NovelToon NovelToon

Terkurung Janji, Terjebak Cinta Di Balik Senja

Kado Ulang Tahun Nayura

Nayura memasuki rumah setelah aktivitas sekolahnya usai. Kaki-kakinya yang lelah menginjak lantai dengan suara lembut. Ia hendak menuju kamarnya, ingin berganti pakaian karena tubuhnya terasa lengket. Namun, tiba-tiba ia melihat ayah dan ibunya yang tengah menunggu di ruang tamu dengan wajah serius.

"Selamat ulang tahun, anak Mama," ucap Elda dengan suara lembut, namun tak ada senyum di wajahnya. Hanya sorot mata yang menyimpan banyak hal.

Nayura merasa penasaran dan berjalan mendekati mereka. Saat hendak duduk di sebelah Rio, ia melihat wajah Elda yang tampak sedih. Padahal ini adalah hari ulang tahunnya.

"Maaf, Papa hanya bisa ngasih kamu ini," kata Rio, menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna navy.

Nayura membuka kotak itu. Matanya berbinar melihat kalung dengan liontin kecil yang indah.

"Terima kasih, Pa!" serunya, memeluk Rio.

"Sini, Mama pakaikan," pinta Elda, mengambil kalung itu dan memasangkannya ke leher Nayura.

"Cantik," ucap Elda sambil menatap putrinya.

Nayura menyentuh liontin di kalung itu sambil tersenyum. Ia sangat bahagia, merayakan ulang tahunnya yang ke-16 bersama kedua orang tuanya meskipun dengan sederhana.

Setelah ucapan dan doa disampaikan, mereka duduk di meja makan menikmati potongan kue ulang tahun.

"Pa, Ma…" panggil Nayura.

Mereka langsung menatap Nayura. Ia kembali tersenyum, "Terima kasih untuk kadonya. Aku sungguh bahagia."

Rio dan Elda saling berpandangan. Ada kebahagiaan, tapi juga kesedihan.

"Nay," kata Rio perlahan.

Elda menatap Rio, kemudian kembali melihat putrinya. Jemarinya saling meremas di bawah meja. Rio menarik napas panjang, menatap mata putrinya yang berbinar bahagia.

"Ada apa, Pa?" tanya Nayura.

Rio menggenggam tangan Nayura di atas meja. Nayura menatapnya dengan bingung.

"Papa..."

Ucapan Rio terhenti. Ia merasa sulit untuk bicara.

"Sampaikan saja, Pa," pinta Nayura.

Ia melihat Elda yang sama tegangnya. Perasaan Nayura mulai tidak enak.

"Nak, Papa dan Mama minta maaf."

Deg.

"Ada apa, Pa?" Nayura bertanya, suaranya bergetar.

Rio menahan air mata.

Hening.

"Papa akan menikahkanmu."

Mata Nayura membelalak. Ia menggeleng, menyangkal.

"Papa pasti bercanda, kan? Nggak lucu, Pa."

Tapi Elda hanya menggeleng pelan.

Elda mendekat, mengelus kepala Nayura. "Mama minta maaf. Tapi nggak ada pilihan lain, Nak."

Hati Nayura hancur. Air matanya mulai jatuh.

"Kenapa?" tanyanya lirih.

Rio memeluk Nayura. "Maafkan Papa."

Tangis Nayura pecah. Elda ikut menangis.

"Suatu saat kamu akan mengerti kenapa kami menikahkanmu," ujar Rio.

"Mama tahu ini nggak mudah, tapi Mama yakin kamu kuat," tambah Elda.

Nayura terisak. Hari ulang tahunnya berubah menjadi bencana. Ia merasa seperti dunia runtuh.

Ia bangkit dan berlari ke kamar. Elda ingin mengejar, tapi dicegah Rio.

"Berikan dia waktu," ucapnya pelan.

Di kamar, Nayura menumpahkan semua kesedihannya. Ia memukul dinding, lalu terduduk di lantai, meringkuk sambil menangis.

Setelah satu jam menangis, ia bangkit, duduk di kasur.

Kruyuk!

"Sial," gerutunya. Ia lapar. Ia mengambil wafer dari rak di kamarnya dan memakannya di kasur.

"Apa aku harus banget nikah, yak?" monolog Nayura.

"Cowoknya ganteng nggak, ya?" pikirnya sambil membayangkan idolanya, Jake dari Enhypen.

Tapi bayangan itu berubah jadi mimpi buruk saat ia membayangkan suaminya adalah kakek-kakek.

"NGGAK!" teriaknya.

Ia memutuskan harus tahu siapa calon suaminya. Ia keluar kamar dan mengetuk pintu kamar orang tuanya.

Tok! Tok! Tok!

Pintu dibuka oleh Elda.

"Ada apa, sayang?"

"Apa aku boleh tanya sesuatu?"

"Tentu," jawab Elda, membiarkan Nayura masuk.

Rio segera menutup laptopnya dan menghampiri mereka.

"Kamu mau tanya apa, Sayang?" tanya Elda.

Nayura ragu. Tapi akhirnya ia bicara.

"Apa aku boleh tahu tentang calon suamiku?"

Rio dan Elda saling pandang, terkejut.

"Ah, lupakan saja! Aku mau ke kamar," Nayura berdiri.

Belum sempurna ia berdiri tangannya di cekal oleh Elda, membuat Nayura menatap sang mama. Elda menarik pelan tangan anaknya, meminta Nayura untuk kembali duduk.

“Kamu bertanya demikian karena apa?”

Bukannya mendapatkan jawaban, Nayura malah diberikan pertanyaan.

Mata Nayura ketap-ketip dengan kepala sibuk memikirkan jawaban yang tepat. Elda dengan sabar menunggu jawaban Nayura meskipun, ia gemas sendiri melihat polah anaknya yang kelewat lucu! :D

Bibir mungil Nayura terbuka, ia menatap Elda dan Rio secara bergantian. “Wajar nggak sih, aku tahu. Biar bagaimanapun, ini berkaitan dengan masa depan ku.”

Elda tersenyum tipis mendengarkan ucapan putrinya, ada sedikit kelegaan dihatinya saat Nayura mengatakan ‘masa depan’.

“Kalau orangnya buluk trus udah tua, fix gue kabur. Ya, kali masa depan cerah harus mendung sih!.”

Batin Nayura, yang memang pengen banget memastikan calon suaminya itu seperti apa.

Masak, dirinya cantik jelita gini harus dapat yang kayak mbah surip. Itu namanya memperburuk keturunan. Dimana-mana orang sibuk memperbaiki keturunan. Lah, Nayura malah sebaliknya. Rugi, dong! :D

Tangan Elda terangkat untuk meraih tangan Nayura yang ada di atas pangkuan gadis itu. Memberikan usapan kecil pada punggung tangan anak semata wayangnya.

“Dia masih sekolah sama kayak kamu. Cuma dia udah kelas dua belas, yang artinya umurnya di atas umur kamu.” Jelas Elda.

“Tampan nggak ma?”

Ehh, Nayura membekap mulutnya yang keceplosan. Elda dan Rio tertawa kecil melihat putrinya.

“Kan, pengen tahu barangkali aja, nggak tampan.” Lirih Nayura dengan bibir mengerucut ke depan. Membuat Elda dan Rio menahan diri untuk tidak menyemburkan tawanya.

Elda tahu, jika putrinya pasti mengkhawatirkan calon suami yang mereka pilihkan. Tentunya, Elda tidak memilih sembarangan orang untuk menjadi pendamping hidup Nayura. Dan ia merasa wajar, jika Nayura bertanya mengenai hal demikian.

Sebab, mereka belum berkenalan bahkan akan langsung di nikahkan. Sebagai seorang ibu, Elda memahami segala kekhawatiran Nayura.

“Pasti tampan.” Jawab Rio membuat kepala yang tertunduk lesu itu kembali terangkat untuk menatap Rio.

“Tampanan mana sama Jake, idolaku pa?” tanyanya antusias.

Rio diam untuk beberapa saat, mencoba membandingkan wajah calon mantu dengan idol anaknya. Nayura menatap lekat wajah Rio yang tampak sedang berpikir.

“Tampanan calon suami kamu.” Jawab Rio, menoel hidung mancung Nayura.

Seketika, mata Nayura mengerjap cepat dengan wajah yang udah nggak bisa lagi untuk nahan nggak tersenyum. Ia memegangi kedua pipinya yang terasa panas. Otaknya mulai membayangkan wajah tampan Jake yang sayangnya kata Rio lebih tampanan calon suami. Jantung Nayura jadi berdebar, membayangkan betapa tampannya calon suaminya.

“Aaa…jadi penasaran!” jerit Nayura dengan suara merengek lucu.

Rio dan Elda menyeburkan tawanya, tak tahan melihat Nayura yang tingkahnya…bikin geleng-geleng kepala.

“Emang kalau nggak tampan kamu nggak mau?” tanya Elda setelah tawanya mereda, kepo dengan jawaban sang putri.

Cepat Nayura menggelengkan kepalanya, menolak secara terang-terangan. “Aku nggak mau ya, kalau nggak tampan.”

“Hahahaha…anak kamu lucu sekali sayang.” Elda terbahak mendengar jawaban polos sang putri.

“Anak kita berdua kali, yank!” ingat Rio.

Tentu anak mereka berdua, anak siapa lagi. Masak, anak kucing, kan kagak lucu! Nayura mendengus malas, melihat tingkah orang tuanya yang kembali kumat.

Kadang, ia iri melihat orang tuanya yang mesra. Gimana nggak iri, di umur Elda dan Rio yang sudah tak lagi muda mereka masih terlihat sweet. Kan, kasihan Nayura yang masih jomblo. Pengen seperti mereka tapi, belum ketemu speak laki-laki yang ia inginkan. Jadi, Nayura hanya bisa membatin dan nontonin dulu, aja.

“Kalau mau sweet-sweetan, monggo dilanjut. Aku mau balik kamar, aja!” pamit Nayura yang terdengar seperti sebuah sindiran di telinga Rio dan Elda.

“Ekhem!” Rio berdehem untuk menetralkan rasa geli yang menggelitik perutnya. Berusaha untuk serius dulu dan pending sweet-sweetan bareng Elda. :D

“Papa sama Mama pasti memilihkan yang terbaik buat kamu. Jadi, kamu jangan khawatir.” Pinta Rio.

“Mama seneng kamu nanya begini, sayang. Setidaknya, kamu sudah mulai mau menerima pernikahan ini.” timpal Elda, mengelus pucuk kepala Nayura dengan sayang.

Nayura menundukkan kepala, sebenarnya nggak mau nikah apalagi usianya masih muda begini. Tapi, melihat binaran harapan dari tatapan orang taunya membuat Nayura juga tak sampai hati untuk melukai mereka. Bagaimanapun, mereka orang yang amat Nayura sayangi. Plus, karena calon suaminya ganteng kata Rio membuat Nayura mau untuk menerima pernikahan ini. lumayanlah! :D

“Apapun yang membuat mama sama papa bahagia akan aku lakukan.” Kata Nayura saat ia mengangkat wajahnya. Menatap lekat wajah Rio dan Elda secara bergantian. Tiba-tiba mata Nayura mengembun, menatap sosok yang sangat berarti dalam hidupnya.

“Aku sayang kalian.”

Nayura memeluk Elda dan Rio secara bersamaan, merasa sedih dan terharu. Saat mereka berpelukan, Nayura melihat secarik kertas jatuh dari saku Rio. Kertas itu tergeletak di lantai, dan Nayura bisa melihat tulisan tangan yang tidak familiar.

"Apa itu?" Nayura bertanya, merasa penasaran.

Rio langsung mengambil kertas tersebut dan menyimpannya kembali di sakunya.

"Tidak apa-apa, sayang. Jangan khawatir tentang itu." ucap Rio.

Tetapi, Nayura sudah bisa menebak beberapa kata yang tertulis di kertas itu. 'Pertemuan rahasia'? Apa yang dimaksud dengan itu?"

***

BAB 2 : Sebongkah Rasa Penasaran

Motor sport berwarna hitam berhenti dengan angkuh di tepi jalan. Si pengendara tampak santai, duduk menyandar di atas jok motor, satu kaki menapak aspal. Kepulan asap keluar dari hidung dan bibirnya yang... ya, bisa dibilang cukup menggoda. Bibir seksi dipadukan dengan mata elang nan tajam—membuat siapa pun yang menatap, rasanya ingin tunduk tanpa perintah.

Wajah dan rahang tegas itu semakin mempertegas aura dingin dan misterius yang terpancar dari rautnya. Entah kenapa, aura ini bukan sekadar aura ketampanan—tapi sesuatu yang membuat orang memilih menjaga jarak.

Drtt... Drtt... Drtt...

Getaran ponsel di saku celananya memaksa tangannya bergerak, mengeluarkan benda pipih yang membuatnya berdecak saat membaca nama si penelpon.

Dengan malas, ia menggeser ikon hijau di layar dan menempelkan ponsel ke telinga. Tak ada sepatah kata keluar. Hanya diam. Membuat si penelpon di seberang nyaris naik darah.

“Kamu dengar nggak, sih?”

“Hmm.” Ia hanya berdehem, lalu menjauhkan ponsel dari telinga.

Asap rokok terakhir ia hembuskan sebelum batangnya dilempar ke aspal. Tak lama kemudian, suara mesin meraung saat ia memutar kunci motornya.

“Mau ke mana, bos?” tanya Fatur—teman dekat sekaligus tangan kanannya di geng motor mereka.

“Pulang.” Jawabnya pendek. Suara klakson satu kali menandai kepergiannya.

Wush!

Motor itu melesat, meninggalkan jejak suara dan angin yang membuat dedaunan beterbangan di belakangnya.

Fatur mengernyitkan dahi, saling lirik dengan Mamad dan Herman yang duduk tak jauh darinya di trotoar.

“Tumben bos pulang jam segini,” celetuk Mamad, bingung. Biasanya jam dua pagi aja baru nyengir mau balik. Itu pun kalau pulang.

“Kalau lambat pulang tuh… ya, kagak pulang. Bisa dua hari ilang,” timpal Herman sambil sibuk mengupas kacang goreng. Herman, bukan Hermes. Ya kali dia tas. Hahaha.

Fatur hanya mengangguk sambil nyeruput teh botol yang udah mulai anget.

Mereka bertiga akhirnya memilih melanjutkan malam dengan obrolan dan godain cewek lewat. Urusan bos? Udahlah, hidup mereka aja udah ruwet. Nggak usah nambah beban.

---

Motor sport hitam itu kini terparkir rapi di halaman sebuah rumah mewah bertingkat tiga. Di tengah taman depan, sebuah patung gajah duduk menyemburkan air dari belalainya—air mancur, bukan merek sarung.

Ia turun, menyimpan helm di atas tangki motor, lalu naik ke undakan kecil. Pintu utama sudah terbuka. Sepertinya, kehadirannya memang ditunggu-tunggu.

Tanpa salam, ia langsung masuk. Ya gitu deh, model Gavian—masuk rumah kayak ayam masuk kandang. Nggak ada "permisi", apalagi "assalamualaikum".

“Gavian.”

Langkahnya terhenti. Ia menoleh, melihat dua sosok yang duduk di ruang tengah—Ismail dan Ruri. Tanpa ekspresi, ia berjalan pelan dan duduk di sofa berhadapan dengan mereka.

Gavian bersandar santai, tangan melebar di punggung sofa, kaki selonjor. Ismail memperhatikan semua geraknya, membuat Gavian agak risih. Tapi ia tetap cool, slay, bahkan.

“Papa mau ngomong apa? Aku ngantuk nih,” katanya datar.

“Ck!” Ismail berdecak. Ngantuk? Biasanya subuh baru pulang, masa jam sembilan malam udah ngeluh ngantuk?

Ismail mencondongkan tubuh ke depan, mencoba merangkul perhatian anaknya yang kelihatan lebih tertarik pada pola ubin di lantai.

Gavian sendiri punya prinsip hidup: “Jangan ribet ngurus urusan orang, termasuk orang tua.”

Makanya, ia lebih sering santai kayak di pantai. Apa pun masalahnya, selagi nggak mengusik ketenangan, ya... jalanin aja.

Ismail sempat melirik Ruri, lalu kembali fokus pada Gavian.

“Minggu depan, kamu harus menikah.” Kata Ismail, memperhatikan Gavian.

**Hening**

Ismail dan Ruri saling pandang. Menanti reaksi Gavian.

Tapi Gavian hanya diam. Nggak ada ekspresi terkejut, nggak ada drama kabur dari rumah, atau banting gelas kayak di sinetron. Justru, ia mengangkat satu alis, lalu berkata:

“Itu doang?”

Deg.

Ismail refleks membelalakkan mata, tapi buru-buru mengendalikan mimik mukanya. Bahkan Ruri nyaris tersedak angin.

“Gavian, kamu ini... akan menikah, lho!” ujar Ruri, seolah menjelaskan kalau pernikahan itu bukan beli tahu bulat.

“Aku tahu, Ma. Masalahnya di mana?”

Santai banget, kayak lagi dikabarin disuruh beli mie instan.

Ruri menepuk jidat. Dalam hati, bingung—seneng anaknya nggak banyak protes, tapi kok... kelewat santai?

“Pernikahan itu sakral, Gavian,” ucap Ismail, mungkin masih berharap anaknya sadar bahwa ini bukan main-main.

Gavian mengangguk, ia tahu. Bahkan, sebenarnya ia udah dengar percakapan telepon Ismail beberapa hari lalu. Tapi bukannya protes, ia memilih pergi saat itu. Buat apa bikin ribut?

“Masih ada lagi, nggak? Aku beneran ngantuk nih.” keluh Gavian yang udah nggak betah duduk lama-lama.

“Itu aja.” Jawab Ismail, mulai pasrah.

Gavian bangkit, melangkah ke arah tangga. Namun sebelum naik, ia berhenti dan menoleh.

“Jangan heran gitu, dong. Anak ganteng kalian ini memang luar biasa!” celoteh Gavian

Ruri geleng-geleng, Ismail menghela napas. Mereka hanya bisa menatap anak yang penuh misteri itu.

“Astaga, anakmu, Mas!” Ruri mengurut dada.

“Aku harap dia nggak main-main, Ruri,” sahut Ismail, mengawasi tangga yang kini kosong.

---

Ceklek!

Gavian membuka pintu kamarnya, lalu merebahkan diri di kasur king size. Kedua tangan ia lipat di belakang kepala, mata menatap langit-langit polos.

Pikirannya mulai berkelana.

Calon istri... seperti apa, ya? Wajahnya gimana? Suaranya? Sikapnya?

Masih muda banget sebenarnya buat menikah—baru 18 tahun. Tapi rasa penasaran lebih besar dari logika.

“Nggak sabar pengen ketemu calon istri.” Gumamnya pelan.

Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil.

Pernikahan? Rasa penasaran? Nggak mikir ribetnya? Ya... enggak.

Gavian bukan tipikal orang yang berpikir terlalu dalam. Buat dia, hidup itu dijalani, bukan ditakuti.

Dan pernikahan... mungkin akan jadi salah satu hal paling menarik yang akan segera terjadi dalam hidupnya.

---

BAB 3 : Cowok Baru!?

Mentari pagi menyapa dengan sinar hangatnya, sehangat pelukan ayah di kala rindu. Sinar itu mengusik kesunyian, membuat manusia bergegas dengan segala aktivitasnya.

Tapi tidak dengan Nayura. Gadis berambut panjang dan seragam putih abu-abu itu baru saja turun dari mobil Rio yang melaju pergi.

“Hati-hati, Pa!” teriak Nayura sambil melambaikan tangan penuh kasih. Matanya masih mengikuti mobil yang menjauh itu sebelum melangkah mantap menuju gerbang sekolah.

Sesekali ia tersenyum manis menyapa teman-teman yang lewat, seperti biasa.

“Nayura.”

Suara itu memanggil dari belakang, membuat langkahnya terhenti. Ia menoleh perlahan, dahinya berkerut saat melihat sosok yang berjalan mendekat.

“Hai,” sapanya santai, berdiri tepat di depan Nayura.

Cowok itu—Raditya, atau biasa dipanggil Radit—tersenyum penuh percaya diri, sedikit menundukkan kepala karena ia memang lebih tinggi dari pada Nayura.

Nayura terdiam, menatap wajah tampan itu tanpa berkedip. Jantungnya berdegup kencang, tangan yang menggenggam tali tas tiba-tiba mengencang seolah menahan badai di dadanya.

“Kenalin, gue Radit,” katanya sambil menjulurkan tangan kekarnya.

Nayura menatap tangan itu sekilas, lalu dengan hati-hati menjabatnya. Detik itu, ada getaran aneh yang menyengat hingga ke ujung jari. Panas dingin.

“Nayura,” balasnya pelan, lalu buru-buru menarik tangan kembali.

“Udah tau,” sahut Radit dengan senyum penuh arti.

“Lah, pake senyum segala kan, gue jadi pengen meleyot, nih!” Nayura membatin

Lutut Nayura tiba-tiba lemas, seolah senyum Radit itu punya kekuatan magis yang bikin dia ingin meleyot—jatuh pingsan di tempat.

“Teng! Teng! Teng!”

Bel berbunyi keras, menandakan pelajaran akan segera dimulai. Murid-murid berlarian menuju kelas masing-masing.

“Gue ke kelas dulu, ya!” Nayura pamit sambil berlari kecil ke kelas yang tak jauh dari sana.

Radit menatap punggung Nayura yang tertutupi oleh rambut panjangnya yang dibiarkan terurai, tertiup angin yang membuatnya bergoyang indah. Hati Radit bergetar.

“Gue harus dapetin dia,” gumam Radit dengan tekad yang membara, lalu melangkah ke kelasnya yang berseberangan.

 

“Silakan kumpulkan tugasnya di depan,” titah Bu Neni, guru sejarah, dengan suara tegas namun lembut.

Semua murid bergegas mengambil buku tugas lalu menyerahkannya ke meja guru.

Nayura juga melakukan hal yang sama, tapi ia tak perlu berdiri seperti yang lain. Ia cukup menitipkan bukunya pada Tessa, sahabat sekaligus teman sebangkunya.

Setelah itu, Nayura menyandarkan punggung pada tembok kelas. Tangannya menopang dagu, pikirannya melayang kembali pada Radit, cowok baru yang membuat hatinya berdebar pagi ini.

“Kemana aja gue selama ini? Baru tahu kalau ada cowok setampan Radit di Nusa Dua,” pikir Nayura sambil tersenyum sendiri. Sekolahnya memang bernama Nusa Dua, bukan pulau, ya! :D

Wajah Radit seolah menghantuinya. Ia dibuat senyum-senyum sendiri dan rasanya itu…aaa…gemash banget!

Ngerti nggak sih, kita ketemu cowok tampan trus di sela-sela aktivitas kebayang wajahnya. Rasanya, pengen ketemu lagi, terus-terusan. Kayak momogi, pengen makan lagi dan lagi.

“Lo kenapa?” tanya Tessa yang baru kembali dari mengumpulkan tugas.

Dahinya tertekuk tipis melihat Nayura tengah menutupi wajah dengan kepala yang di geleng-gelengkan.

Ia mendudukkan diri di kursinya, menyerongkan duduk sehingga ia bisa lebih leluasa untuk melihat Nayura.

Karena nggak di respon akhirnya, tangan Tessa terangkat. Menarik kedua tangan yang menutupi wajah Nayura.

Nayura kaget saat tangan Tessa menariknya keluar dari lamunannya. “Ngapain sih!” protes Nayura, kesal karena diganggu.

“Harusnya gue yang tanya gitu,” balas Tessa dengan nada tajam.

Nayura hanya berkedip cepat, bingung dengan sikap Tessa.

“Emang gue ngapain, sih?” tanyanya balik.

Tessa memijat pelipisnya, kesal. “Serah, gue capek,” katanya sambil kembali duduk menghadap depan.Malas banget, mau adu bacot sama Nayura pagi-pagi begini.

Nayura makin bingung, sebenarnya apa sih yang mau ditanyain Tessa? Kan jelas-jelas dia duduk di kelas, artinya ya lagi mau belajar.

Seharusnya, Tessa gak perlu repot-repot nanya begitu—bukankah semua orang ke sekolah memang buat belajar? Lah, Tessa ini gimana sih, kok malah bikin Nayura tambah kesal aja!

Nayura makin kesal dan bersedekap. “Ck, freak lo!” ejeknya.

Tessa langsung menoleh, mata tajam menantang, “Lo tuh yang freak!”

“Bebas, deh!” balas Nayura santai, menyandarkan punggung ke tembok.

Ketegangan di antara mereka hampir memuncak saat Tessa mengangkat tangan ingin menjambak rambut Nayura. Tapi Nayura sigap menahan, “Nggak perlu jambak-jambak. Gue tahu rambut gue cantik.”

Tessa menarik tangannya, dada naik turun menahan amarah. Nayura tersenyum devil, makin membuat Tessa kesal.

“Argh!” erang Tessa, masih sadar ada guru.

Keributan itu menarik perhatian Stevi, sahabat mereka yang duduk di depan. Mata Stevi membelalak, memperingatkan, “Kalian ngapain, sih?”

Stevi sudah paham benar dua sahabat ini memang susah akur, tapi kalau dipisahkan malah kangen.

“Jangan gelud, lagi belajar, tau!” peringat Stevi dengan mata melotot.

Nayura dan Tessa saling lempar tatapan benci, lalu sama-sama membuang muka. Pelajaran pun kembali berlangsung.

 

Tiga jam berlalu tanpa terasa. Bu Neni mengakhiri pelajaran, “Kita cukupkan sampai di sini, sampai ketemu minggu depan.”

Setelah Bu Neni keluar, Stevi menatap Nayura dan Tessa, “Lo berdua ada masalah apa lagi, sih?”

Tessa menyela, “Gue cuma nanya dia kenapa, eh dia malah sewot.”

Nayura cepat membalas, “Gue nggak kenapa-kenapa, dia aja yang freak!”

Tessa melotot tajam, tapi Nayura santai saja, menyandarkan punggung ke tembok.

“Udah-udah,” potong Stevi, berusaha meredakan.

Tessa bangkit dan pergi meninggalkan kelas dengan kesal.

Stevi memandang Nayura yang masih tenang tanpa tanda penyesalan. “Nay, gu—”

“Assalamualaikum,” suara Pak Wawan menginterupsi.

Ucapan salam itu membuat kalimat Stevi jadi terpotong, cepat ia menolehkan kepala ke depan dan mendapati pak Wawan yang berjalan menuju meja guru. Stevi memutar duduknya menjadi menghadap ke depan. Menjeda sebentar permasalahan Tessa dengan Nayura.

 

Bel istirahat berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar, ada yang menuju kantin, ada yang sekadar duduk bercanda.bareng teman-teman. Tapi, ada juga yang memilih tetap di kelas karena bawa bekal dari rumah.

“Kuy, kantin!” ajak Nayura yang telah berdiri di sisi luar meja Stevi.

Stevi ikut bangkit, mengikuti langkah Nayura.

“Tessa kemana, ya?” gumam Stevi penuh tanda tanya.

Dari pergantian jam tadi hingga bel istirahat berbunyi Tessa belum kembali ke kelas. Dan tentunya, Stevi jadi khawatir jika terjadi sesuatu sama Tessa. Apalagi, tadi keluarnya karena nahan emosi ke Nayura.

Nayura mengangkat bahu santai, “Palingan molor di UKS, kayak biasa kalau lagi kesel.”

Ia sudah sangat hafal bagaimana Tessa, kalau ada masalah bukannya di pikirin di cari solusinya tapi malah di bawa ngebo sampai sore dan bangunnya udah lupa tuh, ama masalahnya.

Stevi mengangguk, lega.

"Rame bener, yak!” celetuk Stevi. Suasana kantin ramai dengan antrian panjang di berbagai stan makanan.

“Biasa lah, istirahat jam ke dua,” celetuk Nayura sambil melangkah ke stan ketoprak.

Tiba-tiba, sebuah suara familiar memanggil,

“Hai, ketemu lagi!” sapa seseorang, membuat Nayura dan Stevi menolehkan kepala ke belakang.

Deg!

_________________________________________________

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!