NovelToon NovelToon

CINTAKU YANG TELAH PERGI

BAB 1 ALISA VERONICA

Namaku Alisa Veronica.

Panggil saja Alisa, karena kalau panggil “Veronica” kesannya kayak nama tante-tante tajir yang hobi koleksi tas branded. Aku tumbuh dan besar di sebuah panti asuhan kecil di pinggiran Kota Bandung. Tempat ini udah kayak rumah satu-satunya yang aku punya. Meski bukan rumah besar dengan taman luas dan ayunan estetik kayak di sinetron-sinetron, tapi penuh dengan tawa, harapan, dan… suara rebutan makanan setiap jam makan malam.

Katanya sih aku cantik. Tinggi semampai, kulit kuning langsat kayak mangga arumanis setengah matang, rambut panjang yang jarang banget disisir (tapi tetep kece), dan bibir tipis yang katanya “aestetik banget, Lis,” menurut Rayyen—pacarku yang ganteng dan sok romantis itu, tapi emang bener dia romantis sih.

Rayyen Ferdinand. Denger aja namanya kayak tokoh utama dalam drama Korea versi lokal. Badannya tegap, wajahnya tegas tapi manis, dan yang pasti anak orang kaya. Saking kayanya, kartu ATM-nya aja bisa bikin aku mimisan kalau lihat saldonya. Tapi sumpah, dia nggak kayak cowok-cowok sok tajir di TikTok yang hobinya pamer jam tangan palsu.

Rayyen itu beda. Dia manis, perhatian, dan… royal banget. Royalnya bukan cuma ke aku, tapi juga ke anak-anak panti. Kadang dia bawain makanan, mainan, buku, bahkan pernah traktir semua nonton bioskop. Di situlah aku merasa: “Oh, mungkin Tuhan emang sayang aku.”

Masalahnya? Orang tua Rayyen masih belum suka aku. Wajar sih. Yatim piatu, tinggal di panti, asal-usul tidak jelas—kayak judul sinetron aja. Iya kan??? heheheh. Tapi Rayyen selalu bilang, “Suatu saat mereka bakal nerima kamu, Lis.” Dan aku cuma bisa mengangguk, sambil dalam hati berdoa: “Ya Allah, lembutkan hati calon mertuaku. Aamiin.”

________________________________________

Satu minggu sebelum ujian sekolah.

Aku dan Rayyen duduk di taman belakang panti. Angin sepoi-sepoi, suara burung pipit, dan aroma gorengan dari dapur panti—sempurna buat belajar bareng. Tapi kenyataannya? Kami malah lebih banyak ngobrolin masa depan.

“Lis, kamu udah kepikiran mau kuliah di mana dan ambil jurusan apa?” tanya Rayyen sambil nyemil keripik tempe.

Aku menggeleng pelan. “Belum. Pusing, Ray. Kuliah tuh butuh duit. Dan yang aku punya cuma semangat dan paket data.” Kataku nyengir kuda.

Rayyen tertawa pelan. “Kamu tuh pinter. Mending ambil jurusan Akuntansi atau Bisnis. Cocok banget buat kamu.” Usul Rayyen.

Aku tersenyum, tapi dalam hati rasanya kayak ditusuk sedotan boba. Sakit. Aku memang punya mimpi kuliah di universitas impian, tapi… realistis dong. Biaya pendaftaran aja aku belum tentu punya.

Rayyen menatapku sungguh-sungguh, seperti bisa baca isi pikiranku. “Tenang, Lis. Aku bantu. Aku mau kamu kuliah, kejar mimpimu. Aku serius.”

Aku cepat-cepat geleng kepala. “Ray, kamu udah bantu banyak. Untuk aku, untuk anak-anak panti. Aku nggak mau jadi beban. Sudah cukup selama ini aku repotin kamu."

“Lis, kamu pacarku. Membantu kamu itu bukan beban. Itu tanggung jawab yang aku pilih.”

“Terima kasih. Tapi kali ini, aku mau berjuang sendiri. Aku udah cari info beasiswa. Doain aku aja dapat, ya?”

Rayyen diam sebentar, lalu mengangguk. “Oke. Tapi kalau beasiswanya nggak dapet, aku tetep akan bantu. Deal?"

Aku mengangkat alis. “Kita lihat nanti. Sekarang bantu aku cari kampus yang cocok buat kamu.”

Dan mulailah kami scrolling informasi kampus sambil saling curi pandang. Di sela-sela layar laptop, aku lihat Rayyen memperhatikan aku. Tiba-tiba dia nyelipin rambutku ke belakang telinga dan—

CUP!

Aku langsung melotot. “Ray! Astaga! Jangan nyium sembarangan! Nanti ada yang lihat!”. Kataku sambil celingak-celinguk. Takut ada ibu atau anak panti yang lihat. Kan brabe.!!!

Dia nyengir. “Maaf, khilaf. Pipi kamu tuh… terlalu imut buat nggak dicium.”

“Ihh! Mesum!” Aku memukul bahunya pelan.

Rayyen ketawa geli. “Kalau kamu marah gitu, malah tambah cantik tahu nggak?”

Aku cemberut, lalu dia mulai acak-acak rambutku.

“AYYYYY!!!” teriakku.

“Hahaha, sini, sini… aku rapihin lagi,” katanya lembut, sambil ngerapihin rambutku helai demi helai. Aku diam aja, mukaku masih manyun. Tapi dalam hati, aku nggak bisa bohong: Rayyen selalu bisa bikin aku tenang.

________________________________________

Malam itu, setelah makan malam, Rayyen pamit pulang. Aku mengantarnya sampai teras. Tapi belum sempat balik ke kamar, aku dipanggil oleh Bu Yani—pengasuh panti yang udah kayak ibuku sendiri.

“Lis, sini nak. Duduk dulu.”

Aku duduk di sofa ruang kerja. Bu Yani menggenggam tanganku erat.

“Nak, Ibu sangat bersyukur ada Rayyen yang sering bantu panti ini. Dia anak yang baik. Ibu pikir karena dia dari keluarga kaya, dia bakal sombong. Tapi ternyata, dia lebih baik dari apa yang Ibu bayangkan. Dia betul-betul perhatian dengan kamu dan anak-anak panti. Ibu bersyukur kamu kenal dia.”

Aku mengangguk, tersenyum kecil.

“Tapi Lis, kalian masih muda. Ibu cuma mau ingetin, jaga diri baik-baik, ya. Pacaran itu banyak godaannya. Ibu nggak melarang, tapi tolong tetap jaga batas. Ibu percaya kamu anak baik.”

Aku terdiam. Rasanya kayak ditampar halus. Apa Bu Yani lihat ciuman tadi?

Hatiku jadi gelisah, tiba-tiba saja wajahku berubah jadi pias.

“Iya, Bu… Alisa akan ingat. Terima kasih sudah percaya.” kataku sambil tersenyum.

Aku keluar dari ruang kerja dengan hati campur aduk. Di satu sisi, aku bahagia karena dikelilingi orang-orang baik. Tapi di sisi lain, aku takut. Takut kehilangan semuanya. Takut gagal. Takut kalau semua ini cuma sementara.

________________________________________

Di malam yang sunyi itu, Alisa menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Jemarinya perlahan mengelus rambutnya sendiri, seolah memberi kekuatan pada dirinya yang mulai goyah.

“Alisa Veronica, kamu harus kuat,” bisiknya pelan. “Hidup boleh susah, tapi mimpi jangan pernah dilepas. Apa pun yang terjadi, kamu harus jadi orang sukses. Bikin Bu Yani bangga, juga anak-anak panti lainnya. Dan... supaya kamu nggak terus jadi beban buat Rayyen. Sudah cukup selama ini kamu merepotkannya.”

Kata-kata itu meluncur lirih, tapi sarat tekad. Di dalam hatinya, Alisa berjanji akan berjuang sekuat mungkin. Ia ingin sukses—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk panti asuhan yang telah menjadi rumah dan keluarganya.

Ia membayangkan suatu hari nanti, keberhasilannya akan membuka hati orang tua Rayyen yang selama ini belum sepenuhnya menerimanya. Ia ingin mereka bangga, karena anak mereka memilih calon pendamping hidup yang tangguh dan berhasil.

Bayangan itu membuat senyum merekah di wajah Alisa. Kenangan-kenangan bersama Rayyen pun berkelebat, membawa hangat yang perlahan mengusir dingin malam.

BAB 2 ATURAN PANTI

Di malam yang sudah sunyi dan sepi, sekali lagi Bu Rianti memanggil Alisa kembali masuk dalam ruangannya setelah percakapan kemarin malam. Ia akan menyampaikan sesuatu yang sangat penting kali ini. Nampak di wajah Bu Rianti sedikit berat untuk menyampaikannya. Alisa dapat membaca raut kecemasan di wajah tua itu.

Bu Rianti masih menggenggam tangan Alisa erat. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan hatinya sebelum menyampaikan sesuatu yang berat.

“Ada hal yang ingin ibu sampaikan, Nak.” ucap Bu Rianti lirih. “Sebenarnya, Ibu berat mengatakannya, tapi ini sudah jadi aturan panti. Setelah kamu lulus SMA—artinya saat kamu sudah berusia tujuh belas tahun—kamu harus meninggalkan panti ini. Kami tidak bisa lagi menanggung biaya hidup dan tempat tinggalmu. Kamu pasti sudah tahu soal aturan ini, kan?”

Alisa menghela napas lemah. Ternyata, waktunya hampir tiba—waktu untuk meninggalkan tempat yang selama ini menjadi rumah baginya.

“Aku tahu, Bu... Tapi rasanya nggak nyangka, ya. Waktu berjalan cepat. Nggak kerasa aku harus ninggalin Ibu dan adik-adik di sini. Aku pasti bakal kangen banget sama semua orang... sama panti ini juga.”

Bu Rianti langsung memeluk Alisa dengan hangat.

“Ibu juga pasti kangen, Nak. Kamu anak baik, selalu peduli dan penuh kasih pada adik-adikmu. Ibu yakin kamu bisa menghadapi dunia luar. Iya, di luar sana itu keras... Tapi kamu juga kuat. Karakter dan kedewasaanmu akan diuji. Pesan Ibu satu saja: tetaplah jadi orang baik. Tapi jangan biarkan dirimu ditindas kalau kamu nggak salah. Jangan biarkan siapa pun memperlakukanmu semena-mena, ya.”

“Iya, Bu. Alisa akan ingat nasihat Ibu,” jawab Alisa, melepaskan pelukan perlahan.

“Tenang saja, kamu masih boleh mampir dan nginap di sini kalau lagi kangen, kok,” ucap Bu Rianti tersenyum.

“Iya, Bu. Terima kasih...”

“Sebagai bentuk tanggung jawab terakhir dari panti, Ibu juga akan kasih uang pegangan sebesar lima juta rupiah. Itu cukup untuk sewa kos dan kebutuhan sehari-hari sampai kamu dapat pekerjaan.”

“Terima kasih banyak, Bu... Panti ini memang luar biasa bertanggung jawab. Aku bersyukur bisa dibesarkan di sini, meskipun mungkin aku dilahirkan tanpa diinginkan. Aku dibuang, tapi Ibu menerima dan merawat aku sepenuh hati.”

“Jangan bilang begitu, Nak. Kadang orang tua punya alasan tertentu menitipkan anaknya di panti. Bukan berarti kamu nggak diinginkan. Jangan buru-buru menilai mereka buruk, ya.”

“Tapi, Bu... Aku merasa mereka memang nggak ingin aku lahir ke dunia ini. Mereka tega banget menaruh aku di depan pintu panti waktu hujan deras. Kenapa mereka sampai setega itu, Bu?” tanya Alisa dengan suara bergetar.

Alisa tahu kisahnya sejak awal, karena Bu Rianti pernah menceritakannya. Saat itu, hujan turun sangat deras disertai angin kencang. Bu Rianti baru saja datang dari Jakarta untuk mengurus peresmian Panti Asuhan Kasih. Di depan pintu, ia menemukan sebuah kotak. Di dalamnya, seorang bayi perempuan yang masih merah, menangis keras, bibirnya membiru karena kedinginan.

Bu Rianti panik dan segera membawa bayi itu masuk ke dalam rumah. Ia menghangatkan tubuh bayi itu, lalu memberinya susu. Setelah bayi itu tertidur, Bu Rianti memeriksa kotak tadi, barangkali ada surat atau petunjuk. Tapi yang ia temukan hanya kalung kecil dengan cincin bertuliskan nama: Alisa Veronica. Maka, sejak saat itu, bayi itu pun diberi nama sesuai tulisan di cincin tersebut.

Mengingat kembali kisah itu, wajah Bu Rianti tampak diliputi kesedihan.

“Apapun alasan mereka meninggalkanmu di sini, Ibu harap kamu tidak menyimpan dendam. Doakan saja yang terbaik untuk mereka. Kalau mereka masih hidup, mungkin suatu saat kamu bisa bertemu. Tapi kalau mereka sudah tiada, kirimkan Al-Fatihah untuk mereka, ya.”

“Aku justru takut bertemu mereka, Bu. Aku takut kecewa lagi. Takut ditinggal untuk yang kedua kali.”

Bu Rianti mengelus kepala Alisa dengan lembut.

“Allah tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Meskipun kamu nggak ingin bertemu mereka, kalau Allah berkehendak, kamu nggak bisa menghindar. Hadapilah semuanya dengan lapang dada dan ikhlas.”

Alisa hanya terdiam. Pikirannya sudah terlalu penuh.

“Kalau begitu, kembalilah ke kamar. Ibu juga ingin istirahat,” ucap Bu Rianti lembut.

“Baik, Bu. Selamat malam.” Alisa memeluk Bu Rianti sekali lagi sebelum melangkah pergi.

________________________________________

Sementara itu, di rumah Ferdinan, Rayyen baru saja duduk di ruang keluarga saat suara berat ayahnya menyambut tajam.

“Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang. Apa sekolah sekarang pulangnya malam?”

“Baru pulang sekolah, Yah. Tadi Rayyen belajar bareng,” jawab Rayyen santai.

“Belajar bareng dengan gadis panti itu lagi?” tanya Ferdinan dingin.

“Namanya Alisa, Yah. Dia bukan sekadar 'gadis panti'.”

“Ayah nggak peduli namanya siapa. Ayah sudah sering bilang, jangan dekat-dekat dengan dia. Tapi kamu susah banget dengar omongan orang tua, ya?”

Melisa, ibu Rayyen, datang membawa secangkir kopi. Ia langsung menimpali.

“Iya, Mama juga heran. Apa sih yang kamu lihat dari gadis kampungan itu? Kamu nggak sadar selama ini dia cuma manfaatin kamu?”

“Maksud Mama apa?” tanya Rayyen, mulai bingung.

“Kamu pikir kami nggak tahu kalau kamu suka bantu panti itu? Semua yang kamu lakukan, kami tahu. Kamu terlalu terbuka, Rayyen.”

“Jadi Mama dan Ayah memata-matai aku?”

“Tentu saja. Kami orang tua kamu. Kami ingin kamu dapat yang terbaik, termasuk soal pasangan. Dan gadis itu... dia bukan dari latar belakang yang pantas.”

“Ayah, Mama... Jangan bicara seperti itu soal Alisa. Memang dia besar di panti, tapi dia nggak pernah minta apa pun dari aku. Dia bahkan sering marah kalau aku terlalu banyak bantu panti itu.”

“Itu cuma trik murahan, Rayyen. Supaya kamu makin simpati dan kasih lebih banyak bantuan. Mereka tahu cara mainnya.”

“Enggak, Ma! Mereka bukan seperti itu. Mereka tulus...”

“Cukup!” bentak Ferdinan. “Mulai malam ini, kamu harus berhenti berhubungan dengan gadis itu. Kalau tidak, Ayah akan minta semua donatur berhenti bantu panti itu. Kamu tahu sendiri apa akibatnya kalau sampai itu terjadi.”

“Tapi, Yah…”

“Pilihan ada di tangan kamu. Kalau kamu masih nekat, jangan salahkan Ayah kalau panti itu kehilangan donaturnya. Kamu tahu artinya, kan? Anak-anak di sana akan menderita... termasuk gadis yang kamu bela itu.”

Setelah itu, Ferdinan berbalik dan meninggalkan ruangan.

“Dengar kata Ayahmu, Rayyen,” ucap Melisa menyusul. “Kami hanya ingin yang terbaik untuk masa depan kamu.”

Rayyen terdiam. Pandangannya kosong. Hatinya bergejolak hebat—antara cinta dan ancaman. Ia belum bisa melepas Alisa. Ah bukan belum, tetapi tidak bisa. Alisa adalah wanitanya, cinta pertamanya. Tapi ia juga tidak boleh egois. Kalau ia tetap keras kepala bisa saja anak-anak panti akan kena imbasnya.

BAB 3 PAGI YANG BERBEDA

Pagi itu cerah, langit tampak seperti kanvas biru yang belum tersentuh. Tidak ada awan putih yang mengapung, hanya biru bersih yang membentang sejauh mata memandang. Kicauan burung bersahutan, menyambut hari baru, tapi tak mampu mengalahkan kebisingan kendaraan yang sibuk berlalu-lalang di jalan raya.

Alisa berdiri di pinggir trotoar, menatap jam di pergelangan tangannya. Jarum panjang baru saja melewati angka dua, jarum pendek hampir menyentuh angka tujuh. Masih sepuluh menit menuju pukul tujuh pagi, tapi yang ditunggu belum juga muncul. Biasanya, Rayyen sudah muncul dari arah jalan dengan motor putihnya dan senyum tipis yang selalu berhasil menghapus kantuk di wajah Alisa. Tapi hari ini, berbeda.

Ia menghela napas, lalu membuka ponselnya. Beberapa pesan WhatsApp yang dikirim semalam belum juga centang biru. Bahkan pagi ini pun belum ada kabar darinya.

Dengan sedikit ragu, Alisa menekan tombol panggil. Suara dering terdengar di telinganya.

Tuuut... tuut... tuut...

Masih belum diangkat.

“Ay, kamu udah di mana? Aku udah nungguin kamu dari tadi,” tulisnya.

Lalu diikuti dengan pesan lain.

“Kamu baik-baik aja kan?”

“Apa kamu sakit?”

“Tolong balas pesanku, jangan bikin aku khawatir.”

“Aku sendiri aja berangkatnya, takut telat, Ay. Hehehe.”

“Tolong kabarin aku secepatnya ya.”

Rentetan pesan itu dikirim semua dalam hitungan menit. Tangannya terus menggenggam ponsel, berharap keajaiban—barangkali satu atau dua centang biru akan muncul. Tapi tidak. Semua tetap abu-abu. Alisa menghela napas lagi, kali ini lebih panjang, lebih berat.

Di dalam angkot yang penuh sesak, ia duduk memeluk tas, sesekali kembali memeriksa ponsel. Matanya terus berharap, namun yang datang hanya kekecewaan. Pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Apa Rayyen marah? Apa ada yang salah? Tapi apa?

Biasanya, bahkan ketika sakit atau sibuk sekalipun, Rayyen tetap menyempatkan diri untuk mengirim pesan, walau hanya emoji senyum. Tapi hari ini, seolah Rayyen menghilang. Dan rasanya... menyesakkan.

Begitu sampai di depan gerbang sekolah, Alisa turun dari angkot. Langkahnya terasa berat. Ia menapaki halaman sekolah tanpa semangat, seperti seseorang yang kehilangan arah. Dan, memang benar. Ia kehilangan arah karena kehilangan sosok yang biasa menjadi penuntun paginya.

“Lis, tumben nggak bareng Rayyen? Kalian abis berantem ya?” tanya Dona, teman sekelas yang selalu kepo tapi baik hati.

Alisa langsung menghentikan langkahnya. “Rayyen udah di sekolah?” tanyanya cepat.

“Iya, udah dari tadi. Tadi aku lihat dia di lapangan basket sama anak-anak,” jawab Dona sambil menunjuk ke arah kanan.

“Oh, makasih ya Don!” Alisa segera melangkah cepat menuju lapangan basket.

Jantungnya berdetak lebih cepat. Harapannya membuncah. Barangkali, semua ini hanya salah paham. Barangkali Rayyen hanya lupa isi ulang baterai ponselnya. Atau tertidur. Atau...

Sesampainya di lapangan, Rayyen terlihat sedang duduk di pinggir lapangan, berkeringat dan kelelahan setelah main basket. Alisa melangkah mendekat, wajahnya dipenuhi rasa campur aduk.

“Ay… kenapa sih kamu nggak ngabarin?” tanya Alisa, mencoba terdengar biasa, tapi nadanya tak bisa menyembunyikan keresahan.

Teman-teman Rayyen langsung tahu diri, satu per satu mereka pergi meninggalkan dua sejoli itu.

“Dari semalam WhatsApp-ku nggak kamu bales. Kenapa?” lanjut Alisa, matanya tak bisa lepas dari wajah cowok itu.

Rayyen mengangkat kepala sebentar. “Aku ketiduran,” jawabnya singkat.

Alisa terdiam, menunggu penjelasan lebih lanjut. Tapi Rayyen tak menambahkan apa pun. Ia hanya memainkan botol minum di tangannya, tanpa memandang Alisa.

“Terus, kenapa tadi nggak ngabarin kalau nggak bisa jemput?”

“Aku buru-buru ke lapangan,” jawabnya lagi.

Jawaban yang terlalu sederhana untuk kekhawatiran yang begitu besar. Sesuatu dalam diri Alisa terasa ditarik keluar perlahan. Perasaannya mulai diselimuti rasa tidak enak. Apalagi, Rayyen tak memanggilnya “Ay,” panggilan kesayangan mereka.

“Kamu kenapa sih? Aku ada salah ya?” tanya Alisa pelan, penuh hati-hati.

Tapi belum sempat Rayyen menjawab, bel sekolah berbunyi nyaring.

“Bel udah bunyi. Yuk masuk,” kata Rayyen sambil berdiri, tanpa menyentuh tangan Alisa seperti biasa.

“Tapi, Ay... aku cuma mau tahu. Kalau aku ada salah, bilang ya. Aku minta maaf.”

“Kamu nggak salah apa-apa. Udah, yuk masuk kelas,” kata Rayyen sambil menahan ekspresi.

Mereka masuk kelas tanpa bicara, duduk di bangku masing-masing. Teman-teman mereka mulai bertanya-tanya. Biasanya, mereka akan duduk berdekatan, saling berbisik, tertawa kecil. Tapi hari ini, semua itu menghilang.

“Kayaknya lagi ada masalah rumah tangga,” bisik Jerry sambil nyikut Thomas dan Fani.

“Iya, biasanya pas masuk aja udah mesra-mesraan. Sekarang kayak dua orang asing,” timpal Fani sambil melirik ke arah mereka.

“Gue tadi liat Alisa naik angkot. Biasanya kan dianter Rayyen,” kata Thomas.

“Wah bener nih, lagi ada konflik batin. Ini saat yang tepat buat aku deketin Rayyen,” gumam Fani sambil senyum licik.

“Parah lu,” kata Jerry geli.

“Namanya juga memanfaatkan peluang,” jawab Fani santai.

“Gue mah penonton aja,” Thomas angkat tangan sambil tertawa.

Tak lama, guru masuk dan pelajaran dimulai. Tapi bagi Alisa, semuanya terasa seperti bisikan yang lewat begitu saja. Ia tak bisa fokus. Pikirannya melayang-layang, berusaha mengingat apa pun yang bisa menjelaskan perubahan sikap Rayyen.

Ketika bel istirahat berbunyi, Alisa langsung menoleh ke arah Rayyen.

“Ay, makan bareng yuk,” ajaknya dengan senyum kecil, mencoba memperbaiki suasana.

“Aku harus ke ruang OSIS. Ada rapat,” jawab Rayyen tanpa banyak ekspresi.

“Oh, ya udah. Aku bawain kamu makanan ke sana ya?”

“Hmm... nggak usah. Aku belum lapar. Aku pergi duluan ya.”

Dan begitu saja, Rayyen pergi meninggalkan Alisa di bangkunya. Hatinya terasa seperti diremuk. Dulu, sekecil apa pun waktunya, Rayyen akan selalu mengajaknya makan. Bahkan ketika sibuk pun, Rayyen tak pernah lupa memberinya perhatian.

Sekarang?

Alisa hanya duduk diam. Nafsu makannya lenyap seketika. Ia tak mengerti apa yang terjadi. Rasanya seperti mendaki bukit kabut tanpa tahu di mana ujungnya.

Di ruang OSIS, Rayyen sebenarnya tidak rapat. Ia hanya berbaring di sofa, menutup matanya dengan lengan. Diam. Membisu. Hatinya gelisah. Ia tahu ia menyakiti Alisa, tapi ia belum siap untuk bicara.

Waktu istirahat selesai. Siswa kembali ke kelas. Alisa sesekali melirik ke belakang, ke arah tempat duduk Rayyen. Tapi Rayyen tak menunjukkan tanda-tanda memperhatikan.

Alisa tertunduk lesu. Ia bahkan ditegur Pak Mahmud karena melamun di tengah pelajaran.

Pukul dua siang. Sekolah usai. Alisa berdiri perlahan, menatap Rayyen yang sedang memasukkan buku ke tasnya.

“Ay, kita belajar bareng hari ini?” tanyanya lembut.

“Aku nggak bisa. Harus anter Mama ke arisan,” jawab Rayyen sambil mengangkat tas.

“Oh gitu... ya udah aku pulang duluan aja, daripada kamu telat.”

“Iya.”

Hanya satu kata. Tapi cukup untuk menampar hati Alisa. Dulu, bahkan untuk acara arisan pun, Rayyen akan memastikan ia pulang dengan aman terlebih dahulu. Kini, semua terasa asing. Jauh. Hambar.

Alisa menatap punggung Rayyen yang perlahan menghilang dari pandangannya.

“Sepertinya... Rayyen sedang menjauh,” batinnya, lirih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!