Langkah Sekar Pratiwi keluar dari bandara seperti bayangan. Pelan, senyap, dan tanpa arah. Troli berisi koper besar mengiringi di belakangnya, berderak lembut di lantai ubin yang mengilap. Udara Jakarta malam itu lembap dan pekat, seolah mengingatkannya bahwa ini bukan tempat yang pernah ia rindukan.
Langit mendung. Bandara ramai. Tapi di dadanya hanya ada kesunyian.
Dia tak tahu harus merasa apa. Tak ada sambutan. Tak ada rumah. Tak ada pelukan ibu yang menunggu di depan pintu seperti dalam film-film keluarga. Yang ada hanya... ruang hampa.
Sudah lima tahun sejak malam terakhir itu. Sejak napas berat laki-laki tua itu kembali merayap ke lehernya. Sejak ibunya menutup pintu kamar dan membiarkan semuanya terjadi. Sejak tubuhnya terasa bukan miliknya lagi. Sejak dunia berhenti menjadi tempat yang aman.
Philadelphia pernah jadi ruang napas, meski sendiri. Setidaknya di sana, tak ada yang menyentuh. Tak ada yang tahu. Ia bisa menjadi siapa pun—atau tidak jadi siapa-siapa. Tapi itu pun berakhir saat izin tinggalnya habis. Dunia seolah berkata: “Sudah cukup bersembunyi. Kembali dan hadapi semuanya.”
Ia menatap taksi yang terparkir di pinggir trotoar, lalu membuka pintu belakang dan masuk.
“Selamat malam, Mbak. Mau ke mana?”
Pertanyaan sopir itu sederhana. Tapi Sekar terdiam.
Ke mana?
Pertanyaan itu menggema dalam benaknya.
Ia tak punya rumah. Tak punya keluarga. Tak ada siapa pun yang menunggunya. Yang ia punya hanya sebuah kunci apartemen kecil yang katanya disediakan rumah sakit tempatnya bekerja. Ia belum pernah ke sana. Hanya tahu alamatnya tertulis di email HRD yang bahkan belum ia buka ulang sejak mendarat.
Tangannya gemetar sedikit saat membuka ponsel, membuka email bertajuk: “Penempatan Akomodasi & Fasilitas” dari bagian HRD.
Di bawah daftar barang yang sudah disiapkan, tertulis: “Kunci apartemen Anda sudah diletakkan di dalam laci resepsionis Tower C, atas nama Sekar Pratiwi. Silakan ambil dengan menunjukkan paspor atau kartu identitas.”
Ia menghela napas pelan.
“Mas... ke Andana Tower. Saya ambil kuncinya di resepsionis,” ucapnya akhirnya.
“Oh, iya Mbak. Siap.”
Mobil melaju, menyusuri tol bandara yang licin. Sekar menatap keluar jendela. Jakarta tetap sama: bising, penuh lampu, penuh orang.
Dan tetap bukan rumah.
***
Satu minggu berlalu sejak malam pertama itu. Apartemen kecilnya sunyi, tapi aman. Rapi, dingin, tak ada suara lain kecuali detak jam. Dan itu cukup untuk Sekar.
Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia datang ke rumah sakit lebih awal dari siapa pun. Jas putihnya bersih, rambutnya disanggul rapi, wajahnya tetap datar. Waktu masih menunjukkan pukul 06.40 ketika ia membuka pintu kaca bertuliskan:
“Kepala Instalasi Farmasi – Sekar Pratiwi, PharmD.”
Nama dan gelarnya kini terpajang jelas. Ia memang baru tiba dari Amerika seminggu lalu, tapi CV-nya berbicara lebih banyak daripada usia atau penampilan. Ia lulusan Doctor of Pharmacy dari Massachusetts College of Pharmacy and Health Sciences, dan sempat bekerja di Thomas Jefferson University Hospital, Philadelphia—rumah sakit akademik ternama dengan sistem farmasi klinis yang ketat.
Selama lebih dari tiga tahun di sana, ia mengurusi logistik obat Emergensi, peracikan formulasi IV, hingga pelatihan farmasi untuk pasien onkologi. Semua itu dikerjakan dengan presisi, disiplin, dan tanpa cela.
Tak heran kalau rumah sakit ini langsung merekrutnya bahkan sebelum ia benar-benar menginjakkan kaki kembali di Jakarta.
Tapi bagi Sekar, semua itu hanya statistik. Ia tak peduli dengan jabatan atau pujian. Ia hanya butuh satu hal: tempat untuk tenggelam dalam kerja, agar pikirannya tidak sempat mengingat apa-apa.
Pagi itu, ia duduk di ruangannya, menatap layar komputer yang menampilkan dashboard sistem distribusi obat. Ada notifikasi masuk dari Unit Anak dan ruang ICU. Sekar menyesap kopi hitam yang sudah mulai dingin di meja. Ia sudah memeriksa dua batch logistik pagi ini, menyetujui empat permintaan khusus, dan mengecek stok morfin untuk pasien paliatif.
Pintu diketuk pelan. Seorang staf farmasi, Rina—apoteker muda yang baru enam bulan bekerja—muncul dengan wajah canggung.
“Permisi, Bu Sekar,” ucapnya hati-hati.
Sekar tidak menoleh. “Ada apa?”
Rina melangkah pelan masuk. “Dari ruang rawat anak, Bu. Tadi malam ada pencatatan yang salah di lembaran logistik. Saya sudah revisi dan input ulang, tapi tetap harus validasi dari Ibu.”
Sekar mengetik cepat, membuka file yang dimaksud.
“ICU juga minta approval untuk amikasin IV pagi ini. Saya sudah screening resepnya.”
Sekar membaca sekilas, lalu mengangguk kecil.
“Cetak berkasnya dan letakkan di tray validasi. Saya akan cek manual setelah jam delapan. Untuk sekarang, update sistemnya dulu.”
“Baik, Bu.”
Rina berdiri diam beberapa detik. Seperti mau bicara lebih, tapi takut. Sekar mendongak.
“Ada lagi?”
“Eh, nggak, Bu. Iya. Terima kasih.” Rina langsung pergi.
Sekar menghela napas pelan. Interaksi seperti ini—singkat, tegang, kaku—sudah menjadi rutinitas sejak hari pertama.
Begitu ia keluar ruangannya untuk mengecek stok di lemari pendingin, beberapa staf yang sedang sarapan di ruang istirahat staf khusus farmasi pun langsung menoleh. Suara obrolan pelan itu tak lebih dari bisikan, tapi cukup jelas untuk ditangkap telinganya.
“Seriusan nggak pernah senyum ya dia?”
“Baru seminggu kerja udah kayak big boss songong aja dia. Belagu banget gue lihat-lihat.”
“Cantik sih. Tapi serem banget. Siapa yang tahan sama orang begitu?”
Sekar berdiri di depan mesin pendingin, membuka rak bawah, memeriksa label. Diam. Tapi di balik tatapannya yang fokus, pikirannya berisik.
Namun—tidak! Sekar tidak menangis. Tak menunjukkan ekspresi yang cukup berarti. Meski dadanya sesak, wajahnya tetap tenang. Lalu, dia membalikkan badan ke arah orang-orang iu hingga membuat mereka terkejut karena di gap tiba-tiba.
Salah satu di antaranya tersenyum—pura-pura baik. Pura-pura tak terjadi apa-apa. Seolah Sekar tak mendengar semuanya.
“Selamat pagi, Bu Sekar.”
Klise.Sekar menyahut dalam hati. Sebuah sapaan formalitas yang tak berarti apa-apa.
Ia justru melangkah ke arah mereka. Tiap langkahnya selaras dengan bunyi detik jam di dinding. Suasana sarapan penuh gosip itu berubah tegang. Tak ada yang bicara—bahkan tak ada yang berani mengangkat wajah untuk memandangnya.
Hening menguasai suasana.
Sampai akhirnya, di tengah sunyi melanda, Sekar bersuara;
“Pastikan pekerjaan kalian lebih rapi dari cara kalian bergosip,” ucapnya tenang. Dingin. Tajam.
Tak menunggu respons, Sekar melanjutkan langkah. Suasana mendadak beku. Wajah-wajah yang tadi sempat menyeringai kini membeku seperti baru ditepuk angin musim dingin.
Sementara di sisi lain, tepatnya di ujung lorong, sebelum belokan menuju ruang poli anak, seorang pria keluar dari salah satu ruangan. Tinggi, bersih, jas dokter putih menggantung di bahu, dan ID card rumah sakit melingkar di lehernya.
Bersamaan dengan itu Sekar keluar dari ruangannya dengan maksud ingin mencari sarapan pagi sebelum lanjut bekerja. Ah, meladeni manusia-manusia menyebalkan itu memang menguras tenaga.
Keduanya berjalan dari arah berlawanan—sampai akhirnya berpapasan.
Seketika, Sekar menoleh.
Pria itu juga menoleh.
Hanya sepersekian detik. Tidak ada kata. Tidak ada senyum. Hanya pandangan yang bersilangan, diam-diam mengendap dalam kepala masing-masing.
Langkah Sekar sempat melambat. Tapi tidak berhenti.
Satu, dua detik kemudian, ia kembali berjalan seperti biasa. Datar. Tegas. Tapi ada sesuatu dalam detak jantungnya yang berubah tempo.
“Dia siapa?”
“Dok, ini yang nomor tujuh belum mau minum obatnya. Ibunya bilang dia rewel terus dari pagi.”
Hanif menoleh ke perawat yang menyusul langkahnya ke lorong ruang rawat anak. Wajahnya tetap tenang, seperti biasa. Tapi matanya langsung bergerak cepat ke nama pasien di daftar. Arya, empat tahun. Dirawat karena pneumonia ringan. Sudah tiga hari di ruang isolasi.
Ia membuka pintu perlahan. Di dalam, anak laki-laki kecil itu meringkuk di pojokan ranjang, mukanya sembab, rambutnya acak-acakan. Ibunya berdiri di samping tempat tidur, wajah cemas bercampur lelah.
“Dok...,” sapa Ibu itu.
Hanif mengangguk, mengulum segaris senyum ramah sebelum akhirnya mendudukkan diri di tepi brankar, merendahkan diri sejajar dengan pandangan bocah itu.
“Pagi, Arya.” Suara Hanif bergumam pelan. Tapi anak itu tak menoleh. Maka Hanif pun mengusap puncak kepalanya pelan.
“Kamu udah makan belum, hmm?”
Arya tidak menjawab. Ia memeluk bantalnya makin erat, kepala menggeleng pelan. Suaranya masih serak karena batuk.
“Dengar-dengar kamu suka robot? Kemarin dokter Hanif liat kamu mainin robot dinosaurus, ya?”
Anak itu menoleh sedikit. Masih cemberut, tapi rasa penasaran sudah muncul di matanya. Hanif tersenyum, lalu mengeluarkan satu stiker hologram kecil dari saku jasnya. Bergambar robot biru menyala.
“Kalau Arya bisa minum obat sirupnya sampai habis, stiker ini punya kamu. Deal?”
Arya menatap ragu, tapi matanya berkaca-kaca.
“Serius?”
Hanif mengangguk. “Tentu. Nggak cuma kali ini. Besok kalau dokter dapat laporan kamu minum obatnya yang rajin, dokter bawain mainan yang lebih banyak. Setuju?”
Arya akhirnya mengangguk. Pelan, tapi pasti. Hanif menyuapkan obatnya sendiri, sabar menunggu sampai setetes terakhir tertelan.
“Good job!” serunya pelan sambil menepuk kepala Arya. Ia tempelkan stikernya di ujung tempat tidur, membuat anak itu tersenyum kecil untuk pertama kalinya hari itu.
Ibunya mengusap air mata. “Terima kasih, Dok. Andai semua dokter sepeduli ini…”
Hanif hanya mengangguk pelan. “Anak-anak cuma perlu diajak ngobrol. Kadang mereka lebih peka dari kita.”
Dan setelahnya dia memeriksa kondisi Arya, lantas meresepkan obat pada perawat yang bertugas. Sebelum ia keluar dari ruangan itu, Arya memegangi tangannya.
“Terima kasih, Pak Dokter,” cicit Arya malu-malu.
Hanif tersenyum tulus. Dia usap puncak kepala Arya sambil berkata, “sama-sama, anak manis. Jangan lupa minum obatnya. Besok kita ketemu lagi.”
“Bawain aku mainan, ya!”
“Arya,” tegur sang ibu.
Hanif menoleh sambil mengangguk ringan, “biar aja Bu, nggak apa-apa. Asal dek Arya cepat sembuh.”
“Sekali lagi makasih ya, Dok. Maaf jadi ngerepotin.”
“Nggak masalah.”
Begitu keluar dari ruangan, langkah Hanif melambat. Senyumnya memudar.
Ia sudah terbiasa menenangkan anak-anak. Mengusap punggung yang kecil. Menyeka air mata mungil. Tapi ia belum pernah tahu cara menyembuhkan dirinya sendiri.
Hanif, anak pertama. Cucu pertama. Harapan pertama.
Sejak kecil, ia ditanamkan banyak hal: harus pintar, harus tenang, harus bisa jaga nama baik keluarga. Kalau adik salah, kakak yang diminta mengalah. Kalau nilai turun sedikit, langsung dibandingkan. Dan ketika tumbuh dewasa, tekanan itu berubah jadi tuntutan lain: harus jadi panutan, harus sukses, harus punya keluarga yang harmonis.
Tapi sampai hari ini, Hanif masih sendiri.
Tiap melihat anak-anak, ia juga teringat dengan mimpi-mimpinya dengan Yuna—sang mantan kekasih—yang terpaksa harus dikubur dalam-dalam.
Tinggal selangkah lagi menuju pelaminan, Yuna malah memilih karir dan pendidikannya. Yang membuat dirinya sadar mereka berbeda prinsip, dan mau tak mau harus ia lepas demi kebaikan mereka berdua.
Dan Jenar...
Perempuan yang dulu sering hadir, tapi tak pernah benar-benar dilihat. Sampai akhirnya ia pergi. Jenar—perempuan yang sering ke rumahnya karena berteman dengan Hana, adiknya. Hanif tahu gadis itu sering mencuri-curi pandang padanya, atau sekedar membahas sesuatu yang membuatnya ikut menimbrung. Kadang terdengar pula suara berisik mereka berdua. Seperti;
“Itu Mas gue di kamar. Lo nanya-nanya apa, kek, gitu, tentang kesehatan anak! Buruan!”
“Nggak, ah. Gue malu, Han.”
Hanif menyadarinya terlambat—setelah Yuna pergi. Ia biarkan air mata Jenar jatuh beberapa kali karena dirinya. Sampai akhirnya perempuan itu menemukan tambatan hati, pria yang tulus mencintainya dan membawanya ke jenjang pernikahan.
Sekarang, Hanif tak punya siapa-siapa. Kecuali pekerjaannya. Dan adiknya, Hana, yang baru tadi pagi mengirim pesan:
[Mas, aku nikah tiga bulan lagi. Tolong bawa pasangan ya. Masa datang sendiri?]
Hanif tidak membalas. Tidak tahu harus bilang apa.
Ia memasuki ruang istirahat dokter. Sepi. Hanya ada bunyi jam dinding dan kulkas kecil di pojok. Bekalnya masih utuh, belum tersentuh sejak pagi. Ia duduk. Menunduk. Diam. Pergerakannya cukup tenang membuka kotak bekal itu.
Tak lama, suara baki logam menabrak meja membuatnya mendongak.
“Lo masih manusia ternyata,” suara Joe, temannya dari bagian anestesi.
Hanif tersenyum setengah. “Laper juga, Jo.”
Joe duduk, membuka bungkusan nasi padangnya.
“Gue kira lo lagi puasa batin kayak biasa.”
“Lo datang cuma buat ngejek gue?”
“Enggak. Tapi serius, lo makin kelihatan sendirian, Han. Mana bentar lagi Hana nikah, ya? Wah, harus cari pasangan sih, lo. Masa adik lo duluan yang nikah dan lo masih jomblo-jomblo aja?”
Hanif tidak menjawab. Tangannya cuma memutar sendok. Tapi Joe cukup paham. Maka ia ganti topik. Ya, bukan gimana-gimana. Hanif kalau marah bahaya juga. Mainnya silent treatment. Joe sudah dua kali menjadi samsak amukan lelaki itu. Dan bujuknya? Susah minta ampun.
“Eh, lo udah pernah ketemu kepala farmasi baru itu belum?”
Hanif melirik. “Belum.”
“Namanya Sekar. Sekar Pratiwi. Pindahan dari luar. Pintar, cantik, dingin banget. Gue banyak dapat laporan dari perawat sama staf farmasi. Nggak ada yang betah bergaul sama perempuan itu.”
Hanif mengerutkan kening. “Kenapa?”
“Gaya kerjanya kaku. Langsung ganti-ganti obat tanpa konfirmasi. Tegas, tajam, nggak suka basa-basi. Semua orang kayak... takut sama dia.”
Hanif diam. Sekar. Nama yang belum pernah ia dengar, tapi sekarang menempel di kepalanya.
“Lo jangan-jangan penasaran?” Joe menyipitkan mata, menahan tawa.
Hanif tersenyum samar.
“Nggak. Gue cuma... pengen tahu aja. Orang yang semua orang hindari... biasanya punya cerita yang gak semua orang bisa pahami.”
“Hati-hati, lho. Ntar lo jatuh cinta lagi sama dia.” Joe segera menggeleng. “Nggak ah. Gue rasa lo nggak akan segila itu jatuh cinta sama tipe-tipe kayak dia. Mantan lo aja spek Yuna. Cewek lemah lembut yang keibuan. Jangan sampai deh lo sama kulkas dingin kayak gitu,” kata Joe, pura-pura mengedikkan bahu seakan-akan terlihat ilfeel.
Hanif mengangguk yakin. “Gue juga nggak berminat buka hati lagi. Ya mungkin gue nggak ditakdirkan sama Tuhan buat punya keluarga kecil. Lagian ngelihatin anak-anak setiap hari udah lebih dari cukup, kok.”
Lalu meneguk air mineral yang ada di mejanya.
Joe hanya mengerutkan dahi, makin tak paham dengan jalan pikiran Hanif.
“Terus soal pernikahan Hana? Lo datang sama siapa nanti?”
Sendiri.” Hanif menjawab tenang, tapi yakin. “Nggak ada yang salah dengan datang ke sana sendirian, kan?”
Sekar tahu posisinya di sini—yang tiba-tiba menjadi kepala apoteker—akan membuatnya banyak memiliki musuh, apalagi dengan begitu defensif dan dingin dirinya. Namun Sekar tak peduli. Ia hanya melakukan hal yang ia cintai dan menyibukkan diri untuk melupakan semua traumanya. Beberapa staf menghindarinya dan beberapa menjilat padanya.
Malam itu, Sekar duduk di ruangannya yang dingin dan nyaris tanpa dekorasi pribadi. Hanya ada meja besar berlapis kaca, rak dokumen berisi berkas-berkas pengadaan, serta papan tulis kecil yang penuh dengan catatan teknis dan diagram alur distribusi obat. Tak ada foto keluarga. Tak ada tanaman meja. Hanya tumpukan laporan dan layar komputer yang terus menyala.
Ia bisa membedakan siapa yang tulus dan siapa yang tidak. Yang tersenyum hanya jika butuh tanda tangan, dan yang pura-pura peduli demi bisa memindahkan jadwal shift. Tapi Sekar tidak ambil hati. Ia tidak datang untuk mencari teman. Ia datang untuk bekerja.
Pandangannya tertuju pada spreadsheet distribusi obat yang belum sesuai estimasi. Klinik anak mengalami lonjakan pasien ISPA, tapi stok sirup parasetamol justru menipis. Sekar mengernyit, mengetuk-ngetuk meja dengan ujung penanya.
"Bu Sekar... ini, laporan dari distributor kemarin," ujar Dina, staf farmasi junior, muncul di ambang pintu dengan tubuh sedikit membungkuk. Wajahnya ragu.
Sekar tetap menatap layarnya. “Taruh saja di meja. Saya periksa nanti.”
Dina menurut, lalu segera keluar dengan langkah cepat.
Begitu ruangan kembali sepi, Sekar mendesah pelan. Ia sadar nada bicaranya kadang terdengar keras. Tapi ia sudah terlalu lama berusaha bertahan di dunia yang menuntutnya kuat, untuk sekarang bisa berpura-pura lembut.
Ia mencoba menikmati hidupnya di sini, hidup barunya di tanah kelahirannya. Semua biasa saja dan berjalan normal bagi Sekar, sampai seorang dokter anak mendatanginya saat ia masih bekerja menggantikan timnya jam sembilan malam.
Ruang farmasi sudah sepi. Suara pendingin udara mengisi keheningan. Lampu-lampu sebagian sudah dipadamkan, menyisakan satu cahaya kuning pucat di meja kerja Sekar. Di sekelilingnya, tumpukan berkas permintaan obat, laporan distribusi harian, dan catatan mutasi stok masih berserakan.
Ia menghela napas pelan, menegakkan punggung yang mulai pegal. Biasanya, jam segini ia sudah pulang atau setidaknya mengunci ruangannya. Tapi malam ini, ia memilih menggantikan salah satu timnya yang izin mendadak. Mungkin agar tak terlalu larut dalam pikirannya sendiri. Mungkin karena bekerja membuatnya lupa rasa sepi.
Tangannya kembali sibuk mengisi formulir elektronik. Matanya lelah, tapi fokusnya tak bergeser sedikit pun. Ia selalu bekerja seperti itu—teratur, presisi, tanpa celah. Bukan karena ingin dilihat sempurna, tapi karena ia tahu... satu-satunya hal yang masih bisa ia kontrol adalah pekerjaannya.
Dan ia tidak tahu, malam itu akan menjadi awal dari sesuatu yang berbeda. Tepat saat semua tampak biasa saja, langkah kaki seseorang mulai mendekat ke ruangannya.
Sekar yang sedang menyelesaikan pekerjaan itu di kejutkan dengan suara langkah kaki tergesa berhenti di depan ruang ini. Ketukan terdengar cepat dan berat, menandakan situasi darurat.
Sekar membuka pintu. Seorang dokter umum berjaga—ia mengenalnya hanya sebatas wajah—berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit terburu.
“Bu Sekar, kami butuh ceftriaxone injeksi sekarang. Dr. Hanif yang minta, pasien anak usia dua tahun, demam tinggi, dugaan sepsis.”
Sekar refleks menggeleng. “Ceftriaxone untuk anak di bawah lima tahun? Itu bukan pilihan pertama. Ada risiko, terutama bila belum ada pemeriksaan fungsi hati dan ginjal.”
“Saya tahu. Tapi ini kondisi emergency. Dr. Hanif bilang bisa digunakan dengan penyesuaian dosis. Pasien sudah lemas, saturasi drop.”
Sekar tetap tidak bergeming. Ia mengambil berkas permintaan dan memeriksanya cepat. “Saya ganti dengan cefotaxime, masih dalam protokol dan lebih aman untuk anak usia segitu.”
“Bu Sekar... kami butuh cepat,” ujar sang dokter, suara mulai terdesak.
“Justru karena itu saya tidak mau ambil risiko dengan obat yang kontra indikatif,” jawab Sekar tenang. Ia menuliskan perubahan pada formulir, menandatanganinya, lalu menunjuk ke tumpukan rak pendingin. “Itu. Laci nomor tiga. Silakan ambil. Dr. Arga sudah menyetujui perubahan ini.”
Dokter itu sempat terdiam sejenak, menatap Sekar dengan bingung sekaligus kagum. Ia mengangguk singkat, lalu segera pergi membawa obat.
Begitu ruangan kembali sepi, Sekar bersandar sejenak di tepi meja. Ia tahu keputusan ini bisa membuatnya berhadapan langsung dengan Dr. Hanif besok pagi—dokter anak yang dikenal cerdas, tegas, tapi juga keras kepala.
Namun Sekar tidak peduli. Ia memilih sesuai pengetahuan dan prinsipnya. Malam itu mungkin tampak biasa bagi yang lain. Tapi bagi Sekar, itulah pertama kalinya nama Hanif terukir di pikirannya.
****
Setelah memastikan pasien kecil itu membaik, Hanif berjalan menuju ruang farmasi. Rumor tentang kepala apoteker baru yang dingin dan tak bisa diajak kerja sama sudah santer terdengar di antara para dokter jaga. Beberapa bilang Sekar terlalu kaku. Ada yang bilang dia belagu. Dan Hanif, yang merasa keputusannya malam tadi dilewati begitu saja, tidak berniat membiarkannya berlalu.
Langkahnya cepat dan mantap. Farmasi sudah sepi, hanya ada cahaya kuning remang yang menyinari ruang tengah. Hanif langsung mengenali sosok perempuan di balik meja kaca besar itu. Rambut Sekar terikat rapi, wajahnya tertunduk di depan layar komputer, jari-jarinya masih mengetik cepat meski jam sudah menunjukkan lewat pukul sembilan.
"Bu Sekar," panggil Hanif datar, namun cukup keras untuk membuat Sekar menoleh.
Ia mengangkat wajah, menatap Hanif tanpa ekspresi. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Dokter?"
Hanif tidak langsung menjawab. Matanya menelusuri wajah Sekar, mencoba menahan emosi yang tadi sempat membuncah. Tapi ada jeda singkat saat pandangannya terpaku—sekilas—pada sorot mata perempuan itu. Ada dingin, tapi juga kelelahan yang tak bisa disembunyikan.
"Apa kamu selalu begitu? Mengganti keputusan tanpa konfirmasi langsung ke dokter penanggung jawab?" Hanif bertanya, suaranya pelan tapi tegas.
Sekar mendesis pelan, menyandarkan tubuh di kursi dengan wajah yang mulai memerah. “Aku sudah sering menangani kasus seperti ini. Jangan sok tahu, Dokter Hanif,” ucapnya tajam, menunjukkan layar laptop yang dipenuhi dokumen-dokumen berlabel Basic Pharmaceutical Guidelines – USA.
“Tuh, lihat sendiri. Di sini jelas-jelas ditulis, kandungan chloramphenicol itu tidak boleh dikonsumsi anak-anak di bawah usia dua belas tahun. Efek sampingnya bisa fatal!” suaranya meninggi.
Hanif justru terkekeh. Ia menarik ponselnya, membuka salah satu aplikasi panduan obat lokal, lalu menunjukkannya pada Sekar. “Ini versi BPOM Indonesia. Obat itu masuk daftar aman, asal dosisnya benar.”
“Masalahnya kamu itu masih pakai standar luar negeri, Sekar!” Hanif mulai kehilangan kesabaran. “Kepalamu masih di Amerika, padahal kamu sudah di Indonesia sekarang! Kita harus pakai standar lokal!”
“Aku disuruh balik ke sana karena justru ilmunya lebih maju!” Sekar bangkit dari kursinya, menatap Hanif dengan tatapan tajam. “Tapi aku memilih tetap di sini karena aku pikir aku bisa bantu orang-orang dengan pengalaman yang aku punya. Tapi kalau kamu masih menganggap semua yang lokal itu benar tanpa bisa dikritisi, ya silakan!”
Suasana di ruangan itu mendadak tegang. Hening. Hanya terdengar suara detak jam dinding dan embusan napas kesal keduanya.
Sekar menahan napas, tidak menyangka akan langsung dikonfrontasi seperti itu. Ia mengira Hanif akan mengirimkan keluhan lewat atasan atau minimal lewat email. Tapi tidak—dokter itu berdiri langsung di hadapannya, dengan rahang mengeras dan suara yang dingin.
Ia agak kaget. Bukan hanya karena cara Hanif bicara, tapi juga karena… pria itu tampan. Sialnya, sangat. Dan lebih menyebalkan lagi—dalam hatinya, Sekar harus mengakui bahwa ia salah. Fakta itu membuatnya jengah. Ia tidak pernah salah dalam keputusan klinis. Akademiknya sempurna, dan itulah yang membawanya cepat naik dalam struktur rumah sakit. Sekar hidup untuk pekerjaannya. Karena hanya itulah yang bisa ia kendalikan.
Tapi malam ini, keyakinannya goyah.
“Protokol farmasi menyebutkan—” Sekar mencoba bertahan, menyembunyikan keraguan yang mulai tumbuh.
“Protokol bisa fleksibel dalam keadaan darurat,” potong Hanif cepat. “Kita bicara soal anak dua tahun dengan sepsis. Kamu bukan di kampus, Sekar. Jangan sok pintar. Nggak semua yang kamu pelajari di bangku kuliah kamu itu bisa kamu praktekkan di sini. Apalagi dalam kondisi darurat!”
Ucapan itu menghantam lebih keras dari yang Hanif kira. Sekar terpaku sesaat. Ia mendongak menatapnya, matanya mulai kehilangan ketenangan dingin yang biasa.
Hanif memperhatikan perubahan ekspresi itu, tapi belum tahu apa artinya.
“Aku memang enggak lagi di kampus,” gumam Sekar akhirnya. “Tapi asal kamu tau ... aku juga bukan di tempat yang membuatku merasa aman.”
Ucapan itu nyaris tidak terdengar, namun cukup membuat Hanif mengernyit.
Sekar segera mengalihkan pandangan, menyibukkan diri dengan berkas di mejanya. Tapi pikirannya berputar cepat. Ia tidak suka konfrontasi—bukan karena takut, tapi karena itu mengingatkannya pada kenangan yang ingin ia kubur dalam-dalam. Kepulangannya ke Indonesia bukanlah pilihan, tapi pelarian.
Dan setiap malam, saat ia pulang ke apartemen kecilnya yang sunyi, hidup terasa seperti siksaan.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!