NovelToon NovelToon

Madu CEO Koma

Mansion

Cahaya matahari menerobos masuk dari jendela yang terbuka separuh. Tirai tipis berwarna pelan, menari bersama angin sepoi. Pagi itu begitu hening. Aroma antiseptik samar memenuhi udara, menyatu dengan barang-barang mahal dari kamar bernuansa putih gading itu.

Seorang wanita berseragam biru muda berdiri di hadapan ranjang megah dengan ukiran naga berwarna emas diatasnya. Dikelilingi berdiri perlengkapan medis tercanggih. Di atas ranjang itu, seorang pria muda dengan paras rupawan terbaring diam. Matanya terpejam rapat, seperti tertidur... atau lebih tepatnya, koma.

Hening sesaat.

Wanita berambut panjang yang digelung rapi itu menarik napas pelan, lalu melangkah ke sisi ranjang. Tangannya sedikit bergetar saat merapikan selimut pria itu. Meskipun tahu tak akan mendapat respons, ia tetap berlaku dengan sopan. Melipat kedua tangannya lalu sedikit menunduk hormat.

"Selamat pagi Tuan, Nama saya Hania. Dan mulai hari ini… saya yang akan merawat Anda," Suaranya terdengar tegas namun lembut, seperti sedang menenangkan dirinya sendiri. Wajah pria itu tetap sama tenang dan beku, seolah tak tergoyahkan oleh apa pun di dunia.

Hania menghela nafas pelan dengan senyum tipis. Meski tak ada respon, tapi mungkin sang pasien mendengar apa yang Hania katakan.

Baru saja Hania hendak duduk di kursi kecil di samping ranjang, pintu kamar terbuka. Seorang wanita paruh baya masuk dengan langkah mantap. Seragam abu-abu tua membungkus tubuhnya yang tegak dan rapi, lengkap dengan lencana kecil bertuliskan “Kepala Pelayan”.

Wajahnya datar. Matanya tajam pada Hania.

“Ikut saya,” ucap wanita itu tanpa basa-basi.

Hania terdiam sesaat, lalu menurut. Ia melangkah mengikuti wanita tersebut, karena dia tahu dia tidak bisa membantah dengan apa yang sang kepala pelayan perintahkan. Di mansion megah itu, Ivana adalah pekerja yang paling dihormati. Wanita paruh baya tegap dan cepat menuju kamar lain di lorong yang berbeda dari ruangan utama. hania bahkan belum tahu tempat ini.

Bagaimana bisa tahu, dia bahkan belum dua puluh empat jam berada di sini. Langkah keduanya pun berhenti di sebuah pintu besar. Ivana membukanya dengan sedikit kasar, lalu berjalan masuk. Namun, ia berhenti saat sadar pelayan barunya tidak mengikuti langkahnya.

"Kenapa masih berdiri di sana, masuk!" tegas Ivana dengan delikan tajam pada Hania.

"I-iya." Hania melangkah pelan.

Langkah berat Hania menggema di ruangan serba putih itu, ruangan yang mirip seperti klinik kesehatan. Di siu bahkan ada seorang dokter laki-laki dan seorang perawat yang berdiri di samping ranjang pasien.

“Kenapa saya diajak kemari?” tanya Hania pelan, mencoba tetap sopan meski hatinya mulai tak tenang.

Ivana tidak menjawab, hanya menyunggingkan senyum tipis yang lebih mirip seperti seringai.

"Jangan banyak bicara, berbaring di sana," tukas Ivana.

"Untuk apa? Bukankan kalian sudah melakukan tes kesehatan saat saya datang?" cerca Hania mulai merasa tidak aman.

Wanita paruh baya itu menoleh, menatap tajam pada Hania. Ia mengarahkan dagunya, mengisyaratkan agar Hania menurut dan berbaring di ranjang pemeriksaan. Dokter yang berada di sana pun mulai memakai sarung tangan steril, sang suster pun sibuk menata alat yang akan Dokter gunakan.

Hania yang masih diam terpaku membuat Ivana geram, ia pun mencengkram lengan Hania. Menarik, mendorongnya dengan kasar, sampai wanita itu jatuh terduduk di ranjang. Suster dengan sigap mendekati Hania, seolah menata bantal tapi dia sengaja melakukan gerakan itu.

"Tolong menurut saja, agar kamu tidak di sakiti," bisik suster itu sangat lirih, tapi Hania masih bisa mendengar karena jarak mereka yang sangat dekat.

"Berbaringlah, jangan tegang ya," Pinta sang suster sambil mendorong bahu Hania agar berbaring.

Ivana tersenyum puas, melihat Hania yang akhirnya patuh. Tanpa mengatakan apapun, wanita paruh baya itu melangkah meninggalkan ruangan pemeriksaan. Suster dan Hania sontak mengela nafas lega, entah kenapa dekat dengan Ivana membuat susana sangat tegang dan tertekan.

"Santai ya, pemeriksaanya cepet kok," tutur suster itu menenangkan.

Hania tidak mengatakan apapun, dia masih sangat bingung dengan keadaan saat ini. Suster itu beranjak ke sisi dokter yang kini sudah duduk di kursi, posisinya tepat di bawah kaki Hania.

"Suster, Buka kakinya," titah si dokter.

"Baik Dok."

Suster pun mulai melebarkan kaki Hania, tapi gadis itu menahan.

"Nurutnya, biar cepet selesainya." Suster itu menatap Hania penuh pinta.

Hania menggeleng. "Tidak, sebelum kalian katakan apa yang akan kalian lakukan pada saya?!"

Dokter akhirnya berdiri, menatap Hania dengan tajam.

“Kami akan melakukan pemeriksaan kesuburan,” jawab dokter itu singkat.

Dunia seperti berhenti berputar sesaat. Tubuh Hania menegang.

"Apa!?

“Kesuburan…. untuk apa?” suara Hania bergetar, sorot mata gadis itu menajam, menatap dua petugas medis di hadapannya.

Pria berjasa putih itu acuh, memberikan isyarat agar suster melakukan tugasnya. Suster itu mengangguk, mulai melepaskan c3lana d4lam Hania, lalu merenggangkan kedua kaki gadis itu. Hania mau menoleh tapi entah kenapa perlahan tenaganya seolah hilang.

"Kami sudah menjawab pertanyaan mu, sekarang menurut lah. Biarkan kami melakukan pekerjaan kami dengan baik," tegas Dokter itu, dokter yang sedari tadi menutupi wajahnya dengan masker.

Gila

Setelah pemeriksaan yang aneh yang cukup memakan waktu itu, Hania kembali ke kamar pria yang di rawatnya. Pria yang sampai saat ini ia tidak tahu namanya. Wajahnya masih diliputi kebingungan, tapi ia mencoba menenangkan diri. Mungkin ini memang pemeriksaan yang dilakukan pada semua pekerja baru di mansion ini, mungkin. Bukankan orang-orang kaya memang selalu begitu. Selalu punya peraturan aneh untuk pekerjanya.

Hania merapikan seragam yang ia pakai, lalu duduk di samping ranjang, memperhatikan napas tenang pria tampan itu yang tetap terpejam, seolah tak tahu dunia di sekelilingnya sedang merencanakan hal gila. Sesekali gadis itu melihat monitor untuk memastikan detak jantung dan sanurtasi nafas sang pasien stabil.

Dengan pelan, Hania menyentuh tangan dingin sang pria, menutupnya dengan selimut agar hangat. Gadis berparas mansi itu menatap lekat wajah yang sama sekali tidak terlihat sakit. Pria ini hanya terlihat tidur, tidur yang sangat panjang.

"Kenapa Anda bisa tidur senyenyak ini Tuan? Apa mimpi Anda begitu indah, sampai Anda enggan bangun?"

"Kalau saya bisa, saya juga ingin tidur sepert Anda. Tidur ... dan tidak perlu bangun lagi." Hania mengalihkan pandangannya, menatap jauh kearah luar jendela.

Jika bisa, Hania ingin melakukannya. Tidur, tanpa perlu tahu lagi apa yang terjadi di bumi. Tanpa perlu sibuk menjalani hidup dengan semua masalahnya. Tapi tidur yang ia inginkan, bukan sekedar menutup mata. Tapi tidur dalam rengkuhan tanah dan kembali pada sang Pencipta. Seulas senyum getir tersungging di bibirnya yang pucat.

“Tuan... apa Anda tahu, peraturan di mansion Anda sangat aneh. Lebih baik Anda mengubahnya agar lebih sedikit manusiawi,” gumamnya lirih, mencoba bercanda untuk menutupi gelisah nya.

Pintu kamar itu terbuka, seorang suster masuk membawa nampan berisi obat-obatan. Hania bangkit dari kursinya. Memberi ruang suster itu untuk dekat dengan pasien.

"Bagaimana? Apa masih sakit?" suster itu bertanya tanpa menoleh pada Hania, dia sibuk menyiapkan obat untuk pasien yang terbaring tak berdaya.

Hania menunduk, reflek merapatkan pahanya.

"Emh ... masih nyeri sedikit."

Suster itu mengangguk paham. Tanpa mengatakan apapun lagi, suster itu mengerjakan tugasnya. Menyuntikan dua jenis obat melalui jalur IV agar obat yang ia berikan bisa langsung masuk ke pembuluh darah. Setelah selesai, dia menyiapkan satu suntikan lagi. Kali ini dia meminta Hania yang melakukannya.

"Coba kamu." Suster itu memberikan suntikan yang sudah berisi cairan bening.

"Sa-saya Sus?" Hania menunjuk dirinya sendiri dengan ragu.

"Apa ada orang lain di sini selain kamu?"

Hania menggeleng. Dengan tangan gemetar ia menerima suntikan kecil itu.

"Suntikan ke botol infusnya, lalu goyangkan sebentar."

Gadis itu mengangguk, lalu melakukan sesuai yang suster itu instruksikan. Menyuntikan obat lewat bagain bawah botol infus, setelah semua obatnya masuk. Hania mengguncangkan botol itu pelan lalu menaruhnya kembali seperti semula. Suster yang melihat itu mengangguk puas.

"Lumayan."

Hania tersenyum canggung mendengar pujian itu. Sebenarnya Hania bingung kenapa orang seperti dirinya dibutuhkan untuk menjaga Tuan koma ini. Sedangkan di mansion itu sudah ada dokter dan perawat dari rumah sakit.

"Kau sudah tahu apa a tugasmu di sini kan Hania?" Suster itu merapihkan botol obat dan jarum suntik yang tadi ia pakai.

Hania mengangguk kecil.

"Saya di sini menjaga Tuan, menemani, menggantikan popok, menggantikan kantong urine tiap pagi dan membersihkan badanTuan."

"Selain itu kau memberikan suntikan obat seperti tadi setiap jam 10 pagi. Tidak boleh terlewat, ak akan menyiapkan obatnya di nakas itu." Suster itu menunjukan Nakas tempat menyimpan semua peralatan medis sang tuan.

"Tapi Sus, Ivana tidak mengatakan-

"Belum, Ivana belum memberitahumu. Maka saya yang memberi tahu, begitu pun obat yang saya berikan tadi. Kedepannya itu tanggung jawab kamu," tukas Suster itu memotong.

Hania tertegun bingung, dia bukan seseorang yang berpengalaman dalam bidang medis. Menyuntik botol infus tadi saja dia gemetar, bagaimana dia menyuntik selang yang ada di punggung tangan pasien-nya.

"Jangan khawatir, saya akan mengajari kamu sampai bisa. Saya tidak akan lepas tangan begitu saja. Lebih baik sekarang kamu ganti pokok Tuan, sepertinya sudah penuh." Suster itu mengibaskan tangan di depan hidungnya lalu pergi dari kamar itu.

Gadis itu menghela nafas dalam. Waktunya mengganti popok si Tuan bayi. Hania mengambil popok, tisu basah, kantong plastik dan bedak bayi dari nakas.

"Maaf Tuan, saya izin menggantikan popok Anda."

Setelah mengatakan itu Hania membuka selimut yang menutupi tubuh sang Tuan. Dengan ragu dia mulai melepaskan celana pendek kain yang pria itu pakai. Aroma khas feses yang kental dan sangat kurang sedap seketika menguar memenuhi udara. Aroma tajam feses menyergap hidungnya, membuat perutnya mual seketika. Bau itu jauh lebih menyengat dari yang pernah ia cium.

Dengan melawan bau dan rasa canggungnya Hania mengganti popok pasien dengan cekatan. Semua ia lakukan dengan penuh tanggung jawab, meski dia belum terbiasa dengan semua ini. Fesesnya tidak terlalu banyak, hanya seperti bayi baru lahir, tapi baunya melebihi kata bau.

Hania berusaha melakukan tugas meski canggung, mengusap area yang kotor dengan tisu basar dan memastikan benar-benar bersih sebelum memakaikan popok baru. Jujur saja Hania sangat canggung, apalagi melihat benda pusaka pria dewasa secara live seperti ini. Pengalaman pertama bagi Hania, meski pusaka itu tertidur tapi tetap saja menakutkan. Walau terlihat mengemaskan juga, lembek-lembek lucu. Hania menggelengkan kepala, mengusir pikiran kotor yang mulia hinggap di otaknya.

Popok yang kotor sudah ia ganti dengan yang baru. Tuannya juga sudah segar dan tidak bau lagi. Setelah memastikan semua aman Hania bangkit. Tenggorokannya kering, setelah bekerja keras berjibaku dengan kotoran. Ia pun memutuskan untuk pergi ke dapur, berharap bisa menemukan air minum.

Lorong-lorong mansion itu sunyi, hanya langkah kakinya yang terdengar pelan. Dapur sangat sepi, saat Hania mengambil minum. Ia pun memutuskan untuk membawa segelas ke kamar afar dia tidak bolak-balik. Namun, langkahnya terhenti saat melewati sebuah ruangan yang pintunya sedikit terbuka, ia tiba-tiba berhenti.

Saat mendengar suara percakapan.

“Bagaimana? Apa cocok?” tanya Ivana kepala pelayan dengan nada menekan.

“Iya. Rahimnya subur. Tingkat keberhasilan tinggi. Benih Tuan akan bisa tumbuh dengan baik,” jawab sang dokter dengan tenang.

“Bagus. Kalau begitu, cepat kita lakukan. Kita tidak punya banyak waktu.”

BRAKK!

Gelas yang dibawa Hania terjatuh, menghantam lantai marmer dengan suara keras. Tubuhnya menegang. Dadanya berdegup kencang.

Kepala pelayan menoleh cepat, begitu juga dokter.

“Kamu menguping?” desis Ivana, matanya tajam menatap Hania dengan mengancam.

“Kalian... kalian mau aku ..... kalian gila!” teriak Hania, tubuhnya gemetar.

Tanpa pikir panjang, ia lari. Melewati lorong, menuruni tangga, menuju pintu depan mansion. Tapi semuanya terkunci.

“Buka pintunya! Aku mau keluar! Aku nggak mau jadi bagian dari kegilaan ini!” Hania memukul pintu dengan keras. Berusaha membuka tapi gagal.

Ia menoleh, melihat kearah halaman, lalu nekat berlari ke arah pagar tinggi. Dengan susah payah, ia mencoba memanjat, meskipun tubuhnya lelah setelah seharian bekerja.

Tapi sial. Kakinya ditarik seseorang dari belakang.

“LEPASKAN!” teriaknya, mencakar dan menendang sebisanya.

Namun dua pengawal berbadan besar menyeretnya paksa kembali masuk. Bulan berteriak, menangis, menggeliat seperti binatang terluka.

“Tolong! Lepas! Lepaskan aku!!”

Mereka menyeretnya ke kamar, mengunci pintu dari luar. Di dalam, Hania terduduk, tubuh gemetar. Air mata jatuh satu-satu, membasahi pipi.

Lari

Hania masih duduk di lantai kamar yang dingin, tubuhnya masih gemetar hebat. Napasnya tersengal, keringat bercampur air mata membasahi wajahnya. Memar dan nyeri di tubuhnya tidak ia rasakan. Otak wanita itu penuh dengan kegilaan yang baru saja ia ketahui.

Ia menatap pintu kayu tebal yang terkunci dari luar. Pikirannya berpacu.

'Aku harus keluar. Aku harus pergi dari mansion gila ini...'

Perlahan, ia berdiri. Hampir terjatuh tapi dia berusaha menegakkan diri dengan sisa tenaga yang ada. Matanya menyapu ruangan, mencari jalan keluar.

Jendela.

Ya, Hania bisa mencobanya. Hanya itu harapan yang tersisa. Hania menoleh sekilas pada pintu kayu, memastikan tidak ada orang yang masuk. Ia berlari ke arah jendela besar di kamar itu. Ia mencoba membukanya, namun seperti dugaan—terkunci.

"Sial!" umpatnya tertahan. Tangan gadis itu mengepal, memukul kaca tebal dengan marah, tapi percuma. Kaca setebal itu tidak akan retak dengan tenaga kecilnya.

Mata Hania bergerak liar, mendentumkan otak agar berpikir cepat.

Gadis itu mengangguk pelan, saat menemukan satu ide di otaknya. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat bangku kecil tak jauh dari ia berdiri dan menghantamkan ke kaca sekuat tenaga. Suara kaca pecah memecah keheningan malam. Angin dingin dari luar menyapu masuk, membelai wajahnya yang basah.

Tanpa pikir panjang, ia naik ke atas jendela. Ujung sisa kaca yang menempel merobek baju yang ia kenakan. Tapi Hania tidak perduli, dia hanya ingin keluar. Lari sejauh mungkin dari tempat jahanam ini. Ujung-ujung tajam tak hanya merobek baju Hania, tapi juga mengoyak tangan dan lututnya berdarah karena bergoresan dengan kaca. Tapi Hania seolah tak merasakan apapun. Luka itu tidak sebanding dengan rasa terhina yang melukai harga dirinya.

Saat hendak meloncat, suara langkah kaki dan teriakan terdengar dari arah lorong. Pengawal sudah tahu.

“Cepat buka pintunya!”

Hania mempercepat gerak, ia menahan napas. Ia menggigit bibir hingga berdarah saat menarik tubuhnya keluar melalui jendela kecil itu. Sakitnya luar biasa, tapi ia memaksa. Dengan sekali lompatan besar Hania berhasil keluar.

Begitu kakinya menginjak tanah halaman belakang, gadis itu langsung berlari. Nafasnya memburu, tubuhnya limbung tapi jiwanya masih bertahan.

“Aku harus pergi, aku nggak mau jadi kelinci percobaan meraka!”

Namun, bagaimana pun Hania berlari dia masih ada dalam mansion. Dia belum sepenuhnya aman. Saat langkah t3lanj4ng gadis itu sibuk menyusuri rumput yang basah. Tiba-tiba satu pengawal muncul dari sisi kanan, mengejarnya. Hania menjerit, menghindar dan melompat ke kolam ikan koi yang ada di taman. Rok dan seragamnya basah, tubuhnya menggigil. Luka perih, terkena air kotor dari kolam.

Tapi Hania tidak menyerah. Pengawal berlari ke arahnya. Dan Hania dengan cepat bangkit, lalu terus berlari ke arah pagar belakang—satu-satunya jalan keluar. Pagar besi yang menjulang setinggi tiga meter, itu terlalu tinggi. Tidak ada tangga, tidak ada batu besar untuk pijakan, tapi Hania harus melewatinya. Ia menengadah, lalu menatap sekeliling.

Satu-satunya cara... adalah menggunakan tubuhnya sendiri.

"Bisa, aku pasti bisa."

Derap langkah semakin terdengar mendekat, kali ini terdengar lebih dari satu. Hania menguatkan hati, melompat setinggi yang ia bisa lalu mulai memanjat perlahan, menggunakan celah besi pagar sebagai pijakan. Tapi baru separuh jalan, lengannya tergelincir.

"Aaaagh!" Ia jatuh. Tubuhnya menghantam tanah begitu keras. Darah mengalir dari siku dan lututnya.

Pengawal-pengawal mulai mengepung, menertawakan pelarian Hania yang sia-sia.

"Mau kemana lagi kamu?"

"Sudah bener dikurung di kamar malah kabur," sahut pengawal lain tanpa berniat membantu Hania berdiri.

Mereka haya berdiri mengelilingi Hania dengan tawa mengejek

Hania menatap nyalang pada lima pria berbadan kekar yang menatapnya dengan remeh. Ia bangkit lagi. Lalu berlari lagi meskipun pincang. Para pengawal itu hanya tertawa, mereka sengaja membiarkan mangsanya berlari. Karena mereka tahu gadis itu tidak akan mampu pergi jauh. Mata Hania merah menyala oleh amarah dan harga diri. Meski kesakitan tapi dia berusaha bergerak, lari, sekuat yang dia bisa.

Satu pengawal berhasil menangkap pergelangan tangannya.

"Cukup bermainnya, sudah malam kami mau tidur!" gertaknya.

"Lepaskan!" Hania meronta.

"Diam lah, apa kau tidak lelah terus berteriak!" Satu pengawal lain menarik lengan kiri Hania.

Gadis itu menoleh, menggigit tangan laki-laki itu hingga berdarah.

"Sial, beraninya kau-"

"Sudah, jangan bayak bicara. Cepat bawa dia ke kamar!" titah seorang pengawal yang berjalan di belakang.

Dua orang yang memegangi Hania mempercepat langkah mereka, tubuh kecil Hania terseret. Ia menendang dan mencakar, tubuh kecilnya berubah jadi api. Namun tenaga Hania tak sebanding dengan mereka. Akhirnya, dua orang mengangkat tubuhnya paksa, menyeretnya kembali masuk ke dalam mansion megah itu.

“TIDAAK!! AKU MAU PULANG! AKU MAU PULAAANG!!!”

Tangisan dan jerit Hania menggema di sepanjang koridor yang ia lewati. Darah menetes dari luka-lukanya. Tapi tidak ada yang peduli. Yang mereka pedulikan hanya satu, wanita ini harus berada aman di dalam kamar dalam mansion.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!