NovelToon NovelToon

ASMARALARAS

Bab 1

"Nedya nggelar carita

ginancar wayang wewangsone.

tumrap laku lelakuning urip

jroning karsa mbabar budaya.

terus sempulur mrih bisa misuwur.

kang piniji amrih lestari

dadya srana anguda rasa

angrekating jiwa ngembang ngrembaka

bisa kuncara salaminya"

Dari ujung malam yang jauh, mengalunlah gendhing talu—lirih merayap pelan di antara desir angin dan sisa hujan yang menggantung di pucuk daun-daun dan pori-pori tanah. Cakepan dilagukan para pesinden, dengan suara bening selembut kenangan,

mengurai sunyi, menenangkan luka-luka tak bernama, meluruh pelan di dada siapa pun yang mendengarnya.

Gamelan bertalu—bertabuh dan bersahutan dengan nyanyian jangkrik yang menjerit di balik semak,

dan bisik-bisik orong-orong dari rahim bumi yang baru saja membasuh dirinya. Gerimis belum sepenuhnya reda—masih menetes malu-malu dari langit kelabu. Riang musik dan resah alam bertaut dalam harmoni yang ganjil: indah, asing, namun memeluk jiwa seperti doa yang terbang ke langit.

Di jalan aspal yang berlubang dan masih menyimpan genangan air hujan, tiga Honda CB klasik melaju, meraung seperti harimau lapar. Knalpotnya menyalak, menebas sunyi malam yang dinginnya menusuk tulang.

Seolah hendak memburu suara gaib yang berseru dari kejauhan, mereka meluncur dalam gerimis dan sorot lampu yang tak sempurna.

Tiga pemuda—seolah bukan mengendarai motor, melainkan sedang dikendarai takdir, melaju menuju pusat suara, ke pangkal nyanyian dan irama gamelan yang menggoda dan membisikkan teka-teki: rindu yang menggigil, kutukan yang menunggu, atau cinta yang menyamar dalam nada-nada kuno dari masa yang belum selesai dibaca.

"Nedya ginelar

wayang tuhu ngajab rahayu

sinung puji sesanti basuki

awit karsaning Gusti golong gumomlong

ambabar rasa kang rasa mulya."

Semakin mereka melaju, suara itu pun semakin nyata terdengar—gamelan mengalun lirih, menggiring irama malam menuju panggung pertunjukan. Suara pesinden yang syahdu seperti membelai telinga, membuat rombongan anak gank motor CB tak sabar menancap gas lebih dalam. Deru knalpot memecah kesunyian desa, bersaing dengan gendhing yang bergema dari kejauhan.

Sesekali ban motor mereka menghantam lubang di jalan, menyemburkan air keruh dari genangan yang tertampung. Cipratan buthek itu melesat liar, membasahi baju dan wajah mereka.

"Woi, munyuk! Kira-kira po'o, rek!" hardik seorang pemuda tambun, wajahnya merah padam karena kesal, tepat saat hendak menyalip rekannya tapi malah disambut semburan lumpur.

"Wkwkwkwk… rasain kamu, kayak kerbau nyebur sawah!" sahut temannya sambil tertawa terpingkal-pingkal, seolah itu hiburan tambahan di perjalanan mereka malam itu.

Akhirnya, mereka tiba di lokasi pementasan. Tanpa banyak basa-basi, ketiga anak muda itu segera memarkirkan motor CB klasik mereka di tepi jalan, persis di samping gerobak martabak yang berdiri malu-malu di bawah rimbunnya pohon rambutan. Aroma minyak goreng dan adonan martabak manis menggoda hidung, tapi tujuan mereka bukan itu.

Langkah mereka cepat, penuh semangat. Dengan jaket yang masih basah dan celana belepotan lumpur, mereka berbaur dalam kerumunan penonton. Pandangan mereka langsung terarah pada panggung bersusun dua, tempat sakral di mana kisah-kisah pewayangan kembali dihidupkan malam itu.

Cahaya lampu blencong menyorot lembut bayang-bayang wayang kulit yang mulai bergerak. Pak Dalang, dengan suara berat dan penuh penghayatan, mengawali kisah dengan narasi janturan—gumaman menggema penuh makna, yang seketika membungkam riuh penonton. Suasana menjadi hening. Seolah waktu ikut berhenti sejenak, memberi ruang bagi cerita dari alam lain untuk hadir dan berbicara lewat suara, bayang-bayang wayang di pakeliran, dan gamelan yang ditabuh bertalu lirih.

“Swuh rep data pitana anenggih nagari pundi ta kang kaeka adi dasa purwa. Eka araning sawiji, adi linuwih, dasa sepuluh, purwa wiwitan. Sanadyan kathah titahing jawata ingkang kasangga ing pertiwi, kaungkulan ing akasa kaapit ing samodra. Kathah ingkang sami anggana raras, nanging datan kadi nagari Ngastina, ya nagara ing Gajahoya, ya ing Liman Benawi. Mila winastan nagara Ngastina duk ing uni kadhatonira Prabu Astimurti. Gajahoya kang yasa Prabu Gajahoya. Ngupaya satus datan antuk kalih sewu tan jangkep sedasa."

Terpampang di layar pakeliran, berjajar gagah kelima Pandawa—Yudhistira yang bijak, Bima sang raksasa perkasa, Arjuna si pemanah tampan, serta si kembar Nakula dan Sadewa yang elok rupa. Di sisi mereka, berdiri dua saudara sepupu: si jelitheng nan licin Prabu Kresna dan sang bule berwibawa Prabu Baladewa. Keduanya memancarkan aura berbeda—gelap dan terang, licik dan lugas—bagai langit senja yang ragu untuk malam.

Iringan gamelan mengalun cepat dalam pola imbal-imbalan, pukulan kendang dan gong bersahut-sahutan, menciptakan gelombang suara yang menghentak jantung penonton. Suasana riuh, penuh semangat dan kekhusyukan. Di sela-sela kerumunan, tampak para konten kreator berlomba-lomba mengangkat kamera, menekan tombol rekam, berharap mendapat momen yang bisa dijadikan cuan dalam dunia maya. Mereka saling dorong, berebut ruang, seolah panggung itu milik mereka.

Namun, di antara lautan manusia yang datang untuk menikmati suara pesinden, menyelami kisah pewayangan, atau sekadar mencari konten viral—ada tiga wajah asing yang menyelip di tengah keramaian. Bukan pencari hiburan. Bukan pula penikmat seni tradisi. Dan jelas bukan penonton biasa.

Tiga begundal bersenjata nekat, datang bukan karena panggilan budaya. Mereka tidak peduli siapa Prabu Kresna atau Pandawa. Bahkan suara sinden yang mengalun lirih pun tak mampu menembus telinga mereka.

Kedatangan mereka adalah bagian dari rencana. Rencana konyol. Rencana gila. Rencana yang mungkin tak akan pernah terpikirkan oleh manusia waras—karena bukan akal sehat yang mereka bawa malam itu.

“Gimana, Ji? Sudah bisa mulai aksinya?”

Untung membisikkan pertanyaan itu lirih, nyaris tak terdengar, tepat di balik kerumunan penonton yang tenggelam dalam bayang kulit wayang.

Wiji, yang duduk sedikit merunduk dengan jaket hitam menutupi sebagian wajahnya, menoleh pelan. Tanpa menatap langsung, ia menjawab dengan suara serendah desir angin malam, nyaris menyatu dengan bunyi saron dan kendang.

“Jangan dulu... tunggu sampai lakon sampai pada adegan perang. Saat suasana riuh dan perhatian penonton pecah, baru kita mulai.”

Ucapannya tepat di daun telinga Untung, dingin dan mantap, seperti seseorang yang sudah memikirkan semuanya jauh sebelum malam itu tiba.

Untung mengangguk kecil, lalu menggeser pandangannya ke arah Tejo yang berada tak jauh di sebelahnya. Ia pun menyambung bisikannya dengan cepat dan tajam.

“Tunggu kode.”

“Oke, bosss…”

Balas Tejo dengan anggukan singkat, senyum tipis mengembang di bibirnya—senyum yang tak jelas apakah itu bentuk keyakinan, ketegangan, atau sekadar kegilaan.

"Pranyata nagara Ngastina ngungkuraken paggunungan, ngeringaken bengawan nengenaken pasabinan miwah ngayunaken bandaran agung. Gemah kathah Para nahkodha kang samya lumaku dedagangan angelur-selur tan ana pedhote labet tan ana sangsayane marga. Aripah kathah para janma amanca nagari ingkang samya katrem abebale wisma salebeting kitha nagari Ngastina jejel apipit bebasan aben cukit tepung taritis, papan wiyar katingal rupak. Loh subur kang samya tinandur jinawi murah kang sarwa tinuku, karta para kawula ing padhusunan nungkul pangolahing tetanen, ingon-ingon kebo sapi pitik iwen datan ana cinancangan, rahina aglar ing pangonan, wanci bengi bali marang kandhange dhewe-dhewe."

Kalimat janturan yang di ucapkan oleh sang dalang itu terdengar seperti sebuah mantra yang menghipnotis para penontonnya.

"Raharja tebih parang muka karana para mantia bupati wicaksana limpating kawruh tan kendhat denya ambudi daya keluhurane Sri Narapati. Marmane Negara Ngastina jeneng anempuh bebasan Negara gedhe obore, padhang jagade dhuwur kukuse adoh kuncarane. Ora ngemungaken kanan-kering kewala sanadyan ing praja maha praja kathah ingkang samya tumungkul datan linawan krana bandayuda, among kayungyun marang pepoyaning kautaman. Bebasan kang celak samya manglung kang tebih samya mentiyung, asok bulu bekti glondhong pengareng-areng peni-peni raja peni guru bakal guru dadi.

"Rep sidhem premanem tan ana sabawane walang awisik, gegodhong datan ebah, samirana datan lumampah, ingkang kapiyarsa amung swarane abdi kriya gendhing myang kemasan kang samya nambut kardi. Pating carengkling imbal gantya. Lir mandaraga amimbuhi asri senening pasewakan.

"Gombal! Ngapusi kamu, Lang. Negara siapa yang seperti itu?. Ndak ada negara kok semakmur dan setertib itu. Apalagi negara kita. Mimpi keli ye!" Celetuk dari seorang penonton dari sudut yang gelap.

Malam terus berjalan suasana semakin sepi orang-orang semakin berkurang meninggalkan kerumunan. Tetapi tanpa disadari Wiji malah terperangkap dalam alur cerita yang dibawakan oleh sang dalang. Dalam lakon sesaji raja soya. Terlihat sang dalang yang masih semangat dan penuh energi menjalankan ceritanya. Meskipun penontonnya tak seberapa.

Di zaman kini orang nonton wayang tidak lagi peduli dengan edukasinya, tidak lagi peduli dengan makna yang terkandung dalam ceritanya. Yang mana sesungguhnya itu adalah inti dari pertunjukan wayang. Kini mereka hanya peduli dengan campursarinya, sinden-sindennya, atau bintang tamu dagelan-nya saja. Setelah adegan limbukan yang biasanya di selingi dengan penampilan sinden-sinden yang tampil menawan yang membawakan lagu-lagu campursari, bahkan dangdut koplo, atau dagelan-dagelan lucu. Satu persatu penonton bergeser dan meninggalkan pertunjukan begitu saja. Dalam hati Wiji berkata "Kenapa wayang sepi peminatnya? Mungkinkah cerita wayang sudah tidak lagi cocok dengan realitas kehidupan masyarakat zaman sekarang? Lagi-lagi tentang lingkungan istana, tentang raja-raja, dan tentang ksatria-ksatria yang berkorban hanya untuk segelintir orang. Tidak adakah kemungkinan untuk membuat lakon carangan baru? Ah bukan sih, bukan. Bukan itu." Sejenak Wiji menjeda pikiran liarnya. "Atau karena zaman telah berubah? Orang zaman sekarang kebanyakan tidak mungkin melek sampai pagi hanya untuk melototi wayang karena alasan pekerjaan. Toh sekarang kebanyakan orang bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik perindustrian, kariawan perusahaan, pedagang, pengusaha UMKM, atau influencer. Apalagi di tahun dua ribu dua puluh tiga ini gaya hidup masyarakat berubah drastis. Perkembangan teknologi yang semakin pesat. Di tambah wabah covid19 beberapa tahun yang lalu mengubah cara hidup masyarakat menjadi serba digital. Berbeda dengan zaman dahulu kebanyakan orang masih bekerja sebagai petani. Mau sampai matahari terbit hari berganti pun mereka akan belani melototi wayang. Sekarang orang bisa menontonnya melalui live streaming yang di salurkan oleh para konten kreator dari rumah dengan mudah." Wiji terus berdiskusi dengan pikirannya sendiri. "Zaman sekarang para penonton pertunjukan wayang perhatiannya hanya fokus pada sinden-sinden yang berparas cantik, berpenampilan menarik dan suaranya yang indah. Atau bintang tamu dagelan yang pandai melucu. Sebab peran mereka mungkin dirasa lebih dekat dan lebih dapat mewakili kehidupan masyarakat sehari-hari secara padat, singkat, dan jelas." Sambung kata hati Wiji. "Entah kini siapa yang di gendong dan siapa yang menggendong? Dahulu dalang menggendong sinden. Namun, sepertinya sekarang keadaan berubah. Zaman sekarang tanpa di temani sinden-sinden yang menarik, dalang bukanlah apa-apa. Ndak akan laku. Ndak ada yang nanggap. Buat apa di tanggap kalau ndak ada yang nonton. Bukankah orang nanggap tujuannya untuk di tonton?. Sementara itu dagelan dan sindhen mungkin manusia yang masih merdeka. Dengan bahasanya yang lebih merakyat mereka masih bisa tampil dimana saja. Dalam acara-acara apa saja. Asalkan ada uangnya mereka pasti siap. Sebab orang bilang sekarang zamannya zaman milenial zaman serba digital yang di dominasi oleh masyarakat pasar. Dimana kebudayaan tidak lagi dipandang dari segi nilai gunanya, tetapi yang penting nilai tukarnya." Wiji menghentikan lamunannya. Ia sadar bahwa ia bukan siapa-siapa. Ia bukan seniman apalagi budayawan.

Di antara kerumunan yang hanya tersisa beberapa puluh kepala yang di dominasi oleh para pengejar konten. Tiga sekawan itu duduk bersila di tengah jalan beralaskan tikar plastik. Wiji melihat sekeliling beberapa pemburu konten masih setia merekam jalannya cerita. Meskipun mereka tidak paham-paham amat dengan intisari ceritanya. Dalam pikiran mereka yang penting dapat konten. Dalam hati Wiji berkata lagi "Memang luar biasa pelaku seni zaman sekarang. Selain ia bisa menghidupi para pedagang kaki lima ia juga bisa memberi makan para pengejar konten. Melihat keuntungan yang bisa di dapatkan dari konten makanya tak jarang sekarang banyak pelaku seni juga ikut-ikutan bikin konten. Wajah mereka berseliweran setiap saat di media sosial. Di Youtube, di TikTok, di Facebook, dan lain sebagainya."

Sementara itu, Wiji melirik ke arah Untung dan Tejo yang malah sibuk mabar Mobile Legends di layar ponsel masing-masing. Jari-jari mereka menari cepat, seperti tak peduli pada gemuruh pertunjukan yang berlangsung di depan mata. Wiji menggeleng pelan, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke arah panggung.

Sekilas, tatapannya berhenti pada salah satu pesinden muda. Gadis itu terlihat sedang berusaha melawan rasa kantuk dengan menggulir layar ponselnya ke atas dan ke bawah—entah apa yang sedang ia cari. Mungkin sekadar pelarian dari dinginnya malam yang terus mencumbui kulitnya yang tipis.

Ia duduk timpuh dengan posisi yang setengah kaku, bahunya sedikit terangkat menahan dingin. Sinden itu berparas manja, anggun namun tampak masih lugu. Gerak-geriknya menyiratkan keluwesan, tapi ada juga aroma kegetiran di balik senyum yang sesekali muncul di wajahnya.

Malam itu, entah kenapa, tatapan Wiji terasa berbeda. Ia sudah sering melihat gadis sinden itu—di panggung yang sama, dalam acara yang serupa. Tapi malam ini terasa tak biasa.

Gadis itu pun menyadari ada tatapan yang mengarah padanya. Sekilas matanya bertemu dengan mata Wiji. Ia menjadi sedikit gugup, lalu tersipu, dan segera menundukkan kepala—berpura-pura fokus pada layar ponselnya, seolah tak terjadi apa-apa. Tapi pipinya tak bisa berbohong.

Wiji hanya diam. Tapi senyum tipis muncul di sudut bibirnya.

Ada yang berubah malam ini. Entah dari angin, dari suasana, atau dari cara mata mereka saling memandang. Yang jelas, detik itu ada sesuatu yang mulai bergerak... pelan-pelan, namun pasti

****

Sampailah kisah pada adegan yang paling dinanti: peperangan. Ontran-ontran pun pecah di negeri Amarta. Rombongan dari negeri Magada, dipimpin oleh Prabu Hamsa—sekutu setia sekaligus bawahan dari Prabu Jarasanda, penguasa tertinggi Magada—datang dengan niat busuk.

Dengan dada membusung dan sorot mata penuh kesombongan, Prabu Hamsa berdiri di hadapan Prabu Puntadewa, sang raja Amarta yang agung dan bijaksana. Di hadapan sang raja, Prabu Hamsa mengutarakan maksudnya: ia datang untuk merebut pusaka keramat Jamus Kalimasada.

“Aku tak ingin berperang, Prabu,” ucap Prabu Hamsa licik. “Serahkan saja pusaka itu padaku. Aku bersumpah akan menukarnya dengan apapun yang engkau inginkan—harta, tahta, wanita... semua akan kuberikan. Asal pusaka itu menjadi milikku.”

Namun belum sempat Prabu Puntadewa memberi jawaban, Prabu Hamsa sudah menebar ancaman.

“Jika engkau menolak,” ucapnya lantang, “maka negeri Amarta ini akan kuhancurkan! Tanahmu akan kubalik, istanamu akan kuleburkan, dan pasukanmu akan kulindas satu demi satu!”

Seketika suasana menjadi tegang. Dari balik istana, sang satria Jodipati, Raden Wrekudara, segera muncul. Dengan tubuh besar dan mata membara, ia tak bisa tinggal diam mendengar ancaman terhadap kakaknya. Tanpa banyak kata, ia langsung cancut taliwondo—siap maju ke medan laga.

Tabuhan kendhang meningkat. Gamelan mendesak cepat, suara gong menggema berat. Perang pun pecah. Wayang-wayang menari cepat di tangan dalang. Di pakeliran, terlihat Senopati Dwarawati, Raden Setyaki, bertarung habis-habisan melawan Prabu Hamsa. Namun Prabu Hamsa terlalu tangguh. Raden Setyaki terpaksa mundur, napasnya tersengal, wajahnya penuh luka. Dengan tergesa, ia menemui Prabu Baladewa. “Ngapunten Kaka Prabu kula kawon. Prabu Hamsa itu bukan tandingan saya."

"Panuksmaning jajal, sukertaning bawana. Iblis laknat!” Prabu Baladewa pun maju. Dengan senjata andalannya Alugara di tangan kanannya, sambil mulut yang tak henti-hentinya ngomel-ngomel, ia mengamuk di medan laga.

“Gatekna matamu! Sapa sing ngadep kowe saiki? Iki Sinuwun Mandura, Prabu Baladewa! Atase ratu kaya dapuranmu kok wani nyepelekke aku. Gelandang Kyai Nenggala, ora kelakon pecah ndasmu, aja diundang aku Prabu Baladewa. Modar kowe!”

Adu senjata terjadi. Wayang-wayang meloncat cepat, gerakan dalang menjadi liar dan sangat fokus. Gendhing perang berkumandang menghentak. Penonton terpukau. Semua perhatian tertuju pada pakeliran yang sedang membara.

"Sudah adegan perang. Ayo kita beraksi." bisik Untung kepada Wiji dan Tejo.

"Gass." Tejo langsung siap,

Sementara Wiji tetap diam tak bergerak barang sedikit pun dari posisi duduknya. Entah, ia tadi mendengar bisikan Untung atau tidak. Saat kedua rekannya bergerak ia masih duduk bersila di tengah kerumunan menatap ke arah wayang-wayang yang di mainkan oleh sang dalang, sembari sesekali mencuri-curi pandang kepada gadis sinden itu. Sementara itu Tejo dan Untung sudah menyelinap berjalan mengendap-endap di belakang pakeliran dan mereka berhenti tepat di depan pak dalang yang hanya di sekat oleh layar warna putih bertepi hitam. Dan sebatang gedebok pisang yang terbujur melintang.

"Eh Jo, mana Wiji?." Sambil menengok ke belakang Untung bertanya kepada Tejo.

"Waduh, ya ndak tahu aku." Jawab Tejo sambil garuk-garuk kepala.

"Ow munyuk, gimana to. Apa kamu tadi ndak lihat dia ngikutin kita apa tidak?."

"Maaf Tung aku ndak lihat."

"Ladalah, lha terus gimana ini?"

"Iya gak tahu. Kan aku ngikutin kamu, Tung."

"Munyuk."

Tejo dan Untung sedikit berdebat tetapi mereka langsung di kagetkan oleh bunyi nyaring keprak dari pak dalang. Kemudian Untung melirik ke arah pak dalang yang hanya kelihatan kakinya yang sedang sibuk menendang-nendang keprak. Tepat di depan hidungnya terlihat sesuatu yang mereka incar.

"Iya sudah, lupakan Wiji. Malam ini kita beraksi berdua saja, kamu awasi keadaan sekitar dan aku yang akan menjadi eksekutornya." Kata si Untung.

"Siap! Laksanakan." Kata Tejo dengan suara lirih.

Untung pun mengambil kawat blendrat dari dalam saku jaketnya, lalu ia membuat bulatan sebesar tiga jari di ujungnya. Perlahan-lahan ia arahkan kawat itu ke ayam Ingkung pelengkap sesajen yang di letakkan di bawah batang pohon pisang tepat di depan duduknya pak dalang. Lubang yang ia buat di ujung kawat berhasil mengait kepala ayam kemudian ia tarik dengan perlahan dan dengan penuh kehati-hatian. Tetapi pak dalang yang sedang sabetan wayang Prabu Baladewa di tangan kiri Prabu Hamsa di tangan kanan. Menyadari kalau ada pergerakan dari ayam Ingkung-nya. Kaki kanan sila tumpang pak dalang pun meninggalkan keprak-nya lalu ia gunakan kakinya untuk menjepit ayam Ingkung-nya itu. Tarik menarik pun terjadi antara kaki pak dalang dan kawat yang di kendalikan oleh Untung dari balik pakeliran. Kali ini pak dalang harus menjalankan dua adegan peperangan sekaligus, perang alam atas dan perang alam bawah. Kedua-duanya sama-sama sengit. Tetapi karena keprak harus segera di tendang sesaat sebelum Prabu Baladewa menghantam wajah Prabu Hamsa.

Akhirnya terpaksa pak dalang harus melepas jepitan kakinya dari Ingkung yang sudah melewati batang pisang yang melintang di hadapannya. Perang alam bawah pun akhirnya di menangkan oleh Untung. Setelah berhasil meraih ayam Ingkung lantas Untung dan Tejo langsung melarikan diri jauh ke arah belakang. Menyusup ke dalam gelap, dan kemudian menghilang entah kemana.

Tak terasa, waktu merangkak perlahan menuju pagi. Langit mulai memudar, dan denting gamelan di panggung wayang telah memasuki nadirnya—pertanda kisah hampir selesai. Bersamaan dengan itu, lamunan Wiji pun buyar. Ia tersentak dari dunia yang membawanya terhanyut—dan baru sadar, kedua temannya telah menghilang dari sisi.

Dengan langkah tergopoh, ia menuju ke belakang pakeliran. Matanya menyapu ke segala arah—ke sudut-sudut panggung, ke sela-sela keramaian yang mulai reda. Namun tak ada bayang Untung, tak juga Tejo. Wiji pun mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi mereka lewat telepon dan pesan WhatsApp. Tapi tak ada satu pun balasan.

“Mungkin mereka sudah pulang lebih dulu,” pikirnya, sambil menahan rasa janggal yang menggantung di dada. Ia pun berbalik arah, melangkah menuju tempat parkir di tepi jalan desa—tempat ketiga motor klasik mereka berjejer tadi. Dan benar saja: hanya satu motor yang masih setia menunggu. CB miliknya, berdiri sendiri, seperti saksi bisu yang ditinggalkan teman-temannya.

Di sekitarnya berserakan sampah—bekas plastik, kaleng air minum, dan bungkus makanan ringan—seperti jejak malam yang mulai lelah. Wiji hanya bisa menghela napas, panjang dan lirih, seolah mengembuskan lelah yang tak sempat ia ucapkan.

Hatinya berbisik "Kenapa orang-orang cuma ngotot melestarikan seni budaya warisan yang adiluhung dan edipeni? Sementara mereka lupa melestarikan lingkungan hidup yang mereka tinggali. Padahal yang menunjang keberlangsungan kebudayaan dan masyarakat tetap saja alam. Kalau alamnya rusak, apanya yang mau lestari?."

Ia memutar motornya dengan sedikit kesal. Di tambah kali ini, ia harus pulang sendirian. Tak ada tawa, tak ada adu bising knalpot. Hanya sepi yang menempel di punggungnya.

Gas CB klasik itu ditancapnya dalam-dalam. Suara knalpot meraung membelah udara pagi yang masih pekat menyimpan embun. Jalanan lengang, hanya lampu sorot motornya yang mengguratkan cahaya di antara remang-remang dan bayang pepohonan. Angin dingin menampar wajahnya, menusuk sampai ke tulang. Tapi ia tak peduli.

Dalam pikirannya, satu wajah terus berputar-putar. Wajah itu—wajah seorang gadis sinden. Suara lembutnya, caranya menunduk malu-malu, senyumnya yang seolah tertinggal di panggung semalam—semuanya masih menempel jelas di benaknya.

Ia tersenyum sendiri. Ada kehangatan yang tumbuh di dadanya, sehangat sisa bara api yang disulut oleh pertemuan singkat.

Ia terus melaju. Lubang-lubang jalan yang menganga di depannya tak dihindari. Ia terjang saja. Seolah tak ada hal lain yang penting selain terus membiarkan pikirannya terbang bersama bayang-bayang gadis sinden itu.

Bayangan itu kini menemaninya, di atas roda, di dalam hati, dan entah sampai kapan. Yang ia tahu, pagi ini, meski sunyi dan dingin, rasanya seperti sedang jatuh cinta diam-diam.

bab 2

Pemuda itu bernama Wiji Santoso. Usianya baru menginjak dua puluh tahun. Nama itu diberikan oleh bapaknya, Mispan, sebagai penanda zaman. Sebagai pengingat bahwa ia lahir di tengah gelapnya kehidupan, di masa-masa sulit yang menghimpit.

Dua dekade yang lalu, keluarga Mispan hidup di bawah garis kemiskinan. Di desa Wonosari—sebuah pelosok kecil di Jawa Timur yang jauh dari jangkauan ibu kota dan segala bentuk kemewahan—Mispan hanya seorang buruh tani. Upahnya tak seberapa. Sehari bekerja, hanya cukup untuk membeli tiga kilogram beras. Sementara di rumah, ia harus menghidupi istrinya, Siti Ruqayah, dan anak pertamanya, Nur Halimah, yang kala itu masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Dan di saat yang sama, Ruqayah tengah mengandung anak kedua mereka.

Untuk mencukupi kebutuhan hidup, Mispan tak kenal lelah. Ia banting tulang ke mana-mana. Siang di sawah, malam jadi penggembira. Ia nyambi jadi penabuh gamelan bila ada tanggapan wayang. Saat itu, ia bergabung dalam grup campursari Ngudi Laras, pimpinan Ki Sanusi, seorang dalang tersohor yang disegani. Bersama grup itu, Mispan menekuni dunia kesenian tradisional. Ia belajar mendalang langsung dari Ki Sanusi, yang mengajarkan padanya bukan hanya teknik, tapi juga filsafat pewayangan.

Namun, kisah indah itu tak berlangsung lama. Entah karena apa, ia berselisih dengan Ratmoyo, anak bungsu Ki Sanusi. Permasalahan mereka tak pernah jelas diketahui orang lain. Tapi semenjak itu, Mispan menarik diri dari dunia seni. Ia pergi meninggalkan panggung, dan menaruh luka dalam diam. Sejak itulah ia mulai membenci dunia kesenian, seolah-olah seni hanya meninggalkan pahit dan kecewa.

Hidup di bawah bayang-bayang kemiskinan, keluarga Mispan seringkali hanya bisa makan nasi dicampur parutan singkong atau ganyong yang ia tanam di ladang milik Perhutani. Dapur lebih sering mengepul karena kayu bakar ketimbang karena makanan yang berlimpah.

Dan pada suatu malam yang sunyi, di tengah deras hujan yang mengguyur bumi, Siti Ruqayah harus melahirkan anak keduanya. Di rumah sederhana itu, hanya ada cahaya lampu kuning lima watt dan seorang dukun beranak tua bernama Mbok Supini. Suara petir menyambar seperti gelegar takdir yang akan berubah arah. Mbok Supini, dengan susur terselip di bibir, melantunkan doa-doa dan mantra kuno yang ia warisi dari nenek moyangnya.

Tepat saat suara petir membelah langit, tangis bayi laki-laki itu pecah memecah malam. Lolongan anjing bersahutan dari kejauhan. Tokek bersuara keras dari tembok gedheg rumah. Seakan seluruh alam ikut menyambut kelahirannya. Tak lama, hujan pun reda, angin berhenti. Gemuruh langit perlahan memudar. Seolah semesta turut menyelimuti kebahagiaan kecil yang lahir dari kemelaratan.

Dengan mata berkaca-kaca, Mispan membopong bayi itu ke dada. Ia mengadzankannya, lalu berujar kepada Mbok Supini, suaranya lirih namun penuh tekad:

"Dia kuberi nama Wiji Santoso.

Wiji artinya benih, Santoso artinya kekuatan.

Nama ini adalah doa, Mbok... agar kelak dia tumbuh menjadi kekuatan baru dalam hidup kami.

Meski kami hidup dalam kekurangan, semoga dia membawa harapan.”

Malam itu, Mispan tak tahu apa yang akan terjadi dua puluh tahun kemudian. Tapi ia percaya, dari benih yang kecil akan tumbuh batang yang kuat. Dan dari penderitaan hari ini, mungkin akan tumbuh kekuatan untuk menolak menyerah.

"Nama yang bagus, Ngger. Semoga apa yang menjadi panjangkamu bisa tercapai..." ucap Mbok Supini, sambil memutar-mutar susur di bibirnya. Setelah beberapa putaran, ia meludahkannya ke dalam bokor, cairan merah menyembur dari mulutnya, bercampur dengan aroma sirih dan gambir, lalu mengambang pelan di permukaan air. Itulah penanda selesainya upacara kecil menyambut kelahiran sang bayi.

Waktu terus berjalan. Seiring usia bumi yang berputar, Wiji Santoso tumbuh sebagai balita yang tangguh. Ia dibesarkan di antara hembusan angin dari lereng Gunung Kelud dan gemuruh derasnya arus Kali Brantas. Alam menjadi pendamping pertamanya. Hujan, lumpur, dan suara kokok ayam menjadi lagu pengantar tidur masa kecilnya.

Dan benar saja—dua tahun setelah kelahiran Wiji, Mispan mulai merintis sebuah harapan. Ia mencoba peruntungan dengan beternak ayam petelur. Mula-mula hanya dua puluh ekor, kandangnya hanya berupa bilik bambu reot yang berdiri di tepi kebun. Tapi dari situlah mula usaha itu bertumbuh.

Kini, enam belas tahun kemudian, jumlah ayamnya mencapai ribuan ekor. Ia punya sepuluh kandang besar di atas tanah miliknya sendiri. Kandang-kandang itu berdiri berjajar seperti barak-barak militer. Di dalamnya, ayam-ayam itu bertelur saban hari, dan dari telur-telur itulah kekayaan mengalir.

Mispan yang dulu hanya buruh tani kini menjelma menjadi orang paling kaya di Desa Wonosari. Pundi-pundinya mengembang. Ia membeli sawah, menanam cabai dan padi. Ia membangun rumah megah dengan dua lantai, cat putih mengilat, dan pagar besi yang menjulang. Jalan masuk ke rumahnya diplester rapi. Dan yang paling membanggakan, ia telah menunaikan rukun Islam kelima: Naik Haji ke tanah suci.

Karena itulah kini namanya berubah. Di desa Wonosari, belum dianggap orang “kaya” kalau belum pulang dari tanah suci. Maka dari itu, orang-orang menyapanya dengan panggilan baru:

“Pak Kaji Mispan.”

Namun, tak semua ikut serta dalam euforia gelar tersebut. Seperti tetangganya, Mbah Wagimun, yang suatu sore berkata di warung kopi:

"Kenapa orang yang baru pulang naik haji dipanggil Pak Haji? Lah sementara, wong habis sholat kok gak dipanggil Pak Sholat. Yang sudah zakat kok gak disebut Pak Zakat?"

Ucapan itu membuat orang-orang yang mendengarnya terpingkal-pingkal. Tapi begitulah Mbah Wagimun, suaranya seperti sunyi yang tak pernah digubris. Ia tetap tinggal di rumah kecilnya dengan genteng bocor dan lampu teplok yang redup.

Sementara itu, Kaji Mispan hidup dalam kemapanan. Usaha ternak ayam petelurnya tak hanya mendatangkan uang, tapi juga pengaruh. Ia dijuluki "Bos Ayam Petelur" oleh warga. Bahkan ada yang menyebutnya “Tuan Tanah”, sebab ia memiliki ladang luas dan sawah di berbagai penjuru desa.

Kini, setiap harinya Kaji Mispan mempekerjakan dua puluh orang kuli. Sepuluh mengurusi ayam-ayam di kandang, sepuluh lainnya mengurus sawah dan ladang. Kini boss Mispan tak lagi memegang cangkul atau menabur pakan. Ia cukup memberi komando dari teras rumahnya yang luas, sambil duduk menyeruput kopi.

Hidupnya telah berbalik jauh dari dua puluh tahun lalu. Namun, satu hal yang tak berubah: cara pandangnya terhadap dunia. Ia menganggap bahwa kerja keras dan disiplin sebagai kunci utama. Dan prinsip itulah yang ingin ia wariskan kepada anak-anaknya. Terutama kepada Wiji, si anak kedua yang lahir di tengah hujan, di malam penuh petir, yang dulu ia namai dengan harapan besar: Wiji Santoso (Benih Kekuatan.)

********--

“Dari mana kamu? Jam segini baru pulang. Dasar bocah semprul!” semprot Mispan, yang baru saja selesai menunaikan salat subuh di langgar samping rumah.

“Habis nonton wayang,” jawab Wiji malas, tanpa menatap wajah bapaknya.

“Apa? Nonton wayang? Nonton wayang kok pulangnya pagi begini! Mau jadi apa kamu nanti?” Suara Mispan meninggi, amarahnya mulai memuncak.

Wiji hanya diam. Enggan membalas. Ia tahu betul, berdebat dengan Mispan hanya akan memperpanjang keributan. Bapaknya memang keras kepala, tak mudah diajak bicara dari hati ke hati.

“Kamu itu, kerjaannya cuma kelayapan tiap malam. Berangkat sore, pulang pagi. Siangnya tidur ngorok seperti babon kelelahan. Terus begitu saja! Lama-lama, sepeda motormu itu tak bakar sekalian!” Bentakan Mispan makin lantang menggema di halaman rumah.

“Heee... ada apa to ini? Kok pagi-pagi sudah ribut seperti pasar?” Ruqayah tiba-tiba muncul dari dalam langgar, membawa sajadah dan mukena. Suaranya bergetar antara heran dan cemas.

Mispan menoleh ke arah istrinya. “Lihat anakmu itu! Dikasih hidup enak malah seenaknya sendiri. Pulang pagi, tak tahu diri. Anak macam apa itu!”

“Sabar to, Pak. Istighfar... pelan-pelan. Jangan main bentak begitu,” ucap Ruqayah, mencoba menenangkan sambil mengelus pelan bahu suaminya.

“Anak seperti dia itu gak bisa dikasih sabar. Harus dikasih pelajaran! Kalau perlu, suruh pergi dari rumah sekalian!” Telunjuk Mispan mengarah tajam ke wajah Wiji.

“Wes, Pak, wes... sama anak sendiri jangan keras begitu. Dan kamu, Le... mbok ya jangan keluyuran terus tiap malam. Emak dan Bapakmu ini susah tidur tiap malam, kepikiran kamu terus...” ujar Ruqayah lirih, penuh iba.

Tanpa sepatah kata pun, Wiji berbalik badan dan melangkah masuk. Pintu kamarnya dibanting pelan, lalu ia rebah begitu saja di atas kasur, membenamkan wajah dalam bantal. Lelah, bukan hanya karena malam panjang di panggung wayang, tapi juga karena benturan batin yang tak pernah benar-benar reda di rumahnya.

“Oooooo... anak sontoloyo. Diomongi malah minggat. Tak tahu adab,” gerutu Mispan, amarahnya belum juga reda.

“Sudah, Pak. Sudah... daripada tambah tinggi tekanan darahmu. Sekarang siap-siap saja ke kandang. Nanti keburu siang,” bujuk Ruqayah.

“Iya, iya... Bapak siap-siap dulu. Bilangin anak lanangmu itu, siang nanti bantu mbakyu-nya nganter telur ke tokonya Kaji Umar di pasar legi. Jangan cuma tidur melulu!” ujar Mispan sambil masuk ke belakang rumah, tubuhnya sudah dibungkus capek dan geram.

Ruqayah hanya berdiri diam di teras, matanya menerawang jauh ke ujung jalan desa yang masih diselimuti kabut pagi. Hatinya nyeri, terjepit di antara dua lelaki keras kepala yang sama-sama ia cintai.

Entah sudah dengan cara apa lagi Ruqayah menasihati anak laki-lakinya itu. Dengan hati yang selalu berusaha lapang, ia tetap mencoba membenahi perilaku Wiji—meski terkadang, luka kecil tak bisa ia elak dari sudut hatinya. Kesabarannya diuji hampir setiap hari, tak hanya oleh anaknya yang bandel, tapi juga oleh sikap suaminya, Mispan, yang kadang meledak seperti orang kesetanan.

Wiji memang bukan anak yang mudah diarahkan. Sejak remaja, ia tumbuh liar seperti alang-alang di ladang. Ia sering pulang larut malam, keluyuran tanpa arah, mengikuti dentum musik dangdut koplo, alunan tayuban, lengking jaranan, dan derap wayangan. Bukan hanya soal pulang malam—sering pula namanya disebut dalam keributan. Tawuran. Adu jotos. Tak jarang Mispan harus dipanggil ke balai desa, duduk di hadapan pamong, menanggung malu dan membayar denda atas ulah anaknya yang kerap bikin gaduh di tengah hajatan orang.

Berulang kali Ruqayah mencoba meredam amarah suaminya dan menggapai hati anaknya, namun Wiji seakan tetap berlayar dalam arah yang tak pernah bisa ia paham. Dalam diamnya, ia menyimpan lelah yang tak bisa dibagi kepada siapa pun. Namun sebagai seorang ibu, Ruqayah tetap bertahan. Sebab kasih seorang ibu, tak pernah benar-benar habis, meski hatinya terus disayat hari demi hari.

Dan di usianya yang telah menginjak dua puluh tahun, arah hidup Wiji masih tampak buram. Ia berjalan seperti perahu tanpa kompas, hanyut oleh arus zaman yang tak tentu tujuan. Tak seperti kakaknya, Nur Halimah, yang sudah menuntaskan pendidikan tinggi dan kini menyandang gelar sarjana ekonomi, Wiji justru memilih jalur hidup yang jauh berbeda. Ia telah meninggalkan bangku sekolah sejak duduk di kelas dua SMA.

Kepada teman-temannya, Wiji sering berkata dengan nada getir namun yakin, "Ruang kelas itu seperti penjara. Sekolah tak mengajarkanku menjadi manusia yang bebas berpikir, tapi malah menuntutku menjadi robot, dikendalikan oleh remote bernama guru dan orangtua."

Keputusan itu membuat Mispan, bapaknya, murka bukan kepalang. "Mau jadi apa kamu kalau nggak sekolah?!" bentaknya waktu itu, dengan wajah merah padam menahan amarah. Tapi Wiji memang bukan anak yang bisa ditundukkan hanya dengan suara keras. Semakin dimarahi, justru semakin keras pula ia melawan.

Sementara Halimah melangkah mantap dengan map ijazah dan mimpi-mimpi besar dalam genggaman, Wiji justru lebih senang menghabiskan waktu di jalanan. Keluyuran tanpa arah, ngalor-ngidul bersama gerombolannya, menjadi rutinitas yang tak bisa ia lepaskan. Berangkat sore, pulang pagi — seperti burung malam yang tak pernah tahu kapan harus kembali ke sarang.

*******

"Yur!, sayur...." Teriak Jumadi pedagang sayur melewati depan rumah Mispan. Halimah yang mendengarnya langsung menghampirinya.

Semenjak Halimah merampungkan kuliahnya di fakultas ekonomi universitas negeri Halimah memang hanya bantu-bantu urusan pekerjaan bapaknya. Dahulu ia juga sempat ikut tes CPNS tetapi gagal untuk mendapatkan pekerjaan yang di inginkannya. Akhirnya iapun memutuskan untuk menikah saja dengan seorang laki-laki pilihan orangtuanya, terutama pilihan Mispan bapaknya. Mispan menjodohkan putrinya itu dengan Muhammad Arifin seorang pemuda dari keluarga priyayi anaknya Kaji Jahuri.

Kaji Jahuri adalah rekan bisnis Mispan. Dahulu saat Mispan masih melarat-melaratnya Kaji Jahuri-lah yang membantunya membuka bisnis ternak ayam petelur. Sama seperti Mispan, Kaji Jahuri juga seorang peternak ayam petelur dan juga juragan ladang tebu yang di kenal sangat tajir melintir di desanya.

Sementara itu Muhammad Arifin sendiri, meskipun kini masih tinggal dalam satu rumah bersama mertuanya Kaji Mispan. Tapi ia juga mulai merintis usaha sendiri sebagai boss sound horeg yang paling digemari masyarakat di Jawa Timur. Sedangkan kalau soal pendidikan Muhammad Arifin adalah lulusan pondok pesantren Bahrul hayat yang terletak tidak jauh dari kampungnya. Maka dari itu ia juga mendirikan yayasan rumah anak-anak yatim piatu di Wonosari.

"Sawi hijaunya ada Pak Jum?" Sambil berjalan pelan Halimah menghampiri Jumadi yang mangkal di pertigaan jalan dekat rumahnya. Terlihat tetangganya Yu Kastun dan Bu Hartini sudah disana.

"Oh ada Nduk!" Kata Jumadi sambil mengolak-alik dagangannya. "Kamu kerja dirumah saja ya, Nduk?" lanjut Jumadi.

"Oh, nggih Pak. Saya di rumah saja bantu-bantu usahanya bapak dan mas Arifin.

"Kok ndak sambil nyambi kerja yang lain. Eman-emam lo Nduk. Sekolah tinggi-tinggi kok ndak jadi apa-apa. Minimal jadi guru atau pegawai di kecamatan?" Yu Kastun menyela.

Halimah pun dibuat tidak nyaman dengan kata-kata Yu Kastun itu. Orang-orang desa Wonosari memang menganggap kalau lulusan kuliah minimal iya jadi PNS, atau kariawan perusahaan, syukur-syukur jadi pejabat. Tapi bagi Halimah sepertinya lain.

"Saya sekolah tidak untuk mencari kerja Yu. Melainkan untuk menjadi manusia yang berkemampuan mengembangkan potensi diri saya." Ucap Halimah. "Bagi Saya untuk apa sekolah bahkan sampai ke jenjang perguruan tinggi jika pada akhirnya hanya bermental budak. Mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Keluar masuk pintu kantor-kantor perusahaan sambil nyangking ijazah hanya untuk ngemis-ngemis pekerjaan. Begitu kena PHK keliling lagi kesana-kemari ngemis lagi. Tanpa pernah mau berpikir untuk berdikari (berdiri di atas kaki sendiri)." Lanjut Halimah sedikit emosi.

"Eeeee, begitu to!" Balas yu Kastun pendek.

Dan Halimah melanjutkan kata-katanya. "Saya lebih suka bergaul dengan telek ayam di kandang milik bapak saya serta membantu urusan pekerjaan suami saya. Saya tak pernah merasa malu meskipun setiap hari badan saya harus gimbal telek. Daripada harus duduk di kursi sebagai sekertaris misalnya. Tapi harus ngemis-ngemis dulu."

Yu Kastun pun menanggapinya agak serius. "Iya juga sih Nduk. Tapi beruntungnya kamu anaknya orang kaya. Yang kuliahnya bisa di tanggung sama orangtuamu, tanpa harus mengorbankan harta benda yang berharga. Sementara teman-temanmu yang lain demi bisa kuliah harus menjual sawah milik bapaknya, menghabiskan harta apapun yang ada." Kata Yu Kastun dengan batin yang agak jengkel. "Yang berhasil menjadi orang mapan terus hidupnya pindah ke kota karena alasannya lebih dekat dengan tempat kerjanya atau karena ikut pasangannya masing-masing. Sementara yang gagal hanya bisa meratapi nasibnya sambil gigit jari." Sambung yu Kastun.

"Sesungguhnya baik yang mapan maupun yang gagal sama saja, Yu. Sama-sama tidak mampu mengembalikan sawah bapaknya. Anaknya lulusan sarjana bapaknya tetap saja menderita, bahkan kian bertambah penderitaannya. Karena bapaknya sudah tidak bisa lagi menanam padi. Itu saya mengalami sendiri, Yu. Anak saya si Jatmiko dulu minta kuliah saya jual-kan lima petak sawah. Dan kini ia sudah lulus. Setelah lulus dia langsung menikah. Sekarang dia ikut mertuanya dan berkerja sebagai guru honorer di kota." Tambah Kang Jumadi si pedagang sayur.

Kemudian Yu Kastun menyambungnya "Ya bener, Kang. Yang rumahnya jauh paling-paling mereka akan datang menjenguk orangtuanya setahun sekali ketika hari lebaran saja. Datang membawakan beberapa oleh-oleh dari kota. Ibunya diberi sejumlah uang untuk belanja. Walaupun tak seberapa yang penting memberi. Terus bapaknya di belikan setelan busana, sarung baju batik dan peci. Tetapi ketika pamit pulang mereka bawa pisang satu tundun, singkong satu karung, kelapa satu janjang, di tambah sayur-sayuran di tumpuk di bagasi mobilnya, bahkan anak marmut pun tak luput mereka bawa. Belum lagi nanti ibunya masih nyangoni cucu-cucunya. Uang yang tadinya diberikan kepada ibunya buat belanja, pada akhirnya harus kembali lagi ke kantong anak-anaknya."

"Memang sungguh beda ya sama nasib keluarga Pak Kaji Mispan yang serba berkecukupan." Sahut Bu Hartini sambil milih-milih sayuran.

"Tetapi serba berkecukupan juga belum tentu hidupnya penuh senyuman." Pungkas Halimah. Lalu ia membayar sayur-sayurannya dan langsung pulang meninggalkan mulut-mulut yang telah merajam dirinya itu.

******

Matahari sudah merangkak naik ke sepertiga langit. Waktu di dinding menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh dua. Di balik ranjang yang masih awut-awutan, Wiji akhirnya bangkit—dengan wajah kusut, rambut awut-awutan, dan mata yang masih berat seperti habis digantungi satu ton kekecewaan hidup.

Ia masih mengenakan pakaian yang sama seperti semalam: celana jins robek di bagian lutut dan kaus hitam bergambar tengkorak dengan tulisan "Death Before Dishonor". Aroma malam sebelumnya masih melekat di tubuhnya. Seperti tak peduli dunia, ia berjalan malas menuju kamar mandi.

Wajahnya... yah, tidak bisa dibilang tampan-tampan amat. Kulitnya sawo matang khas anak kampung tropis, rambut ikal seperti tak pernah disentuh sisir, bibir tebal, dan mata lebar yang kadang terlihat seperti selalu curiga pada kehidupan. Satu-satunya yang bisa dibanggakan hanyalah hidungnya yang mancung, serta postur tubuhnya yang jangkung semampai—mirip artis-artis Bollywood yang digilai para emak-emak rempong.

Sampai di kamar mandi, ia membasuh wajahnya seadanya. Lalu, tanpa banyak pikir, ia mengeluarkan ilep-nya (senjata alami pria sejagat raya), lalu mengarahkannya ke kloset. Disemprotkanlah air kehidupan itu ke segala penjuru, seperti pemadam kebakaran yang kehabisan pelatihan. Selesai, tanpa dibilas, tanpa rasa bersalah, ilep itu langsung dikembalikan ke posisi semula.

Keluar dari kamar mandi, Wiji berjalan ke dapur. Ia melirik ke meja makan, dan—oh, rezeki anak salih!—telah tersedia nasi hangat, lengkap dengan sayur bobor bayam, tempe goreng, dan sambal terasi. Perutnya pun langsung bernyanyi riang.

Tanpa ba-bi-bu, ia ambil piring dan sendok. Lalu duduk. Dan makan. Dengan lahap.

“Eh, cah bagus sudah bangun.”

Suara lembut itu muncul dari balik punggung Wiji, tepat ketika ia meluncurkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Ia menoleh.

Iya. Itu ibunya, Ruqayah.

“Jangan lupa, nanti habis makan bantu mbakyumu nganterin telur ke tokonya Kaji Umar di Pasar Legi,” sambung Ruqayah, pelan tapi tegas, sambil membereskan sisa-sisa lauk di atas meja.

“Iya, Mak,” jawab Wiji sopan. Suaranya pelan, tapi cukup terdengar tulus.

Wiji sebenarnya anak yang cerdas. Otaknya encer. Tapi sayangnya, kecerdasannya lebih sering tenggelam di bawah bayang-bayang sosok bapaknya yang arogan dan keras kepala. Di rumah itu, suaranya kecil, bahkan cenderung padam. Ia lebih sering diam, pura-pura bodo amat, padahal hatinya sering menyimpan banyak hal.

Sebelum berangkat menunaikan tugas dari sang ibu, ia sempat mengganti pakaiannya. Celana jins cingkrang dan kaus kerah putih menjadi pilihannya kali ini—setelan khas anak muda desa yang masih ingin terlihat style meski hanya nganter telur.

“Jiiiiii... ayo cepetan! Keburu hujan tuh!”

Suara teriakan mbakyunya, Nur Halimah, menggema dari teras depan. Tapi Wiji tak langsung menjawab. Ia berjalan saja pelan, santai, seperti biasa.

Baru ketika pintu depan dibuka, tiba-tiba sosok wanita berhijab ungu menyembul di hadapannya. Spontan, ia terlonjak kaget.

“Woi, diancuk! Ngagetin aja, lho!” serunya refleks.

“Astagfirullah, mulutmu itu loh... ndak sopan!” tegur Nur Halimah, menatapnya dengan sorot sedikit marah. “Kamu tadi ganti baju apa ganti KTP, kok lama banget?”

“Haaaah... cerewet,” sahut Wiji, sebal. “Iya, sudah... ayo berangkat sekarang.”

Tanpa mau memperpanjang debat, ia segera menuju ke samping rumah, ke arah mobil pick-up L300 warna hitam yang biasa dipakai untuk usaha keluarga. Setelah memastikan mesin hidup, ia membuka pintu dan memanggil mbakyunya.

“Ayo, Mbak! Kok malah sampean yang loading sekarang?” serunya sambil menunggu.

“Iya, iya, iya…” sahut Halimah dengan nada setengah sinis. Tapi wajahnya tetap kalem, seperti biasa.

Mereka pun berangkat, menuju kandang ayam di tengah kebun untuk mengambil beberapa peti telur. Setelah itu, mereka akan mengantarkannya ke toko milik Kaji Umar di Pasar Legi.

Dalam urusan usaha keluarga, Wiji hanya ditugasi jadi sopir sekaligus tukang bongkar muat barang bersama para kuli. Bapaknya lebih mempercayakan urusan keuangan dan transaksi kepada Halimah—putri sulung yang jadi kebanggaannya.

Hal itu wajar. Halimah lulusan sarjana ekonomi. Cantik, cekatan, dan punya perhitungan yang rapi. Ia juga dikenal rajin dan disiplin. Dialah yang selama ini menjadi otak distribusi telur ayam hasil ternak bapaknya ke beberapa wilayah di sekitar kabupaten. Usahanya makin hari makin berkembang, berkat campur tangan Halimah yang telaten dan piawai menata jalur niaga.

*********

Langit mendung masih menggantung rendah, menggiring hawa dingin tanpa menurunkan hujan. Seperti menahan tangis yang belum sempat pecah. Di kandang ayam milik Mispan yang terletak di tengah kebun jeruk, suasana pagi itu memanas—bukan karena matahari, tapi karena suara bentakan sang pemilik yang sedang membakar amarah.

“Kalau kerja itu ya yang benar! Tau waktu! Kapan waktunya kasih pakan, kapan waktunya ngambil telur, kapan waktunya istirahat!”

Suara Mispan meledak-ledak, matanya melotot pada para kuli. “Jadi orang itu kudu disiplin. Kalau sudah begini, siapa yang rugi? Saya!”

Di depannya, beberapa kuli tertunduk. Ada yang hanya diam, ada pula yang mencoba memberi penjelasan.

“Maaf, Pak... tadi kami bangunnya agak kesiangan,” ucap Ngateno, kuli paling tua di antara mereka. Suaranya pelan, seperti menahan malu.

Mispan mengibaskan tangan. “Iya sudah. Sekarang ringkus tuh bangkai ayam yang mati! Bungkus, buang ke kali Brantas. Jangan sampai kejadian ini terulang lagi. Bisa bangkrut saya!”

Wajahnya masih memerah, napasnya berat, dan tanpa menunggu lebih lama ia melenggang pergi sambil men-starter motor bebeknya yang sudah tua tapi masih galak suara knalpotnya. Tangan kirinya menyentil gas, dan tubuhnya langsung melesat keluar kebun, membelah gerimis yang belum jadi.

Tak lama berselang, suara mobil pickup terdengar memasuki pekarangan. L300 hitam itu datang melaju pelan, membawa Wiji di balik kemudi, dengan Nur Halimah duduk di sebelahnya. Mispan yang belum jauh langsung memutar balik sebentar.

“Hob... parkir di situ saja,” katanya cepat. “Telurnya ada di gudang. Nanti biar dibantu Pak Ngateno dan anak-anak buat angkat ke bak.”

Tanpa banyak komentar, tanpa senyum, Mispan kembali tancap gas.

Wiji dan Halimah hanya bisa saling melirik, plonga-plongo, menatap bayangan motor bapaknya yang makin mengecil di ujung jalan.

“Ya udah,” gumam Wiji sambil menghembuskan napas. Ia segera turun dari mobil, menghampiri beberapa kuli untuk mulai menimbang peti-peti berisi telur yang telah disortir.

Satu per satu, peti diangkat ke bak mobil. Keringat mulai mengalir meski matahari tak menampakkan wajahnya.

Sementara itu Halimah sudah sibuk dengan nota-nota dan kalkulator kecil di tangannya. Jemarinya menari menghitung jumlah telur. Wiji, dengan kaus kerah putih dan celana jins cingkrangnya, sibuk memuat.

Selesai semuanya, Wiji mengajak Pak Ngateno naik ke bak belakang untuk berjaga selama perjalanan. L300 itu pun meluncur pelan menyusuri jalan kecil yang membelah hamparan sawah hijau. Jalannya tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk satu mobil lewat dengan hati-hati. Sisi kiri dan kanan dikepung padi yang masih muda.

Wiji menyetir santai. Tak terlalu cepat, tapi juga tak lamban. Di sebelahnya, Halimah masih asyik membolak-balik nota. Di belakang, Pak Ngateno duduk bersila sambil sesekali mengintip peti telur, memastikan semuanya aman.

Dan tepat saat mereka sampai di depan toko kelontong milik Kaji Umar, hujan turun deras—tanpa aba-aba, tanpa angin, tanpa gemuruh. Seolah-olah langit menunggu mereka sampai dulu sebelum menumpahkan segala isinya.

Beruntung, toko Kaji Umar memiliki kanopi lebar yang menjulur ke depan, cukup untuk melindungi mobil dan muatannya dari hujan. Telur-telur pun selamat dari kebasahan. Tidak ada yang pecah, tidak ada yang kebanjiran.

Wiji tersenyum miring, menatap langit yang tiba-tiba jadi penuh air.

“Mendung ini ngerti aja, aku tadi lupa bawa terpal,” gumamnya.

Dan hari itu, hujan seolah turun hanya untuk menguji kesiapan—dan keberuntungan.

“Eeaaa, hujannya turun!” seru Kaji Umar dengan wajah sumringah, menyambut kedatangan mobil pick-up yang baru saja berhenti di bawah kanopi tokonya. “Untung kamu sudah nyampe sini, Nak!”

“Nggih, alhamdulillah, Pak Kaji,” jawab Halimah sopan sambil tersenyum. Rambutnya yang sebagian tertutup kerudung tampak sedikit lembap terkena rintik hujan.

“Ngomong-ngomong, ini telurnya mau ditaruh di mana ya?” tanyanya kemudian.

“Oh iya, iya,” jawab Kaji Umar cepat, sambil menunjuk ke arah dalam toko. “Taruh saja di sudut sana, di sebelah tumpukan karung beras itu.”

Tanpa menunda, Halimah segera memberi aba-aba. “Ji, Pak Ngateno, bantu angkat petinya ya, ditaruh ke belakang sana.”

Dengan cekatan, Wiji dan Pak Ngateno turun dari bak mobil. Satu per satu peti berisi telur diangkat dan dipanggul masuk, melintasi lorong toko yang penuh dengan rak-rak berisi sabun, minyak goreng, mi instan, dan barang kelontong lainnya. Lantai yang lembap akibat hujan membuat mereka harus ekstra hati-hati. Telur-telur itu dipindahkan ke sudut ruangan yang sedikit gelap, dekat tumpukan karung beras dan kardus-kardus deterjen.

Sudah bertahun-tahun Kaji Umar menjadi pelanggan setia Mispan. Telur dari kandang di kebun jeruk itu selalu menjadi andalannya untuk mengisi stok di toko kelontongnya. Biasanya, sebulan sekali ia minta diantarkan sepuluh peti. Tapi jika mendekati musim ramai—seperti menjelang hari raya atau musim hajatan—jumlahnya bisa melonjak dua kali lipat.

Hubungan antara keluarga Kaji Umar dan Mispan bukan hanya sebatas mitra dagang. Mereka bersahabat, bahkan seperti saudara. Sesama bergelar Haji, keduanya saling menghormati. Kaji Umar, meskipun lebih muda, menganggap Mispan seperti kangmas-nya sendiri. Sebaliknya, Mispan merasa nyaman bertransaksi dengan seseorang yang satu frekuensi, baik dalam dagang maupun dalam sikap.

Toko kelontong milik Kaji Umar menempati salah satu ruko tua di deretan barat Pasar Legi. Ia menjalankannya bersama sang istri, Hajah Raminten, yang selalu tampil dengan daster batik dan suara yang lantang kalau menawar harga ke distributor. Sudah lebih dari dua puluh tahun mereka menggeluti usaha ini. Pelanggannya bukan hanya warga pasar, tapi juga para pemilik warung dan toko kecil di desa-desa sekitar Pasar Legi.

Pasar Legi sendiri dikenal luas di kalangan warga sebagai pusat niaga yang ramai. Anak-anak muda kekinian kadang menyebutnya Pasar Manis—mengikuti arti harfiah kata legi dalam bahasa Jawa. Tapi sebenarnya, nama itu bukan soal rasa, melainkan waktu. Dalam sistem penanggalan Jawa, ada lima hari pasaran: Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Dahulu, pasar ini hanya buka pada hari pasaran legi.

Namun, karena zaman sudah bergeser menjadi zamannya masyarakat pasar dan manusia-manusia pasaran, maka sebagaimana pasar-pasar tradisional lainnya, Pasar Legi—atau yang lebih akrab disebut Pasar Manis—kini tak lagi hanya buka saat pasaran legi, melainkan buka setiap hari.

Pasar Manis adalah satu-satunya pasar tradisional yang masih tersisa di Kecamatan Wonotirto. Dahulu, ada empat pasar tersebar di berbagai penjuru kecamatan. Namun, tiga di antaranya telah lama gulung tikar—mati perlahan karena sepi pembeli, kalah oleh zaman, dan ditinggal oleh generasi baru yang lebih suka belanja online sambil rebahan.

Pasar Legi sendiri berada di dekat desa Wonosari, tidak jauh dari pusat kecamatan. Pasar ini dulu menjadi denyut nadi kehidupan ekonomi warga. Setiap pagi selalu ramai: pedagang teriak-teriak menawarkan dagangan, ibu-ibu menawar sambil menggendong anak, aroma rempah dan sayur mayur menyatu dengan bau keringat dan tanah basah. Tapi itu dulu. Sebelum dunia berubah.

Pernah ada wacana untuk merehabilitasi Pasar Legi agar menjadi pasar modern layaknya pasar-pasar kota. Dilengkapi ruko-ruko yang mengkilap dan lapak-lapak steril nan mahal. Namun, gagasan itu langsung menuai penolakan dari para pedagang. Alasannya sederhana: biaya sewa yang terlalu tinggi, dan kekhawatiran mereka tak lagi bisa bertahan jika pasar berubah wajah. Sebab, pasar modern bagi mereka adalah panggung yang terlalu megah, yang lebih cocok untuk pedagang besar, bukan untuk mereka yang menjajakan sayur dengan selisih untung seribu-dua ribu rupiah.

Lalu datanglah pageblug.

Pandemi covid-19 mengubah segalanya.

Kehidupan masyarakat Wonosari tak lagi sama. Dari yang semula suka pergi ke pasar, menyusuri lorong-lorong becek, bercengkrama dengan pedagang langganan—kini berubah menjadi masyarakat digital. Mereka lebih memilih memesan kebutuhan lewat gawai. Belanja dari layar, bayar pakai e-wallet, lalu tinggal rebahan menunggu kurir datang mengetuk pagar.

Pasar online menjelma menjadi pasar utama. Sedangkan pasar tradisional seperti Pasar Legi... hanya menjadi kenangan yang perlahan terkikis.

Situasi itu kadang membuat para pedagang mengeluh. Termasuk Kaji Umar. Apalagi ia tergolong generasi gaptek—gagap teknologi. Urusan internet baginya sama rumitnya dengan baca kontrak asuransi. Ia bahkan masih menggunakan ponsel jadul yang hanya bisa nelpon dan SMS. Baginya, dunia digital itu seperti dunia alien. Ia sering gerutu sendiri, “Lha wong beli mie instan saja kok ya online. Di warung depan rumah itu lho, juga jual!”

Gaya hidup online membuat hidup Kaji Umar terasa makin sepi. Ia merasa ditinggal oleh zaman, dan lebih miris lagi—oleh tetangganya sendiri. Tapi ia tetap bertahan. Dengan tokonya, dengan dagangannya, dan dengan ingatan masa lalu yang manis—seperti nama pasar tempat ia mengais rejeki.

"Gimana, Pak Kaji? Pasar hari ini ramai?" tanya Halimah sambil menutup buku nota dan menatap wajah tua Kaji Umar yang sedang duduk di bangku kasir toko kelontongnya.

“Iyaaaa… Alhamdulillah, Nduk,” jawab Kaji Umar, suaranya pelan namun terdengar tenang. “Dibilang ramai, ya ndak ramai. Dibilang sepi, ya ndak juga. Tapi cukuplah... buat menghidupi pasar ini, buat makan seadanya."

Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan, “Memang seperti inilah hidup di pasar, Nduk. Pasar itu selalu menawarkan harapan-harapan yang manis... meskipun kadang kenyataannya pahit. Pasar Manis sekarang ya... sudah tak semanis namanya. Tapi ya di sinilah satu-satunya harapan kami, yang masih tersisa dari hiruk-pikuk zaman.”

Tangan tuanya sibuk menghitung uang pembayaran telur dengan ketelitian yang terlatih. Jemarinya sudah agak bergetar, namun masih cekatan menata lembaran-lembaran uang ke dalam laci.

Halimah hanya bisa mengangguk pelan. Ia paham benar betapa beratnya hidup di zaman serba digital bagi mereka yang sudah sepuh. Dunia yang kini berjalan terlalu cepat bagi para pedagang tradisional seperti Kaji Umar—yang masih percaya pada tatap muka, pada senyum pelanggan, dan pada janji lisan.

Setelah semua peti telur selesai dipindahkan dan pembayaran beres diterima, Halimah mengucapkan terima kasih sambil sedikit membungkuk, “Matur nuwun, Pak Kaji. Mugi-mugi lancar terus rejekine.”

“Aamiin, Nduk. Sampeyan juga. Salam buat Kaji Mispan,” balas Kaji Umar sambil tersenyum tipis.

Langit masih gerimis tipis saat mereka pamit pulang. Wiji kembali mengambil alih kemudi mobil pick-up. Jalanan lengang dan basah, diiringi rintik hujan yang belum sepenuhnya reda. Ia menyetir perlahan, melewati jalan yang sama seperti tadi—jalan desa yang penuh lubang, dipenuhi genangan air hujan.

Lubang-lubang itu sudah menganga sejak lebih dari setahun, menanti uluran tangan dari dewa kahyangan yang entah sibuk di mana. Barangkali tengah rapat koordinasi di awang-awang, membahas skema perbaikan jalan rakyat jelata yang selalu jadi janji manis saat musim kampanye saja.

Wiji hanya menghela napas, memelankan laju mobilnya, menerjang genangan. Sementara Halimah di sebelahnya diam, sibuk menatap keluar jendela, memikirkan masa depan pasar yang kini tak lagi manis.

Ketika mereka mulai memasuki wilayah desa, mobil melintasi gang sempit yang hanya cukup dilewati satu kendaraan. Tiba-tiba, dari arah berlawanan muncul sebuah motor matic, dikendarai oleh seorang siswi berseragam SMA. Tubuhnya basah kuyup diguyur hujan, rambutnya menempel di wajah, dan tangan kecilnya sedikit gemetar menggenggam setang motor.

Ia menghentikan motornya tepat di tengah jalan, seolah berharap diberi jalan. Wiji yang berada di balik kemudi menatapnya lekat-lekat. Dan benar saja — itu gadis sinden yang semalam ia lihat di panggung, bersuara merdu di antara gemuruh gamelan dan gending.

Tanpa banyak bicara, Wiji sedikit menepikan mobilnya ke kiri, membuat ban sebelah kiri naik ke atas cor pembatas jalan setinggi sepuluh sentimeter. Mobil itu sedikit miring, namun cukup memberi ruang bagi motor untuk lewat.

Dengan perlahan dan hati-hati, gadis remaja itu melintasi sisa jalan, menoleh ke kanan dan kiri dengan penuh waspada. Dari bak belakang, Pak Ngateno memberikan aba-aba tangan, memandu agar ia bisa lewat dengan aman. Sementara itu, Wiji hanya diam memperhatikannya dari dalam mobil. Wajah gadis itu tampak pucat dan dingin, tapi senyum tipis masih menggantung di bibirnya, seolah menyembunyikan rasa tak nyaman di balik basah dan dingin yang menggigit.

Begitu gadis itu berhasil melewati mobil, Wiji masih mengikutinya dengan pandangan dari kaca spion sebelah kanan. Ia melihat gadis itu membelok, menyempal ke arah gang kecil menuju rumahnya — lalu menghilang.

“Hei, kok malah bengong? Ayo jalan!” semprot Halimah dari jok penumpang.

Wiji tersentak, lalu buru-buru menginjak pedal gas. Mobil pun kembali bergerak, meski pikirannya masih tertinggal di tikungan tadi — bersama tatapan mata dan senyum nyaris beku gadis sinden itu.

bab 3

Gadis sinden itu bernama Asmarawati. Orang-orang di kampung memanggilnya Asmara — nama yang manis, seindah suaranya ketika melagukan tembang-tembang Jawa di panggung wayang. Sejak kecil, jalan hidupnya seolah sudah digariskan untuk menjadi seorang pesindhen. Ibunya adalah sinden senior yang masih aktif manggung dari desa ke desa, sementara ayahnya seorang dalang wayang kulit — memang tak setenar para dalang besar, tapi cukup disegani di lingkaran seniman lokal.

Kini usianya baru tujuh belas tahun, dan ia masih duduk di kelas tiga di SMA Negeri dua. Di antara tumpukan buku pelajaran dan jadwal ujian, ia juga memanggul warisan budaya yang tak ringan.

Terlahir dari keluarga pelaku seni tradisional Jawa, Asmarawati sudah akrab dengan dunia wayang, gamelan, dan tata kehidupan yang mengakar kuat pada adat serta kebudayaan Jawa. Sejak belia ia hidup dalam suasana yang nyaris serupa lingkungan keraton: penuh aturan, tata krama, dan kesantunan yang tak boleh luntur. Sejak usianya masih belum genap sepuluh tahun, ia sudah diajari bagaimana mengikat kemben dengan rapi, menata sanggul sebesar roda Artco di kepala, merias wajah dengan cermin kecil berbingkai kuningan, hingga menyuarakan tembang-tembang Jawa yang rumit nadanya dan dalam maknanya.

Semua itu bukan hal mudah. Tapi bagi Asmarawati, begitulah kehidupan seorang pesindhen — bukan hanya menyanyi, tetapi juga mewakili laku hidup yang halus, lembut, dan teratur. Gendhing-gendhing kesusastraan, pitutur luhur, dan adab perilaku Jawa telah menjadi santapan hariannya. Bahkan caranya melangkah, menunduk, dan berbicara — semua mencerminkan laku yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Asmarawati tumbuh seperti bunga puspa di tengah kerasnya zaman. Ia berbeda dari teman-teman sebayanya, yang lebih akrab dengan TikTok dan musik pop Korea. Di saat mereka sibuk dengan dunia modern, Asmarawati justru sibuk menghafal cakepan wangsalan, menyelaraskan suaranya dengan bunyi kenong dan gender, dan menjaga agar tiap gerak tubuhnya tetap menari dalam adab Jawa yang nyaris punah.

Asmarawati mulai belajar tarik suara dan menari sejak usianya baru lima tahun — ketika anak-anak seusianya masih sibuk bermain boneka dan menggambar pelangi di atas kertas. Ia sudah bersentuhan dengan dunia tembang dan cengkok, dunia suara yang penuh liku dan tata nada yang sulit dipahami bagi telinga awam.

Sejak kecil, ia telah diajari melagukan tembang-tembang Jawa klasik yang bahasanya penuh kias dan makna dalam.Tak hanya itu, ia juga belajar langgam campursari, dengan cengkok-cengkok yang tajam, meliuk, bahkan terasa “mencekik” bagi mereka yang belum terbiasa. Dan semua itu ia pelajari langsung dari ibunya — Sundari, seorang pesindhen kawakan yang namanya dikenal dari panggung ke panggung, meski tetap rendah hati dan bersahaja.

Bagi Sundari, mengajari Asmarawati bukan sekadar mewariskan keterampilan, melainkan menanamkan nilai hidup. Dengan sabar dan telaten, ia melatih putri semata wayangnya itu. Setiap gerakan tangan, setiap tarikan napas dalam menyanyi, setiap lenggok kepala saat membungkuk di panggung — semua diajarkan dengan kelembutan dan cinta seorang ibu yang tak ingin warisan budaya itu musnah di tengah zaman yang kian terburu-buru.

Sebagai anak satu-satunya, harapan besar digantungkan pada pundak Asmarawati. Ia adalah bunga terakhir di taman kecil milik Sundari dan suaminya, Ratmoyo — seorang dalang sederhana yang setia pada jalan hidupnya. Mereka berdua menaruh impian yang sama: kelak, Asmarawati bisa tumbuh menjadi pesindhen yang tak hanya bersuara merdu, tapi juga mengerti makna dari setiap tembang yang ia nyanyikan.

Bagi mereka, Asmarawati bukan hanya penerus darah dan nama keluarga. Ia adalah harapan agar wayang tetap bisa bersuara, agar gamelan tetap berdentang, agar suara Jawa tetap hidup di tengah hiruk pikuk zaman yang kerap lupa pada akar dan tanah kelahiran.

"Iki tulising kidungku

kanggo sira hapsarining kalbu

eseme kang manis madu

dasar ayu parasmu kang tanpa layu"

Asmarawati bersenandung pelan, lagu lirih yang mengalun dari bibirnya seolah menenangkan hawa siang yang mulai gerah. Sambil sesekali mengelap peluh di keningnya, ia membantu sang bapak merapikan alat-alat gamelan di pendhapa sebelah rumah — pendhapa tua yang jadi saksi perjalanan panjang keluarganya dalam dunia karawitan.

Sejak pagi bayangan sisa tanggapan semalam masih terasa lekat. Alat-alat gamelan berbahan kuningan tampak berserakan tak beraturan. Gender, demung, saron, peking, kenong, bonang, gambang, kempul, kendhang—semuanya ditinggal begitu saja oleh para kru dan wiyaga yang terburu pulang. Tak sedikit dari mereka yang kurang punya rasa tanggung jawab; habis dipakai, mereka langsung glethak-glethek menaruh alat tanpa peduli urusan setelahnya.

Ratmoyo, ayah Asmarawati, berkali-kali menarik napas dalam. Rasa jengkel sempat mampir, namun lagi-lagi hanya ia simpan dalam-dalam. Menegur anak-anak sekarang itu risikonya besar: mudah tersinggung, gampang mutung. Kalau sudah begitu, bisa-bisa mereka pindah ke dalang lain. Sedangkan mencari pengganti yang sepadan bukan perkara mudah.

“Sudah selesai, Nduk. Sekarang kamu istirahat dulu. Kasihan badanmu, semalam melek sampai pagi, masih lanjut sekolah pula. Empat hari lagi kita tanggapan lagi, di rumahnya Pak Lurah,” ucap Ratmoyo seraya menguap lebar, matanya sayu menahan kantuk.

“Nggih, Pak...” jawab Asmarawati lirih. Lelah jelas tergurat di wajahnya. Tadi siang saat jam istirahat sekolah, ia sempat memejamkan mata, tapi hanya sekejap. Bel pun segera berbunyi, dan ia kembali harus duduk tegak, memaksakan diri mengikuti pelajaran dengan mata yang nyaris tak bisa terbuka.

Meskipun namanya tak seharum bayang-bayang sang ayah, Ki Sanusi, namun Ki Ratmoyo dan saudara-saudaranya tetap setia menapaki jejak warisan leluhur: melestarikan kesenian wayang dan gamelan lewat kelompok Ngudi Laras. Mereka melanjutkan perjalanan panjang yang pernah ditempuh ayahnya—seorang dalang kawakan yang kini sudah sepuh, renta, dan memilih untuk mengundurkan diri dari gegap gempita panggung pertunjukan.

Kini Ki Sanusi tengah menikmati masa senjanya. Hari-harinya diisi dengan beristirahat di serambi rumah, menghirup udara pagi sambil menimang cucu-cucu yang mulai beranjak lucu. Suara gamelan masih terdengar dari kejauhan, namun tidak lagi ia sentuh dengan jemarinya yang dulu lincah menari di atas kepyak. Semua sudah waktunya.

Sementara itu, sang istri tercinta, Bu Pariyem, telah lebih dahulu pergi menghadap sang pencipta. Lima belas tahun silam, menjelang siang, “Pendhuso Airlines” membawanya terbang ke alam keabadian—sebuah takdir yang tak dapat ditawar. Ia pergi dalam diam, meninggalkan kenangan dan suara tembang yang dulu mengisi malam-malam pentas sebagai sindhen utama yang setia mendampingi Ki Sanusi dalam masa kejayaan mereka.

Kini, nama Bu Pariyem tetap abadi dalam ingatan para pecinta seni tradisional. Ia dikenang bukan hanya sebagai sindhen bersuara lembut dan penuh rasa, tetapi juga sebagai lambang keanggunan perempuan Jawa yang setia mendampingi seni dan cinta sepanjang hidupnya.

“Assalamualaikum, Ki. Bagaimana kabarnya?”

Dari dalam ponsel, suara seorang laki-laki terdengar jelas, menyapa Ki Ratmoyo yang tengah duduk santai di bangku kayu jati di samping rumah. Sore itu angin berhembus pelan, membawa aroma dedaunan dan kenangan lama.

“Waalaikumsalam. Alhamdulillah, berkat pangestu dari Pak Gondo, saya sehat walafiat. Lha panjenengan sendiri pripun pawartose?” sahut Ki Ratmoyo dengan suara ramah, senyumnya mengembang.

“Alhamdulillah, Ki. Kulo ugi sae, mboten kirang setunggal punopo.” Suara di seberang terdengar nyaring, mengandung semangat dan tawa yang bersahabat.

Ki Ratmoyo terkekeh pelan, hatinya hangat. “Ada perlu apa, Pak? Tumben nian. Jarang-jarang lho panjenengan telepon saya.”

“Hahaha, leres, Ki. Saya memang ada perlu ini,” jawab suara di ujung sana sambil tergelak ringan.

“Ohhh, memangnya ada perlu apa, Pak? Kalau buat panjenengan, insyaallah saya usahakan. Asal jangan yang saru-saru,” canda Ki Ratmoyo, matanya berbinar jenaka.

“Begini, Ki. Ada teman saya yang mau mengadakan pertunjukan wayang. Rencananya hari Senin depan. Nah, kira-kira hari itu panjenengan kosong tidak? Kalau tidak bentrok, saya usul njenengan saja yang ngisi acara itu. Gimana, bisa?”

Mendengar tawaran itu, wajah Ki Ratmoyo langsung sumringah. Ia duduk tegak, seolah ia mendapatkan suntikan semangat baru.

“Oh, nggih, nggih, tentu bisa, Pak. Insyaallah saya kosong hari itu. Senin, ya? Siap, siap!”

“Hehehe, bagus kalau begitu. Nanti saya sampaikan ke teman saya, biar segera disiapkan panjernya.”

“Hahaha... Kalau soal panjer itu gampang, Pak. Yang penting kan deal dulu!” sahut Ki Ratmoyo sembari tertawa lepas, menandakan hatinya riang.

Angin sore berhembus pelan. Obrolan singkat itu menambah semangat hidup Ki Ratmoyo yang setia dengan dunia yang dicintainya: panggung, gamelan, dan bayang-bayang para wayang.

“Telepon dari siapa, Pak?”

Tiba-tiba suara Sundari terdengar dari arah jendela samping. Wajahnya menyembul di balik tirai, penasaran.

“Lho, memang kalau urusan duit, kuping perempuan itu paling jernih,” gumam Ki Ratmoyo sambil menggeleng pelan.

“Dari Pak Gondo, Bu. Panjenengane minta kita isi acara wayangan di—”

“Wah, iya? Kapan itu, Pak?” potong Sundari cepat-cepat, antusiasnya langsung menyala.

“Dengarkan dulu, to!” tegur Ki Ratmoyo, pura-pura kesal.

“Hehehe, maaf, Pak,” jawab Sundari sambil tertawa, wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa senang.

“Acaranya hari Senin depan. Nah, kebetulan jadwal kita kosong hari itu. Jadi iya, sudah Bapak terima saja tawarannya,” jelas Ki Ratmoyo sambil menyenderkan tubuh ke sandaran kursi.

“Bagus, Pak. Bagus!” seru Sundari, matanya berbinar. “Kalau begitu, Ibu catat dulu di buku jadwal. Biar nanti nggak lupa.”

Tanpa perlu mendengar penjelasan lebih lanjut, Sundari langsung mencatat tanggalnya di buku catatan yang selalu ia simpan. Tambahan satu job lagi di bulan ini membuat total tanggapan mereka menjadi lima. Bagi keluarga kecil ini, itu adalah anugerah yang layak disyukuri.

Sebab, meskipun Ki Ratmoyo adalah seorang dalang, yang namanya tidaklah sekondang bapaknya dulu, Ki Sanusi, yang sempat menjadi bintang di berbagai panggung dari kota ke kota. Ratmoyo lebih banyak berkiprah di seputar kabupatennya saja. Ia sadar betul, pamornya tidak secerah generasi sebelumnya. Tapi bukan popularitas yang ia kejar—melainkan kelangsungan hidup kesenian yang telah diwariskan turun-temurun itu.

Di tahun 2023 ini, meski panggilan pentas tidak selalu datang bertubi-tubi, Ki Ratmoyo tetap menikmati profesinya. Dalam sebulan, paling banter ia mendapat empat hingga enam tanggapan. Itu pun sudah termasuk kategori ramai. Persaingan antar dalang kian ketat, dan minat masyarakat terhadap wayang semakin memudar—terutama di kalangan muda. Belum lagi biaya produksi yang tidak sedikit, dan minimnya dukungan dari pihak-pihak yang dulu peduli pada kesenian tradisional.

Namun begitu, ia tetap bersyukur. Sebab meski tidak setiap hari berpentas, rezeki dari beberapa tanggapan itu masih cukup untuk menghidupi keluarganya dan membagi sedikit untuk para kru. Setidaknya jauh lebih baik daripada kondisi beberapa tahun lalu.

Masih lekat dalam ingatan mereka saat masa pageblug melanda. Wabah COVID-19 memaksa semua orang menutup diri. Pemerintah menerapkan pembatasan sosial yang ketat. Segala bentuk acara, termasuk pesta rakyat dan pertunjukan seni, dilarang total. Dunia seakan berhenti.

Kala itu, panggung-panggung dibungkam. Gamelan berdebu. Wayang digantung bisu di dalam kotak. Ki Ratmoyo dan para krunya hanya bisa menatap kosong hari-hari yang tak bergairah. Banyak seniman kampung nyaris kehilangan harapan. Bahkan, salah seorang dagelan langganannya, Cak Kirun, sempat berkelakar pahit, “Wayange digoreng wae, Ki... digawe krupuk kulit. Keno didadekke lauk. Ketimbang kowe mati keliren.”

Ratmoyo hanya tertawa getir waktu itu, meski hatinya sebenarnya pedih. Tapi begitulah hidup seniman: kadang di atas panggung, kadang hanya jadi penonton dalam perjuangan sendiri.

Keadaannya waktu itu sungguh dilematis. Kalau tidak di-lockdown, bisa mati kena virus. Tapi kalau di-lockdown terus, bisa mati kaliren. Situasi benar-benar kalangkabut. Job tak ada, tabungan menipis, dan hidup serasa di ujung tanduk.

Babak bundhas-lah Ki Ratmoyo saat itu. Demi menyambung hidup keluarganya, ia terpaksa harus berutang ke sana-sini. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi sekadar untuk bisa terus menanak nasi. Dengan wajah lelah tapi tetap bersahaja, ia pernah berkata lirih pada istrinya, “Kalaupun harus mati, setidaknya jangan sampai mati karena pageblug. Mati jangan karena keluwen. Cukup wayang-wayangku saja yang digantung, jangan nyawa orang rumah.”

Kini masa-masa kelam itu telah berlalu, meski jejaknya belum sepenuhnya hilang. Wabah belum benar-benar pergi, tapi kehidupan mulai diberi kelonggaran. Syaratnya: vaksin. Prokes. Masker.

Setidaknya, sudah ada angin yang bertiup dari arah berbeda.

Ki Ratmoyo dan kelompok Ngudi Laras pun mencoba bangkit perlahan. Menghidupkan lagi gamelan yang sempat bisu. Mengangkat kembali wayang-wayang yang lama terdiam dalam kotak berdebu.

Mereka mulai menerima tanggapan-tanggapan kecil, di desa-desa sekitar, walau belum sesering dulu. Tak mengapa. Yang penting ada suara. Ada pentas. Ada harapan.

“Yang penting ada yang bisa dimasak, bisa dimakan,” kata Sundari suatu sore sambil mengaduk sayur di dapur. Kalimat sederhana itu bagi Ratmoyo sudah cukup jadi doa panjang: Semoga tanggapan lancar. Semoga panggung tak lagi sepi. Semoga Ngudi Laras tetap bisa laras, meski hidup kadang fals.

******

Hari kian sore. Mentari mulai condong ke barat, dan sinarnya yang keemasan menyentuh pucuk-pucuk pohon dengan lembut. Inilah saat yang ditunggu Ki Ratmoyo untuk meregangkan kakinya. Duduk bersila semalaman sambil menendang keprak telah menyiksa otot-ototnya. Posisi duduk yang lama dan beban gerak kaki selama memimpin pakeliran membuat lutut dan pahanya nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum halus.

Ia pun berdiri pelan, meregangkan badannya, lalu mengambil sepeda onthel kesayangannya. Besi tua yang setia menemani sejak zaman belum banyak kendaraan bermotor bekas milik bapaknya. Dengan santai ia kayuh sepeda itu keluar dari halaman rumah, menyusuri jalan-jalan desa Wonosari yang mulai sepi. Di kiri-kanan jalan, bayang-bayang pepohonan memanjang seperti sulur-sulur waktu yang melambat.

Ia mideri desa dari ujung ke ujung, dari gang ke gang. Melintasi jalanan berbatu dan berlubang, masuk ke lorong-lorong sempit di antara rumah-rumah penduduk yang berjajar rapat. Anak-anak kecil berlarian, ayam-ayam kampung berseliweran, dan bau kayu bakar menguar dari dapur-dapur yang mulai bersiap memasak makan malam.

Sampailah ia di jalan tanggul yang membentang membelah persawahan, mengarah ke timur jembatan Kali Brantas. Di sanalah ia berhenti sejenak, tepat di bawah rindangnya pohon akasia yang tumbuh berbaris di sepanjang bahu jalan. Ia tarik napas dalam-dalam, menikmati segarnya udara senja yang masih mengandung aroma basah lumpur sawah. Angin berembus pelan menyapu wajahnya, membawa serta suara gemericik air dan lenguhan kerbau dari kejauhan.

Tak ingin terlalu lama terlarut dalam sunyi, Ki Ratmoyo kembali mengayuh sepedanya, menyusuri jalanan menurun yang mengarah ke timur jembatan. Di sanalah berdiri sebuah warung angkringan sederhana milik Yu Kastun, yang sejak dulu menjadi tempat persinggahan para petani sepulang dari sawah.

Warung kecil itu tak besar, hanya berupa bangunan kayu beratap seng. Tapi selalu ramai di waktu sore seperti ini. Beberapa petani duduk santai di bangku panjang, menyesap kopi pahit buatan Yu Kastun yang terkenal mantap. Ada yang mengudap gorengan, ada pula yang hanya duduk sambil mengisap rokok kretek, mengobrol ringan membahas harga pupuk, cuaca, dan kondisi padi yang mereka tanam.

Ki Ratmoyo tersenyum melihat suasana itu. Kehangatan yang sederhana tapi tulus. Ia segera menyandarkan sepedanya di pohon ceri dekat warung, lalu berjalan pelan mendekati kerumunan.

"Lho, lho, Ki Ratmoyo rawuh to...!" seru salah satu petani sambil menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya. "Monggo pinarak, Ki. Kopi masih panas iki."

"Wah, kebeneran. Sikilku minta ampun pegele." jawab Ki Ratmoyo sambil tertawa kecil dan duduk di antara mereka.

Warung angkringan itu pun menjadi saksi dari obrolan hangat senja hari. Tentang tanaman, wayang, pandemi, dan kadang juga tentang nasib. Di sela tawa dan tegukan kopi, Ki Ratmoyo merasa hidupnya masih menyatu dengan denyut desa, meski zaman terus berubah.

"Habis olahraga, Ki," sapa Makde Nasirun, lelaki tua berjenggot putih yang tengah menyeruput kopi dari lepek kecil di depannya.

"Oh, nggih Makde," jawab Ratmoyo sambil tersenyum. Ia bergeser ke kursi kayu panjang, duduk di sebelah Nasirun. "Gimana kabarnya, Pak? Tanamannya sae?"

"Alhamdulillah tanamannya subur, tapi harganya jeblok," keluh Nasirun sembari menggeleng pelan. Ia kembali menyesap kopinya, dalam-dalam.

"Sama saja," sahut Marjoko, yang baru datang. Badannya masih berkeringat, topi gunung tergantung di lehernya. "Tahun ini saya nanam cabe rawit. Waktu masih bibit harganya limapuluh ribu per kilo. Eh, giliran panen turun drastis, tinggal tujuh ribu. Tekor, Ki. Ibarat budhal wedhus, mulih tikus."

Tawa kecil terdengar dari warung, meski jelas itu tawa getir. Yu Kastun, si empunya angkringan, ikut menyahut dari balik selambu warungnya.

"Walah, kok semuanya pada sambat. Lha terus saya ini harus sambat ke siapa?" tanyanya sambil melipat lengan daster.

"Tenang wae Yu, bank plecit masih buka kok," goda Marjoko, sambil mengunyah tahu isi.

"Lambemu!" Yu Kastun menyeringai sambil nyengir hidungnya. "Utangku yang kemarin belum lunas, tak pakai buat modalin angkringan ini malah belum balik. Ndilalah, sekarang kamu malah nyuruh ngutang lagi. Memangnya kamu mau bayarin?"

"Lailahaillallah... ampun Yu," Marjoko angkat tangan. "Saya juga pusing. Gara-gara nambah modal tanam, sertifikat rumah nyangkut di bank. Belum lagi motor masih nyicil."

Angkringan sore itu menjadi ajang tumpah ruah keluh kesah. Obrolan yang berputar-putar di antara kegelisahan dan harapan yang nyaris pudar. Ki Ratmoyo, yang sejak tadi hanya menyimak, mengangguk-angguk kecil. Ia paham betul: para petani inilah yang selama ini menopang hidup kesenian tradisional.

Dalam tradisi desa Wonosari, para petani adalah ruh acara-acara budaya. Saat panen raya tiba, mereka urunan untuk nanggap wayang kulit, tayuban, atau campursari. Saat bersih desa, merti dusun, atau sedekah bumi, panggung rakyat akan berdiri megah di tengah lapangan. Layar putih ditegakkan, lampu blencong digantung, gamelan ditata, dan suara sinden akan melagukan tembang-tembang agung malam itu.

Ki Ratmoyo menghela napas. Di tengah zaman yang semakin digital, hanya para petani ini yang masih setia menghidupi warisan leluhur. Merekalah penyangga kesenian tradisional. Dari merekalah, dalang seperti dirinya masih bisa berharap rejeki.

"Sabar dulu, Kang," ujar Ratmoyo akhirnya, mencoba menguatkan. "Siapa tahu tahun depan keadaan membaik. Tanaman panjenengan subur dan harganya naik. Wong sabar, rejekine jembar. Sopo sing nandur, mesti bakal ngundhuh."

Mereka semua terdiam. Kata-kata Ratmoyo meresap seperti kopi pahit yang diseruput perlahan. Di desa Wonosari, ucapan seorang dalang seperti wejangannya seorang kyai. Terlebih Ratmoyo juga perangkat desa, ia menjabat sebagai BPD. Sosoknya dihormati, dianggap sebagai priyayi desa, tempat orang menggantungkan harapan sekaligus nasihat.

Dalam pakeliran, Ratmoyo kerap menyisipkan petuah-petuah luhur. Lewat bahasa kias, ia menghidupkan wayang menjadi cermin kehidupan. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu: tidak semua yang ia ucapkan mampu ia jalani sendiri. Ia sadar, bahasa seni kadang mengandung banyak tipu muslihat—seperti halnya novel ini.

********

Senja telah menepi di ufuk barat. Pancaran jingganya memulas langit, memantul lembut ke atap-atap rumah dan pepohonan di seluruh desa Wonoasri. Di sebuah warung kecil milik Mak Sri, seorang wanita paruh baya masih sibuk melayani beberapa pelanggannya. Di antara antrean itu, berdiri seorang pemuda jangkung berkaos hitam, Wiji Santoso namanya.

"Beli rokok, Mak," ucap Wiji, sambil mengacungkan selembar uang kertas.

"Oh iya, Le. Rokok apa?" sahut Mak Sri sambil mengelap tangan ke celemek lusuhnya.

Wiji menunjuk ke arah rak di belakang si penjaga warung. "Sampoerna Mild, satu bungkus."

Saat Mak Sri tengah mengambilkan pesanan, tiba-tiba datang suara ceria dari samping kiri Wiji.

"Mak Sri, aku beli sampo!"

Seorang gadis berambut panjang melangkah ringan masuk ke warung. Ia berdiri tepat di sebelah Wiji, membawa aroma harum dari tubuhnya yang seolah mengusik udara sore yang tenang. Ia adalah Asmarawati — gadis sinden, lembut dan luwes, tapi menyimpan pesona yang sulit diabaikan.

"Eh, gendhuk, cah ayu, denok deblong... sebentar ya sayang," seru Mak Sri dengan nada ceria penuh keakraban.

Asmarawati hanya tersenyum manja, menggoyangkan kepalanya dengan gaya khasnya yang menggoda dan polos dalam waktu bersamaan. Namun senyumnya meredup saat ia menoleh ke kanan dan mendapati sosok Wiji berdiri di sampingnya. Seketika, wajahnya membeku. Ia menunduk malu.

"Mas...," sapa Asmarawati, lirih.

"Iya...," jawab Wiji agak kaget, suaranya bergetar tak tentu. Lalu buru-buru ia menerima uang kembaliannya dan melangkah cepat keluar dari warung, meninggalkan aroma canggung yang menggantung.

Ia menyebrang jalan menuju motornya, sebuah CB klasik tua yang setia menemaninya. Ia duduk di atas joknya, diam sejenak, lalu menoleh kembali ke arah warung. Di sana, Asmarawati masih berdiri, menatapnya dari kejauhan. Rambut panjangnya menjuntai di punggung, berayun lembut diterpa angin sore.

Namun saat Asmarawati membalikkan badannya, Wiji buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain, pura-pura tak melihat. Ia mencoba menghidupkan motornya — namun gagal. Berkali-kali ia menginjak pedal starter, tapi mesinnya tak juga menyala.

Baru setelah beberapa detik panik, ia sadar — kuncinya belum diputar ke posisi "on".

"Dobol...," umpatnya dalam hati, malu sendiri.

Akhirnya, setelah mesin hidup, Asmarawati tiba-tiba sudah berdiri tepat di hadapannya.

“Mau dianterin, Dhek?” Wiji mencoba bergurau, meski dalam hatinya ia sadar—jarak rumah Asmarawati dengan warung Mak Sri hanyalah sepelemparan sandal. Hanya dipisahkan satu rumah. Tak sampai tujuh meter.

Asmarawati terkekeh kecil, senyumnya geli. “Nggak usah, Mas. Deket kok.” Jawabnya ringan, tapi manisnya mampu membelah ruang hening di antara mereka.

Wiji membalas dengan senyum seadanya. Tak banyak kata, hanya seulas rasa yang tak sempat diucapkan.

“Monggo, Mas.” Pungkas Asmarawati. Ia pun berlalu pelan, melangkah pasti menuju rumahnya.

Sementara itu, Wiji masih terpaku di atas jok CB klasiknya. Tatapannya membuntuti langkah gadis itu—langkah ringan yang entah mengapa terasa berat di dalam dadanya. Ia amati gerakan demi gerakan, hingga akhirnya sosok Asmarawati lenyap ditelan pagar tanaman di halaman rumah. Daun-daun menyembunyikannya perlahan, seolah menutup tirai sebuah pertunjukan yang terlalu cepat selesai.

Wiji menghela napas panjang. Asap rokok di mulutnya mengepul ke udara, menari melewati ujung rambut gondrong yang menutupi dahinya.

Dalam hatinya, ia hanya bisa berkata lirih,

"Wah, cah ayu… kowe nang kene mung liwat to? Opo kowe ndak kepingin mampir ning atiku…"

"Eh, Ji?"

Tiba-tiba dua sepeda motor CB meraung dari arah belakang. Yang satu dikendarai oleh pemuda berbadan tambun—siapa lagi kalau bukan Untung, dan satunya lagi oleh pemuda cungkring berambut keriting—Tejo, kawan sehidup semotor Wiji. Dua makhluk paling nyeleneh yang selalu tampil dengan pakaian senada: celana jins sobek di bagian lutut dan kaos oblong hitam dengan gambar-gambar band yang sudah entah kapan bubarnya. Seperti Metallica, Bon Jovi, Scorpions, The Cranberries, dan lain sebagainya.

"Eh, munyuk! Ngapain kamu di sini?" tanya Untung sambil mematikan mesin motornya.

"Lagi nungguin kalian." jawab Wiji santai, sembari menyibakkan rambut gondrongnya yang tertiup angin sore.

"Sudahlah, ayo kita jalan!" sambungnya, lalu menarik tuas kopling dan melesat tanpa aba-aba.

"Eh, eh, tunggu dulu! Lah ini mau kemana? Woi, Ji…!"

Untung panik mencoba menahan, tapi suara knalpot Wiji sudah jauh mendahuluinya.

Tejo hanya mengangkat bahu, menyeringai. "Sudahlah, kita ikuti saja, Tung. Namanya juga Wiji."

"Ah, munyuk!" rutuk Untung lagi, sebelum akhirnya ikut menancap gas. Tejo pun mengekor dari belakang, dan mereka bertiga pun melaju kencang di jalan cor beton perkampungan, mengentak senja dengan suara knalpot brong yang membelah udara.

Ketiganya saling berkejaran, menyalip satu sama lain, seperti hendak balapan meski tanpa garis akhir. Sampai di sebuah tikungan pertigaan, mereka hampir bersenggolan dengan seorang bapak-bapak tua yang baru pulang dari sawah. Di belakangnya tergantung dua karung gabah. Hampir saja ia jatuh karena motor Untung melintas terlalu dekat.

"Heh! Anak-anak setan! Bocah urak’an! Kalian pikir ini jalan milik embahmu apa?" teriak si bapak, marah-marah sambil menoleh ke arah mereka yang sudah hilang dibawa deru motor.

Tapi suara teriakannya hanya menggema di udara, ditinggal debu dan asap knalpot anak-anak CB yang urak'an.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!