NovelToon NovelToon

PENDEKAR IBLIS

Bab 1

Di dunia persilatan, siapa yang tak kenal julukan itu? Julukan Pendekar Iblis bukan sekadar gelar kosong. Sebutan "Pendekar" biasanya milik pendekar dari golongan putih, sementara "Iblis" sudah pasti melekat pada mereka yang berasal dari aliran hitam.

Tapi sampai sekarang, tak ada satu pun orang yang bisa memastikan, Pendekar Iblis itu sebenarnya dari golongan mana.

Yang pasti, kemunculannya di dunia persilatan selalu bikin orang resah.

Pendekar Iblis adalah seorang pemuda bertubuh tinggi dan tegap, dengan bekas luka hampir di seluruh tubuhnya. Hanya wajahnya saja yang masih bersih malah bisa dibilang tampan. Ia selalu memakai baju warna biru terong, rambutnya sebahu, dan di pinggangnya terselip sebatang kayu cendana putih sepanjang satu lengan orang dewasa.

Ilmu silatnya luar biasa hebat. Wajar saja, sejak kecil ia belajar dari banyak pendekar hebat, baik dari golongan putih maupun sesat.

Bukan tanpa alasan ia jadi pendekar yang ditakuti. Demi menguasai ilmu silat, ia rela menderita dan penuh luka. Di balik semua itu, ia menyimpan dendam mendalam terhadap salah satu tokoh paling kuat dari golongan hitam.

Sejak kecil, hidupnya tak pernah kekurangan.

Dia anak dari kepala Gerombolan Perampok Macan Loreng yang ditakuti di wilayah Bukit Tanggupan Perahu. Ayahnya orang yang disegani, karena gerombolannya berada di bawah lindungan seorang pendekar sakti dari golongan hitam, yang dikenal dengan nama Datuk Pengemis Nyawa.

Pada suatu hari, ayahnya hendak menghadap Datuk Pengemis Nyawa untuk menyerahkan upeti. Ia membawa serta istrinya dan anak sulung perempuannya yang telah beranjak remaja. Namun, malapetaka datang tak disangka. Datuk Pengemis Nyawa, dengan hawa nafsu binatang, meminta agar anak perempuan itu diserahkan padanya.

Ayahnya tak terima. Harga diri dan darah meluap. Terjadilah bentrokan yang tak imbang. Datuk Pengemis Nyawa membantai mereka semua ayahnya, ibunya, dan sang kakak yang lebih dulu dinodai sebelum nyawanya direnggut.

Tanpa pemimpin, Gerombolan Macan Loreng lumpuh. Kesempatan ini digunakan oleh aliran putih untuk menyerang dan menghancurkan gerombolan itu hingga tak tersisa. Hanya dia seorang yang selamat.

Ditemukan oleh orang dari aliran putih, dibawa ke padepokan, dan diangkat menjadi murid.

Ilmu silat dia pelajari dengan tekun. Tapi luka masa lalu tak semudah itu hilang. Dendam tumbuh di dadanya, membara. Setelah merasa cukup ilmu, ia meninggalkan padepokan secara diam-diam.

Ia berkelana, menantang pendekar-pendekar hebat. Jika kalah, ia memohon agar diajari. Begitu terus, hingga dia punya banyak guru, dengan satu tujuan: membalas kematian orang tuanya di tangan Datuk Pengemis Nyawa pendekar hitam yang ditakuti, yang kini menjadi musuh besarnya.

Sudah lebih dari dua puluh tahun ia menggembleng diri tanpa kenal lelah, berguru dari satu pendekar ke pendekar lain. Ketika dirasa ilmunya telah cukup mumpuni, ia pun turun ke rimba persilatan, memburu seseorang yang dikenal dengan julukan Pengemis Nyawa.

Ia tak membawa nama perguruan, tak pula mengibarkan panji golongan tertentu. Ia bertindak karena rasa tak terima atas segala ketidakadilan yang dulu menimpa keluarganya dan para anggota Macan Loreng.

Apa pun bentuknya, selama ia melihat ketimpangan entah pendekar golongan Putih dikeroyok ramai-ramai, atau golongan Hitam dihajar tak imbang oleh golongan Putih ia pasti turun tangan. Ia berpihak pada keadilan, bukan pada warna.

Dan bila sudah berhadapan dengan orang yang zalim, kesadisannya bisa membuat nyali ciut. Ia tak segan membunuh dengan senjata milik lawannya sendiri tajamnya bilah dan tumpulnya besi tak pernah ia pilih-pilih.

Karena sikapnya itu, sampai saat ini belum ada satu orang pun yang benar-benar tahu, aliran apa sebenarnya yang dianut oleh Pendekar Iblis. Sosoknya misterius, seolah tak berpijak pada satu aliran mana pun. Sebagian pendekar pernah melihatnya entah saat ditolong, entah saat berhadapan sebagai lawan tapi selebihnya hanya mengenal julukannya saja. Nama aslinya? Tak seorang pun tahu.

Saat ini, Pendekar Iblis tengah duduk santai di sebuah warung nasi, menikmati hidangan yang baru saja dipesannya.

Tiba-tiba, penjaga warung datang tergopoh-gopoh mendekatinya...

"Mas... itu kudanya, kan...? Sekarang kayaknya mau dicuri orang..." bisik pemilik warung. Raka cuma melirik santai, melihat kudanya sedang digiring tiga orang berseragam kuning dengan golok besar terselip di pinggang mereka.

"Biarin aja...! Itu kuda juga hasil rampasan kok!" seru Raka lantang, sampai semua orang di warung menoleh kaget, lalu menatap para pencuri yang langsung gugup karena jadi pusat perhatian.

Udah terlanjur malu, ketiga orang itu malah pasang muka sangar, berdiri tegak sambil berkacak pinggang, menatap orang-orang di dalam warung.

"Ngapain kalian ngeliat-liat, hah?!" bentak salah satu dari mereka. Orang-orang di warung buru-buru menunduk, pura-pura sibuk menyantap makanan masing-masing. Pemilik warung pun cepat-cepat balik ke dapur.

Melihat orang-orang ketakutan, mereka malah makin pongah. Merasa gak ada yang bakal berani melawan, mereka pun masuk dengan langkah lebar, berdiri di tengah warung, tepat di sebelah meja Raka.

Tapi Raka? Dia tetap tenang, ngunyah makanannya seolah nggak terjadi apa-apa, cuek banget sama kehadiran mereka yang bikin semua orang merinding.

Bab 2

Saat Raka sedang menikmati makanannya, tiba-tiba salah satu dari mereka menggebrak meja makan.

BRAKKKK...!

Raka terkejut sampai makanan yang sedang dikunyahnya langsung tertelan mentah-mentah dan menyangkut di tenggorokannya. Panik, ia buru-buru meraih kendi untuk menuang air, tapi ternyata isinya sudah habis. Ia gelagapan, tangannya memegangi leher, berusaha keras menelan.

“Apa yang kami lakukan itu urusan kami! Kalau ada yang nggak terima, ngomong! Mulutmu bakal ku bacok!” bentak salah satu dari mereka, matanya melotot.

Belum sempat suasana makin panas, Pria itu merasakan sesuatu menggenggam pahanya. Tiba-tiba tubuhnya terangkat, membuatnya kaget bukan main.

Dan...

BRUKK...!

Tubuhnya terlempar keluar warung dan jatuh keras di tanah. Dua temannya langsung mundur beberapa langkah, kaget setengah mati melihat siapa yang barusan melempar Temannya seperti karung beras.

Seorang pemuda berdiri di hadapan mereka, wajahnya datar tapi sorot matanya tajam.

"Kalau mau maling, maling aja. Jangan ganggu orang yang lagi makan enak!" bentaknya, sambil mengusap leher dan cegukan.

Setelah itu, ia kembali duduk dengan tenang dan melanjutkan makannya, seolah tak terjadi apa-apa.

Melihat orang yang telah melempar temannya tidak memperhatikan mereka, dua orang berseragam kuning langsung bergerak gesit. Serempak mereka mencabut golok dan mengayunkannya dari atas kepala Raka, berniat membabatnya dari atas.

Dengan tenang, tanpa menoleh sedikit pun ke arah datangnya serangan, tangan kiri Raka terangkat. Tahu-tahu kedua golok itu sudah terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Semua mata di dalam warung makan itu terbelalak bukan hanya pemilik golok, tapi juga semua pengunjung yang melihat kejadian itu.

Kedua pemilik golok berusaha menarik senjatanya dengan sekuat tenaga, tapi seolah-olah golok-golok itu menempel pada magnet super kuat. Padahal Raka masih santai menyantap makanannya dengan tangan kanan.

Setelah beberapa saat mereka berusaha, Raka berdiri. Ia menghentakkan tangan kirinya, membuat kedua golok itu lepas dan melayang di samping tubuhnya. Kedua pemiliknya langsung terhuyung ke depan. Seketika, tangan Raka sudah menangkap kedua tangan mereka, lalu menghentaknya ke arah berlawanan. Seketika itu juga tubuh mereka terlempar dan terjerembab keluar dari warung, tepat di sebelah temannya yang lebih dulu terpelanting ke sana.

BUKKK...

"Kalau mau nyolong kuda itu, ambil aja...!! Tapi cepat pergi dari sini sebelum nafsu makanku berubah jadi nafsu membunuh..." ancam Raka dengan dingin, membuat ketiga pencuri itu langsung lari tunggang-langgang, meninggalkan kuda di tempat semula.

Raka kemudian menoleh ke arah pemilik warung.

"Pak... saya sudah kenyang, terima kasih atas makanannya yang enak. Tapi saya nggak punya uang... jadi ambil saja kuda itu," ucap Raka tenang sambil melangkah pergi meninggalkan warung.

Pemilik warung hanya mengangguk dengan wajah campur aduk antara takut dan bingung. Entah dia harus senang karena sepiring makanan sederhana ditukar dengan seekor kuda bagus yang harganya selangit jauh dari apa yang bisa ia beli seumur hidup atau kecewa karena bukan uang yang didapat, melainkan kuda yang tadi hampir dicuri dan malah jadi penyebab para perampok itu kabur dalam rasa malu.

Bukit itu gersang dan tandus, hanya ditumbuhi lumut-lumut keras yang bertahan di antara bebatuan cadas. Susunan batu itu terbentuk dari letusan dahsyat Gunung Bromo ribuan tahun lalu, kini berdiri kokoh seolah menantang siapa pun yang ingin melintasinya. Tak ada jalur yang bisa dilewati untuk mendaki. Sekelilingnya dipenuhi batu-batu tajam menyerupai mata tombak, hasil kikisan air hujan dari waktu ke waktu. Tak hanya tajam, batu-batu itu juga licin dan curam siapa pun yang mencoba menapakinya, harus siap menantang maut.

Mendaki bukit itu bukan perkara mudah. Sedikit saja kaki salah pijak, nyawa bisa melayang.

Lantas, benarkah tak ada seorang pun yang pernah berhasil mencapai puncaknya?

Nyatanya, kini di puncak bukit itu tengah berkumpul puluhan orang. Tapi tentu saja, mereka bukan orang biasa. Hanya mereka yang menguasai ilmu meringankan tubuh dan memiliki tingkat kanuragan tinggi yang mampu menaklukkan tanjakan terjal yang menyeramkan itu.

Di antara yang hadir tampak tokoh-tokoh besar dari kalangan aliran putih Kyai Koneng, Kyai Banjar Banyu Bening, Kyai Tapak Wengi, Banjar Kalianget, serta pendekar-pendekar kawakan lainnya yang nama dan kesaktiannya sudah melegenda.

Banjar Kalianget berdiri di atas batu datar besar yang seolah memang disediakan alam sebagai mimbar alamiah. Ia membuka pertemuan dengan suara lantang namun penuh hormat:

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih atas kehadiran para saudara seperguruan dalam pertemuan kali ini.

Saya diutus oleh Kyai Banjar Banyu Bening untuk mengundang panjenengan semua, guna membahas perkara yang belakangan ini sangat meresahkan dunia persilatan kita.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, kenapa kita berkumpul di tempat seterpencil dan sesulit ini? Bukan maksud kami menguji kemampuan panjenengan semua, tapi tempat ini dipilih atas usulan Kyai Koneng. Sebab di sinilah tempat paling tersembunyi, jauh dari keramaian, dan mustahil ada penyusup yang bisa mencuri dengar isi musyawarah kita. Maka kami..."

(Ucapan itu menggantung sejenak, menandai bahwa sesuatu yang penting akan segera disampaikan.)

Bab 3

"Sudah kami pasang tilik sandi di sekitar tempat ini, jaga-jaga kalau-kalau ada yang mau mengacau atau mencuri dengar," ujar Banjar Kalianget. Ucapannya disambut anggukan dari semua yang hadir. Mereka makin penasaran, sebenarnya hal sepenting apa yang akan dibahas sampai-sampai tempatnya pun begitu khusus dan tersembunyi.

Seorang pria berpakaian rapi, dengan pedang tipis terselip di pinggang tak lain Aji Mahendra, si Pendekar Pedang Naga mengangkat suara.

"Maafkan kalau hamba lancang. Melihat pentingnya pertemuan ini, dan waktu yang tidak banyak sementara kami pun masih ada urusan yang belum selesai izinkan hamba mengusulkan agar kita langsung saja pada inti pembahasan," ucapnya sopan namun tegas.

Yang lain tampak mengangguk, setuju dengan usulan itu. Kyai Banjar Banyu Bening tersenyum maklum, lalu berdiri pelan-pelan.

"Terima kasih atas kedatangan kalian. Sudah meluangkan waktu untuk memenuhi undangan kami. Saya dan adik saya, Kyai Koneng, sudah banyak berdiskusi soal kejadian-kejadian yang belakangan ini mengguncang dunia persilatan. Tapi kami menemui satu masalah yang belum juga kami temukan jalan keluarnya."

"Masalah apakah itu, Kyai...?" tanya seorang tua dengan tasbih besar melingkar di lehernya. Suaranya berat, wajahnya penuh tanda tanya.

Semua tokoh yang hadir tampak sangat segan begitu Kyai Banjar Banyu Bening memasuki pendapa. Wibawanya seperti menenangkan angin, tapi juga menyisakan rasa hormat yang dalam.

“Tentang Pendekar Iblis…” suara berat Kyai Koneng tiba-tiba memecah keheningan. Ucapannya membuat para hadirin saling pandang, heran sekaligus waspada. Siapa sebenarnya tokoh asing berjuluk Pendekar Iblis itu, sampai-sampai seorang petinggi aliran putih merasa perlu angkat bicara?

“Ya, benar... tentang Pendekar Iblis itu,” sambung Kyai Banjar Banyu Bening dengan tenang, namun sarat kecemasan. “Terus terang, sampai saat ini saya belum pernah berjumpa langsung dengannya. Tapi kabar yang beredar sudah cukup membuat kami gelisah.”

Yang lain mengangguk pelan, seolah merasakan kegelisahan yang sama. Sosok yang belakangan ini membuat geger dunia persilatan itu memang misterius. Tak satu pun dari mereka pernah benar-benar melihat wajahnya.

“Pendekar Iblis, hingga kini masih menjadi bayang-bayang yang mencemaskan,” lanjut Kyai Banjar. “Ia bertindak seperti binatang buas, tanpa pertimbangan, hanya mengikuti nalurinya. Jika dibiarkan, bisa jadi ancaman besar bagi tatanan dunia persilatan. Bahkan, saya dengar kabar, Kyai Prana yang konon bekas gurunya tewas mengenaskan di tangannya.”

Kyai Koneng menimpali, “Tapi jangan lupa, banyak juga tokoh aliran hitam yang binasa oleh tangannya…”

"Saya juga pernah dengar soal kematian Kyai Prana yang katanya dibunuh bekas muridnya sendiri. Kabarnya, waktu itu Kyai Prana nangkep kepala perampok, terus maksa dia ngaku dengan cara yang agak kejam. Nah, si Pendekar Iblis nggak terima itu, akhirnya bentrok lah mereka," jelas salah satu warga Banjar Kalianget.

"Terus, menurut Kyai gimana? Apa kita harus basmi aja si Pendekar Iblis itu...?" tanya seorang perempuan muda berpakaian hijau, dengan sebilah pedang berbentuk bulan tergantung di punggungnya.

"Jangan gegabah gitu, Kirana," sahut Kyai Koneng sambil melirik tenang ke arah wanita cantik yang dikenal dengan nama asli Kirana, atau yang lebih dikenal sebagai Dewi Pedang Bulan.

"Lalu sebaiknya gimana sikap kita terhadap Pendekar Iblis, Kyai?" tanya Aji Mahendra, yang dari tadi mendengarkan dengan serius.

Kyai Koneng menghela napas sebentar, lalu menjawab, "Kalau kita lihat dari cerita-cerita yang beredar, juga dari sikap-sikapnya belakangan ini, dia memang keliatan kejam. Tapi kalau ditelusuri, itu semua karena dia dipenuhi dendam dan benci karena keluarganya dulu mati di tangan Pendekar Tua, si Pengemis Nyawa. Dari situ kelihatan, dia itu sebenarnya marah sama ketidakadilan. Walaupun caranya salah dan kejam, tapi itu artinya dia masih punya hati... masih ada sisi manusiawinya."

Semua yang hadir terdiam, saling pandang, lalu hampir serempak bertanya,"Maksud Kyai...?"

"Andaikan bisa nyadarin dia dari bayang-bayang masa lalunya yang pahit itu, pasti dia bakal jadi orang baik. Bahkan bisa jadi senjata pamungkas buat ngelawan golongan hitam," ujar Kyai Koneng sambil menatap kosong ke kejauhan.

"Tapi, apa ada caranya buat nyadarin dia, Kyai...!!" sergah seorang pendekar muda yang ikut hadir di sana. Nada suaranya terdengar kesal, seolah nggak sabar pengen ketemu Pendekar iblis dan langsung nebas kepalanya, apalagi setelah denger semua kejahatan yang udah dilakukannya bahkan gurunya sendiri pun tega dibunuh.

"Pasti ada… dan itu yang perlu kita pikirin bareng-bareng," sahut Kyai Koneng kalem.

"Mending kita basmi aja sekalian, Kyai, daripada terus jadi beban. Saya siap jalankan tugas itu," tantang Aji Mahendra dengan penuh tekad.

Kyai Banjar cuma tersenyum bijak. "Saya tahu kamu hebat, Pendekar Pedang Naga. Kamu pasti sanggup hadapin Pendekar Iblis. Tapi ingat, dia bukan lawan yang bisa diremehin. Saya sendiri aja belum tentu bisa menang lawan dia," ucap Kyai Banjar dengan tenang.

Semua yang ada di situ langsung melongo, nggak percaya. Tokoh sehebat Kyai Banjar, sampai ngomong begitu?

"Ah, mana mungkin, Kyai…?" sahut Kirana tak percaya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!