubuhnya yang lain, kini mulai dapat dirasakannya kembali. 

Kuku tangannya yang panjang dapat merasakan kontur tanah. Perlahan ia coba untuk bangkit. Gemeretak suara tulang di tangannya menyiratkan sendi-sendi di tubuhnya kembali berfungsi. 

“Akhirnya aku bisa duduk,” ucapnya setelah berhasil mengangkat tubuh dengan menopang pada kedua tangannya.

Selanjutnya ia tekuk kedua kakinya dan merentangkan kedua tangan untuk menjaga keseimbangan. Perlahan-lahan tubuhnya diangkat, semakin tinggi sampai tubuhnya tegap dengan sempurna. Berhasil. 

Akan tetapi, begitu ia melangkah … tiba-tiba saja tulang kakinya patah dan keluar menembus kulit. 

“Ah …!” jerit Xie Fu tak kuat melihatnya. Ia pun roboh dan menghantam tengkorak raksasa yang akhirnya terberai tulang belulangnya.

“Guru … Pangeran Xie Fu siuman!” teriak seorang murid sekte yang berjaga di ruang pengobatan.

Sampah

Teriakan dari murid Sekte Cahaya Jingga itu sampai ke aula sekte. Tetua Qianfan bersama para tetua sekte yang sedang berkumpul langsung bergegas menuju ruang pengobatan.  Mereka tampak gembira melihat Xie Fu yang terbalut kain seperti mumi akhirnya terbangun dari tidur panjangnya.

“Xie Fu,” ucap Qianfan seraya memindai kondisinya. “Maafkan Kakek yang terlambat menyelamatkanmu,” imbuhnya lirih.

Qianfan merupakan pendiri sekte yang memiliki ikatan batin dengan keluarga istana. Oleh sebab itulah, sekte yang didirikannya menjadi satu-satunya yang abstain dalam kudeta penggulingan Kekaisaran Tang.

“Bagaimana kondisinya, Tetua?” tanya Tetua Lao Zhi penasaran.

Qianfan menggeleng pelan. Tampak mimik wajahnya menggambarkan penyesalan yang mendalam. Tang Xie Fu menjadi satu-satunya keluarga istana yang hidup dengan kondisi mengenaskan.  Sejenak ia menarik napas, lalu berkata, “Xie Fu ibarat cangkang kosong yang hancur. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain memulihkan luka bakar di wajahnya.“

Para tetua mendengus lirih mendengarnya. Mereka telah berusaha keras mencoba berbagai upaya, mulai dari pengerahan sumber daya tingkat tinggi sampai mendatangkan para ahli alkemis maupun tabib terbaik di wilayah Kekaisaran Tang. Tak ada satu pun dari semua itu yang mampu untuk mengobatinya barang sedikit pun.

“Jadi, Xie Fu akan cacat seumur hidup?” Pertanyaan yang dilontarkan Tetua Yaoming membuat para tetua lainnya tersentak. Tetua Qianfan sampai menutup matanya, merasa diri menjadi yang paling bersalah atas kemalangan yang dialami oleh Tang Xie Fu. Meskipun demikian adanya, ia masih yakin sang pangeran bisa disembuhkan.

“Setiap penyakit ada obatnya,” ujar Qianfan bijak, “Xie Fu akan kembali pulih suatu hari nanti.”

“Maaf jika hamba lancang.”  Giliran Tetua Xue yang berbicara.

“Katakanlah, Tetua Xue!” pinta Qianfan yang diangguki oleh kedua tetua.

“Sungguh tak dapat dibayangkan melihatnya hidup dengan keadaan lumpuh dan menanggung beban atas kematian seluruh keluarganya. Apa tidak sebaiknya kita akhiri saja penderitaannya?”

Semua mata mempertanyakan maksudnya. Tetua Xue menatap satu per satu para tetua lalu berkata, “Sebaiknya kita kirim saja Pangeran ke surga agar bisa bereinkarnasi.”

Para tetua nanap tidak menduga dengan maksud yang dikemukakan oleh Tetua Xue yang mereka anggap sebagai salah satu tetua bijak di Sekte Cahaya Senja.

“Kakek,” ucap Xie Fu yang berhasil mengalihkan pembicaraan para tetua.

“Aku tidak lumpuh, Kek. Lihat ini!” Xie Fu menggerakkan jemari tangannya.

Qianfan dan ketiga tetua terpana melihatnya. Mereka kemudian memeriksa semua saraf di tubuh Xie Fu dan menemukan beberapa yang masih berfungsi.

“Syukurlah. Setidaknya kau bisa beraktivitas nantinya,” ujar Qianfan lalu meminta para tetua untuk mengalirkan energi spiritual, membantu mengoptimalkan saraf-saraf yang masih berfungsi.

***

Pagi hari itu amatlah cerah.  Awan-awan tidak setebal biasanya dan sinar matahari pagi dapat menerobos di antara celah-celah dedaunan hingga menembus ke dasar tanah yang lembap.

Seorang pemuda terlihat berdiri di atas undakan batu dengan menopang pada tongkat kayu yang terselip di kedua lengannya. Pemuda yang telah menghabiskan waktu tiga bulan di pembaringan itu kini bisa berjalan meski harus menopang pada tongkat.

Tubuhnya gemetar. Perlahan jari-jari tangannya bergerak, menekan batang kayu yang menopang tubuhnya dengan kuat. Badannya kian bergetar hebat tatkala ia berusaha menahan air yang tergenang nyaris tumpah di kelopak matanya.

“Bagaimana aku bisa membalaskan kematian keluargaku?” gumamnya lirih.

Xie Fu menghela napas. “Ibu, kondisiku begitu lemah, sementara jeritan terakhir Ibu terus mengusik tidurku,” ucapnya sambil menahan tangis.

Xie Fu masih berusaha menahan tangis. Tubuhnya bergetar semakin kencang. Kedua tangannya semakin kuat mencengkeram batang kayu. “Apa salah keluargaku hingga semuanya harus dieksekusi mati? Tidak bisakah mereka meminta ibuku menyerahkan takhta dengan baik-baik?”

Akhirnya Xie Fu tidak dapat menahan air matanya. Ia sesenggukan. Bulir-bulir air mata terus jatuh menghantam tanah, bercipratan ke kakinya yang telanjang.

“Untuk apa aku hidup seperti ini? Tanpa keluarga, tanpa kemampuan, dan hanya menjadi beban para tetua.”

Lama Xie Fu terdiam setelah mengucapkannya. Tubuhnya masih bergetar, kendati matahari terus meninggi, membuatnya mandi keringat. Namun, tak sekalipun ia menyekanya. Rambut panjangnya yang tergerai berkibar tertiup angin. Telapak kakinya masih terpaku di tanah yang panas. Ia bergeming dalam hening.

Setelah lama terdiam, Xie Fu dongakkan kepalanya menghadap langit. Membiarkan sinar matahari menghujam tepat ke retina matanya. Ia tak berkedip, hanya sedikit memicing.

“Apakah kalian semua mengejekku wahai para dewa di langit?” Xie Fu meradang. Emosinya terus ia tumpahkan.

Perlahan terdengar suara langkah kaki mendekat diiringi tawa renyah dari seseorang yang semakin terdengar jelas.

“Sampah tak berguna sepertimu sebaiknya bunuh diri saja,” ucap orang itu mengejeknya.

Xie Fu memutar tubuhnya dan menatap nyalang seorang murid sekte yang berdiri dengan tatapan penuh kebencian padanya.

“Dulu kau seorang pangeran, tetapi kini kau hanyalah sampah yang menjijikan,” imbuh pemuda itu.

“Kau benar. Aku hanyalah sampah. Lalu, kenapa kau tidak membunuhku sekarang?”

“Apa kau tidak mendengar saranku yang tadi?” sindir si pemuda, “kau bunuh diri saja. Aku tidak ingin mengotori tanganku dengan sampah sepertimu.”

Xie Fu melangkah mendekatinya. Tatapannya masih nyalang dan dipenuhi emosi yang menyala.

“Berhentilah menatapku seperti itu?” Si pemuda melangkah mundur. “Lihatlah dirimu, berjalan pun kau harus menopang tongkat!”

Embusan angin terasa semakin cepat, membuat pakaian kedua pria yang saling berhadapan itu berkibar, lalu muncullah bayangan orang-orang berkelebat dari segala penjuru, dan dalam sekejap mata, lima orang murid sekte lainnya menampakkan diri membentuk lingkaran di antara keduanya.

Pandang mata mereka terpusat ke pemuda yang berdiri menopang tongkat, penuh kebencian yang mendalam. Ekor mata Xie Fu bergerak memperhatikan kelima pemuda yang mengurungnya. Bibirnya tersenyum, sedikit pun Xie Fu tidak memperlihatkan rasa takut seolah-olah para murid sekte itu bukanlah ancaman nyata baginya.

“Kak Tian, serahkan saja sampah ini pada kami. Kakak tidak perlu mengotori tangan,” ucap salah seorang yang berdiri di sisi kanan Xie Fu.

Xie Fu menolehkan pandangan dengan tatapannya yang dingin. Pemuda itu sedikit tersentak, lalu tertawa mengejeknya. “Kak, lihatlah pemuda sampah ini. Tatapannya seperti tidak sabar ingin merasakan tajamnya pedangku.”

“Membunuhnya terlalu mudah. Kita siksa dia dengan perlahan sampai memohon kematian,” ujar si pemuda bernama Ling Tian itu.

“Kalian terlihat begitu membenciku. Sebenarnya apa masalah kalian sampai harus begitu benci padaku?” tanya Xie Fu merasa heran. Selama ini ia tidak pernah mengganggu siapa pun di sekte. Bahkan, ini pertama kalinya ia keluar dari ruang pengobatan setelah tiga bulan dalam pembaringan.

“Ha-ha, pertanyaan yang pintar dari seorang mantan pangeran,” kelakar pria yang berdiri di samping Ling Tian. “Baiklah akan aku katakan sebelum kau meregang nyawa.” Sejenak pria itu terdiam sambil mengusap dagu, lalu tak lama kemudian ia melanjutkan ucapannya, “karena kami tidak akan membiarkan orang dari keluarga istana hidup di dunia ini.”

“Oh begitu.” Xie Fu manggut-manggut seraya tersenyum. “Sejujurnya aku tidak tahu alasan orang-orang membenci keluargaku. Apa kalian bisa menjelaskannya padaku?”

“Cih, seorang pangeran sepertimu tidak tahu‽ Ha-ha, kau pikir kami ini bodoh?” Pemuda bermata bulat lekas menghunus pedang dan meletakkan bilah tajam tepat di leher Xie Fu, dan sedikit menekannya hingga terlihat darah mulai menetes ke bilah pedang.

“Tunggu! Apa serunya melihat dia langsung mati?” Seketika Ling Tian melayangkan tendangan ke arah kedua tongkat yang menjadi penopang Xie Fu berdiri.

Xie Fu tersungkur jatuh dalam posisi berlutut. Melihat itu, Ling Tian kembali mengayunkan kaki menendang dada Xie Fu hingga berdebam ke tanah.

“Hei, ayo tendang sampah ini!” pintanya.

Kelima pemuda langsung bersemangat menendang tubuh Xie Fu yang bergulingan ke sana kemari. Mereka menendangnya secara bergantian, mengoper dari satu kaki ke kaki yang lainnya.

“Yu Chen, tendanganmu kurang keras!” seru Ling Tian yang harus maju beberapa langkah menyambut tubuh Xie Fu.

“Ha-ha-ha, maaf, Ka.” Kelima pemuda tertawa riang dan terus menendang tubuh Xie Fu yang pakaiannya dipenuhi tanah bercampur darah.

Matahari sudah berada di pucuk kepala, Ling Tiang dan kelima temannya mulai bosan bermain-main dengan tubuh Xie Fu. Akhirnya mereka berhenti dan duduk di atas rerumputan dalam posisi melingkar.

“Kak Tian, apakah sampah itu masih hidup?” tanya Jun He, pemuda berbadan gemuk.

“Ya, dia masih hidup,” jawab Ling Tian setelah memindainya.

“Kuat juga ya, padahal dia sampah tanpa kultivasi,” sambung Yu Chen.

“Sepertinya dia mau mati,” timpal pemuda bertubuh paling tinggi terus memperhatikan Xie Fu yang tampak sesak napas.

“Ayo kita lempar dia ke jurang!” Ling Tian bangkit dan menghampiri Xie Fu diikuti kelima temannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!