Hari ini seharusnya menjadi hari paling membahagiakan bagi seluruh keluarga besar Johnson, karena anak kedua mereka, Neil, akan melangsungkan resepsi pernikahan di salah satu hotel milik keluarga mereka.
Namun, kabar bahwa mempelai perempuan kabur saat akan menuju gereja membuat seluruh anggota keluarga panik.
"Kenapa dia bisa kabur?" pekik Neil dengan marah.
"Cari sampai dapat, atau kalian semua akan tahu akibatnya!" ancamnya, pada semua bodyguardnya.
Mereka pun menurut, dan membubarkan diri untuk mencari calon istri Neil yang kabur.
Melinda mencoba menenangkan Neil yang marah, meskipun dia sendiri juga terkejut dan kecewa. Sementara itu, Axel hanya menatap anaknya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Menikahlah dengan gadis lain, Neil. Dia tidak akan kembali," kata Nathan, saudara kembar Neil.
"Apa maksudmu?" tanya Neil dengan tatapan tajam.
"Dia sudah pergi dengan selingkuhannya dan dalam keadaan hamil," ungkap Nathan.
Neil tidak percaya dan pergi meninggalkan keluarganya untuk mencari Livia. Melinda menangis dalam pelukan Axel, merasa sedih karena kisah cinta anak-anaknya tidak mulus.
Lamunan Neil buyar, saat pendeta meminta Neil untuk mencium pengantin wanita, dan ya pada akhirnya. Neil menikah dengan salah satu pekerja yang dipaksa menjadi pengganti.
"Angkat wajahmu. Jangan pernah tunjukkan ini semua karena terpaksa," bisik Neil.
Zahira hanya bisa mengangguk samar agar para tamu tidak curiga. Para tamu undangan tidak ada yang menyadari bahwa pengantinnya berbeda.
Mereka hanya memberi alasan bahwa ada kesalahan dalam pencetakan nama pengantin perempuan.
Saat Neil dan Zahira berjalan keluar dari gereja, Melinda dengan segera memeluk Zahira dan mengucapkan terima kasih karena sudah mau membantunya.
"Terima kasih, nak!" kata Melinda dengan hangat.
"Sama-sama, Nyo..."
"Tidak, panggil aku Ibu, Mama, atau Mommy, terserah. Kamu sekarang menantuku, istri putraku. Jadi, panggil aku Mommy, oke?" Jelas Melinda sambil mengusap pipi Zahira dengan lembut.
Zahira merasa sedikit gugup, tapi juga merasakan kehangatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
"Ba-baiklah, Mom," sahut Zahira dengan suara yang lembut.
Untuk pertama kalinya, Zahira merasakan pelukan hangat seorang ibu. Dia teringat kembali ke masa lalunya, saat dia tinggal di rumah neneknya sendirian. Ayahnya tidak pernah ada di sampingnya, mungkin karena telah menikah lagi setelah ibunya pergi untuk selamanya.
*****
Di malam pertamanya, suaminya yang juga majikannya sebelumnya, Neil, tidak ada di sekitarnya. Setelah resepsi selesai, Zahira diarahkan ke kamar hotel yang telah disiapkan oleh Neil.
Dia menatap sekeliling kamar yang telah dihias dengan indah dan mendudukkan dirinya di sofa, tidak ingin merusak hiasan kelopak mawar yang ada di kasur. Aromaterapi pun, tidak mampu menenangkan hatinya yang sedang gundah.
"Sekarang aku harus apa?" gumamnya, masih teringat dengan kejadian sebelumnya.
Dia teringat saat keluarga Johnson panik karena pengantin wanita mereka kabur, dan dia yang kebetulan keluar dari toilet ditarik oleh Belvana dan Aiyla untuk dipaksa memakai gaun pengantin.
Jika tidak, dia akan dipecat dari pekerjaannya dan tidak ada yang mau menerimanya bekerja lagi.
Mengingat hal itu, Zahira menghela nafas pelan. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi dalam pernikahannya dengan Neil, yang terkesan dingin dan hanya bisa bersikap hangat pada ibunya dan kekasihnya yang kabur.
Tanpa terasa, Zahira pun terlelap di sofa, tanpa mengganti gaun pengantinnya.
****
Sementara itu, di tempat yang berbeda, Neil terus melampiaskan rasa kecewa dan amarahnya dengan mabuk-mabukan, ditemani oleh sepupunya, Theo dan David.
"Sudahlah, Neil. Jangan minum terus nanti teler lo, kita juga yang repot," omel Theo, menatap tiga botol yang sudah kosong.
Namun, Neil tak peduli. Dia terus menenggak habis minuman yang kadar alkoholnya cukup tinggi.
"Bukannya malam pertama di kamar, malah di bar," gerutu David. Dia pun merebut botol baru yang akan Neil tuangkan isinya.
"Cukup, Neil. Lo harus balik ke kamar," dengan tegas David berucap.
Walau usianya tiga tahun lebih muda dari Theo dan Neil, tapi dia sangat tegas dan disiplin.
"David!" pekik Neil. Dia mencoba merebut botol minuman tersebut.
"Gue bilang berhenti, ya berhenti Neil. Minum-minum nggak bakal si Livia balik lagi. Yang ada malahan lo tamat," ketus David.
Neil pun mencebik. Dia memijat pelipisnya yang mulai terasa pening.
"Ayo. Kita antar ke kamar. Kasian istri lo," ujar Theo, mulai membantu Neil bangun.
Theo dan David, membantu Neil ke kamar karena Neil sudah mulai mabuk. Setibanya di kamar. Kamar pengantin tidak dikunci membuat David berdecak.
"Teledor sekali dia," gumam David, saat masuk mereka melihat Zahira terlelap sofa.
"Akhirnya, pegel gue." Keluh Theo, setelah membaringkan Neil yang langsung tertidur. "Berat banget si Neil, kebanyakan dosa."
David pun tertawa dengan celotehan Theo.
"Sekarang kita pindahin si Zahira. Ah! Gue punya ide." David membisikan idenya pada Theo dan tertawa pada akhirnya.
"Oke, gue setuju ide lo boleh juga." Theo terkekeh
David membawa Zahira menuju ranjang yang sama dengan Neil. Entah apa yang mereka lakukan pada Zahira. Mereka keluar dari kamar tersebut dan menutup rapat pintunya.
****
Keesokan harinya, Zahira menggeliat. Dia menatap sekeliling dan baru sadar bahwa dia sudah menikah dengan anak dari majikannya.
Namun, dia sangat heran. Sejak kapan dia tidur di kasur? Bahkan dia sudah tak mengenakan gaun pengantin lagi.
"Tunggu. Seingat ku, semalam aku pakai gaun pengantin. Tapi ini ..."
Zahira menatap dirinya yang tertutup selimut tebal. Dia berteriak karena hanya memakai bra dan celana dalam.
"Akhhh! Tidak! Tidak! Tidak mungkin Tuan Neil." Zahira melirik ke arah Neil, yang polos tanpa sehelai benang pun.
Membuat Zahira lagi-lagi, menjerit. Namun, Neil sama sekali tak terganggu.
"Tidak. Pasti tidak terjadi sesuatu," gumam Zahira.
Zahira turun dari ranjang. Dengan cepat berjalan menuju kamar mandi, untuk memastikan sesuatu. Setelah pasti dia bernafas dengan lega.
"Huhh ... Masih perawan. Siapa yang melakukan ini? Keterlaluan," geramnya.
Zahira pun mandi, karena pagi ini seluruh anggota keluarga Johnson akan sarapan bersama.
Sayang Neil masih tidur dan dapat dipastikan, Zahira tidak bisa pergi tanpa suaminya tersebut.
Bersambung...
Maaf typo
Selamat datang di karya baru ku, jangan lupa dukungannya makasih 🙏
Sementara itu, Neil masih terbuai di alam mimpi, sementara Zahira sudah rapi dengan dress bunga berwarna biru.
Dengan polesan make-up tipis dan rambut yang tergerai, dia terlihat lebih cantik. Dia dengan sabar menunggu Neil bangun, meski perutnya sudah mulai lapar.
Lima menit kemudian, Neil mulai bergerak, menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Dengan tubuh polos, Zahira buru-buru memalingkan wajahnya ke arah lain saat Neil duduk dan menatap ke arahnya sambil memijat pelipisnya yang terasa pusing.
"Apa yang sedang kamu, lakukan disini?" tanya Neil.
"Jika anda lupa, saya sekarang adalah istri anda tuan Neil." Ketus Zahira, mulai sekarang dia tak akan lemah di hadapan Neil. Sebisa mungkin dia akan bersikap tegas dan kuat.
Neil pun kembali mengingat beberapa jam yang lalu, yang telah melakukan pemberkatan pernikahan dengan Zahira.
Seharusnya, dia menikah dengan Livia. Tapi sang kekasih pergi entah kemana, mengingat itu Neil menghembuskan napasnya dengan kasar.
Neil langsung bangun, tanpa dia tahu bahwa dia tak memakai busana sama sekali. Membuat Zahira menutup matanya dengan rapat, karena sekilas dia melihat sesuatu yang tegak berdiri.
"Astaga, gak tau malu." Omel Zahira, masih bisa didengar oleh Neil.
Neil berhenti melangkah, dan melirik kepada istrinya tersebut. Melihat Zahira yang menutup mata rapat, Neil menatap tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun.
"Shit! Theo, David. Awas kalian," kesal Neil, dia langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Zahira yang mendengar pintu tertutup dengan keras, menghela napas dengan pelan. Entah harus bersyukur atau bagaimana dia sekarang.
Sepuluh menit kemudian, Neil sudah selesai melakukan ritual mandinya. Dia membuka koper yang sudah disiapkan oleh keluarganya. Lalu mengambil baju santai, dan kembali ke kamar mandi.
*****
Terdengar helaan napas dari Zahira, yang memandang pintu kamar mandi dengan tatapan yang sulit diartikan. Saat asik memandang, terdengar suara bel pintu kamar.
"Sebentar, kenapa gak sabaran sih!" gerutu Zahira, entah mengapa dia merasa kesal setelah menikah paksa.
Pintu terbuka, dan Zahira menatap petugas hotel yang membawa sarapan ke kamar mereka. Di atas dorongan terdapat salad sayur, salad buah, sandwich, omelet, dan waffle yang lezat. Juga jus dan air mineral.
"Tapi, saya belum pesan, Pak!" ujar Zahira.
"Nyonya Melinda menyuruh saya untuk mengantarkan sarapan ini untuk Anda dan Tuan Neil," jelas petugas hotel dengan sopan.
Zahira tersenyum dan mengambil alih dorongan makanan. "Oh, terima kasih."
Zahira merasa beruntung memiliki mertua yang baik seperti Nyonya Melinda.
"Nyonya Melinda memang baik, dia tahu saja kalau aku sedang lapar," pikirnya. Setidaknya dia beruntung memiliki ibu mertua yang peduli, tidak seperti beberapa menantu lain yang mungkin tidak memiliki hubungan baik dengan mertua mereka.
Saat membalikkan badan, Zahira terkejut dengan Neil sudah duduk manis di sofa. Dengan terpaksa, dia pun ikut duduk di sebelah sang suami.
"Selamat makan," ucap mereka bersama, saling pandang sesaat lalu memutus pandangan tersebut.
Zahira menatap makanan yang ada di depannya, masih lapar karena lidahnya yang Indonesia memang memerlukan nasi untuk merasa kenyang.
"Kenapa, kamu masih lapar?" tanya Neil, membuat Zahira sedikit kaget dan malu.
"Makan saja semua, mulai sekarang kamu harus membiasakan diri sarapan seperti itu," kata Neil.
Zahira mengakui bahwa selama bekerja di rumah Axel, hanya makan malam saja yang menyajikan nasi, dan itu pun nasi merah bukan putih.
"Ba-baik," jawab Zahira, lalu dia menghabiskan salad buah dan sandwich dengan lahap. Neil memperhatikan Zahira dengan seksama, entah apa yang ada di pikirannya tentang istrinya yang baru ini.
*
*
*
*
Setelah selesai sarapan, Neil memutuskan untuk melakukan check-in. Dia membawa Zahira menuju apartemen miliknya, dan dia juga tahu seluruh keluarga besarnya sudah pulang ke rumah.
Berpuluh menit kemudian, mereka sudah sampai di Sky Garden Hill, kawasan apartemen mewah yang hampir sebagian keluarga Johnson miliki.
"Selamat siang Tuan dan Nyonya Johnson," sapa penjaga keamanan.
Neil mengangguk sebagai jawaban, sementara Zahira tersenyum pada penjaga tersebut.
"Jangan tersenyum," tegur Neil, bukan karena dia terpesona, tapi karena Neil tidak suka melihat Zahira akrab dengan lelaki lain.
Zahira menipiskan bibirnya dan mengikuti langkah sang suaminya menuju lift. Mereka akan menaiki lantai lima, di mana unit milik Neil berada.
Klik! Tanda kunci terbuka, dan Neil langsung masuk tanpa kata. Zahira mematung di depan pintu, mencium wangi maskulin yang menyeruak saat pintu terbuka.
Nuansa hitam dan abu mendominasi unit milik Neil, pikir Zahira saat masuk ke dalam apartemen.
"Cepat masuk!" bentak Neil. Zahira segera masuk dan melihat bahwa tidak banyak pajangan di dalam apartemen.
"Kita akan tinggal disini selama kita menikah," papar Neil.
"Jika Mommy dan Daddy meminta kita menginap, usahakan kamu harus menolak."
Zahira ingin membantah, tapi Neil melanjutkan, "Tidak ada tapi, aku suami kamu. Kamu harus menurut padaku."
Neil terus saja berbicara, tanpa memberikan Zahira kesempatan untuk bicara.
Pintu terbuka, dan asisten Erik masuk membawa berkas.
"Tuan, ini surat yang Anda minta," ujar Erik, memberikan surat perjanjian pada Neil.
Zahira membaca isinya dan menemukan bahwa perjanjian pranikah tersebut berisi tentang hak dan kewajiban mereka selama 100 hari.
Zahira terkejut melihat jumlah nafkah yang diberikan Neil, yaitu dua puluh juta per bulan.
“Dua puluh juta, banyak sekali.” Gumamnya dalam hati, gajinya saja hanya lima juta di kediaman Johnson. Itu pun, dia harus membayar hutang dan bunganya kepada rentenir bekas Neneknya di rawat.
Dia juga harus merahasiakan hubungan mereka jika ada yang bertanya nantinya. Tapi, rekan kerja Neil sudah tahu bahwa Zahira adalah istrinya.
Setelah membaca surat tersebut, Zahira menandatanganinya dan menyerahkannya kembali kepada Neil.
Jika Livia kembali, Zahira akan diberikan kompensasi berupa satu buah rumah dan uang dari Neil.
"Ingat, kita suami istri hanya di depan keluarga besar dan orang tua saja," kata Neil.
"Panggil aku sayang atau apa pun terserah kamu," sambungnya lagi.
Zahira mengangguk patuh dan menjawab,"Baik."
Neil pun meninggalkan Zahira sendiri di apartemen, meninggalkan Zahira dengan pikiran yang berputar-putar.
Zahira menatap keluar jendela, memikirkan tentang masa depan mereka. Bisakah dia menaklukkan hati Neil dalam 100 hari? Atau apakah dia akan menyerah sebelum waktu yang ditentukan habis? Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Dengan hati yang penuh pertanyaan, Zahira memutuskan untuk menenangkan diri dan menikmati waktu sendirian di apartemen yang megah ini.
Namun, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari sosok Neil dan perjanjian yang baru saja mereka tanda tangani.
Tapi urusan hati siapa yang tahu, karena Tuhan yang selalu membolak-balikan hati manusia.
Bersambung ...
Maaf typo
Karena tak ada kegiatan lain, Zahira hanya menonton televisi saja. Beruntung televisi milik Neil sudah termasuk televisi pintar jadi dia bisa menonton Drama kesukaannya.
Dulu saat dia bekerja menjadi pelayan di rumah Neil, dia akan menonton hanya waktu senggang bersama teman pelayan yang lain, jika sekarang dia bebas melakukan apapun yang dia mau.
"Lapar," keluhnya, beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur.
Zahira memutuskan untuk memasak makan siang sendiri di dapur apartemen Neil. Dia membuka kulkas dan menemukan berbagai bahan makanan yang segar dan berkualitas.
Zahira cukup tahu, bahwa Neil, Nathan dan Axel mereka jago memasak. Jadi tak heran, jika isi kulkas milik Neil selalu penuh. Karena Neil sendiri menyukai makanan rumahan, dibandingkan makanan dari luar.
Dengan keahlian memasak yang dipelajari sebelumnya, Zahira mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat hidangan yang lezat.
Dia memasak nasi dan menyiapkan beef slice, sayuran, dan telur dengan cara yang rapi dan terstruktur.
Bau masakan yang lezat mulai menyebar di dapur, membuat Zahira merasa lapar dan bersemangat untuk mencicipi hasil masakannya.
Sambil menunggu makanan matang, Zahira memikirkan tentang kehidupan barunya sebagai istri Neil.
Dia merasa bahwa memiliki keleluasaan untuk melakukan apa yang dia mau, di apartemen yang mewah ini adalah sebuah kemewahan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Setelah makanan selesai dimasak, Zahira menyajikannya di atas piring dengan sentuhan yang rapi.
Dia merasa puas dengan hasilnya dan tidak sabar untuk menikmatinya. Dengan senyum yang lebar, Zahira duduk di meja makan dan mulai menyantap makan siangnya yang lezat.
******
Sementara itu, di cafe milik Neil. Dia masih memerintahkan semua mata-mata untuk mencari Livia.
"Bagaimana perkembangan pencarian, Livia?" tanya Neil pada Erik, asistennya.
"Masih belum ada perkembangan apa pun, Tuan. Mata-mata kita masih terus mencari," jawab Erik.
Neil menghembuskan napasnya dengan kasar dan memejamkan mata, mengingat kenangan bersama Livia.
"Terus lakukan pencarian," titahnya.
"Baik, Tuan. Tapi apa Anda tidak ingin pergi ke perusahaan?" tanya Erik.
"Tidak, di sana ada Nathan. Biar dia yang urus semua. Aku ingin mandiri mendirikan usaha sendiri," jelas Neil.
Erik mengangguk dan pamit keluar dari ruangan Neil.
"Baik, Tuan." Balas Erik.
Setelah Erik pergi, Neil masih duduk termenung, memikirkan tentang Livia dan keinginannya untuk menemukan kembali kekasihnya yang hilang.
Sementara itu, Erik berjalan keluar dari ruangan Neil dengan menghembuskan nafasnya dengan sepenuh dada.
“Si bos memang keras kepala. Tapi aku tidak bisa berhenti bekerja karena gaji yang lumayan besar. Sabar, Erik. Demi tabungan biar cepat menikah.” Gumamnya, dia tahu mencari pekerjaan sangat sulit di zaman sekarang.
****
"Mommy," panggil Belvana.
"Ana, kok kamu disini sih? Bukannya kamu harus, kuliah?" tanya Melinda.
Belvana hanya tersenyum tipis, dia duduk di dekat sang Ibu. Dan mengintip aktifitas yang dilakukan Melinda.
"Mom, aku dengar dari Erik. Kak Neil dan Zahira ada di apartemen loh!" beritahu Belvana, Erik memang selalu memberi pesan tentang Neil pada Belvana.
“Kakak, Ana. Kakak, Zahira adalah Kakak iparmu.”
“Iya, iya. Maaf,” balas Ana.
"Oh ya, masa sih mereka sudah pulang? Bukannya mereka tiga hari di hotel?"
"Iya, kalo Mommy gak percaya. Ayo kita datang ke apartemen Kak Neil, gimana?" tanya Belvana.
"Ya sudah, ayo." Ajak Melinda.
Belvana dan Melinda bersiap-siap, untuk mengunjungi apartemen Neil tanpa pemberitahuan. Tak lama kedua wanita beda generasi tersebut, menggunakan mobil menuju apartemen milik Neil.
Dengan menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit, Melinda dan Belvana sudah tiba di apartemen milik sang kakak.
"Mom, harusnya aku punya juga apartemen disini!" protes Ana.
"Daddy, gak akan izinkan kamu sayang. Mana tega dia buat kamu tinggal sendiri," jelas Melinda, membuat Ana mencebik.
Tak membutuhkan waktu lama, mereka sudah tiba di depan unit milik Neil. Dengan menekan bel, Ana dan Melinda dengan sabar menunggu pintu terbuka.
"Mo-mommy," ucap Zahira terkejut, pasalnya dia baru saja selesai makan. Dan sedang bersantai hampir tertidur.
"Zahira, apa kabar?" tanya Melinda langsung memeluk sang menantu yang masih saja canggung.
"Baik mom, mommy apa kabar? Mari masuk," ajaknya pada Melinda dan Belvana.
Saat pertama masuk, Belvana mencium aroma masakan yang menggugah selera. Dia tahu, itu masakan Zahira karena hampir setiap hari dia memakan masakan Zahira.
"Kamu habis masak, ka?" tanya Ana.
"Iya, Belvana."
"Panggil aku Ana ka, kepanjangan kalo Belvana." Kekeh Ana.
"Baiklah," ujar Zahira tersenyum lebar.
"Mommy dan Ana, mau makan? Biar aku siapkan," kata Zahira.
"Boleh, kamu masak apa?" tanya Melinda, walau makan siang masih lama tapi siapa yang bisa menolak masakan Zahira.
"Tumis beef, capcay sama telur dadar mom." Sahut Zahira, dia menyiapkan piring dan juga nasi untuk ibu mertua dan adik iparnya.
"Kenapa ka Neil, gak ajak ka Zahira tinggal di rumah?" tanya Ana, dia mulai menyantap makanannya.
"Kita ingin mandiri," jawab Zahira, berharap mereka percaya.
"Itu bagus. Tapi, jika ada masalah. Tolong cerita pada mommy oke!" ujar Melinda.
"Iya mom," balas Zahira.
Siang itu Melinda dan Belvana menghabiskan waktu di apartemen milik Neil, bahkan saat sore tiba. Melinda meminta sang suami dan putra sulungnya datang ke apartemen Neil untuk makan malam bersama.
Zahira di bantu Melinda, memasak makan malam. Melinda juga, memerintahkan Ana untuk belajar memasak.
"Engga Mommy, aku nanti saja belajarnya." Tolak Ana mencari alasan.
"Kapan, kalo kamu nikah, begitu?" omel Melinda.
"Bisa-bisa, suamimu kelaparan makan diluar." Ketus Melinda, membuat Zahira terkekeh.
"Turuti apa kata Mommy mu, sayang." Sahut Axel, membuat Ana cemberut.
“Daddy gak sayang aku.” Kesal Ana.
Dengan terpaksa Ana pun membantu Melinda dan Zahira memasak, walau dengan wajah masam.
Sementara itu.
"Tuan, apa anda tak ingin pulang? Ini sudah waktunya pulang," kata Erik.
"Kalo kamu ingin pulang, pulang saja Erik!" sela Neil, tanpa menatap sang asisten.
Erik menelan ludah dengan gugup, Neil semenjak di tinggal Livia menjadi lebih dingin saja.
"Kenapa masih, berdiri?" tanya Neil, yang melihat Erik diam saja.
"Saya permisi," jawab Erik, dengan cepat dia keluar dari ruangan Neil.
****
Sementara itu di villa pribadi, Livia menatap tajam lelaki berkebangsaan India. Deburan ombak yang terdengar dari luar, menambah ketegangan antara mereka.
"Apa maumu, hah!" bentak Livia.
"Anak, aku mau anak yang ada dalam kandunganmu." Jawabnya dengan santai.
"Tidak, aku tidak akan pernah memberikannya pada mu."
"Dan anak ini, bukan anakmu." Ucap Livia dengan tegas.
Miller tersenyum miring, dia tak akan percaya dengan ucapan Livia. Dia masih ingat wajah gadis, yang melakukan one night stand dengannya. Dan Miller yakin, bahwa anak yang dikandung Livia adalah anaknya.
"Baiklah, kita akan buktikan dengan tes DNA. Jika usia kandungan mu sudah memasuki usia empat bulan kita melakukan tes, dan tinggal satu bulan lagi." Papar Miller pada Livia.
Lalu tanpa kata, dia meninggalkan Livia dan menguncinya dari luar.
"Sialan, kurang ajar! Lepaskan aku bodoh," pekik Livia dengan kesal.
"Neil." Isak Livia.
Livia menerawang menatap langit-langit kamar dengan kosong. Masih di ingat dengan jelas, dia yang memakai gaun pengantin.
Namun, saat akan keluar dari kamar hotel di culik dan berakhir di sebuah pantai. Yang jarang sekali orang, menurut pelayan pantai ini. Pantai pribadi, milik Miller khan.
Kini tekadnya sangat kuat, untuk keluar dari pantai tersebut. Dia ingin menemui Neil, dan menjadikan ayah untuk anaknya.
"Aku hanya ingin Neil, yang menjadi ayah anakku. Bukan yang lain, jika bersama dengan Neil. Aku yakin masa depan anakku akan terjamin." Ucap Livia dengan tersenyum miring.
Sekarang dia akan menjadi gadis yang patuh, agar Miller membawanya jalan-jalan ke kota besar sesekali. Dan di saat ada kesempatan, dia akan kabur dari Miller dan meminta perlindungan dari Neil.
"Neil, tunggu aku. Aku akan kembali ke sisimu." Livia tersenyum dengan miring.
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!