NovelToon NovelToon

Korban Perceraian

Tuduhan

Alif, menatap lesu pada bajunya yang terkena cipratan dari sebuah mobil yang melaju kencang di dekatnya.

Ini merupakan hari senin, baju seragam yang baru di pakainya tadi pagi.

Dan sudah bisa di bayangkan, betapa marah neneknya nanti saat melihat bajunya yang penuh dengan noda.

Dengan hati yang bergemuruh, Alif pulang dengan berlari, bahkan jantungnya memompa dua kali lebih cepat, dari biasanya. Bukan karena akibat dari larinya. Melainkan, melihat neneknya yang sedang menyapu halaman.

Perlahan, saat mendekati rumahnya, dengan posisi sedikit sembunyi di balik pagar, Alif beristirahat sejenak, untuk meraup udara sebanyak mungkin, dan dia bersiap akan menerima apapun yang terjadi.

Dengan menelan ludah secara kasar. Alif mengucap salam dengan lirih. Tak lupa, doa yang di lafaz kan di hatinya.

"Ya ampun Alif ... Harus berapa kali sih nenek berpesan padamu? Jangan mengotori bajumu! Memangnya besok, kamu mau pakai apa hah?" teriak Neli, dengan menopang kedua tangannya di pinggang.

"Ta-tadi ..."

"Apa? Menjawab? Kamu memang seperti ibumu ya ... Selalu saja menjawab saat orang tua memberi nasehat." ungkap Neli menjitak kepala Alif.

"Sana, cuci bajumu." sambung Neli lagi. Dia bahkan tidak peduli dengan mata Alif yang sudah berkaca-kaca.

Alif masuk ke dalam dan segera menggantikan bajunya. Dia bahkan tidak memperdulikan perutnya yang keroncongan akibat menahan lapar dari pagi tadi. Karena di sekolah pun, dia tidak jajan sama sekali.

Itu, karena dia tidak membawa uang jajan. Akibat, Neli belum mendapatkan upah, dari ketok melinjo. Ataupun, emping.

Iya, pekerjaan sehari-hari Neli adalah menggetok melinjo. Dia mengupah punya orang, yang biasannya sekilo melinjo dia di bayar, dengan uang sepuluh ribu. Dan dalam sehari, biasanya Neli menghabiskan dua kilo melinjo. Dan itu pun, sampai sore hari.

Bahkan, kadang kala Neli juga melanjutkan saat malam harinya, untuk menambah penghasilan, agar cucunya bisa makan dengan layak.

Siapa sangka, di balik kekejaman Neli dalam mendidik Alif. Dia mempunyai harapan dan doa, agar Alif menjadi sosok kuat dan penyabar.

Setelah mengantikan pakaiannya Alif langsung ke sumur untuk menimba air. Karena kebetulan, mesin air di rumah mereka telah lama rusak. Dan Neli, tidak memiliki cukup uang untuk membeli yang baru.

Dan mesin tersebut pun, sudah beberapa kali di perbaiki.

Neli datang, mengambil alih tali ember dari tangan Alif. "Kamu makan lah, biar nenek saja yang mencucinya." lirih Neli.

Alif mengangguk, tanpa membantah sedikitpun. Dia menuju dapur dan mengambil nasi serta telur dadar yang telah disiapkan oleh neneknya.

Alif memilih makan di kursi panjang di terasnya. Dia makan nasi dengan sangat lahap. Kemudian, Neli datang seraya mengelus kepalanya dan duduk di samping cucunya.

"Kemarin, kamu bermain mobil-mobilan bersama Akmal?" tanya Neli.

"Iya, mobil remote nya bagus. Ayah kapan ya, mengirimkan kita uang? Aku mau juga mobil seperti itu." Alif bertanya balik.

Neli memilih diam, karena nyatanya anaknya, atau ayah dari Alif sekarang menghilang bak di telan bumi. Dan Neli, tahu pasti alasan di balik semua itu.

"Kamu, merusaknya?" tanya Neli hati-hati.

"Gak, aku bahkan tidak menyentuhnya nek. Aku main kejar-kejar mobilnya saja. Dan Akmal yang mengendalikannya menggunakan remote." sahut Alif antusias.

Neli menelan ludah. Dia tahu, jika sang cucu tidak berbohong. Namun, dia tidak berkomentar terlalu jauh lagi.

Tadi pagi, setelah Alif berangkat sekolah. Ibunya Akmal datang dengan muka merah.

Dia memanggilnya, dengan suara lantang. Membuat Neli yang sedang memberi makan ternak di belakang terkejut, sekaligus ketakutan.

Neli takut, jika Alif kenapa-napa. Namun begitu Neli keluar rumah dengan tergesa-gesa. Nila, atau ibunya Akmal, langsung menghampirinya.

"Wak Neli, bilangin ya sama cucunya, untuk jangan bermain sama Akmal. Karena jika Alif bermain sama Akmal, semua mainan Akmal pasti di rusaknya." ujar Nila dengan muka merah.

"Memang apanya yang rusak? Biar saya ganti!" seru Neli.

"Ganti, ganti ... Memangnya sanggup? Mobil ini harganya ratusan ribu. Situ makan aja hanya telor." sinis Nila.

Neli menelan ludah pahit. Karena apa yang di katakan wanita gemuk di hadapannya adalah kebenaran. Mungkin, Nila mencari tahu hal tersebut, dari Alif yang sering datang bermain ke rumahnya.

"Ini, aku ada uang seratus ribu. Barang kali, bisa menambal sedikit kerusakan yang diakibatkan oleh Alif." ujar Neli mengambil uang dari sela bajunya yang disimpan di dada, dalam dompet kecil.

"Ini mah, masih jauh dari kata cukup. Cuma, karena saya sedikit berbaik hati, ya udah saya terima." sinis nya menarik uang dari tangan Neli.

Neli memejam mata. Karena rencananya, uang tersebut akan digunakan untuk membelikan Alif sepatu baru. Karena sepatu yang dikenakannya sudah tidak layak pakai. Bahkan, telapak kaki Alif sampai kelihatan, saat dia berjalan.

Kembali Neli melihat Alif. Bocah berusia sepuluh tahun tersebut tidak pernah mengeluh, saat dia hanya bisa makan satu telur di bagi sampai ke malam hari.

Beruntung, untuk beras, Neli masih sanggup ke sawah mengumpulkan hasil panen dari orang-orang.

"Ibu, kenapa tidak pernah ke sini ya nek? Padahal, kata bu Nila, kampungnya gak jauh dari sini? Apa karena ibu udah punya anak lain?." tanya Alif dengan lirih.

"Hush ... Kamu ngomong apa? Dengar dimana?"

"Bu Nila. Katanya, ibumu udah ada adik baru. Makanya kamu gak mau diurus lagi, kamu gak disayang, sebab adikmu jauh lebih patuh. Tidak bandel seperti mu." sahut Alif meniru Nila.

Neli memejamkan matanya. Tidak menyangka, jika Nila sanggup mengatakan hal itu pada Alif. Walaupun itu kebenarannya, tidak seharusnya Nila begitu.

Neli saja, yang mengetahuinya lebih dulu, memilih untuk menyembunyikan hal itu. Karena dia tidak tahu, mungkin saja hati Alif akan rapuh, saat mendengar berita itu. Apalagi, memang sudah lama semenjak orang tua Alif bercerai, ibunya tidak pernah lagi menemuinya.

"Makan lah, nanti sore kita akan beli ikan di warung bu Meri." ujar Neli, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Ikan? Memang uang nenek cukup? Kata nenek kita harus berhemat, agar nenek bisa membelikan aku sepatu dan tas baru." beruntun Alif. "Aku juga ingin sih nek, pakai tas punggung baru kayak teman-teman." ungkap Alif.

"Nanti aja ya, jika uang dana sekolah masuk lagi. Kita akan beli semuanya." janji Neli.

Sebelumnya, Neli memang membelikan pakaian yang layak untuk Alif sekolah. Namun, uang tahun kemaren semua uang itu habis dipakai, pada saat Alif masuk ke rumah sakit. Dan karena itulah, sepatu yang belum sempat di gantinya itu, sampai sobek dengan parah. Begitu, juga dengan tas yang Alif kenakan.

"Bukan nya dana sekolah baru masuk saat kelas lima ya nek? Berarti masih lama dong." tanya Alif. Dan Neli hanya mengangguk kepalanya.

Siksaan Untuk Alif

Neli benar-benar menepati janjinya untuk membelikan Alif ikan. Karena uangnya sedikit, Neli pun hanya membeli dua ikan kecil. Cukup, untuk malam dan besok agar bisa dibawakan bekal oleh Alif, ke sekolah.

Sore harinya, kembali Akmal memanggil Alif untuk bermain dirumahnya. Dan kebetulan, Neli tidak ada di rumah, akhirnya, Alif pun mengikuti langkah kaki Akmal, yang rumahnya hanya beberapa meter dari rumahnya.

"Kita main petak umpet aja gimana?" tanya bocah yang umurnya masih sembilan tahun.

"Oke, tapi siapa yang jaga?" tanya Alif.

"Kamu aja, aku yang sembunyi dulu." ujar Akmal.

Alif melakukan seperti apa yang dikatakan oleh Akmal. Dan Akmal sendiri, berlari kedalam rumah untuk tersembunyi.

Setelah mendengar aba-aba dari Akmal, baru lah, Alif membuka matanya dan mencari-cari keberadaan Akmal.

Hampir sepuluh menit Alif mencari ke setiap sudut. Namun, dia tidak menemukan Akmal di manapun. Bahkan, sampai ke belakang tumpukan kayu. Namun, hasilnya tetap nihil.

"Akmal, aku menyerah ..." teriak Alif.

Akmal tertawa senang, kala mendengar teriak Alif. Dia keluar dari dalam rumah, dan kembali bersiap untuk sembunyi.

"Mana aci,,, masak sembunyi nya di dalam." keluh Alif memangku tangannya.

"Terserah, wleehh ..." Akmal menjulurkan lidahnya.

"Ya, sudah aku gak mau main lagi." ujar Alif.

"Ya udah, aku gak sembunyi di dalam rumah lagi." Akmal mengalah.

Kembali, Alif berjaga dan Akmal sembunyi. Namun kali ini, Akmal memilih memanjat pohon jambu yang tumbuh di halaman rumahnya. Dia menaikinya dengan sangat gesit.

Namun, sebelum mencapai tempat yang diinginkan, Akmal terjatuh dan berteriak kesakitan.

Sontak, Nila yang sedang memasak untuk makan malam di dapur, berlari dengan tergopoh-gopoh mendengar tangisan dari anak semata wayangnya.

"Kenapa? Apa yang terjadi?" teriak Nila, mendengar jeritan anaknya.

"D-dia jatuh dari pohon jambu." Alif menyahut dengan terbata-bata.

"Apa yang kamu lakukan? Kamu pasti menyuruhnya untuk naik kesana kan?" Nila melayangkan tangannya ke punggung Alif.

Alif tercekat, dia seperti kehilangan napas dalam beberapa detik. Sakit, itulah yang di rasakannya, dan detak jantungnya semakin berdebar.

"Kenapa? Mau nangis juga? Ini belum apa-apa dibandingkan anakku." bentak Nila, kala melihat Alif menjatuhkan air matanya.

Melihat ibunya sangat marah, Akmal malah semakin menangis karena ketakutan. Dan itu, membuatnya takut mengatakan hal yang sebenarnya.

"Udah berapa kali ibu bilang, jangan main sama anak nakal itu. Dia itu, gak punya orang tua yang mendidiknya." cetus Nila, tanpa memperdulikan luka mental yang di alami oleh Alif.

"Dia, yang ajak aku main bu." bohong Akmal, disela tangisannya.

Alif mendengar itu, hendak mundur dan pulang ke rumah. Namun, baru mengambil ancang-ancang untuk berlari, Nila menarik tangan Alif.

Dia mengambil cabang kayu, dan memukul punggung Alif dengan sekuat tenaga.

Tetangga di sampingnya yang mendengar teriak Alif, langsung keluar. Namun, dia tidak berani macam-macam, karena Nila adalah ibu rt. Dan siapapun yang membantahnya, siap-siap dana bantuan tidak akan masuk ke mereka.

Uang, mengalahkan rasa kemanusiaan. Itulah, yang dirasakan oleh orang-orang. Sampai akhirnya, Neli pulang melewati rumah Nila. Dia berlari sekuat tenaga melindungi cucunya.

"Apa yang kamu lakukan Nila? Kamu bodoh, atau gimana? Lihat dia luka." teriak Neli menarik tubuh gemuk Nila sekuat tenaga. Bahkan, napasnya memburu.

"Apa kamu gak dengar, dia minta ampun? Apa yang membuatmu, menghukumnya? Hah?" beruntun Neli, bahkan matanya seperti hendak keluar akibat emosi.

Neli langsung memeluk Alif yang terlebih dulu, memeluk kakinya. Bahkan, sekarang air matanya melebur bersama tangisan menyayat hati dari Alif.

"Dia, dia sudah berani mengajak Akmal bermain, dan menyuruh Akmal naik pohon, sehingga Akmal jatuh. Memangnya aku salah? Aku hanya ingin dia merasakan, apa yang anakku rasakan. Badan anakku sakit, tahu gak?" Nil berteriak tak kalah besar.

"Benar begitu?" tanya Neli.

Alif hanya menggeleng, bahkan sekedar menjawab pun ia tidak berani.

"Anda lihat, kan?" seru Neli.

"Jadi, menurutmu anakku bohong? Hah? Dia gak mungkin berbohong, karena aku didik dia dengan baik. Tidak seperti dia, bahkan orang tuanya pun tidak mau merawatnya. Dan itu memang pantas, untuk anak-anak nakal seperti mu." berang Nila, sembari menunjuk-nunjuk ke arah Alif.

Karena tahu akan kalah berdebat dengan Nila. Neli pun, melenggang pergi. Dia pun, tidak mau, jika nanti Nila kembali mengeluarkan kata-kata yang membuat Alif semakin terluka.

Sembari memberi obat dari daun-daunan yang di percaya bisa cepat menyembuhkan luka. Neli kembali meneteskan air mata. Apalagi, jerit tangis Alif, semakin membuat hatinya tersayat.

"Benar, kamu tidak mengajak Akmal?" tanya Neli sembari mengipas punggung Alif.

"Akmal, datang kesini dan ajak aku main nek. Aku juga gak menyuruhnya naik ke pohon jambu. Aku hanya melarangnya, jangan ngumpet di dalam rumah. Hanya itu." isak Alif.

"Nenek percaya." lirih Neli, sembari sesekali melap air matanya.

"Mulai besok, kamu jangan main sama Akmal lagi ya? Kamu di rumah saja." pinta Neli.

Malam semakin beranjak, Alif mulai meracau dalam tidurnya. Neli yang tidur di kasur yang berbeda terjaga. Karena tidak biasannya Alif begitu.

Saat tangannya mendekati lengan Alif, Neli terkejut. Karena sang cucu diserang deman. Mungkin saja, iru efek nyeri dari luka di punggungnya.

Dengan telaten, tangan keriput itu mulai mengompres dahi serta ketiak Alif. Namun, hatinya lagi-lagi tercabik, saat mendengar permohonan minta ampun dari Alif.

Mungkin saja, bocah lelaki itu sedang bermimpi, jika Nila kembali menyiksanya.

"Alif, buka mata nak ..." dengan lembut Neli membangunkan Alif. Dia hanya ingin, Alif sadar dari mimpi buruknya.

"Ayah ,,, Ibu ..."

Bukannya terbangun, Alif malah semakin membuat hati Neli terluka.

"Rindu ..."

Satu kata, membuat dada Neli sesak.

Semalaman Neli tidak lagi bisa melanjutkan tidurnya. Dia dengan telaten merawat Alif.

Pagi ini, Neli memasak bubur untuk Alif. Tidak, lebih tepatnya hanya memasak nasi lembek, dengan tambahan sedikit garam. Karena untuk bahan-bahan lain, sudah pasti tidak ada.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Neli, pada Alif yang sedang duduk di depan televisi usang.

Televisi tersebut, merupakan satu-satunya hiburan untuk Alif. Walaupun gambarnya sedikit berwarna merah, namun Alif tidak mempermasalahkannya.

"Kamu gak usah sekolah, biar nanti nenek yang telpon gurumu!" seru Neli.

Alif mengangguk, dia menerima bubur dari tangan neneknya. Dan memakannya sediri. Karena Neli, harus kembali menyelesaikan pekerjaannya dalam menggetok emping.

"Nek Alif, Alif-nya ada?" tanya bocah yang kemarin membuat Alif terluka.

"Akmal, kok kesini? Kenapa gak sekolah?" tanya Neli.

"Gak mau sekolah aja. Alif juga gak sekolah ya? Tadi aku lihat, dia gak lewat depan rumah."

"Iya, Alif sakit. Kamu pulang aja ya. Nanti ibumu marah." usir Neli secara halus.

"Tapi, kata ibu, aku boleh kok main disini." tutur Akmal.

Deg ...

"Apalagi, yang Nila lakukan?" gumam Neli.

Rasa Trauma Alif

"Tapi, Alif tidak nenek izinkan untuk bermain sama Akmal. Nenek takut, jika nanti ibumu marah. Kamu lihat kan, kemarin?" tanya Neli masih dengan intonasi yang lembut.

Akmal menunduk, seraya mencorat-coret tanah dengan kayu yang ada di tangannya.

"Memangnya, kemarin siapa yang aja Alif main ke rumah Akmal? Dan, apakah Alif juga menyuruh Akmal naik ke pohon?" Neli mencoba mengali kebenaran lewat Akmal.

"Aku, tapi kata Alif, jangan sembunyi di dalam rumah. Makanya aku naik pohon." ujar Alif tanpa sedikit pun, berbohong.

"Tapi, kenapa ibumu bisa memukul Alif?"

"Ka-karena, karena aku takut ibu marah." lirihnya dengan suara yang bahkan hampir tidak terdengar.

Neli memejamkan matanya. Kecewa? Tentu saja. Namun, dia tidak bisa menyalahkan Akmal begitu saja. Karena semua bermula, atas kesalahan Nila.

"Pulang lah, nenek gak mau Alif kembali terluka." usir Neli dengan suara yang sedikit meninggi akibat emosi yang membuncah.

Di tempat lain, jauh dari kampung tempat tinggal Alif dan Neli. Haris, ayah dari Alif sedang bersenda gurau dengan kekasihnya.

Hubungan mereka sudah berjalan hampir satu tahun lamanya. Dan mereka berencana menikah dalam waktu dekat ini.

"Jadi, apa akhir-akhir ini ibumu masih meminta uang sama kamu?" tanya Nanda, seraya tidur di dada Haris.

"Aku telah memblokir nomornya, sesuai permintaan mu." sahut Haris membelai-belai rambut Nanda.

"Begitu dong, aku gak rela ya, semua uangmu habis untuk mereka. Kan, yang melayani kamu ialah aku." cetus Nanda seraya memainkan jari-jarinya di dada Haris.

"Iya, kamu tenang aja ... Aku udah gak mengirimkan mereka uang hampir satu tahun lamanya." terang Haris.

Godaan perempuan memang lebih dahsyat. Haris bahkan rela melupakan anaknya demi wanita yang baru dikenalnya sejak, setahun lebih itu. Baginya sekarang, Nanda adalah dunianya.

Lagipula, Haris percaya, jika Neli mampu membesarkan Alif, tanpa campur tangannya. Toh, dulu Neli juga bisa memberikannya makan sampai ia lulus sekolah.

Lagian, jika bukan untuk Alif, untuk siapa juga ibunya mencari uang. Begitulah, kira-kira pikiran Haris.

"Aku mau kita nikah bulan depan. Aku capek, aku lelah ... Kamu terus saja memberiku kepastian." Nanda mulai merajuk.

"Baiklah, kita akan pulang ke kampungmu, seminggu sebelum pernikahan. Dan sebaiknya, kamu bilang sama orang tuamu terlebih dulu. Agar mereka tidak terkejut."

"Tapi, mereka gak mau jika aku menikah dengan duda, apalagi duda yang ada anaknya. Secara, aku ini kan cantik. Mereka gak mau, jika aku kesusahan harus mengurus anak-anak mu. Jadi, boleh gak, kita sembunyikan tentang anakmu, pada orangtuaku?" Nanda bangun, dan duduk di samping Haris yang masih membaringkan tubuhnya.

"Baik lah, apapun. Asal kamu bahagia." balas Haris tanpa berpikir panjang.

Sekarang Alif sudah kembali ke sekolah. Namun, sebisa mungkin dia menghindari Akmal. Karena Alif, masih sedikit memendam trauma akan perlakuan Nila.

Seperti hari ini, saat Alif pulang sekolah, dia di hampiri oleh Akmal. Kebetulan, mereka satu sekolahan.

"Kita pulang bareng yuk? Kata ibuku, dia gak sempat menjemput. Jadi, suruh aku pulang sama kamu." Akmal menunggu Alif di depan pintu kelasnya.

"Hari ini, ku bawa sepeda. Jadi, kamu pulang sendiri aja. Aku gak mau bonceng sama kamu. Nanti, kalo kamu kenapa-napa, ibumu memukulku." tolak Alif, meninggalkan Akmal sendirian.

Ya, Akmal tidak sendiri, karena sebelum pulang tadi. Alif membantu teman sekelasnya untuk mengangkat semua kursi ke atas meja. Agar, teman-teman ceweknya lebih mudah dalam membersihkan kelas esok harinya.

Ya, besok adalah jadwal Alif dan beberapa temannya yang lain, kena jadwal piket.

"Tapi, aku udah menunggumu dari tadi!" seru Akmal.

"Tapi, aku tidak menyuruhmu. Aku gak mau dekat-dekat sama kamu." sahut Alif.

Dia mulai mengayuh kan, sepedanya dan meninggalkan Akmal sendirian di sekolah.

Sampai di rumah, Neli yang baru turun dari sepeda motornya memanggil Alif, dan menanyakan keberadaan Akmal.

"Dia masih di sekolah." sahut Alif, kemudian kembali mengayuh sepedanya.

"Alif, aku belum selesai ngomong. Alif ..." teriak Nila memanggil-manggil Alif.

Namun nyatanya, semakin besar suara Nila, semakin cepat Alif mengayuh sepedanya.

"Dasar, anak gak punya sopan santun." sinis-nya, bergegas menaiki sepeda motor untuk menjemput Akmal.

Sampai di sekolah, Nila terkejut karena Akmal tinggal seorang diri. Dia menangis tanpa seorang pun, yang menenangkannya.

"Kenapa gak pulang sama Alif aja sih? Kan ibu, udah berpesan." cetus Nila, kala mereka dalam perjalanan pulang.

"Dia gak mau, karena takut ibu marah." sahut Akmal dari belakang.

"Halah, itu alasannya aja. Nanti, biar ibu yang ingetin dia, masak berani-beraninya ninggalin kamu sendirian." sambung Nila.

Benar saja, sampai rumah, Nila langsung menyuruh Akmal masuk guna berganti pakaian. Sedangkan ia sendiri, menuju ke rumah Neli untuk membuat perhitungan sama Alif.

"Alif ... Alif ... Keluar lah." teriak Nila dengan menggelegar.

Neli yang sedang menokok emping terkejut, dan langsung bangun. Dia takut, kalau-kalau Alif kembali membuat masalah. Apalagi, saat pulang tadi, terlihat Alif seperti ketakutan.

"Awas saja Alif, nenek tidak akan mengampuni mu." gumam Neli.

"Mana Alif? Kenapa dia meninggalkan Akmal sendirian disekolah? Padahal, Akmal telah menunggunya lama. Sampai-sampai semua guru udah pulang." cerca Nila, begitu Neli mendekatinya.

"Maksudnya gimana sih?" tanya Neli mencerna ucapan Nila.

Kembali, Nila menceritakan tentang kesibukannya hari ini. Dan saat mengantarkan anaknya tadi pagi, Nila berpesan agar dia pulang bersama Alif saja.

"Mungkin, karena laranganku, agar tidak dekat-dekat dengan Akmal. Sebab, aku gak mau jika nanti Alif kembali kamu siksa, atas kesalahan yang tidak di lakukannya." papar Neli.

"Halah, itu udah berlalu. Lagipula, aku sudah melupakannya," cetus Nila tak mau disalahkan. "Lagipula nih ya, kita sebagai orang tua jangan ikut campur sama urusan anak, gak baik." ujar Nila memberi nasehat.

Neli tersenyum tipis, dari pada meladeni Nila. Ia kembali meneruskan pekerjaannya. Karena alasannya hendak bertemu dengan Alif pun, bisa di bilang tidak masuk akal.

Merasa keluhannya tidak tersampaikan, Nila pun pulang dengan mencak-mencak. Dia masih saja sakit hati dengan perlakuan Alif terhadap Akmal.

Alif sendiri, mengelus dadanya kala Nila menjauh. Tadi, dia memang bersembunyi di balik karung-karung padi. Berharap jika Nila tidak bisa menemukannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!