"Ish, malesin banget sih!" protes Mutiara, ketika berjalan bersama kedua sahabatnya. Mereka memasuki area kantin kampus.
"Kenapa, Mut? Jutek begitu muka lo!" tanya Zeeva.
Langit siang hari itu sebenarnya nampak cerah, tapi hati Mutiara Aliana justru terasa mendung. Langkahnya tegap memasuki kantin kampus bersama kedua sahabat. Begitu mereka duduk di salah satu meja kosong, berbagai pasang mata langsung tertuju pada ketiga bidadari kampus itu.
Suara bisik-bisik sangat terdengar di sudut-sudut ruangan menyeru namanya, beberapa mahasiswa laki-laki bahkan tak segan menunjuk ke arah mereka bertiga.
Mutiara merasa muak dengan perhatian berlebihan itu. Sejak hari pertama masuk kuliah, dirinya pun sudah menjadi buah bibir seantero kampus hanya karena wajahnya yang terlalu cantik.
Namun, satu anugerah yang diimpikan dan diidam-idamkan banyak kaum hawa lainnya, justru bagi Mutiara bukanlah sebuah kebanggaan, melainkan gangguan dan petaka.
"Biasa, Zee... lihat tuh, tatapan buas buaya-buaya kampus. Bikin ancur mood gue aja siang-siang begini!" ungkap Mutiara.
"Naluri dasar buaya emang gitu, Mut! Langsung kelihatan to-lol dan nep-song kalau dah ngeliat betina. Liatin aja tuh, seolah-olah kita ini barang pajangan, nggak sih?" desis Allyna, sambil meletakkan nampan makanannya dengan kasar.
Sepasang mata Zeeva melirik sekitar. Ia mengamati sekumpulan cowok di pojokan yang tertawa kecil sambil melirik ke arah mereka.
"Gue rasa mereka bertaruh siapa yang bisa mendekati lo lebih dulu, Mut." Zeeva mendengus sinis, mengaduk minumannya dengan wajah penuh kekesalan.
"Dasar buaya kampus, pikirannya nggak jauh-jauh dari menggoda perempuan!" Lanjut Zeeva dengan geram.
"Gue nggak habis pikir sih, kenapa mereka bisa sekasar dan sebrutal itu ya menatap ke arah sini?" Allyna mengangkat bahunya, menatap Mutiara yang hanya duduk diam sambil menopang dagu.
"Mut, emangnya lo sama sekali nggak terganggu?" tanyanya.
"Hah? Terganggu? Lebih dari itu, gue malahan ngerasa muak!" jawab Mutiara dengan nada tajam, membuat kedua sahabatnya sedikit tersentak.
"Kenapa sih, laki-laki itu selalu merasa berhak menggoda perempuan? Apa mereka pikir gue senang diperhatikan seperti ini?" sepasang mata Mutiara berkilat marah, bibir manisnya mengerucut, tanda kesal.
"Mereka tuh nggak akan pernah sadar, kalau perbuatan mereka sangat menjijikkan." Zeeva mengangguk setuju, memainkan sendok di tangannya.
"Kalau menurut gue, cowok tipikal mereka inilah, yang didapat dengan gampangnya oleh banyak perempuan. Mereka itu lelaki murahan!" lanjut Mutiara, semakin naik pitam.
"Dan kalau mereka pikir gue bakal jatuh ke pelukan mereka, hanya karena rayuan, tatapan, atau gombalan... sorry to say, mereka salah besar!"
Obrolan mereka bertiga sengaja diperkeras, agar didengar banyak mahasiswa maupun mahasiswi lain yang sedang asyik makan siang di kantin.
Mendengar ucapan keras itu, Zeeva terkekeh sinis, menyesap minumannya sebelum berbicara, Gue setuju banget... Mut! Kadang gue pun heran, kenapa banyak perempuan di luar sana, malah bangga kalau bisa menarik perhatian cowok-cowok brengsek seperti itu?"
"Jawabannya gampang aja, Zee: Karena mereka semua nggak pake otak! Cuma takut dan khawatir kalo dikira jomblo seumur hidup. Gilak sih! Gue nggak abis pikir sama perempuan to-lol diluar sana, yang dengan gampangnya ngasih tubuh mereka sendiri, dengan alesan takut nggak dapet pasangan. Halah... kentut!" ungkap Allyna kesal.
Allyna juga menyikut bahu Mutiara dengan pelan, "Itulah bedanya kita dengan mereka, Mut. Kita bukan perempuan yang gampang jatuh hanya karena ucapan manis." mendengar itu, Mutiara mengangguk setuju, membetulkan letak rambutnya yang tergerai.
"Gue justru jijik, kalau ada cowok yang gampang mendekati banyak perempuan, dalam waktu bersamaan! Entah cowoknya sok kegantengan, atau para perempuannya yang kelewat tuol-lol." Mutiara mulai ngegas.
Para mahasiswi yang duduk disekitarnya, yang merasa tidak memiliki wajah secantik Mutiara, mulai tersindir dan merasa kesal. Namun, mereka diam dan tidak protes. Buat apa juga? Apa untungnya?
Alasannya simpel, karena Mutiara dan kedua sahabatnya, geng mereka sangat cantik. Ketiganya merupakan primadona dan bahkan dicap bidadari kampus. Kalau diganggu, pasti cowok-cowok mata keranjang atau buaya kampus akan segera bertindak sok cari perhatian dengan menolongnya.
Hal ini yang membuat para mahasiswi kesal. Karena akan semakin membuat Mutiara tambah berharga dan semakin mahal dimata para lelaki. Dunia memang tidak adil, bahkan dari tempat kecil yaitu kantin kampus.
"Laki-laki dan perempuan seperti itu, nggak punya nilai sama sekali di mata gue. Sampah!" kata Mutiara, tegas.
Tiba-tiba, suara siulan menggema dari meja sebelah, membuat mereka bertiga menoleh dengan ekspresi jengah. Sekelompok mahasiswa di sana terlihat tertawa sambil melirik ke arah mereka.
"Mutiara cantik, senyumnya dong! Biar kantin ini makin bercahaya!" ujar salah satu dari mereka, diikuti tawa kencang lainnya.
"Iya dong, sayang! Kasih senyum yang membuat hati kita meleleh...!" sambung mahasiswa lainnya.
Wajah Mutiara langsung merah padam karena tersulut emosi. Namun,
"Lo semua diem, ya! Sampah seperti kalian nggak pantes ngomong begitu! Dari tampang lo semua yang gob-lok itu, gue bisa tebak kalian mahasiswa semester tua, ya?"
Sekelompok mahasiswa yang merayu itu, nampak kesal oleh ucapan Mutiara barusan. Ketiganya ingin membalas, namun lagi-lagi, banyak tangan yang akan menolong ketiga primadona ini. Tanpa diminta pun, Mutiara dan kedua sahabatnya serasa memiliki banyak bodyguard di setiap sudut kampus.
"Kenapa diem, hah? Lo semua takut ama ucapan gue atau lagi mikirin surat DO? Skripsi kapan kelar? Kapan terakhir kali lo semua bimbingan?"
Ultimatum Mutiara, membuat suasana kantin yang awalnya santai dan tenang, kini menjadi tegang dan mulai mencekam.
Salah satu dari sekelompok mahasiswa yang dicemooh Mutiara, mulai bangkit dan berdiri karena tidak senang. Ia mendobrak meja makan dengan kedua tangannya. Memberikan tatapan amarah.
Namun, sayang sekali, mentalnya begitu ciut dan langsung duduk.
Saat ia mendobrak meja, sontak puluhan mahasiswa pun berdiri dengan sigap. Mereka memandang mahasiswa tengil ini dengan tatapan sinis. Semuanya siap menolong dan membantu jika terjadi sesuatu pada Mutiara.
Suasana hening kembali. Mutiara tidak memberikan respon lagi. Baginya, ultimate barusan semoga bisa menyadarkan banyak mahasiswa senior lain, yang juga tugas akhirnya masih terhambat dan terancam Drop Out.
"Gini aja abang-abang di sana. Pertama, tolong hargai diri kalian sendiri dulu ya, sebelum coba-coba mendekati Mutiara. Kalian ngaca dulu deh! Dari segi apapun, dari segala aspek, kalian beda level." ucap Zeeva dengan ketus.
"Kedua, tolong resapi dengan dalam ucapan dari Mutiara. Itu ultimatum buat kalian semua, sebelum memikirkan orang lain, pikirkan dulu tugas kalian. Ucapan Mutiara emang ketus, tapi dia lumayan baik kok." lanjut Zeeva.
Ucapan sahabat Mutiara yang satu itu, sempat membuat suasana kantin menjadi hening seketika. Seolah Zeeva sedang menghiptlnotis semuanya.
"Cuma sekali lagi, kalo lo semua mau dapetin paus langka di lautan, masa sih pancingan lo cuma bambu yang gampangan? Umpan lo cuma cacing yang bisa mungut dari tanah? Hah? Kenapa gak coba beli kapal dan alat pancing mahal? Terus lo coba buat mengarungi lautan luas?" ungkal Zeeva panjang lebar. Rasanya, ia sudah terlalu banyak omong.
Bersambung......
"Inget ya, Mutiara, bahkan gue sama Zeeva pun bukan tipe perempuan yang bisa kalian goda seenaknya. Kami tetep mau berprestasi di kampus ini. Bukan cuma dikenal sebagai mahasiswa tebar pesona sana-sini. Yaa, walaupun emang berat banget jadi mahasiswi pinter itu." kata Allyna.
"Paham, ya? Kalo kalian pikir gombalan murahan seperti itu bisa membuat Mutiara jatuh hati, mending jangan ngarep deh. Terus, jangan buang energi kalian buat hal nggak berguna itu. Sekaligus nggak tahu malu." Allyna melanjutkan ucapannya.
"Gue kasih bocoran nih, ya... Mutiara itu, benci banget sama lelaki yang mengira dirinya hebay, cuma karena bisa merayu perempuan. Padahal aslinya, yang mereka lakukan hanya mempermalukan diri sendiri." Allyna masih mengambil simpati dan perhatian seluruh pengunjung dengan nasehatnya.
"Sampe sekarang pun, gue juga masih nggak paham, apa sih yang ada di kepala kalian dengan ngasih gombalan begitu? Seolah-olah setiap perempuan pasti akan terpesona dengan rayuan maut dan gombalan kalian!"
Semua masih terdiam, mendengar ucapan Allyna.
"Semuanya di sini setuju, kan? Kalo semakin mudah cowok tergoda oleh perempuan, semakin murahan dia. Laki-laki sejati itu bukan yang mudah tergoda, tapi yang tahu bagaimana cara menghargai perempuan! Begitu bang!" Allyna menutup ucapannya dengan sambutan tepuk tangan meriah. Beberapa pegunjung kampus geleng-geleng kepala dibuatnya.
"Lo keren banget sih, Na!" puji Zeeva.
"Ah elah, ngomong gitu doang juga, semua orang bisa lah!" tepis Allyna.
Mutiara tersenyum tipis, akhirnya merasa sedikit lega setelah ungkapan sahabatnya di depan umum, seolah mewakili unek-uneknya.
"Sumpah, lo keren beneran.. keren pake banget, Na! Kalau aja semua cowok seperti itu, dunia pasti lebih damai," gumamnya, juga didengar hampir seluruh pengunjung kantin karena suasana sempat hening seketika.
Namun, kantin masih saja dipenuhi tatapan-tatapan menjengkelkan. Beberapa mahasiswa lain tampak tersenyum-senyum sendiri, jelas sedang merancang strategi baru untuk menarik perhatian mereka.
"Astaga, mereka nggak ada habisnya, ya!" Allyna mendecak kesal, melempar pandangan tajam ke sekelilingnya.
"Omongan keren lo barusan kayak nggak ada harganya sama sekali, Na. Hahahah." ejek Zeeva.
"Apa emang mereka nggak punya target lain? Kan masih banyak cewek cantik di kantin ini. Kenapa cuma kita sih jadi pusat perhatian?" protes Allyna.
"Tenang aja, Na. Ini cuma permulaan, baru jam makan siang. Belum lagi, entar pas di kelas dan koridor kampus. Haha." sambung Zeeva, masih senang meledek Allyna.
Mutiara mulai menegakkan punggungnya, menatap lurus ke depan dengan ekspresi penuh ketegasan.
"Gue tetep nggak peduli, sih. Mau itu diliatin seharian di kantin, koridor, kelas, pelataran fakultas, bahkan tempat parkir nih... bodo amat! Gue cuma fokus kalau yang ngeliatin itu adalah kak Varel dan kak Hazel yang ngomong." ungkap Mutiara mantap.
"Cie...cie, ngeri lah lo mah, Mut. Ngincer nya langsung top 1 dan top 2 kampus. Nggak adil." protes Zeeva.
"Iya, nih. Mana yang lo incer mahasiswa senior semua lagi. Mapres 1 dan mapres 2 nya kampus. Udah gitu semuanya ganteng-ganteng lagi. Duh!" Allyna tak kalah protes kepada Mutiara.
"Udeh...udeh! Tuh fokus ama sekeliling kalian aja, mereka masih betah ngeliatin kalian." tegur Mutiara.
"Mereka bukan ngeliatin kami... Tapi lo!" sanggah Zeeva.
"Tapi... kalau mereka pikir gue akan luluh dengan perhatian mereka, mereka salah besar." Allyna tersenyum puas, sementara Zeeva mengacungkan jempol.
"Makanya, kita harus tetap jadi diri kita sendiri, tanpa terganggu oleh ocehan cowok-cowok sampah itu." Mutiara mengatakannya dengan mantap dan tegas, matanya kembali memancarkan sinar percaya diri.
"Dan kita akan tetap seperti ini, tanpa harus tunduk pada standar murahan mereka." kata Mutiara, membuat kedua sahabatnya semakin mantap dengan visi mereka bertiga.
Sementara itu, dari kejauhan, tiga mahasiswa tampan dengan kemeja putih, berjalan menuju area kantin. Gemuruh dan sorakan tak tertahankan lagi. Hampir seluruh mahasiswi berteriak histeris saat kehadiran ketiga mahasiswa dengan kharisma gagah itu. Ada yang tak kuat dan merasa hampir pingsan karena ketampanan dari mereka bertiga.
Ketiganya adalah Varel, Hazel dan Zidan. Mereka merupakan mahasiswa berprestasi (mapres) tingkat kampus. Varel mapres 1, Hazel mapres 2, dan sisanya Zidane. Ketiganya berbeda fakultas, namun terikat oleh visi dan misi akademik yang sama.
"Mut...Mut! Itu cowok impian lo udah pada dateng! Semuanya kompak jalan secara bersamaan." Zeeva mencoba menyadarkan Mutiara yang juga terdiam beku mengamati ketiga mapres itu, ia menggoyang-goyangkan tubuh Mutiara agar sadar dari lamunannya.
Ketiga mahasiswa tampan itu mengamati sekitar, memutar pandangan hingga 360 derajat, lalu Varel mengambil napas panjang.
Varel yang diikuti oleh Hazel dan Zidan, menghampiri Mutiara dan kedua sahabatnya. Pemandangan ini memancing kekesalan dan amarah kaum hawa.
"Sorry, kami akan duduk di sini. Semua meja dan bangku full. Cuma meja kalian yang masih sisa tiga bangku." setelah ucapan itu, tanpa meminta izin, Varel dan kedua rekannya langsung duduk menghadap Mutiara, Allyna dan Zeeva.
Wajah mutiara merah padam, kali ini bukan marah. Melainkan malu dan tidak tahu berkata apa lagi.
Varel masih terlihat santai. Hazel membuka tas dan mengeluarkan laptop. Sementara Zidan, sibuk dengan sebuah kertas berisikan ratusan soal kalkulus tanpa jawaban.
Dalam kondisi hening itu, tiba-tiba Mutiara berdiri dan angkat bicaca,
"Kak Varel... Bb-boleh nggak, gu-ggue jadi pacar lo?!"
"Hah....?" respon kaget secara langsung diungkapkan Allyna dan Zeeva secara kompak.
Varel hanya menatap mutiara dengan tatapan dingin dan biasa.
Sebuah kalimat yang akan memicu berbagai respon kesal dari berbagai pengunjung yang hadir, baik itu kaum adam maupun hawa. Kedua kubu sudah menunjukkan amarahnya masing-masing.
"Kamu itu...." ucap Varel dengan sengaja terputus-putus. Semuanya terdiam menunggu mapres nomor satu itu melanjutkan ucapannya.
Salah satu resiko yang akan Mutiara terima, pastinya rasa malu tak tertolong lagi.
Bagaimana tidak? Ia mengungkapkan perasaannya di hadapan seluruh pengunjung kantin yang notabane nya adalah mahasiswa dan mahasiswi kampus tersebut.
Mutiara juga tak pikir panjang, mengingat dirinya yang masih semester dua, petantang-petenteng men-em-bak seniornya yang sudah semester delapan, tingkat empat.
"Kamu itu...." lanjut Varel, mengulang kembali kalimatnya yang terputus.
Hening. Semua menunggu kelanjutan kalimat Varel, apakah menerima atau menolak perasaan Mutiara.
"Kamu itu mahasiswi cantik, tapi to-lol, yah?" jawab Varel, menghancurkan seluruh ekspektasi para mahasiswa dan mahasiswi di kantin itu.
Sontak saja!
Ucapan Varel barusan bukanlah sebuah jawaban menerima atau menolak. Lebih kepada mengolok-olok dan menghina Mutiara.
Harapan Mutiara hancur seketika. Ia tak mengira, mapres nomor satu yang ia kagumi selama ini, tega mengucapkan hal kasar seperti barusan.
"Maaf, kak... bagaimana tadi?" tanya Mutiara. Ia sengaja, supaya Varel mengulang kalimatnya. Siapa tau salah dengar.
"Lo nggak budek, kan? Ia, lo itu sebenernya cantik banget, tapi sayang... TO...LOL!" ucap Varel, kali ini dengan nada tinggi dan tegas.
Bersambung......
Beberapa pengunjung mulai riuh.
Awal mulanya hening, kini pecah oleh desas-desus dimeja makan mereka masing-masing. Sebagian menggosipkan karakter Varel, mapres nomor satu yang dingin dan begitu kejam. Sebagian lain, menggosipkan kalau sikap itu adalah trik untuk mengelabui Mutiara. Supaya terhindar dari perasaan Mutiara dan menjaga image nya sebagai mahasiswa berprestasi nomor satu.
Namun, beberapa mahasiswa dan mahasiswi tingkat akhir (semester 7,8,9 dan keatasnya lagi) mulai paham dengan sikap Varel barusan.
Kedua wajah yang terlihat sangat marah adalah Zeeva dan Allyna.
"Maaf kak, dia udah ne-mbak kakak, lho. Apalagi, di depan banyak orang. Kalaupun ditolak, apa kakak nggak bisa jawab santai aja dengan kata TIDAK?" Zeeva angkat bicara, kali ini nadanya sopan di hadapan mapres itu.
"Loh, emang omongan gue barusan ada yang keliru? Tolong koreksi, bagian yang mana!" tanya Varel, merasa tidak bersalah.
"Bukan begitu maksud temanku, kak. Dia minta, supaya ucapan kakak jangan terlalu kasar. Kasihan teman saya jadi malu di depan semua orang."
"Nah, itulah maksud gue barusan!" jawab Varel santai.
Zeeva dan Allyna saling adu tatap. Keduanya mengangkat alis satu sama lain, disertai bahu mereka yang juga terangkat karena tidak mengerti ucapan sang mapres nomor satu.
"Gue bener kan, kalo bilang dia itu cantik? Cantik bener malah. Oke lah, gue nggak akan bohong urusan yang satu itu. No debat! Lagipula, bisa dikonfirmasi oleh tatapan liar beberapa mahasiswa di sini. Itu pertama."
Suasanya kembali tegang. Namun, terlihat agak reda oleh seorang yang berjalan membawa tiga minuman di meja Varel.
"Ini jus jeruknya, dek. Silakan." kata seorang wanita paruh baya yang mengantar minum untuk Varel.
"Baik, terima kasih, Mba." Varel, Hazel, dan Zidan kompak menjawab.
Setelah meminum beberapa teguk, Varel melanjutkan ucapannya,
"Kedua, gue serius soal ke-to-lol-annya dia! Begini, kalau mahasiswi secantik dirinya mengutarakan perasaan di tempat umum, dan juga belum kenal secara personal dengan orang yang dia te-mbak, menurut lo, wajar kan kalau akhirnya akan memalukan dirinya sendiri?" tanya Varel pada Zeeva dan Allyna.
Kedua sahabat Mutiara itu tidak berani mendebat Varel. Ucapannya jelas dan tertata. Zeeva dan Allyna masih belum menemukan celah untuk menyanggah ucapan Varel barusan. Alhasil, keduanya hanya mengangguk saja.
"Nah... kalian pun sebagai kedua sahabatnya menjetujui atas tindakan memalukan tersebut. Tahu kan, tindakan memalukan berasal dari apa? Yaaa... dari otak yang nggak mikir. Dan otak yang nggak mikir itu disebutnya TUO-LUOL!" lanjut Varel. Lagi-lagi dengan wajah dingin dan merasa tidak bersalah.
"Yaaa, tapi ada satu pengecualian sih. Tindakan si cantik ini, pasti langsung direspon setuju oleh orang-orang go-blok. Mereka tidak memikirkan situasi dan kondisi, asalkan punya pasangan cewek cantik, gas aja! Buat nanti dibawa dan dipamerin ke temen-temen tongkrongan mereka." Varel kembali menyesap jis jeruknya. Lalu diam menatap Mutiara, Zeeva, dan Allyna.
"Tapi sorry, gue bukan bagian dari orang-orang go-blok itu!"
Sontak, seisi kantin kembali riuh. Kali ini dengan desas-desus saling bertentangan. Bagi kaum hawa, ungkapan Varel sangat keren dan cool. Mereka memuji habis-habisan ucapan Varel tersebut. Padahal mah, inti sari dari memuji itu karena Varel telah mengolok-olok Mutiara, sang bidadari kampus secara habis-habisan.
Sementara bagi kaum Adam, mereka geram bukan main. Ingin rasanya sekelompok mahasiswa berdiri dan memberikan pelajaran pada Varel. Tapi, mereka sangat tahu latar belakang sang mapres tersebut.
Mending jangan, tahan bro!" salah satu mahasiswa yang sedang asyik makan, menahan rekannya juga terpancing emosi saat mendengar ucapan Varel sebelumnya.
"Lo tau, kan? Dia itu disegani bukan cuma karena mapres nomor satu di kampus ini. Tapi, karena dia pemegang sabuk hitam di tiga cabang bela diri yang berbeda. Jadi, kalo lo cari gara-gara, bakal malu-maluin diri lo sendiri."
Ucapan tersebut langsung menyebar luas. Suasana kantin yang seharusnya chaos dan rusuh, malah perlahan tertib dan tenang kembali.
Mutiara masih tertunduk dengan lemas. Hatinya perlahan hancur mendengar hinaan dari orang yang sangat ia segani dan ia kagumi.
"Tapi kan, nggak seharusnya dengan perkataan kasar dan menghina seperti barusan, kak. Apalagi, Mutiara itu cantik." Zeeva coba menyanggah sebisa mungkin, membela sahabatnya.
"Cantik itu bukan segalanya, Nona!" kali ini, Hazel angkat bicara dengan nada meremehkan, tatapannya melirik ke arah Zeeva.
Zidan ikut menimpali dengan senyum meremehkan, "Kecantikan bisa dibeli dengan otak yang pintar dan menghasilkan uang."
Zidan, meskipun jarang ngomong, tapi sekalinya angkat bicara, merupakan yang paling sinis di antara kedua mapres lainnya.
Ia pun enambahkan, "Sayang sekali, kalau hanya mengandalkan wajah cantik tanpa prestasi!"
Mutiara yang sejak tadi menahan amarah, akhirnya meletakkan sendoknya dengan kasar. Zeeva dan Allyna menatapnya dengan khawatir, tetapi mereka tahu sahabat mereka tidak akan tinggal diam.
"Jadi menurut kalian, gue ini nggak lebih dari sekadar tampang cantik, tanpa otak? IYA?" tanya Mutiara dengan tatapan tajam.
"Eits, lo sendiri yang ngaku. Bukan gue yang ngomong lho, ya!" sahut Zidan dengan mengangkat kedua tangan.
Hazel mengangkat bahu seolah tak peduli, "Kalau memang punya otak, buktikan saja, Nona!" ujarnya dengan nada menantang.
Zidan menanggapi Hazel dengan tertawa kecil, "Iya, tuh! jangan hanya modal senyum manis di kampus. Kami semua tahu, kalau geng kalianlah yang sok paling cantik, sipaling primadona kampus!"
"Tapi inget, kalo lo semua ngandelin cantik, tolok ukurnya cuma uang. Siapapun yang punya uang banyak, dapat ngebeli lo semua. Dan uang banyak itu datang dari otak cerdas dan kreatif." tambah Zidan.
Zeeva mengepalkan tangannya di bawah meja, sementara Allyna mulai mendidih dalam diam.
Mutiara menarik napas dalam dan menegakkan punggungnya. Ia mendapat sebuah kesimpulan.
"Baiklah, gue tau maksud lo semua. Kalo itu mau kalian, gue terima tantangannya!" katanya tegas.
"Waw, hebat! Kami belum membicarakan tugas apapun loh, nona!" ujar Hazel.
"Kalian mau menantang gue, kan?" kata Mutiara.
Zidan menaikkan alisnya dengan ekspresi mengejek, "Tantangan apa? Jangan bilang lo mau membuktikan bahwa lo lebih pintar dari kami, hah?" sindirnya.
"Emang IP semester satu punya lo, berapa?" selidik Varel, ia sejak awal mengamati, namun akhirnya penasaran juga.
"3.55, gimana? Keren, kan? Tinggi, kan? Gue bakal tembusin predikat cumlaude saat wisuda nanti!"
Varel, Hazel, dan Zidan saling terdiam. Ketiganya beradu tatap. Lalu, selang beberapa detik, ketiganya tertawa terpingkal-pingkal.
"Hahahaha! Nilai cuma segitu, mau lo sombongin depan kami?" Zidan membuka hinaan diantara kedua rekannya.
"Baiknya jangan kebanyakan dandan, Nona. Lo harus membuka mata lebar-lebar kalau urusan IPK. Nilai segitu mah, merem juga bisa gue pas semester satu. Hahah!" sambung Hazel.
Bersambung......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!