NovelToon NovelToon

Danendra Dan Rahim Simpanannnya

Kapal-pecah di tengah pesta

Sudah hampir setengah jam berlalu tetapi seorang wanita yang mengenakan gaun cantik serta dilengkapi  dengan dandanan tipisnya masih terdiam mematung di depan meja rias marmernya, ia masih ragu apakah harus hadir dalam acara keluarga kali ini atau sebaiknya berdiam diri saja di rumah.

Danendra yang juga sudah rapi dengan setelan jasnya dari tadi ia sibuk memperhatikan gerak-gerik sang istri lelaki itu menatapnya kasihan, Danendra cukup sabar menunggu keputusan apa yang akan diambil nanti.

Setelah menetapkan keputusan Alena menoleh ke arah suaminya mengisyaratkan untuk segera bersiap-siap, Danendra hanya membalasnya dengan senyum lembut lalu merangkul istrinya serta sedikit memberikan pelukan yang hangat demi menenangkan hati rapuh wanita itu. Tidak lama pasangan suami-istri itu menuju garasi menghampiri mobil mewah milik Danendra.

Ah ralat sebenarnya itu bukan seutuhnya milik Danen, mobil mewah tersebut adalah hadiah pernikahan yang diberikan oleh ayah mertuanya dengan mengatas namakan Danendra. Setelah sampai di mobil Danen segera membukakan pintu penumpang untuk sang istri, setelah memastikan istrinya duduk dengan nyaman Danen segera berlari  ke kursi pengemudi. Ini sudah menjadi kebiasaan lelaki itu memperlakukan istrinya begitu lembut bahkan dari awal mereka berkencan.

Danendra berani bersumpah bahwa ia sungguh mencintai wanita di sampingnya ini. Wanita ini sempurna Alena Hadikusuma, ia terlahir dari keluarga yang kaya raya, Danen yakin jika Alena meminta sebuah pulau maka dengan gampang keluarga itu akan memberikannya. Akan tetapi Alena berbeda dari anak konglomerat biasanya, ia memilih hidup sederhana bahkan tidak pernah sedikitpun ada dalam benaknya bahwa dia berbeda dari yang lain Alena memandang semua manusia sama.

Alena menjadi satu-satunya keturunan Hadikusuma yang tidak melanjutkan pendidikan S2, ia lebih memilih menikah muda dan hidup sederhana di komplek perumahan  biasa tanpa seorang pun asisten rumah tangga, tentu saja keluarganya menentang tapi Alena bersikeras hingga tidak ada pilihan lain.

“Kamu yakin sayang?”

“Jika kamu berubah pikiran aku akan mengikutinya.” Sebelum menjalankan mobilnya Danen kembali menggenggam erat tangan sang istri, ia ingin memastikan apakah istrinya siap berhadapan lagi dengan keluarga besar Danendra, namun wanita yang memiliki siluet seperti putri kerajaan itu hanya mengangguk mantap membuat suaminya tidak ada pilihan lain.

Setelah menempuh hampir satu jam perjalanan akhirnya pasangan itu sampai di sebuah basement hotel mewah dan bersiap turun untuk menuju ruangan VIP tempat di mana acara berlangsung. Sebenarnya ini bukan acara  besar ini adalah ulang tahun pertama untuk putri ketiga Hamdani, sepupu dari Danendra, tidak heran hanya ada beberapa tamu undangan dan sedikit keluarga besar.

Setelah sampai pada ruangan yang dituju, Danen semakin menggenggam erat tangan sang istri akan ia pastikan bahwa hari ini Alena tidak akan menangis lagi dan dia tidak akan meninggalkannya sendirian dalam acara ini. Namun takdir berkata lain ketika acara semakin larut Danen terpisah dari Alena lelaki itu malah sibuk berbincang bersama para sepupu laki-lakinya, meninggalkan Alena sendirian di tengah barisan sepupu iparnya.

Mereka menatap sinis Alena bagi mereka Alena ini terlalu sombong mentang-mentang terlahir dari keluarga kaya ia bisa seenaknya menaikkan popularitas dengan berpartisipasi di berbagai kegiatan amal agar keluarga Hadikusuma semakin terpandang, Alena juga bagi mereka sengaja hidup berpura-pura sederhana agar orang-orang makin bersimpati. Padahal yang  sebenarnya terjadi Alena tidak pernah peduli dengan popularitas dan sebagainya ia benar-benar tulus ingin membantu beberapa orang kurang beruntung.

“Alena, liat tu Hamdani dengan istrinya sekarang sudah merayakan ulang tahun untuk anak ketiga mereka!”

“Koq kamu sampai sekarang belum?” Celetuk salah satu sepupu iparnya disana, “Jangan-jangan kamu mandul ya?” Timpalnya lagi.

Hati rapuh Alena mencelos begitu saja saat mendengar kata mandul, memang benar ia mandul tapi sampai sekarang hanya dirinya dengan sang suami yang mengetahui perihal kemandulan tersebut.

“Tau nih! Kamu dengan Danendrakan sudah mau lima tahun masa sampai sekarang belum ngisi?” Sahut salah satu dari mereka seraya mendorong pelan bahu Alena.

“Alena kamu tau perempuan yang mandul itu berarti perempuan cacat,  perempuan gak sempurna gak berguna, ngerti?” Seorang wanita cantik dengan gaun glamour sepaha bewarna putih bersih segera bergabung dalam percakapan mereka.

Meisya nama perempuan yang baru saja bergabung itu Mesya, dia adalah calon kakak ipar Alena, wanita itu sudah berpacaran dengan kakak laki-laki Alena selama lima tahun mereka bertemu saat pernikahan Alena dengan Danendra. Tetapi hubungan Alena dengan calon kakak iparnya tidak pernah baik, Meisya selalu menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Alena. Sebenarnya wanita itu iri dengan segala yang dimiliki Alena, ia cantik kaya raya bahkan berhasil menikahi Danendra laki-laki yang sudah ia sukai sejak lama.

“Kasiannya Danenku hidupnya susah karena memilih menikahi perempuan mandul kayak kamu.” Meisya tersenyum meremehkan menatap Alena yang hanya bisa tertunduk  malu di kursi empuk itu.

“Kamu tau dulu saat aku masih bersama Danendra, dia selalu bercerita bahwa ia ingin hidup di masa depan dengan memiliki tiga orang anak yang lucu, namunㅡ” Meisya menarik dagu Alena ke atas agar menatap wajah cantiknya yang sedang tersenyum mengejek, “namun Danenku yang malang dia malah menikahi wanita mandul kayak kamu.” Alena mulai mengepal erat kedua tangannya wanita itu ingin marah akan tetapi semua yang  dikatakan Meisya adalah sebuah kebenaran.

“Kamu taukan Alena, Danen itu anak tunggal, tapi dengan keadaannya yang sekarang orang tua Danen hanya akan terus bersedih karena putra tunggal mereka tidak akan pernah memberikan cucu. Bisa sih orang tua Danen dapat cucu tapi dengan syarat Danen harus tidur dengan wanita lainㅡ oopss!” Meisya berpura-pura menutup bibir busuknya, bersandiwara seakan baru saja ia keceplosan.

“Kamu harusnya sadar diri perempuan cacat kayak kamu gak pantes dinikahi!”  Itu kalimat terakhir yang Meisya ucapkan sebelum dia segera berlari menghampiri sang kekasih yang terlihat mendekat ke arah mereka, dia harus segera membawa kekasihnya menjauh sebelum pria itu sadar bahwa adiknya di tengah sana sudah tertunduk malu dengan air mata yang hampir jatuh.

“Kamu habis ngomong apa sama adikku?” Tanya Aleon saat melihat kekasihnya baru saja seperti berbicara dengan adik bungsunya itu.

“Bukan apa-apa sayang, aku cuman tanyain rekomendasi parfume terbaru koq!” Jawab Meisya santai lalu bergegas menggiring Aleon untuk segera menjauh dari kerumunan tersebut, padahal sebenarnya Aleon ingin menyapa sang adik sebentar, tetapi dilihat dari situasinya sepertinya anak manis itu sedang sibuk mengobrol bersama sepupu ipar sebagai kakak yang baik Aleon tidak akan menganggu, lagi pula itu perkumpulan para wanita tidak cocok jika dirinya tiba-tiba bergabung.

Rasanya Alena sudah hampir ingin meraung kencang  saat melihat kakaknya terkesan mengabaikan dirinya dan sibuk meladeni kekasihnya itu, padahal Alena berharap sang kakak datang membantunya keluar dari kerumunan yang sangat mengintimidasi ini, tapi Alena tidak boleh menangis sebisa mungkin ia tahan air matanya yang sudah hampir jatuh sejak kedatangan Meisya tadi.

“Alena aku tanya sekali lagi, kamu beneran mandul?” Tanya kakak sepupu Danen setelah mendengar perkataan Meisya barusan, Alena tidak mampu menjawab ia hanya menundukkan kepalanya sambil mengenggam erat gaunnya ia tidak mampu menatap lawan bicaranya saat ini.

“Benerkan mandul!”

“Haa… Haa… Haa!”

“Haa… Haa… Haa!” Mereka terdengar beramai-ramai mentertawakan Alena sampai terbahak-bahak, “ternyata Tuhan memang adil anak manja kaya kamu diberi kemandulan.”

“Haa… Haa… Haa!” Orang-orang itu terus tertawa tanpa memperdulikan keadaan Alena saat ini.

“Kasian om sama tanteku seumur hidup gak akan pernah dapat cucu!”

“HEH! Kalo orang ngomong itu diperhatiin!” Salah satu dari mereka menarik paksa rambut Alena sehingga Alena yang dari tadi tertunduk terpaksa menatap wajah  mereka yang terlihat penuh kemenangan.

“Nangis? Gitu aja nangis dasar anak manja!” Karina  yang paling tua di antara mereka bepura-pura ingin memberikan tisu tapi dengan sengaja tangannya menyenggol cangkir yang berisi kopi panas hingga tumpah tepat mengenai bagian paha kiri Alena.

“Aaaghhh!!!” Alena refleks berdiri dan meringis kesakitan tetapi mereka semakin tertawa bahagia.

“Oopss sorry adik ipar!” Karina berpura-pura lagi ingin membersihkan tumpahan kopi yang mengenai gaun panjang yang Alena kenakan, tetapi dengan sengaja ia menyenggol kaki kursi hingga tubuhnya terhuyung menabrak Alena alhasil Alena yang  masih shock akibat kopi panas kembali terkejut dengan Karina yang tiba-tiba jatuh ke arahnya hingga tubuhnya jatuh terbaring ke lantai.

“Akh!” Alena merasakan tubuhnya sakit sekali, sebab tertimpa badan Karina yang jelas sekali  tubuh wanita itu dua kali lebih besar dari tubuhnya, sebelum bangkit berdiri Karina sengaja menekan pinggulnya lebih kuat yang mendarat di perut Alena sehingga Alena semakin meringis. Alena benar-benar sakit hati semua orang di sana terlihat tertawa, seakan baru saja menonton lelucon.

“KARINA!” Danendra berteriak marah, ia terkejut setengah mati melihat istrinya terbaring di lantai dengan kondisi berantakan dan para sepupunya tertawa, jelas sekali mereka mengejek kondisi Alena saat ini.

“GILA APA KALIAN SEMUA HAH?” Danen mencengkram kuat dagu kakak sepupunya, “maksud lo apa Karina? Lo mau gue bunuh HAH?!” Danendra bersiap melayangkan satu tamparan di wajah Karina, tapi tangannya ditahan oleh tangan kecil yang bergetar ketakutan.

“Ja... jangan!” Pinta Alena pelan, sungguh dia kesusahan untuk berdiri tapi  tetap memaksakan tubuhnya demi menghentikan tindakan suaminya. Danen menoleh tatapan marahnya berubah sendu saat ia menoleh ke arah Alena, wanitanya menangis.

PRANNGG!

Suara pecahan kaca menggelegar diseluruh ruangan, Danendra mengamuk  dia membalikkan meja bundar yang berisi banyak makanan sehingga menciptakan bunyi kapal-pecah, lalu segera menarik sang istri yang bergetar ketakutan untuk segera pergi dari tempat penuh kesialan ini.

Bersambung.

Luka yang tidak pernah kering

Setelah berhasil keluar dari keributan tadi, Danen terus menuntun sang istri untuk segera pulang dan saat ini pasangan suami-istri tersebut berada di dalam lift menunggu dengan gelisah agar lift yang mereka tumpangi segera  turun ke lantai dasar. Danen menepuk-nepuk pelan punggung Alena sesekali ia mengusapnya dan memberikan pelukan hangat, berharap dengan cara ini Alena bisa tenang dan berhenti menangis.

“Maafin aku!”

“Maafin aku sayang!”

Namun bukannya tenang tangisan Alena bertambah terisak perih, membuat Danen menjadi semakin gelisah, ia tau ini terjadi atas kesalahannya  sendiri yang telah keliru meninggalkan Alena sendirian.

“Alena udah ya sayang berenti nangisnya, ada aku di sini!” Danen semakin mengeratkan rangkulannya sesekali jari jempolnya bergerak teratur menghapus setiap cairan yang keluar dari iris  mata yang sebening kristal tersebut.

“Maafin aku sayang, aku sungguh menyesal, aku terluka melihatmu seperti ini!” Danen tidak berbohong, hati kecilnya memang terasa tertekan setiap melihat kekasih hatinya menangis, dalam keadaan seperti ini dia sedikit linglung tidak tau harus berkata apa selain kata maaf.

“DANENDRA!” Danen terus menggiring wanita yang  amat dicintainya itu dengan tertatih agar segera sampai ke kendaraan yang akan membawa mereka pulang, tapi ketika akan membukakan pintu mobil untuk Alena, Danen terkejut dari arah belakang Aleon berteriak marah kepadanya, karena panik Danen mendorong cepat Alena agar segera masuk ke dalam mobil dan membiarkan dirinya menjadi sasaran kemarahan Aleon.

BUGH!

Begitu Aleon berhasil sampai di hadapan Danen, pria cakung dengan mata merah padam tersebut tanpa pikir panjang langsung melayangkan satu kepalan tinju ke rahang tegas adik iparnya.

BUGH!

BUGH!

AKHH!

BUGH! Aleon membabi buta, ia menghajar adik iparnya habis-habisan hingga tubuh pria itu terbaring di kerasnya aspal lantai dasar ini, walaupun sudah terbaring lemah amarah Aleon tidak mereda dia terus membogem wajah Danen yang sudah mulai berantakan.

Sementara Alena ia tidak sanggup untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Alena takut, wanita itu sangat takut jika harus menatap sang kakak yang sedang kesetanan.

Dadanya memburu, keringat dingin mulai bercucuran di pelipis Alena, setiap kali mendengar erangan sang suami Alena hanya  bisa bergetar ketakutan. Alena sungguh tidak sanggup jika harus melihat perkelahian di depan matanya, apalagi itu dilakukan oleh orang-orang terdekatnya. Wanita itu meringkuk bersembunyi di dalam mobil seraya menutup kedua daun telinganya, bayang-bayang pilu belasan tahun lalu mulai kembali terputar otomatis dalam benaknya, semakin jelas memori itu terputar maka semakin sesak ruang dada Alena, ia  kesulitan bernapas saat ini.

Sejak dulu, saat itu Alena tidak lagi memiliki keberanian melihat perkelahian atau pertengkaran sekecil apa pun, ia mengalami sedikit trauma. Masih terekam jelas dalam benaknya hari itu, hari di mana ayahnya berkelahi dengan seseorang secara membabi buta hingga menyebabkan orang itu tewas mengenaskan di tangan sang ayah. Saat itu Alena masih berusia tujuh tahun, bahkan ia tertawa riang karena berada dalam gendongan sang ayah yang baru saja menjemputnya sepulang  sekolah. Tapi siapa disangka ketika mereka sampai di istana megah yang mereka tinggal tanpa diduga ayahnya melihat sendiri istri yang begitu dicintai dan dihormatinya sedang bergumul mesra dengan supir pribadi keluarga mereka. Tanpa toleransi sosok ayah yang begitu lembut dan penyayang selama ini  di mata Alena seketika berubah menjadi monster, dia menghajar habis-habisan lelaki yang bersama ibunya tadi, bahkan jika tidak dihentikan ayah bisa saja membunuh istrinya sendiri. Beruntung Aleon datang dan meredamkan suasana, dan sejak hari itu Alena tidak pernah lagi mendengar dan melihat keberadaan sang ibu.

“Danen sialan, beraninya kau membuat adikku menangis!”

“Ma… maaf!” Dengan napas yang tersenggal serta rasa sakit yang mulai menjalari seluruh wajahnya dan dengan bibir yang terus mengeluarkan darah, Danen berujar pelan merapalkan kata maaf yang entah untuk siapa.

“BERHENTI! ALEON CUKUP!!!” Aleon kembali merapalkan buku jarinya, dirinya sudah sangat siap akan kembali melayangkan satu pukulan, tapi aksinya terhenti tangan kekar Aleon ditahan oleh seseorang.

“Aleon sudah, sudah!” Dengan napas yang memburu karena habis berlari mengejar langkah Aleon akhirnya Meisya sampai, tapi dia lumayan terlambat keadaan Danen sudah cukup mengenaskan.

“Sudah, sayang... cukup. Danen bisa mati!" Suara Meisya lirih tapi tegas, menggetarkan udara yang tegang. Dengan lembut namun pasti, ia membantu kekasihnya bangkit dari tubuh Danen yang masih terbaring tak berdaya di tanah. Napas mereka memburu, adrenalin perlahan surut digantikan dengan kesunyian yang diiringi dengan suara napas memburu dari Aleon dengan dada yang naik turun serta dengan tatapan penuh amarah.

Sementara itu, Meisya—dengan mata yang menyimpan kepanikan dan kalut menggamit lengan kekasihnya dan menariknya menjauh dari tempat itu. Tanpa sepatah kata, ia membukakan pintu mobil, memaksanya masuk. Deru mesin terdengar dalam detik-detik berikutnya, dan mobil yang ia kemudikan melesat pergi.

Yang tertinggal hanyalah tubuh Danen, terkulai lemas di tanah, dia menatap hampa kepergian mobil itu tidak ada rasa ingin membalas pukulan yang barusan saja dia terima, ini memang pantas dia dapatkan bahkan seharusnya Aleon bunuh saja lelaki yang tidak becus ini.

Setelah melihat mobil Aleon menjauh, Alena segera berlari keluar menghampiri suaminya yang sudah terkulai lemas,  ia menangis pilu, tangan kecil Alena bergetar setiap menyentuh bagian wajah suaminya yang terluka.

“Danen!” Alena tidak sanggup berujar sepatah katapun, ia hanya bisa terisak pilu dan terus kesulitan bernapas.

“Alena, maafin aku!” Dengan suara pelannya dan bahkan hampir tidak terdengar Danen kembali merapalkan kata maaf. Lelaki itu berusaha bangkit dan berusaha sekuat tenaganya untuk merangkul sang istri yang sedang menangis, ia memeluk wanita itu membiarkannya menangis dalam-dalam di dada bidangnya. Sementara Alena terus mengeluarkan kesedihannya di sisi lain tatapan Danen kosong ia mulai merasakan atmosfer di sekitarnya semakin sempit,  semua semakin samar, tangisan Alena, pandangan matanya semua samar dan dalam beberapa detik Danen tidak merasakan apapun ia jatuh pingsan.

*****

Mata yang terpejam tenang itu bergerak perlahan, butuh waktu beberapa detik bagi sang pemilik mata untuk bisa membuka kembali matanya, dia kesulitan menyesuaikan keadaan cahaya yang akan menyambut netra sayunya ini.

Saat netra sayu itu terbuka, ada sedikit kebingungan dalam benaknya, ini tempat yang asing. Tempat ini bernuansa putih temaram, dengan derit ranjang yang khas. Ini bukan kamarnya, Danendra yakin sekali ini ruangan kerjanya bukan kamar tidur pribadi yang hangat. Tapi kenapa pula dia bisa tersadar di ranjang rumah sakit, padahal yang dirasakan ia baru saja terbangun dari tidur panjang yang menenangkan.

Kepalanya sedikit pusing, Danen baru menyadari alasan kenapa dia bisa terbaring di bangsal ini, “Alena?”

“Sayang kamu sadar?” Baru saja saja Danen memikirkan Alena, dan sekarang wanita itu sudah ada tepat sekali di depan wajahnya. Danen berusaha bangun dan ingin meraih tangan Alena, “jangan banyak gerak, kamu dalam masa pemulihan!” Seru Alena, berhasil membuat Danen mengurungkan niatnya.

“Alena sudah berapa hari aku dirawat?”

“Dua hari, kamu pingsan dalam waktu dua hari.”

“Selama itu? Bagaimana denganmu kamu baik-baik saja kan?” Tanya Danen penuh kekhawatiran, dua hari ia tidak sadarkan diri, dia tahu selama dua hari itu Alena pasti hidup dengan tidak teratur, jelas terlihat Alena masih menggunakan gaun kemarin serta  rambut yang tampak berantakan dengan wajah yang pucat pasi.

“Aku baik-baik saja, selama kamu masih ada di sini aku pasti akan baik-baik saja Danen. Terimakasih sudah bertahan dalam masa segala masa sulit, aku sungguh takut sekali kamuㅡ menyerah.” Sedikit terbata-bata Alena berhasil menyelesaikan kalimatnya, ia tidak sanggup membayangkan jika Danen tidak membuka matanya lagi. Maka selama suaminya terbaring di bangsal rumah sakit dengan mata tertutup maka selama itu pula Alena tidak berpaling, ia tidak bergerak sedikitpun, padahal orang-orang di sekitarnya sudah memaksa agar ia segera istrirahat tapi Alena menolak, mana mungkin ia meninggalkan suaminya sendiri wanita itu terlalu kalut.

Pagi yang hangat, belum banyak orang-orang yang berlalu-lalang di tempat penuh duka dan harapan ini. Paling-paling yang Alena lihat hanya orang-orang berbaju putih yang  selalu menyapanya dan bersikap sopan.

“Selamat pagi Ibu Alena dan Pak Danen!” Sapa seorang perawat yang baru saja lewat, padahal ia terlihat buru-buru tapi tetap membungkuk sopan kepada dua orang ini.

“Sayang aku sudah sehat kenapa harus menggunakan kursi roda, aku bisa berdiri bahkan berlari!” Keluh Danen karena merasa tidak nyaman ia duduk santai di kursi roda sedangkan istrinya sibuk mendorong dari belakang, “Akh!” Danen mengeluh saat telinganya dijewer Alena, lagian siapa suruh berani-beraninya berdiri dari kursi itu.

“Duduk kembali Danen, kamu baru sembuh jangan aneh-aneh!” Perintah Alena sedikit galak.

“Alena aku tahu, kamu khawatir tapi aku lebih khawatir gimana jika kamu kelelahan karena mendorongku? Dan aku juga tau kamu  pasti tidak tidurkan dalam dua hari ini?”

“Bodoh, gimana aku bisa tidur jika kamu sedang berjuang.” Alena menggerutu kesal, dan tidak sadar baru saja bersikap tidak sopan kepada suaminya.

“Astaga… berjuang apa aku cuman pingsan dua hari sayang kamu saja terlalu berlebihan!” Balas Danen dengan nada tidak kalah kesal, membuat mimik wajah Alena langsung berubah masam.

“Berlebihan?” Suara Alena sedikit  bergetar, dia berhenti mendorong kursi roda Danen.

Danen sadar suara istrinya  mulai bergetar dan menahan kesal, betapa cerobohnya Danen merusak suasana pagi yang tenang. Pria itu tanpa diperintah langsung berdiri dari pusakanya, dan menatap wajah Alena dalam-dalam, “berlebihan Danen? Kamu bilang aku berlebihan, kamu sadar gak aku takut aku sangat ketakutan!” Pecah sudah Alena memulai paginya dengan air mata.

“Aku… aku salah!” Danen panik, ia segera memeluk sang istri dalam-dalam.

“Kamu tau gak, waktu kak Aleon menghajar kamu itu mirip sekali dengan papa, suaranya wajahnya semuanya mirip hari itu,  aku takut!” Alena mulai kesulitan bernapas, tapi tetap ingin melanjutkan kalimatnya, “papa membunuh orang seperti itu, memukulnya sampai mati bahkan mama juga hampir mati di tangan papa!” Alena tidak mengerti kenapa kejadian belasan lalu selalu menganggunya, ia tidak bisa tenang .

“Aku takut, gimana hari itu terulang lagi, gimana ternyata kamu juga mengalami hal yang sama, kamuㅡaku takut kamu juga menyerah di tangan kak Aleon, sama seperti Pak Rudi yang menyerah di tangan papa.”

“Alena berhenti ngelantur, aku sehat sayang, aku gak akan menyerah semudah itu, kumohon berhentilah memikirkan yang seharusnya tidak terjadi.”

Alena terus tersedu-sedu, dadanya sesak sekali, ada banyak kekhawatiran dalam hati kecilnya, ia begitu mencintai suaminya Alena tidak sanggup jika lelaki itu benar-benar meninggalkannya.

“Tenang ya sayang, aku janji  aku akan selalu ada di sisi kamu, aku gak akan pergi dari kamu segampang itu. Aku ngerti kamu pasti dua hari ini kurang istrirahat makanya jadi melantur seperti ini, sekarang sebaiknya kita pulang ya!”

Danendra sibuk berusaha mendudukan Alena di kursi roda, Alena harus istrirahat emosi wanita itu sangat tidak stabil. Tapi Alena menolak mulutnya bergetar seperti masih ada kalimat yang akan ia keluarkan, karena Alena terus menolak untuk duduk di kursi roda Danen berusaha menggendongnya, “Danen terus gimana jika aku tidak akan pernah melahirkan anakmu, apa kamu akan tetap disini?”

Astaga, Danen mengusap rambutnya frustasi. Kenapa Alena malah membahas hal itu, bukankah mereka sudah pernah membahasnya, sudah berulang kali Danen mengatakan ia tidak akan meninggalkan Alena, sekalipun wanita itu mandul, ia akan terus mencintai Alena walau tanpa seorang anak.

“Jawab Danendra!” Alena menepuk-nepuk pelan dada bidang suaminya, sambil terus terisak pilu.

Danen menarik napasnya pelan, lalu menghembuskannya kasar, ia sudah muak dengan pembahasan ini kenapa Alena tidak mau mengerti.

“Jawab Danen? Aku wanita cacat yang tidak akan melahirkan anakmu!”

“ALENA!” Suara lantang dan nyaring Danen secara tiba-tiba membuat Alena terkejut, gemuruh di dada Alena semakin tidak teratur. Dan hingga akhirnya tubuh wanita itu terjatuh begitu saja.

“Lena?” Danen menyesal kelepasan hingga tidak sadar membentak istrinya, pria bersuarai hitam pekat itu panik setengah mati saat melihat sang istri jatuh pingsan.

Bersambung.

Inseminasi buatan

Hari ini terasa lebih ringan, seolah semesta mulai mengangkat beban yang sempat menyesakkan dada. Masih ada sedikit rasa yang mengganjal, bayang-bayang kekhawatiran yang belum sepenuhnya pergi. Namun, setidaknya pagi ini disambut oleh senyuman yang seindah dan semempesona purnama sebuah harapan kecil kembali menyala, menghangatkan hati yang sempat memanas dan berdebar tidak beraturan.

Sudah dua hari Alena jatuh sakit, wanita itu memilih beristrirahat di rumahnya dari pada di bangsal rumah sakit yang penuh cerita tersirat. Lagi pula Alena mempunyai suami seorang dokter yang hebat jadi untuk apa ia repot-repot berada di tempat itu sungguh tempat ternyaman adalah di rumah sendiri.

Alena sejak tadi tidak berhenti tersenyum, wanita itu pagi ini dalam suasana hati yang baik. Bagaimana tidak selama tubuhnya jatuh sakit  suaminya merawat dan menjaganya dengan penuh cinta itu sungguh kenikmatan yang tidak akan ia sesali.

"Sayang, hari ini kamu mau aku antar atau pergi sendiri?" Hening walau sudah menunggu beberapa detik pertanyaan yang Danen lontarkan menguar bersama kepulan asap bubur di hadapannya

"Hey! Alena istriku!" Danen heran istrinya tidak menjawab panggilannya dari tadi, anak itu hanya menampilkan wajah yang berseri-seri seraya terus menatap suaminya yang sibuk menyendok bubur lalu meniupnya.

"Lena?" Danen menghela napas dia meletakkan lagi satu sendok bubur yang sudah dingin lalu secara tiba-tiba mengecup singkat bibir Alena yang terus tersenyum, "Astaga!" Alena tersentak akibat serangan tiba-tiba itu.

"Melamun, kebiasaan pagi-pagi sudah melamun nanti kesurupan siapa repot!" Keluh Danen sambil mengunyah kerupuk yang baru saja dia raih setelah kembali ke posisi duduknya  .

"Siapa yang melamun sih!" Elak Lena membela diri, padahal wanita itu memang melamun. Dia sedang  membayangkan rumah ini akan diisi celoteh berisik anak kecil yang menolak untuk makan salad sayur buatan ayahnya. Lamunan ini bukan tanpa alasan, tadi malam Lena memang bermimpi rumah tangga mereka semakin indah karena kehadiran bocah laki-laki yang mirip sekali dengan Danen, ia ingin sekali mewujudkan itu apapun caranya.

"Terus kalo enggak melamun, coba ulangi tadi aku nanyain apa?" Seru Danen dengan tatapan menyelidik, Alena kebingungan ia mencoba mengarang kalimat.

"Kamu nanya aku udah mandi atau belum? iyakan?"

"Ppfftt ㅡ Hahaha! ngarang banget. Pertanyaan macam apa itu suami mana yang akan menanyakan istrinya sudah mandi atau belum padahal sudah jelas istrinya sudah tampil  cantik dan harum."

Alena menggerutu kesal melihat sang suami mentertawakannya habis-habisan, "ayo jawab lagi sampe benar!" Danen belum puas, dia masih memasang tampang jahil siap akan mentertawakan Alena apabila wanita itu menjawab secara asal lagi.

"Iiihhh, gak tau gak tau. Lagian kamu ngomongnya kecil banget mana aku dengar, kamulah yang salah ngomongnya gak jelas."

"Lah koq nyalahin aku, orang kamu yang memang melamun."

"Iya aku melamun, sekarang aku tanya balik kira-kira kamu bisa nebak gak aku ngelamunin apa pagi-pagi gini?" Serangan tiba-tiba Alena seketika membuat tawa Danen terhenti, pria itu terlihat berpikir dan tidak lama kemudian ia tersenyum jahil.

"Sudah pasti kamu ngelamunin kegiatan kita tadi malam kan? pasti kamu masih terbayang-terbayang secara suami kamu perkasa kaya gini!" Jawab Danen asal, ia hanya mengeluarkan  apa yang ada di otaknya tanpa disaring terlebih dahulu.

Alena mengernyit mendengar jawaban Danen, "apa, sih, otak kamu kotor banget."

"Loh, emang kamu enggak?"

"Danennn!!!" Alena merasa kesal dengan candaan Danen yang tidak tahu tempat, ia berhenti mengunyah lalu berdiri dan memukul-mukul pundak Danen pelan, "sakit Lena, pelan-pelan aja sayang!" Danen berpura-pura memasang wajah kesakitan,padahal pukulan istrinya lembut sekali terkesan seperti sedang memberi pijatan.

"Ya udah karena kita sama-sama salah menebak sekarang saatnya babak evaluasi, cepat kasih tau aku apa yang kamu lamun kan pagi-pagi gini!"

"Gak mau, kamu dulu!" Alena tidak menyerah begitu saja, ia membalikkan pernyataan suaminya.

"Oke oke aku dulu, dasar anak bungsu gak mau ngalah."

“Aku cuman nanya pagi ini Alena yang sudah cantik dan rapi  mau  diantar sama suaminya atau pergi sendiri?”

“Kamu gak usah anter aku, kita beda arah. Arah rumah sakit sebentar lagi macet kalo kamu nganter aku yang ada kamu telat kerjanya, nanti dimarahin kak Leon. Aku nanti jam 8 dijemput sama Indri tenang aja.”

“Baik istriku, perintah dilaksanakan.”

Alena hanya tersenyum tipis dan sibuk kembali mengunyah sarapannya, Danen dengan sabar  menunggu giliran Alena yang  bercerita. Alena berdiri setelah suapan terakhir ia bersiap akan mencuci piring. “Ettsss tunggu sayang.” Danen menahan tangan Alena, istrinya itu hanya sedikit cengo karena pergerakkannya  terhenti.

“Kamu jangan pura-pura polos, kamu harus cerita apa yang kamu lamun kan tadi jangan mengelak!”

Lena duduk kembali, “bukan apa-apa nanti saja ya?”

“Gak mau harus sekarang, jangan buat aku penasaran.” Danen sedikit menekan kalimatnya.

Bola mata Lena bergerak gelisah, ia tidak tahu pembicaraan ini akan merusak suasana pagi atau malah memotivasi mereka, setelah mempertimbangkan Lena harus membicarakan ini sebenarnya sudah lama ingin ia bahas tapi penuh keraguan.

“Danen kamu tau beberapa minggu ini aku selalu  memimpikan anak kecil laki-laki usianya sekitar tiga tahunan dan dia mirip sekali kamu.”

Wajah Danen yang semula cengengesan berubah menjadi serius, tidak disangka Alena malah membicarakan topik berat seperti ini.

“Anak itu lucu sekali, ia selalu ikut sarapan bareng kita, menangis tertawa, banyak sekali ekspresi yang dilalui anak itu dalam mimpiku.”

“Lena?” Danen menggenggam tangan istrinya, ia memberi isyarat agar Lena memberhentikan ceritanya ia tahu ini hanya topik yang akan menggores Alena.

Tapi Alena terlihat bersemangat, ia terus melanjutkan ceritanya, “kamu tau sayang, semua orang  bahagia akan anak itu, aku juga bahagia dia anak yang menggemaskan.”

“Ayo Danen wujudkan mimpi itu, aku sangat ingin bayi di rumah kita.” Seru Alena penuh semangat.

“Kamu yakin? Kita butuh waktu untuk mengadopsi bayi sayang, kalo sekarang kita adopsi bayi orang-orang akan tau kamu memang tidak bisa hamil, aku takut mereka akan semakin menjahatimu.”

“Adopsi? Bukan adopsi Danen, seorang bayi yang kita lahirkan darah daging kamu.”

Danen menghembuskan napasnya kasar, sepertinya Alena masih sakit ia masih saja berbicara melantur.

Danen berdiri ia memeluk istrinya, “sayang maafkan aku, maaf!” pria bersurai hitam pekat yang ditata rapi itu terus memeluk istrinya, ia tidak sanggup jika harus mengingatkan Alena rumah tangga mereka tidak mungkin akan melahirkan bayi, Alena pasti sangat tertekan hingga melupakan fakta  akan kemandulan dirinya.

“Sayang sekeras apapun kita berusaha, bayi itu tidak pernah lahir. Tolong jangan begini Lena!” Tanpa diduga Danen meneteskan air mata, ia sedih sekali membayangkan betapa hancurnya perasaan sang istri, sudah tiga tahun lamanya luka Lena belum juga sembuh. Ia masih ingat sekali tiga tahun lalu istrinya saat dinyatakan tidak memilki rahim begitu tertekan, bahkan Danen hampir kecolongan Lena pernah berbuat nekat untuk mengakhiri hidupnya.

“Aku baik-baik saja Lena tanpa seorang anak, aku sanggup sayang hidup berdua saja denganmu sampai akhir.”

“Tapi Danen bagaimana dengan orang tua kamu? Mereka hanya memiliki kamu, jika bukan dari kamu dari mana mereka akan mendapatkan cucu.”

“Siapa peduli, ini hidup kita Lena tolong jangan memikirkan perasaan orang lain.”

Alena bingung kenapa suaminya terlihat sesedih ini, apakah Danen benar-benar hancur memiliki seorang istri mandul seperti dirinya, jika iya Alena merasa dirinya jahat sekali.

“Danen!”

“Hm? Tetap seperti ini Alena, aku malu jika kamu melihat air mataku.”

Entah mengapa Alena sedikit berdecih, mendengar penuturan Danen barusan malu katanya, ya Tuhan lucu sekali pria ini.

“Danen aku baik-baik saja, bisakah kamu melepaskan pelukan ini ayo duduk.”

Danen menurut, ia melepaskan pelukan itu dan duduk tenang dengan wajah yang  menatap lantai, ia sangat malu jika harus menangis di hadapan istrinya.

“Maaf jika aku tidak sempuna Danen.”

“Tapi kamu tau, aku bersyukur sekali kamu mau menerima aku apa adanya, sebagai rasa syukur itu aku rela Danen kamu memiliki anak dari rahim orang lain.”

Huk huk huk!

Danen tersedak mendengar penuturan istrinya barusan, Alena benar-benar sakit sepertinya Danen akan bolos kerja hari ini dan merawat Alena.

“Kamu bicara apa Alena?”

“Aku berencana ingin kamu memiliki anak dari rahim wanita lain, karena dari rahimku tidak mungkin, aku wanita tanpa rahim Danen, kamu taukan?”

“Lena berhenti ngelantur, jangan aneh-aneh!”

“Aku serius Danen!” Pria yang duduk gelisah di hadapan Alena mengkerutkan keningnya, tidak habis pikir dengan apa yang ada  dalam benak Lena. Apa mungkin istrinya berencana membiarkan dirinya menikahi wanita lain hanya demi seorang anak? Itu sungguh menakutkan bisa-bisa  Danen langsung dibunuh sama Aleon.

“Kamu… ” Danen menganga tidak percaya dengan apa saja yang baru terlintas di otaknya.

Akh!

Pria yang masih kalut dengan pikirannya sendiri tiba-tiba meringis saat bahu lebarnya ditampar oleh Lena tanpa aba-aba, “jangan berpikir macam-macam Danen!” Tukas Lena  yang  terlihat  sedikit garang.

“Danen kamu tau proses Inseminasi Buatan?”

“Artificial Insemination? Program tanam benih? Ya tentu saja  aku tau.”

“Mari kita coba program itu Danen.” Seru Alena bersemangat.

Danen masih dengan wajah bingungnya, “bagaimana bisa sayang, kan kita sama-sama sudah tahu kamu tidak memiliki rahim, kita gak mungkin melakukan program itu.”

“Bukan kita tapi kamu!”

“Maksud kamu apasih Alena jangan buat aku pusing.”

Alena meneguk air putih  sebelum melanjutkan kalimatnya, ia tersenyum tipis lalu menatap serius bola mata suaminya yang memancarkan cahaya harapan.

“Mari kita coba dengan  menyewa rahim wanita lain. “

“Hah?”

“Maksud aku gini sayang, mari kita cari wanita yang bersedia rahimnya kita sewa tentu kita harus membayar mahal.”

“Itu ide gila Lena.” Danen memotong ucapan Alena, membuat Alena menatapnya semakin dalam.

“Aku sudah mempertimbangkan ini. Beberapa minggu  lalu aku berkonsultasi dengan dokter Via. Menurutnya kita bisa memiliki anak dengan program itu.  Kita bisa melakukan tanam benih dan penitipan sel telur di rahim orang lain Danen.”

“Tapi yang Via katakan, untuk sel telur yang kita titipkan  itu kesempatannya 20 persen karena kita menanamkan benih di orang lain bisa saja sel telur lokal yang lebih dominan. Tapi itu tidak jadi masalah, yang  penting kita bisa melahirkan bayi.”

“Lalu wanita mana yang rela diperlakuan  seperti itu?”

“Biarkan aku yang mencarinya Danen, tentu aku harus mempertimbangkan banyak hal karena tidak gampang mencari wanita yang rela kita ambil anak yang dilahirkannya.”

Danen menatap ragu, ia menghembuskan napas berkali-kali.

“Percaya kepadaku sayang!”

Dengan berat hati Danen mencoba mempertimbangkan ide gila sang istri. Sebenarnya masuk akal juga ia bisa memiliki anak dari wanita lain tanpa harus berhubungan. Tentu ini tidak akan menyakiti perasaan Alena karena Danen sama sekali tidak akan berhubungan dengan wanita itu, ia hanya perlu menanamkan benihnya di sana dan ia berharap jika memang berhasil setidaknya sel telur Alena yang juga  ditanamkan di sana nanti berhasil terbuahi, dengan begitu anak itu akan mewarisi segalanya yang ada pada Alena dan Danen.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!