“Selamat pagi, sayang,” bisik Maizah lembut sambil mengusap kepala putranya yang masih tertidur pulas.
Matthew menggeliat pelan, kelopak matanya bergerak-gerak sebelum akhirnya terbuka.
"Pagi mom," balas Matthew dengan suara serak khas orang bagun tidur.
Ia perlahan duduk, lalu maju memeluk dan mengecup pipi Maizah, kebiasaannya setiap pagi. Bahkan jika ia bangun lebih dulu, langkah pertamanya selalu mencari sang Mommy.
Maizah tersenyum lembut, membalas pelukan anak sulungnya dengan penuh kasih. Dielusnya pipi Matthew dengan jari-jarinya yang lembut, lalu bangkit berdiri.
“Bangun ya, Mommy mau ke kamar adik kamu,” ucapnya lembut.
Matthew mengangguk dengan mata yang masih setengah terbuka, lalu merebahkan dirinya sebentar sebelum akhirnya bangkit menuju kamar mandi.
Sementara itu, Maizah berjalan keluar dan menutup pintu kamar Matthew perlahan. Ia kemudian menuju kamar yang satu lagi, kamar putra bungsunya.
Ia membuka pintu perlahan. Kamar itu masih gelap, namun gemerlap dari lampu-lampu LED kecil berbentuk bintang menyala di langit-langit dan dinding, menciptakan ilusi malam penuh bintang. Maizah menyalakan lampu utama, dan seketika warna putih-biru dengan motif angkasa muncul jelas.
Maizah melangkah mendekati tempat tidur, duduk di sisi ranjang. Sama dengan Matthew, Maizah membangunkan anak bungsunya dengan mengelus kepala dengan lembut.
“Selamat pagi, sayang… ayo bangun," bisiknya.
"Aidan..."
Anak yang bernama lengkap Aidan Issa Huan Magnus itu mengeliat, mengerjapkan matanya memandang wajah sang Mama.
"Pagi sayangnya Mommy,"
"Pagi juga Mommy,"
Tanpa banyak bicara, Aidan langsung mengalungkan tangan kecilnya ke leher Maizah dan mengecup pipinya.
"Ayo bangun sayang," Ucap Maizah seraya membuka horden, membiarkan cahaya matahari memasuki kamar putra bungsunya.
“Ayo, langsung mandi ya biar segar,” ajaknya sambil menoleh.
Aidan mengangguk lalu mengangkat kedua tangannya. “Gendong…” pintanya dengan suara manja.
"Ugh," Maizah menggendong Aidan dan membawanya ke dalam kamar mandi. Meskipun baru lima tahun, tapi badan Aidan bukan seperti anak lima tahun di Indonesia.
Maizah sedikit kewalahan menggendongnya, untung dekat. Benar-benar ngikutin gen bapaknya ini mah.
Setibanya di kamar mandi, Maizah menurunkannya pelan. Aidan sudah mulai mandiri dan bisa mandi sendiri, tapi tetap dalam pantauan sang Mama. Saat Maizah melihat Aidan kesulitan menyabuni punggungnya, ia segera turun tangan.
“Sini, Mommy bantu.”
“Thank you, Mommy,” ucap Aidan lalu mengecup pipi ibunya lagi.
Maizah mengusap kepalanya dengan lembut. “Sama-sama, sayang.”
Setelah mandi, Aidan keluar dengan handuk melilit tubuh, berjalan mungil ke lemari bajunya. Maizah menyiapkan baju dan membantunya mengenakan kaus serta celana pendek biru laut. Rambutnya dikeringkan cepat, lalu disisir rapi.
“Ganteng banget anak Mommy,” puji Maizah sambil mencubit lembut pipinya.
Aidan terkekeh, “Mommy juga cantik banget!”
Maizah tertawa kecil. Hatinya hangat oleh pujian si kecil. Ia kemudian berdiri dan mengulurkan tangan.
“Ayo turun, Daddy dan kak Matthew mungkin sudah ada di meja makan.”
“Let’s go!” seru Aidan dengan semangat, menggenggam tangan ibunya.
"Eh, tas nya sayang,"
"Ups, hampir saja di lupa." Aidan segera memakai tas sekolah.
"Ayo mam,"
Ibu dan anak itu berjalan menuruni tangga menuju meja makan. Di sana sarapan sudah tertata rapi. Ada scrambled egg, roti panggang, buah-buahan segar, dan satu teko susu hangat untuk anak-anak mereka.
“Morning, Daddy,” sapa Aidan riang. Ia langsung mendekat dan mengecup pipi sang ayah.
“Morning, boy,” jawab Arvid sambil tersenyum lebar, lalu menepuk pelan kepala Aidan.
Karena sudah lengkap, mereka pun memulai sarapan.
"Tasnya sudah diperiksa lagi sayang?" Tanya Maizah pada Matthew di sela-sela sarapan mereka.
Meskipun sudah di persiapkan kemarin malam, tapi Maizah mengajarkan anak-anaknya untuk kembali memeriksa tas sekolah, mengecek kembali.
"Aman mom," Jawab Matthew seraya memberikan jempol.
Setelah sarapan selesai, Maizah membantu anak-anak mengenakan jaket. Udara pagi itu cukup sejuk. Mobil sudah terparkir di depan rumah.
Arvid ikut berdiri, lalu menghampiri dan mencium kening istrinya. "Kami berangkat ya honey," pamitnya.
“Hati-hati bawa mobilnya, Daddy,” balas Maizah dengan senyum manis.
Arvid tersenyum kecil, lalu sekali lagi mengecup kening Maizah, kali ini lebih lama, seolah enggan berpisah walau hanya beberapa jam.
Namun momen romantis itu tak berlangsung lama.
“Daddy, sekarang giliran kami yang berpamitan,” sahut Matthew sambil menatap ke arah mereka berdua dengan gaya sok dewasa.
Arvid menghela napas, separuh frustasi, separuh geli. “Memang ya, anak-anak ini selalu muncul pas Daddy lagi sayang-sayangan sama Mommy-nya.”
Matthew hanya mengangkat bahu, sedangkan Aidan yang berada di sebelahnya ikut menyahut, “Daddy jangan lama-lama dong, nanti waktu buat kita jadi sebentar. Mommy itu kan milik kita juga.”
Maizah terkikik mendengar pernyataan jujur itu. Ia sudah terbiasa dengan “perebutan” ini—dua anak laki-lakinya selalu merasa mereka memiliki hak lebih besar atas waktu dan perhatian sang Mommy. Dan Arvid, sang suami, sering harus mengalah.
“See you, Mom!”
“Good luck di sekolah, Matthew. Belajar dengan baik ya sayang,” pesan Maizah.
“Iyaaa...” sahut Matthew sambil berjalan ke mobil.
Aidan tak mau kalah. Ia melompat kecil ke pelukan Maizah, mencium pipi ibunya berkali-kali.
“Bye-bye Mommy!”
“Bye, sayang. Jangan nakal ya di sekolah. Dengerin Miss-nya baik-baik,” ucap Maizah sambil mengelus rambut Aidan.
“Ok, Mommy!”
Ketiganya masuk ke dalam mobil. Arvid yang sudah memegang kunci bersiap menyalakan mesin, tapi sempat menoleh lagi ke arah Maizah yang masih berdiri di depan pintu rumah.
“Eh, Daddy belum peluk lagi tadi…”
Namun belum sempat ia membuka pintu, Matthew dan Aidan sudah menarik-narik tangannya.
“Ayo, Dad! Nanti telat!” seru Matthew sambil mengarahkan pandangannya ke dashboard, menunjukkan waktu.
Akhirnya Arvid pasrah menjalankan mobilnya, pagi itu ia berat meninggalkan rumah karena tidak mendapatkan jatah pelukan sebelum berangkat ke kantor.
Maizah hanya bisa tertawa kecil dan melambaikan tangan ketika mobil mereka mulai bergerak meninggalkan rumah.
Setelah mobil Arvid menghilang dari pandangan, Maizah menghela napas pelan. Rumah itu kembali sunyi. Ia menutup pintu, lalu menuju meja makan. Dengan langkah ringan, ia mulai membereskan piring-piring kotor dan mengelap permukaan meja.
Beres dengan itu, ia naik lantai dua menuju kamarnya. Memainkan ponselnya seraya menunggu petugas yang selalu datang membersihkan rumah.
Saat berselancar di media sosial ia melihat posting seseorang yang mengunggah foto anak perempuan. Melihat itu, Maizah jadi teringat dengan anak perempuannya yang sudah kembali pada tuhan.
Hatinya mendadak sesak.
Pada kehamilan keduanya, ia dikaruniai anak kembar, laki-laki dan perempuan. Betapa bahagianya dia saat itu, tapi takdir berkata lain.
Memasuki usia kehamilan 21 minggu, dokter mulai mencurigai adanya ketidakseimbangan aliran darah pada janin. Pemeriksaan lanjutan menunjukkan bahwa anak perempuan mereka mengalami gangguan aliran darah karena kondisi yang disebut Twin-to-Twin Transfusion Syndrome.
Plasenta yang mereka bagi tidak membagi nutrisi secara adil. Princess kekurangan suplai darah dan oksigen. Sementara Aidan tumbuh lebih kuat, si Princess justru semakin lemah dari hari ke hari.
Setiap kali kontrol ke rumah sakit, Maizah menahan napas, berharap ada mukjizat. Tapi kenyataan begitu kejam. Dokter menyatakan bahwa anaknya tidak bisa di selamatkan.
Betapa hancur hatinya saat itu.
Tbc.
^^^Mawar Jk^^^
^^^26-05-2025^^^
Mobil Arvid melaju melewati jalanan utama kota yang tenang, membawa dua penumpang cilik di dalamnya: Matthew yang duduk tenang dengan buku di pangkuan, dan Aidan yang sibuk menempelkan wajahnya ke jendela, menghitung jumlah mobil yang lewat.
Arvid menyetir sambil sesekali melirik ke kaca spion. “Aidan, jangan deket-deket kaca seperti itu, duduk yang benar,"
“Okay, Daddy…” jawab Aidan duduk tegak lalu menoleh pada Matthew.
Matthew menggeleng pelan. "Bacalah buku Aidan, gunakan waktu sebaik-baiknya. Ingat, waktu adalah uang.
Aidan cemberut, ia bosan tapi tidak mau membaca seperti yang Kakaknya sarankan. "Tidak untuk sekarang," jawabnya menyandarkan badannya kembali menatap jalanan.
Arvid tertawa kecil, senang mendengar perdebatan polos anak-anaknya. Sesampainya di sekolah, Arvid memarkir mobil di area drop-off. Sekolah anak-anak mereka berada dalam kompleks pendidikan yang sama, tapi memiliki dua gedung terpisah—satu untuk tingkat dasar dan satu lagi untuk taman kanak-kanak.
“Ayo turun. Jangan ada yang ketinggalan,” ucap Arvid sambil membantu Aidan melepaskan sabuk pengamannya.
Matthew sudah turun duluan dan menunggu di sisi trotoar. Ia mengenakan ransel biru dengan gantungan kunci bola mini. Sementara Aidan melompat turun, masih menenteng boneka kecil berbentuk roket—favoritnya minggu ini.
“Peluk dulu dong, Daddy,” pinta Aidan sambil membuka tangan lebar. Sebenarnya Aidan itu sangat menyayangi Daddy itu, tapi untuk Mommy-nya maaf, tidak ada kompromi.
Arvid berjongkok dan memeluk putranya erat-erat. “Have fun, ya, boy. Jangan bikin Miss pusing hari ini.”
“Enggak kok, aku anak baik,” sahut Aidan sambil terkikik.
Matthew mendekat dan memberi tos dengan gaya khasnya. “Bye, Daddy. Nanti jemput kita jangan telat ya.”
Arvid mengacungkan jempol. “Pasti. Have a great day, guys.”
Setelah melambaikan tangan, Matthew dan Aidan berjalan menuju pintu gerbang, lalu berpisah di persimpangan kecil yang memisahkan bangunan sekolah mereka.
Di dalam kelas, Aidan duduk di meja kecilnya yang dihiasi nama: Aidan Issa. Ia duduk di sebelah Alex, teman sekelasnya yang senang bercerita soal dinosaurus. Pagi itu, Miss Clara membuka pelajaran dengan aktivitas mewarnai.
“Hari ini, kita akan menggambar keluarga. Pilih warna favorit kalian dan gambar semua orang yang kalian sayangi!” katanya sambil menunjukkan contoh di papan.
Anak-anak mulai sibuk. Suara krayon yang bergesekan dengan kertas memenuhi ruangan. Aidan mengambil warna-warna cerah—biru untuk Daddy, merah muda untuk Mommy, hijau untuk Matthew, dan kuning untuk dirinya sendiri. Ia menggambar mereka berdiri bersama di bawah pelangi. Namun, di pojok atas kertas, Aidan menambahkan satu bintang kecil dengan wajah tersenyum dan mahkota mungil.
Miss Clara berjalan dari meja ke meja, memperhatikan hasil karya murid-muridnya. Saat sampai di meja Aidan, ia berhenti dan menatap gambar itu dengan lembut.
“Siapa bintang kecil ini, Aidan?”
Aidan menoleh. Matanya bersinar penuh ketulusan. “Itu adik perempuanku. Dia tinggal di langit. Mommy bilang dia princess, jadi aku kasih dia mahkota.”
Miss Clara sempat terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Indah sekali. Dia pasti senang kamu menggambarnya,” ucap Miss Clara pelan sambil menyentuh pundak Aidan.
Aidan mengangguk. “Aku rindu dia kadang-kadang, tapi Mommy bilang dia selalu jaga aku dari langit. Kayak malaikat.”
Sementara itu, di gedung dasar, Matthew sedang mengikuti pelajaran Matematika. Ia duduk di barisan kedua, memperhatikan papan tulis dengan serius.
“Siapa yang bisa bantu Ibu menghitung soal ini?” tanya Bu Marlene, guru Matematika yang terkenal disiplin tapi adil.
Matthew langsung mengangkat tangan. Ia memang salah satu siswa yang cepat memahami pelajaran.
“Ya, Matthew?”
Matthew berdiri dan mulai menjelaskan langkah demi langkah dengan tenang dan jelas. Saat ia selesai, teman-temannya memberi tepuk tangan kecil.
“Good job, Matthew. Kamu bisa jadi tutor kecil buat teman-temanmu,” puji Bu Marlene.
Matthew tersenyum bangga. Tapi bukan hanya karena nilai atau pujian, melainkan karena ia selalu mengingat pesan Mommy—belajar bukan untuk jadi nomor satu, tapi untuk bisa membantu dan membuat hidup lebih baik.
Di waktu istirahat, Matthew bergabung dengan dua temannya, Dylan dan Rafael, di bangku taman.
“Eh Matt, kamu nanti ikut klub coding nggak semester depan?” tanya Dylan.
Matthew mengangguk. “Iya." Jawab Matthew singkat."
“Wih, keren!” Rafael memukul pelan pundaknya.
Matthew tersenyum tipis. Ia memang sering mengobrol dengan ayahnya tentang teknologi. Bahkan Arvid sudah membelikan satu kit robotika kecil agar ia bisa mulai belajar logika pemrograman sejak dini.
Tiba-tiba suara langkah mendekat. Sepasang sepatu putih bersih berhenti di depan mereka. Seseorang berdiri tegak, dengan gaya rambut ponytail tinggi dan pita ungu terang yang langsung menarik perhatian.
“Halo, Matthew,” sapa seorang gadis berambut pirang dengan suara yang lembut tapi penuh percaya diri.
Itu Fiona—salah satu siswi populer di kelas mereka. Penampilannya selalu rapi, wangi, dan serasi dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Gadis itu dikenal cerewet tapi pintar, dan ia tampaknya cukup menyukai perhatian... terutama dari Matthew.
Matthew baru saja menoleh sekilas ke arah Fiona, lalu kembali menghadap Rafael dan Dylan.
“Jadi, kalian udah pernah coba pakai Scratch?” tanyanya, suaranya datar, mencoba melanjutkan topik mereka. Ia memang sudah terbiasa dengan gangguan Fiona, dan biasanya cukup dengan sedikit mengabaikan, gadis itu akan pergi sendiri.
Namun kali ini berbeda.
Fiona, dengan rambut blonde-nya yang ditata rapi dan pita ungu yang berkilau terkena matahari, tidak menyerah begitu saja. Ia berdiri dengan santai tapi penuh percaya diri, lalu melangkah maju, mendekat ke arah Matthew.
“Matthew, ada daun di—”
Tangannya terulur pelan ke arah kepala Matthew, berniat menyentuh rambutnya untuk menyingkirkan satu helai daun kering yang nyangkut di sana. Tapi belum sempat menyentuh, Matthew langsung menepis tangan itu.
“Jangan menyentuh rambutku!” serunya dengan nada lebih tinggi dari biasanya.
Seketika semua suara di sekitar mereka menghilang. Rafael dan Dylan menahan napas. Fiona terpaku, matanya membesar kaget. Jelas dia tidak menyangka Matthew akan bereaksi seperti itu. Ia hanya ingin menolong, pikirnya.
Matthew menatap Fiona tajam beberapa detik. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengambil tasnya dan berjalan cepat meninggalkan taman. Langkahnya tegas, tapi jelas terlihat kemarahan yang ia tahan dalam diam.
“Matt!” panggil Dylan, tapi Matthew tidak menoleh.
Rafael mengusap tengkuknya, seolah berusaha memahami suasana aneh yang tiba-tiba tercipta di taman sekolah. Ia melirik ke arah Fiona, yang masih berdiri di tempatnya, membeku seperti patung. Wajah gadis itu tak lagi ceria, melainkan kosong, penuh kebingungan dan sedikit malu.
“Are you okay?” tanya Rafael pelan, nadanya tulus, tak menyindir.
Fiona tidak langsung menjawab. Matanya masih menatap ke arah Matthew yang sudah menghilang di balik lorong sekolah. Tangannya yang tadi ingin menyentuh kepala Matthew kini menggenggam pita ungu yang biasanya ia kenakan dengan bangga. Hari ini, warna itu terasa terlalu mencolok, terlalu salah tempat.
Melihat Fiona tidak memberi respons, Dylan memberi isyarat dengan anggukan ke Rafael. “Ayo, kita susul Matthew.”
“Ya,” sahut Rafael, lalu menoleh pada Fiona. "Kamu juga tidak ada kapok-kapoknya. Sudah tahu Matthew tidak suka di ganggu."
Tbc.
"Mommy," panggil Arvid begitu turundari mobil, memanggil Maizah.
Bocah itu berlari sekuat tenaga menghampiri sang Mommy yang berdiri di teras rumah. Senyum lembutnya mengembang begitu melihat anak dan suaminya pulang.
Sinar matahari sore menyoroti rambut Maizah yang diikat ke belakang. Ia tampak anggun dalam balutan blouse lembut warna krem dan celana kulot longgar berwarna pasir.
“Aduh, anaknya Mommy sudah pulang!” serunya sambil membungkuk untuk menyambut pelukan Aidan yang langsung menubruk tubuhnya dengan semangat. Maizah mencium pipi bocah itu berkali-kali, membuat Aidan tertawa geli.
“Mommy jangan banyak-banyak,” protes Aidan manja, tapi wajahnya bersinar bahagia.
Matthew turun dari mobil dengan langkah tenang dan kalem seperti biasanya. Ranselnya disampirkan di satu bahu, dan ekspresinya tidak terburu-buru, seolah setiap langkahnya sudah diperhitungkan. Sesampainya di teras, ia langsung menyambut tangan ibunya.
“Mom,” sapanya, lalu mencium tangan dan pipi Maizah.
Maizah tersenyum penuh kebanggaan. Ia membalas dengan mengecup kening Matthew dan mengusap lembut rambut anak sulungnya itu.
"Bagaimana sekolahnya sayang?" Tanya Maizah pada kedua anaknya.
"Berjalan dengan baik mom," Jawab Matthew.
"Baik, Aidan dan anak baik!" Seru Aidan.
“Good boy!” Maizah tertawa dan mengusap rambut kedua putranya dengan kedua tangannya. Sentuhan lembut seorang ibu—yang membuat dunia anak-anaknya terasa aman.
"Honey,"
Kini giliran Arvid, Maizah mendekat, dan sebelum sempat mengatakan apa pun, Arvid sudah mengecup keningnya dan memeluknya erat.
“Selamat datang, sayang. Terima kasih atas kerja kerasnya hari ini,” bisik Maizah, membenamkan wajah di dada suaminya.
Arvid tersenyum dan membalas lebih erat. “Love you.”
Namun momen itu tak bertahan lama.
“Ayo, Mom!” teriak Aidan tiba-tiba. Ia menarik tangan kanan Maizah dengan penuh semangat. “Aku mau tunjukin gambar aku hari ini! Ada Mommy, ada Kak Matthew, ada Daddy… dan ada bintang kecil!”
Matthew, dengan langkah tenang, menggandeng tangan kiri Maizah. “Lebih baik kita masuk, Mom. Aidan nggak akan berhenti ngomong sebelum semua lihat gambarnya.”
Maizah tertawa pelan. “Astaga, Mommy diculik dua putra tampan, nih!”
Dengan pasrah, Arvid hanya bisa menghela napas panjang, melihat tangan Maizah terlepas dari pelukannya. Kedua anaknya tampak bersemangat menggiring sang ibu masuk ke rumah, masing-masing memegang satu tangan. Arvid tertinggal beberapa langkah di belakang, tapi senyum kecil terlukis di wajahnya.
Begitu masuk, Maizah langsung memerintahkan suami dan kedua putranya segera mandi.
"Semuanya segera mandi ya," perintah Maizah dengan tegas tapi tetap dengan nada lembut.
"Aye aye, captain!" seru Matthew dan Aidan memberi hormat sebelum naik menuju kamarnya.
Senyum Arvid langsung mengembang saat kedua putranya sudah pergi. Kali ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan!
"Ayo ke kamar Honey,"
Maizah menurut saat tangannya digenggam menaiki undakan tangga menuju kamar utama. Begitu sampai, Arvid langsung memeluk Maizah dari belakang. Wajahnya bersandar di leher istrinya, menghirup aroma lembut tubuh wanita yang dicintainya sejak lama.
“Kamu sangat harum,” bisiknya seraya mengecup pelan sisi lehernya. “Cup. Cup.”
Maizah tertawa kecil, geli. “Mandi dulu, Honey,” ucapnya, mencoba melepaskan pelukan lembut itu.
Arvid menghela napas dramatis, seolah kecewa. “Tapi… mandi bersama?” godanya dengan suara rendah.
"Nanti malam ya by, anak-anak nanti tantrum kalau kita lama." Jawab Maizah seraya mengelus pipi Arvid.
Arvid memanyunkan bibir, membuat wajahnya terlihat seperti bocah empat puluh tahun yang sedang merajuk. “Nggak lama kok. Cuma lima belas menit. Atau… dua puluh.”
“Dua puluh? Kamu bilang begitu dari tahun-tahun sebelumnya,” sahut Maizah sambil mencubit lengan suaminya pelan.
Tawa kecil mereka memenuhi ruangan. Arvid akhirnya mengangkat tangan, tanda menyerah. “Oke. Aku mandi sendiri. Tapi… aku tetap menuntut cuddle setelah ini.”
“Disetujui,” jawab Maizah sambil mendorong Arvid ke kamar mandi.
Maizah menyiapkan pakaian untuk suaminya, lalu menyusul kedua putranya, memastikan mereka mandi atau tidak. Karena kadang mereka tinggal dulu bermain, lebih tepatnya Aidan.
Tok tok tok.
"Matthew," panggil Maizah sambil mengetuk pintu kamar putra sulungnya.
Tak ada sahutan.
Setelah menunggu sejenak dan tetap tak mendapat jawaban, Maizah memutar kenop pintu perlahan. Pintu terbuka, dan Maizah tersenyum begitu mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Aroma sabun lembut menguar samar dari balik pintu kamar mandi. Ia mengangguk puas.
“Good boy,” gumamnya sebelum menutup pintu kamar dengan pelan.
Lalu ia bergeser ke kamar Aidan. Kali ini, ia sedikit mengernyit. Biasanya, kalau tidak segera dipanggil, Aidan akan dengan senang hati bermain hingga lupa waktu. Ia mengetuk pelan.
Tok tok tok.
“Aidan, Mommy masuk ya.”
“Yesss, Mom,” sahut Aidan dari dalam kamar dengan suara yang ceria namun sedikit panik.
Ceklek.
Begitu pintu terbuka, Maizah mendapati pemandangan yang… tidak mengejutkan, tapi tetap membuatnya menggeleng pelan. Aidan sedang duduk di lantai, di samping lemari kecil berisi mobil, pesawat dan mainan lainnya, sambil mengobrol sendiri.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Maizah sambil melipat tangannya di depan dada, mencoba memasang ekspresi marah.
“E-em, hanya menyapa Choco, Mom,” jawab Aidan cepat. Ia menunjuk boneka Dino kesayangannya. “Tadi Aidan baru aja mau mandi, sumpah!”
Maizah tertawa pelan, lalu berjongkok di hadapan Aidan. “Baiklah, ayo Mommy bantu,” tawarnya sambil mengulurkan tangan.
Namun, si bungsu cepat-cepat menggeleng dan berdiri sendiri.
“No, Mom. Aidan sudah besar, sudah bisa mandi sendiri!” katanya dengan penuh semangat dan nada serius, seolah pernyataan itu penting untuk harga dirinya sebagai anak lelaki.
Maizah menahan senyum, namun ia mengangguk. “Baiklah, Mommy di sini saja. Kalau butuh bantuan, panggil, ya?”
“Okeee!” sahut Aidan lalu berlari masuk ke kamar mandi kecilnya sendiri.
Ia duduk bersila di lantai, tepat di samping rak mainan Aidan yang kini acak-acakan. Mobil-mobil kecil dari koleksi Hot Wheels berserakan bersama pesawat mini, robot mainan, dan satu boneka dinosaurus yang tampaknya tersesat dari kotaknya.
Dengan sabar, Maizah mulai menyusun mobil-mobil itu ke dalam laci bertingkat sesuai kategori yang biasa mereka buat bersama: mobil balap di tingkat atas, mobil polisi dan ambulans di tengah, lalu truk dan alat berat di bawah. Pesawat-pesawat kecil ia tata rapi di atas lemari pendek, sementara dinosaurus ia bawa kembali ke rak boneka.
"Kebiasaan banget anak itu, menyapa mainnya seperti ini." gumamnya pelan, meski senyumnya tak pernah hilang dari wajah.
Dari dalam kamar mandi terdengar suara Aidan yang bersenandung, diselingi suara cipratan air. Maizah berhenti sejenak dan mendengarkan.
“Sabun... sabun... jangan kena mataa~...” begitu kira-kira lagu karangan Aidan yang terdengar.
Maizah terkekeh pelan. Anak itu memang punya imajinasi luar biasa. Bahkan saat mandi pun, masih sempat menciptakan lagu sendiri.
Beberapa menit kemudian, suara air berhenti. Maizah bangkit dari duduknya, bersiap jika Aidan membutuhkan bantuan untuk mengeringkan badan atau mencari handuk.
“Mom! Handuk aku jatuh!” terdengar suara dari dalam.
Maizah segera masuk, mengambil handuk biru bergambar bintang-bintang yang terjatuh ke lantai dekat pintu, lalu menyodorkannya.
“Terima kasih, Mommy!” sahut Aidan dari balik tirai shower yang masih tertutup. Tangan kecilnya meraih handuk itu dengan sigap.
"Sama-sama, ayo sini keluar. Mommy bantu keringkan."
Aidan keluar lalu diam saat rambutnya di gosok dengan handuk. "Selesai. Bisa pakai baju sendiri kan sayang? Mommy mau nyusul Daddy dulu."
"Bisa mom,"
"Good boy,"
Tbc.
...Terima kasih atas dukungannya teman-teman, see u next part🫶🧡...
^^^Mawar Jk^^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!