NovelToon NovelToon

Keikhlasan Cinta

Bab Satu

"Akhirnya aku bisa memakai baju toga ini," gumam Khanza. Dia berjalan menyusuri jalan setapak di kampus.

"Selamat tinggal kampus, mulai besok aku bisa fokus dengan pekerjaanku saja," ucap Khanza bermonolog pada dirinya sendiri.

Khanza merasa sangat bahagia dan bangga setelah merayakan wisudanya. Dia telah melewati perjalanan panjang sebagai anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan, dan kemudian harus mandiri dan membiayai sendiri hidupnya setelah dewasa.

Menyelesaikan pendidikan S1 bukanlah hal yang mudah bagi Khanza, tetapi dia telah bekerja keras dan berjuang untuk mencapai tujuannya. Rasa bangga dan bahagia yang dirasakannya saat ini adalah hasil dari kerja keras dan ketekunannya.

Khanza mungkin merasa bahwa semua perjuangannya selama ini telah terbayar, dan dia siap untuk menghadapi tantangan baru di masa depan. Wisuda ini bukan hanya merupakan pencapaian pribadi, tetapi juga merupakan bukti bahwa dia dapat mengatasi kesulitan dan mencapai kesuksesan meskipun memiliki latar belakang yang sulit.

"Akan aku buktikan pada dunia, jika aku bisa sukses walau hanya anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan," ucap Khanza pada dirinya sendiri.

Saat Khanza sedang asyik berjalan, sebuah mobil berhenti di sampingnya. Dia tahu siapa pemiliknya. Semua mahasiswa dan mahasiswi di kampus ini mengenalnya. Ryan, seorang anak pengusaha kaya raya.

"Khanza, kenapa jalan? Biar aku antar pulang," ucap Ryan. Sudah sejak lama pria itu mendekati Khanza, tapi gadis itu tak pernah menanggapi. Dia hanya ingin fokus kuliah.

"Terima kasih, Ryan. Aku naik angkot saja," balas Khanza. Dia menjawab sambil tersenyum. Tak ingin nanti di kira sombong.

Tiba-tiba mobil itu berhenti. Khanza juga ikut menghentikan langkahnya. Dari dalam mobil keluar Fanny. Dia menghampiri Khanza.

"Ayolah, Khanza. Sekali ini aja. Ikut dengan kami. Kita merayakan wisuda ini. Anggap saja ini sebagai acara perpisahan. Entah kapan kita akan bertemu lagi," ucap Fanny.

Khanza tampak ragu. Dia tak pernah pergi dengan teman sekampus. Setiap pulang kuliah, dia langsung kembali ke kost. Akan melakukan live untuk jualan produknya secara online.

"Aku mau jualan," ucap Khanza. Masih mencoba menolak.

"Sekali ini aja, Khanza. Masa sama teman sendiri kamu tak percaya. Kita hanya sekedar makan-makan di apartemenku saja. Setelah itu kamu boleh pulang. Entah kapan kita akan bertemu lagi. Kita akan sibuk dengan kegiatan masing-masing," ucap Fanny masih mencoba merayu Khanza.

Di dalam mobil yang di kendarai Ryan, ada Toni juga. Jika dia ikut berarti mereka akan berempat. Seperti dua pasang kekasih. Namun, jika dia terus menolak, dia juga tak enak hati. Sudah sering Fanny atau Ryan mengajaknya jalan, tapi tak pernah dia ikuti.

Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Khanza mengangguk juga sebagai tanda persetujuan. Fanny tampak senang melihat reaksi dari temannya itu.

Dia langsung mengajak Khanza masuk ke mobil. Ryan dan Toni tampak tersenyum dan saling pandang. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka.

"Apa aku boleh ganti baju dulu?" tanya Khanza. Dia merasa tak nyaman dengan baju kebaya yang sedang dikenakan.

"Kita hanya makan-makan di apartemenku, jadi aku rasa tak perlu ganti baju," jawab Fanny.

"Apakah lama?" tanya Khanza lagi. Fanny hanya tersenyum. Begitu juga dengan Ryan dan Toni. Mereka tak menjawab pertanyaan Khanza. Gadis itupun akhirnya diam saja. Merasa tak enak hati karena terlalu banyak bertanya.

Khanza merasa sedikit canggung dan tidak terbiasa dengan situasi sosial seperti ini. Dia tidak pernah pergi main ke mana pun sebelumnya, sehingga perjalanan menuju apartemen Fanny terasa begitu lama dan tidak nyaman baginya.

Saat teman-temannya bertanya, Khanza hanya menjawab dengan satu atau dua kata, tidak tahu bagaimana cara merespons dengan lebih baik. Dia merasa sedikit terintimidasi oleh situasi yang tidak familiar ini, dan tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan teman-temannya.

Khanza berharap bahwa dia bisa merasa lebih nyaman dan bisa berinteraksi dengan lebih baik saat sudah tiba di apartemen Fanny. Namun, untuk saat ini, dia hanya bisa mencoba untuk menikmati perjalanan dan berharap bahwa segalanya akan menjadi lebih baik nantinya.

Satu jam kemudian mereka sampai di apartemen milik Fanny. Mereka berempat menuju ke unit tempat tinggal gadis itu dengan menggunakan lift.

Sampai di depan apartemennya, Fanny langsung membuka pintu dan mempersilakan ketiga temannya masuk. Khanza memperhatikan ke sekeliling ruangan. Sedikit berantakan bagi dirinya yang suka kebersihan dan kerapian.

"Kenapa sepi? Kemana orang tuamu, Fanny?" tanya Khanza. Dia tak melihat siapa pun di dalam ruangan itu.

"Aku hanya tinggal sendirian. Kedua orang tuaku di luar negeri. Seminggu lagi aku juga menyusul mereka. Di sana Papi sudah memiliki usaha. Kerjasama dengan temannya yang bule. Sesekali aku pasti kembali ke sini," jawab Fanny. Mendengar jawaban dari temannya itu, Khanza tampak sedikit terkejut.

Fanny lalu mempersilakan Khanza duduk. Gadis itu tampak ragu setelah tahu kalau mereka hanya berempat di apartemen saat ini. Namun, untuk menolaknya dan langsung pergi dari apartemen itu tak mungkin.

"Aku pesan makanan dulu. Kalian mau apa?" tanya Ryan. Fanny dan Toni menyebut makanan apa yang mereka inginkan. Hanya tinggal Khanza.

"Kamu pesan apa, Khanza?" tanya Ryan dengan suara yang lembut.

"Aku nggak usah aja. Cuma sebentar'kan?" Khanza balik bertanya.

"Khanza, baru saja sampai, masa kamu sudah mikir pulang. Kamu tak suka ya sama kami bertiga?" tanya Fanny.

Pertanyaan Fanny membuat Khanza tampak sedikit merasa bersalah. Apa lagi dia melihat perubahan di wajah ketiga orang itu.

"Bukan begitu, Fanny. Aku harus live. Aku mencari uang dari menjual produk di salah satu media sosial. Aku tak punya siapa-siapa, jadi aku harus bisa mencari uang untuk biaya hidupku sendiri," jawab Khanza.

"Akan aku beli semua barang yang kamu jual nanti. Sekarang kita senang-senang dulu. Sekarang kamu sebutkan aja makanan yang kamu inginkan. Aku janji hanya sekali ini saja mengganggu kamu," ucap Fanny.

Akhirnya Khanza menyerah. Dia menyebutkan apa yang diinginkan. Ryan lalu memesan semua makanan yang diinginkan.

"Aku buatkan minum dulu. Kamu mau apa, Khanza?" tanya Fanny.

"Nggak usah repot-repot. Biar aku buat sendiri," ucap Khanza. Dia lalu berdiri dari duduknya.

"Kamu duduk saja. Sebagai tuan rumah, biar aku yang buat. kamu di sini saja. Aku buatkan jus jeruk aja ya untukmu?" tanya Fanny. Khanza lalu menganggukan kepalanya tanda setuju.

Fanny langsung ke dapur membuatkan air minum untuk ketiga sahabatnya dan juga untuk dirinya. Minuman yang buat Khanza ditaburinya sesuatu.

"Khanza, hari ini kita akan bersenang-senang!" ujar Fanny dalam hatinya.

**

Hai-hai, mama kembali datang dengan karya terbaru. Mama mohon dukungannya. Baca setiap update dan jangan menumpuk bab. Terima kasih. Lope-lope buat semuanya.

Bab Dua

Fanny membawa minuman untuk ketiga temannya, termasuk Khanza. Namun, tanpa sepengetahuan Khanza, Fanny telah menambahkan obat tidur ke dalam minuman gadis itu.

"Silakan minum. Sebelum makanan tiba, kita bisa makan cemilan ini dulu," ucap Fanny sambil menyodorkan toples berisi snack.

Fanny lalu tersenyum dengan Ryan sambil mengedipkan matanya. Pria itu pun membalas tersenyum. Matanya tak lepas memandangi Khanza. Gadis itu bukan tak menyadarinya, tapi dia pura-pura tak tau jika pria itu selalu menatapnya. Dalam hatinya ada ketakutan melihat Ryan yang menatapnya tanpa kedip.

Untuk menghilangkan rasa gugupnya, Khanza meneguk air minum yang Fanny berikan. Dia tak menyadari jika bahaya sedang mengancamnya.

Fanny tersenyum dengan Khanza, melihat gadis itu meminum hampir separuh dari air di gelas tersebut.

"Kamu harus banget, ya? Mau aku tambah minumnya?" tanya Fanny.

"Nggak usah. Ini masih ada," jawab Khanza sambil menahan dirinya untuk tidak menguap. Dia merasa matanya sangat mengantuk, tapi dia mencoba menahannya. Tak mungkin dia tidur di apartemen ini.

"Setelah ini kamu mau kerja di mana, Khanza. Nilaimu sangat tinggi. Pasti tak sulit untuk mencari pekerjaan. Perusahaan manapun pasti akan dengan senang hati menerima surat lamaran pekerjaan darimu," ucap Fanny.

"Nggak juga, Fan. Di zaman sekarang ini nilai tinggi bukanlah jaminan mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Koneksi dalam perusahaan yang terpenting. Jika kita tak ada mengenal orang dalam, akan sulit diterima," jawab Khanza.

Khanza menutup mulutnya saat menguap. Dia merasa matanya sulit untuk di buka. Dia lalu berdiri.

"Maaf, Fanny, Ryan dan Toni, aku harus pulang sekarang. Mataku ngantuk. Aku mau istirahat," ucap Khanza. Dia berusaha berjalan walau terasa sangat berat.

Baru beberapa langkah, tubuhnya limbung. Beruntung Ryan langsung menyambutnya. Fanny dan Toni tampak saling pandang.

"Kalian beri apa minumannya?" tanya Ryan.

Sepertinya Ryan tidak tahu apa-apa. Dia memandangi wajah Fanny dan Toni secara bergantian meminta penjelasan.

"Aku beri dia obat tidur. Sekarang kau bisa melakukan apa saja padanya. Aku tau kamu penasaran dengannya," ucap Fanny.

"Tapi bukan begini caranya!" seru Ryan.

"Apa pun caranya, yang penting kamu bisa mencicipi tubuhnya," balas Toni.

"Kau bawa aja ke kamar tamu itu. Terserah mau kau apakan. Kami juga mau bersenang-senang," ucap Fanny.

Fanny dan Toni lalu masuk ke kamar utama. Mereka langsung mengunci pintunya.

Ryan menggendong tubuh gadis itu dan membawanya masuk ke kamar. Dengan pelan tubuh Khanza diturunkan ke ranjang.

Ryan menatap Khanza dengan mata yang intens, seakan-akan sedang mengukur dan mempertimbangkan segala kemungkinan. Wajah Khanza yang polos dan tidak menyadari situasi yang sedang terjadi membuatnya semakin penasaran.

Ryan terus memandang Khanza dengan pikiran yang berputar, mencari jawaban atas pertanyaan yang belum terjawab. Dalam keheningan yang menyergap, Ryan membiarkan dirinya tenggelam dalam lamunan, mencari kepastian tentang langkah selanjutnya yang akan diambil.

Tiba-tiba tubuh Khanza bergerak sedikit. Dia lalu menaikan kakinya ke guling sehingga pa'hanya kelihatan. Ryan sampai menelan air liurnya.

Ryan naik ke ranjang. Pikirannya mulai sudah tak waras lagi. Dia lalu mendekati tubuh Khanza. Membuka satu persatu kancing baju wanita itu. Semakin melihat tubuhnya, semakin banyak pikiran di kepala pria itu.

Satu persatu kain yang melekat di tubuh Khanza dia tanggalkan. Ryan lalu berdiri dan membuka bajunya, setelah itu kembali naik ke ranjang.

Saat ini kedua makhluk berlainan jenis itu telah dalam keadaan polos. Ryan tak peduli apa yang akan Khansa katakan saat dia tersadar nanti.

Ryan mengecup bibir Khanza. Setelah itu ciuman mulai turun hingga sampai ke bagian tengah tubuhnya. Dia melakukan apa pun sesuka hati pada gadis tersebut.

Setelah puas mengecup seluruh bagian di tubuh Khanza, Ryan mulai mencoba memasuki inti tubuh dari gadis itu. Beberapa kali mencoba, dia belum bisa juga menembusnya.

"Apakah ini berarti kamu memang masih perawan? Apakah ini keberuntungan bagiku karena aku bisa men-cicip'i tubuhmu sebagai orang pertama?" tanya Ryan pada dirinya sendiri.

Beberapa kali mencoba akhirnya Ryan bisa menembus masuk ke lorong rahasia milik Khanza. Pria itu melakukan hubungan dengan perasaan bahagia.

"Akhirnya aku bisa juga merasakan bagaimana enaknya berhubungan dengan perawan."

Tak berapa lama, Ryan merasa klimaksnya. Dia menumpahkan cairan miliknya ke dalam tubuh gadis itu, tanpa berpikir apa yang akan terjadi.

Ryan lalu menjatuhkan tubuhnya ke samping Khanza. Dia mengecup bibir gadis itu lagi.

"Terima kasih, Sayang. Aku bangga bisa menjadi pria pertama yang menyentuhmu. Rasanya tak percaya di zaman sekarang masih ada seorang gadis yang bisa mempertahankan kesuciannya," ujar Ryan bermonolog.

Tak berapa lama terdengar deru napas yang teratur. Ryan akhirnya tertidur.

Berbeda dengan Ryan yang telah terlelap, justru Khanza baru saja sadar. Dia merasa tubuhnya pegal dan lelah. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih.

Khanza menatap kamar dengan sedikit keheranan. Dia mulai sadar jika tak berada di rumahnya.

"Ada di mana aku ini?" tanya Khanza pada dirinya sendiri.

Khanza mencoba untuk bangun, tapi dia merasa bagian bawah tubuhnya terasa sakit. Dia lalu melihat ke badan, baru di sadari, kalau dirinya dalam keadaan polos.

"Apa yang terjadi denganku?" Tampaknya Khanza mulai cemas. Saat dia mencoba bangun, kembali dirasakan seluruh tubuhnya sakit. Dia lalu melihat ke samping makin terkejut saat pandangannya menatap ke tubuh Ryan yang juga dalam keadaan polos.

"Tidak ... ini tak mungkin. Aku tak mungkin melakukan ini. Pasti semua memang telah mereka rencanakan. Kenapa tiba-tiba aku merasa mengantuk tadi," ujar Khanza.

Air mata mulai jatuh membasahi pipinya. Dia merasa tubuhnya kotor dan tak pantas lagi buat siapa pun.

Khanza lalu menarik selimut dan menutup tubuhnya. Dia mengguncang tubuh Ryan dengan keras agar pria itu membuka matanya.

Ryan yang merasa tubuhnya di pukul, lalu mencoba membuka mata. Pandangan mereka bertemu. Tampak kilat kemarahan di dari mata wanita itu.

"Apa yang kau lakukan padaku?" tanya Khanza dengan suara yang tinggi.

Tanpa malu dan tanpa rasa bersalah, Ryan bangun. Dia lalu tersenyum pada Khanza.

"Apa yang kau lakukan padaku?" Kembali Khanza mengulangi pertanyaannya melihat Ryan hanya diam tanpa menjawabnya.

"Oh, apa kamu lupa dengan apa yang telah kita lakukan?" Bukannya menjawab pertanyaan Khanza, dia justru balik bertanya.

"Jangan memutar-mutar. Jawab saja pertanyaanku!" seru Khanza.

"Baiklah jika kamu ingin tau juga. Kita baru saja melakukan apa yang biasanya orang dewasa yang berlawanan jenis lakukan berdua di kamar.

Khanza menarik napas dalam sebelum mengucapkan kata, "Dasar pria ba'jing'an! Kau pasti telah melakukan secara paksa padaku. Kalian telah merencanakan ini, bukan?" teriak Khanza.

'Kita melakukannya atas dasar suka sama suka. Mau sama mau. Aku tak ada memaksamu! Banyak wanita di luar sana yang rela menyerahkan tubuhnya secara sukarela, kenapa aku harus memaksamu!" seru Ryan.

"Semoga kau mendapatkan karma atas apa yang telah kau lakukan padaku!"

Setelah mengatakan itu, Khanza berusaha bangun dari tempat tidur. Walau bagian inti tubuhnya terasa sangat sakit. Dia tak sudi lagi berada di tempat ini.

Bab Tiga

Khanza memungut bajunya. Dia lalu memakainya. Ryan juga ikut melakukan itu. Dia mendekati gadis itu.

"Aku antar kamu pulang," ucap Ryan.

Dengan mata tajam Khanza menatap wajah pria itu. Tangannya terangkat dan langsung menampar wajah Ryan. Pria itu merasakan panas di pipinya.

"Aku tak sudi di antar oleh pria ba'jing'an seperti kamu!" seru Khanza.

Dengan langkah pelan dia berjalan keluar. Ryan menatap punggungnya dengan sedikit rasa bersalah. Baru kali ini dia merasa tak enak hati setelah tidur dengan wanita. Padahal dia sudah sering melakukan itu dengan kekasih-kekasihnya dahulu.

Sampai di ruang tamu, Khanza meraih tas miliknya yang berisi ijazah. Saat dia akan berjalan kembali, terdengar suara pintu dibuka. Tampak Fanny keluar hanya dengan menggunakan handuk.

Khanza menatapnya dengan mata menyala. Dia sudah bisa memahami apa yang terjadi, karena setelah minum dia merasakan kantuk.

"Mau kemana, Khanza?" tanya Fanny. Dia lalu berjalan mendekati tanpa tahu jika saat ini temannya itu sedang menahan emosi dan amarahnya.

"Dasar ba'jing'an ...! Kau sama saja dengan pria itu. Apakah sebagai sesama perempuan kau tak memiliki empati. Seharusnya kau melindungi jika ada pria yang akan menodai temanmu, bukannya justru mendukung! Semoga kelak kau tak akan menyesal karena telah melakukan ini padaku!"

Fanny bukannya merasa bersalah. Dia justru tersenyum. "Jangan munafik! Kau pasti senang dapat tidur dengan pria kaya dan tampan seperti Ryan. Banyak wanita di luar sana yang justru menawarkan diri untuk di tiduri. Lagi pula kalian melakukan atas dasar suka sama suka," ucap Fanny dengan santainya.

"Kau pikir aku sama sepertimu! Bisa dengan gampang menyerahkan diri pada pria. Aku tak semurah kau! Jika kau yang begitu, jangan samakan denganku!"

"Jaga ucapanmu! Siapa yang murahan? Seharusnya kau bersyukur karena Ryan mau meniduri wanita miskin sepertimu!"

"Walau aku miskin, aku tak sudi menyerahkan diriku untuk ditiduri. Semoga saja kau tak akan pernah menyesal karena telah menjebak'ku. Semoga tak dihantui rasa bersalah!

Khanza lalu berjalan keluar ruangan dengan pelan setelah mengucapkan itu. Rasa sakit masih dia rasakan. Fanny memandangi tampa ada keinginan untuk meminta maaf.

Saat Khanza telah menghilang dari balik pintu, Ryan keluar dari kamar. Begitu juga Toni.

"Apa kita tak keterlaluan? Dia masih perawan loh!" ucap Ryan.

Fanny dan Toni saling pandang. Sepertinya mereka terkejut saat mendengar pengakuan dari pria itu.

"Kamu serius, Yan?" tanya Fanny dan Toni serempak.

Mereka lalu duduk bertiga di ruang tamu. Ketiganya masih terdiam.

"Masih ada ya zaman sekarang cewek yang mempertahankan keperawanannya. Aku pikir selama ini dia hanya malu dan sok jual mahal karena banyak yang mengejar, sehingga aku dan Fanny membuat rencana ini," ucap Toni.

"Aku merasa sedikit bersalah. Apa lagi dia tak ada keluarga," ujar Ryan.

Fanny terdiam. Dia menarik napas berat. Dia tak bermaksud membuat gadis itu kehilangan keperawanannya dengan cara begini. Dia hanya sedikit kesal melihat sahabatnya Ryan selalu di tolak. Setiap pria itu mengajak jalan Khanza tak pernah merespon.

"Bagaimana kalau dia menuntut atau dia hamil? Aku melakukan tanpa pengaman karena memang tak ada rencana mau tidur dengan wanita manapun," ucap Ryan.

Selama ini setiap melakukan hubungan dia selalu menggunakan pengaman. Selain takut wanita yang ditiduri hamil, juga untuk menjaga dirinya dari penyakit.

"Kau tinggal beri uang. Dia kan miskin. Pasti lebih butuh uang dari pada tanggung jawabmu. Beri uang seratus juta aja dah tutup mulutnya," ucap Toni.

Ryan tampak terdiam. Dia ingat kata-kata makian dari Khanza uang mengatakan jika dirinya akan mendapatkan karma. Entah mengapa dia merasa sedikit takut, padahal selama ini dia tak pernah takut akan ancaman dari siapa pun.

Toni yang melihat temannya gugup, lalu menyentuh tangannya. Dia tersenyum.

"Kamu takut? Kenapa mesti takut, kamu memiliki segalanya. Lagi pula apa yang akan dia tuntut. Tak ada bukti juga jika kamu telah menodai dirinya," ucap Toni.

"Apa yang Toni katakan itu benar. Lebih baik kita siap-siap ke klub. Kau hubungi aja Dira buat temani kau. Masih mau ngamar lagi'kan?" tanya Fanny sambil tertawa.

Di tempat lain, Khanza tak bisa menyembunyikan rasa sedih dan marahnya. Dia berjalan terus sambil menangis. Tak peduli orang-orang menatapnya dengan raut wajah keheranan.

Tuhan ... Aku lelah. Ingin rasanya aku lari sejauh mungkin, teriak di sebuah tempat yang mungkin tidak ada satupun dari mereka yang tau. Menangis di bawah derasnya hujan, melepaskan semua beban didiri ini. Begitu sempurna cara engkau mendewasakan aku, tapi kenapa harus aku Tuhan? Sampai kapan aku harus belajar tegar di balik rasa sedih ini? Begitu berat skenario yang Engkau buat. Tuhan, bangunkan aku dari mimpi buruk ini.

Khanza terus berjalan dengan menahan rasa sakit yang dia rasakan. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya seolah turut merasakan kesedihan yang dia rasakan.

Hujan begitu derasnya turun dari langit kelabu, membasahi bumi dengan derasnya. Khanza tak peduli jika itu membasahi tubuhnya. Dia terus saja berjalan.

Seperti langit yang gelap serta mendung, begitulah hati Khanza saat ini. Dia teringat pada kenangan indah tadi saat dia wisuda. Semua seakan bertolak belakang dengan perasaannya sekarang.

Khanza mengernyitkan dahi, mencoba menahan air mata yang ingin pecah. Dia merasakan titik-titik hujan yang jatuh seakan-akan menyentuh hati yang patah. Setiap tetes hujan yang turun membasahi tubuhnya, mengingatkannya pada kesedihan yang menghantui pikirannya.

Khanza terlihat rapuh dan lemah, dia ingin meluapkan segala emosinya, namun tidak ada yang bisa dia ceritakan. Sebatang pena tidak sanggup mengungkapkan perasaan yang terpendam di dalam dirinya saat ini.

Hujan semakin deras, mengalir membasahi tubuhnya. Khanza merasakan air hujan mencium pipinya, tetes demi tetes, seolah membacakan cerita kesedihannya.

Ketika kilatan petir melintas di langit, Khanza teringat pada kejadian tadi yang telah menimpanya. Dia merasakan kekosongan mendalam, seakan-akan kebahagiaan telah meredup menjadi nyala kecil yang hampir padam. Hujan semakin menekan hatinya, seperti mencoba memadamkan cahaya itu.

Hingga akhirnya Khanza berhenti saat berada di atas jembatan. Dia tak tahu sedang berada dimana. Kakinya melangkah tanpa tujuan. Dia melihat ke aliran sungai yang tampak deras karena hujan.

Terlintas di kepalanya untuk mengakhiri saja hidupnya. Khanza menarik napas dalam.

"Maafkan aku, Tuhan. Aku tau ini salah, tapi aku tak memiliki pilihan lain. Aku sudah tak suci lagi. Aku malu. Lebih baik aku akhiri saja hidup ini," ucap Khanza.

Khanza lalu mendekati pagar pembatas jembatan tersebut. Dia memejamkan matanya. Dia sudah yakin dengan pilihannya.

Khanza mengangkat kakinya, menaiki pagar pembatas. Saat dia ingin menjatuhkan tubuhnya, tiba-tiba dia merasa tubuhnya melayang. Dalam hatinya Khanza berpikir, apakah dia telah mati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!