Senja menyelimuti. Mei Yi berendam di bathtub, tubuhnya bersandar nyaman di pinggir bak, aroma terapi lavender memenuhi ruangan. Cahaya lilin berdansa lembut di permukaan air, menemani drama Wattpad favoritnya. Jari-jarinya bergerak cepat, men-skip adegan-adegan menegangkan, matanya hanya tertuju pada interaksi romantis sang aktris dan pangeran tampan di layar.
Senyum tipis mengembang di wajahnya.Ia menatap layar iPad, bayangan pangeran tampan itu seakan nyata.
"Sayang banget, setiap aku menjalin hubungan selalu berakhir. Mereka selalu memanfaatkan aku, setelah itu pergi. Andai aku di sana, di kelilingi lelaki-lelaki tampan mati pun aku rela ..."
Tiba-tiba, ia terduduk tegak, mata berbinar. "Tuhan! Jika bisa aku ingin berada dalam cerita itu! Kabulkan lah keinginan konyolku ini!" Tangannya bertaut sambil memejaman mata.
Mei Yi membuka mata, ia tertawa lepas, suara riangnya bergema di kamar mandi yang remang-remang. Sejenak kemudian, tawanya mereda, digantikan oleh senyum malu.
Ia menepuk keningnya, sambil menggeleng. "Apa yang kuucapkan tadi?"
Tepat saat Mei Yi melontarkan permintaannya yang konyol itu, sebuah meteor biru terang melesat menyambar langit. Cahayanya, sekejap saja, sebelum menghilang ditelan kegelapan. Bersamaan dengan itu, layar iPad Mei Yi berkedip-kedip, gambarnya menjadi buram, bergerak-gerak tak menentu seperti terkena gangguan sinyal.
Mei Yi mencoba mengetuk-ngetuk layar, panik. Namun, bukannya membaik, sebuah cahaya menyilaukan tiba-tiba meledak dari dalam iPad, membanjiri kamar mandi.
Saat cahaya itu mencapai puncaknya, Mei Yi lenyap. Secepat kilat, hanya menyisakan iPad yang tergeletak di atas meja sudut. Keheningan menyelimuti kamar mandi, hanya aroma lavender yang masih tersisa, menguap pelan.
.
.
Mei Yi tersentak. Lehernya tercekik, sesak. Pandangannya kabur, hanya samar-samar ia melihat dirinya tergantung di udara. Insting bertahan hidup membuncah. Tangannya meraba-raba, mencari sesuatu untuk dipegang. Kain kasar yang melilit lehernya terasa semakin erat, mencekik napasnya. Dadanya terasa seperti diremas, matanya mulai berair, pandangannya menggelap.
"Nona...!" Sebuah suara samar terdengar, seperti dari kejauhan.
"Cepat! Turunkan nona Luo Yi! Cepat!" Kali ini, teriakan itu lebih keras, penuh kepanikan.
Beberapa bayangan lelaki berlarian, tangan-tangan sigap membantu menurunkan tubuhnya yang menggantung. Ada yang menopang tubuhnya agar tak jatuh terhempas, yang lain menaiki kursi, dengan cekatan melepaskan ikatan di lehernya.
Tubuhnya yang lemas terjatuh ke lantai, batuk-batuk hebat mengguncang tubuhnya.
"Ukhuk... ukhuk..."
Napasnya tersengal-sengal, sesak di dada perlahan mereda. Air mata membasahi pipinya.
Seorang wanita muda, dengan wajah yang dipenuhi air mata, memeluknya erat.
"Nona, baik-baik saja? Kenapa Nona melakukan ini?" suaranya bergetar, penuh kekhawatiran.
Sentuhan hangat wanita itu sedikit meredakan rasa dingin yang masih mencengkeram tubuh Mei Yi.
Pandangan Mei Yi menyapu ruangan asing itu, setiap detailnya diukir dalam ingatannya yang masih berkabut. Ia mendorong tubuhnya, mencoba duduk tegak, tatapannya tertuju pada wanita di sampingnya. Wajah wanita itu tampak samar, namun ada sesuatu yang terasa begitu dekat, begitu familiar.
"Siapa kamu?" suaranya sedikit serak, panik mulai menguasai dirinya. "Kenapa aku ada di sini? Dan... kenapa aku merasa wajahmu terasa tak asing?"
Tangisan wanita itu semakin menjadi-jadi. "Hiks... hiks... Nona tidak mengenaliku? Aku Hui, pelayan Nona sejak kecil..."
Wanita itu, Hui, meremas pundak Mei Yi, sentuhannya lembut namun penuh kekhawatiran.
Mei Yi memegang lehernya yang masih terasa nyeri. "Hui... kenapa namamu sama seperti yang ada di cerita Wattpad yang aku baca itu?"
Ia teringat akan nama pelayan dalam cerita Wattpad yang baru saja dibacanya. Keanehan itu semakin membuatnya bingung.
"Tadi... apa yang terjadi?" Ia menatap ke atas, melihat kain yang tadi melilit lehernya, bayangan kejadian itu masih begitu jelas. "Apa aku... mau bunuh diri?"
Matanya membulat, kebingungan bercampur dengan rasa takut .
Hui menatap Mei Yi lekat-lekat, heran dengan tingkah laku majikannya. Ia mendekat, tatapannya intens, mencari jawaban dari mata Mei Yi. Mei Yi tersentak, ia memundurkan tubuhnya, rasa tidak nyaman .
"Harusnya saya yang bertanya, Nona Luo Yi," isak Hui, suaranya teredam oleh isakannya.
"Kenapa Nona ingin bunuh diri? Apakah karena hinaan mereka? Kenapa Nona mau meninggalkan saya sendirian?"
Alis Mei Yi bertaut, kebingungan bercampur dengan rasa tak percaya. Ia meraih pundak Hui, memegangnya erat.
"Apa katamu? Luo Yi? Aku Luo Yi?"
Hui mengangguk, air matanya masih mengalir deras. Mei Yi, baru menyadari keanehan ini, memandang Hui dan para pelayan lelaki yang berdiri di sisi mereka. Tatapannya tajam, mencari jawaban dari mereka, dari sekelilingnya.
Ia bangkit, melihat ke bawah. Pandangannya tertuju pada pakaian yang dikenakannya—sebuah Hanfu lusuh berwarna putih, jelas ini bukan pakaiannya.
"Cermin! Ambilkan aku cermin!" suaranya lantang, panik.
Hui bergegas mengambil cermin perunggu berukir bunga, sementara Mei Yi berlari ke meja rias, mencari cermin lain. Ia meraih cermin perunggu dari tangan Hui, dan tatapannya terpaku pada pantulan wajahnya di sana.
"Aaaaa..." teriakannya menggema, membuat semua orang di ruangan itu tersentak kaget.
Hui mendekat, mengambil cermin dari tangan Mei Yi. "Nona, ada apa?" tanyanya panik, memeriksa cermin itu dengan hati-hati.
"Kenapa? Kenapa aku jadi dia?! Aku gak mau hiks...hiks...!" jerit Mei Yi histeris, menatap bayangannya di cermin dengan mata terbelalak.
Tubuhnya gemetar, air mata membasahi pipinya. Ia terduduk lemas di lantai, kakinya menendang-nendang lantai dengan frustrasi, seperti anak kecil yang sedang tantrum. Kedua pelayannya berbisik-bisik khawatir, mengira Nona mereka telah kehilangan akal sehatnya.
Hui, menyadari situasi yang genting, segera menyuruh pelayan lain keluar dan menutup pintu kamar rapat-rapat. Ia tak ingin gosip menyebar di kediaman Luo .
Dengan hati-hati, Hui menghampiri Mei Yi, duduk di depannya, menatapnya dengan penuh empati.
"Nona… kenapa? Apakah Nona masih sakit hati dengan perkataan Pangeran?"
Mei Yi meraih cermin yang ada di tangan Hui, menatap wajahnya yang mengerikan itu sekali lagi. Air mata mengalir deras, isak tangisnya menggema di ruangan sunyi itu. Ia menyadari jika dirinya telah masuk ke dalam cerita Wattpad yang di bacanya.
Mei Yi mengira dirinya akan menjadi pemeran utama, berinteraksi dengan pangeran-pangeran tampan dalam cerita tersebut. Namun kenyataan jauh lebih pahit. Tatapannya di cermin menampilkan wajah yang tak asing, namun mengerikan: wajah Putri Luo Yi, putri Jenderal Luo Zhi Feng, yang terkenal karena parasnya yang buruk rupa.
Ingatan samar-samar muncul; Luo Yi merupakan anak dari Jendral Luo Zhi Feng, ia di kucilkan karena memiliki paras yang jelek. Dalam cerita tidak di ceritakan secara detail bagaimana kisah Luo Yi karena ia hanya peran pembantu di cerita itu. Yang Mei Yi ingat, Luo Yi akan berakhir dengan kisah yang tragis. Itulah mengapa ia sangat histeris.
Ketakutan membayangi Mei Yi. Cerita dalam Wattpad itu seakan-akan menjadi kenyataan yang akan menimpanya. Ia tak ingin mati, rasa putus asa dan amarah membuncah.
Tuhan… kenapa Kau begitu kejam padaku? Aku memang ingin masuk ke dunia Wattpad tapi bukan yang seperti ini yang ku mau, aku tak ingin akhir yang mengenaskan...
Bukan hanya wajah buruk rupa yang menjadi bebannya, tetapi juga takdir tragis Luo Yi yang mengerikan. Ia merasa terjebak dalam sebuah permainan yang kejam, tanpa tahu bagaimana cara untuk keluar dari jebakan maut ini.
Mentari pagi menyinari ruang makan megah di aula utama. Jenderal Luo Zhi Feng, dengan tenang menyeruput teh hangat, selir Li Wei—kini Nyonya Luo—menikmati sarapannya. Di meja yang sama, Luo Mei Na, adik Luo Yi, menyantap hidangan dengan senyum tipis.
Keheningan pagi dipecah oleh suara Mei Na. "Kak Luo Yi mana? Biasanya dia sudah berceloteh tentang Pangeran Jian Ming," katanya, nada ejekannya menusuk.
Wajah Jenderal Luo Zhi langsung berubah. Ia membentak, "Jangan sebut nama gadis tak tahu malu itu! Wajahnya yang buruk rupa itu berani-berani meminta menikah dengan Pangeran pertama, bahkan sampai memohon titah Raja! Memalukan!" Pukulan kerasnya ke meja membuat Li Wei tersentak.
Senyum licik mengembang di bibir Li Mei Na. Ia puas melihat kebencian di mata ayahnya. Luo Yi, baginya, telah disingkirkan. Dahulu, ia sangat menyayangi Luo Yi. Namun, sejak tragedi yang merenggut nyawa istrinya, ia menuduh Luo Yi lah penyebabnya. Jenderal Feng membencinya, menolak menatap wajah sang putri yang dianggapnya pembawa sial.
Hidup Luo Yi penuh dengan isak tangis, hari-hari ibu tiri dan kakaknya itu memperlakukannya denga buruk, bahkan ayahnya tak pernah membelanya dan bahkan mengabaikannya. Bahkan saat perjamuan yang di adakan istana ayahnya sengaja tak membawanya, ia hanya membawa serta Mei Na dan istrinya saja.
.
.
Luo Yi duduk termenung di depan pintu kamar, cermin di tangannya. Jari-jarinya yang lentik dengan hati-hati meraba luka di pipinya, matanya menatap pantulan wajahnya dengan penuh selidik. Alisnya bertaut, bibirnya mengerucut membentuk huruf 'O'.
Hui masuk, membawa senampan makanan. Ia meletakkan nampan itu di meja, lalu duduk di samping Luo Yi.
Tatapan Luo Yi tajam. "Aku ingin tahu," katanya, suaranya pelan namun tegas.
"Sejak kapan aku punya luka ini?"
Ia menunjuk luka di pipinya dengan jari yang gemetar sedikit.
Hui menjawab dengan tenang, namun matanya sedikit berkedip gugup.
"Apa Nona lupa? Bukankah Nona yang lebih tahu?"
Luo Yi mengusap tengkuknya, wajahnya berubah menjadi frustasi. Ia menghela napas panjang, bahunya merosot lesu.
"Inilah akibatnya kalau baca cerita suka skip-skip bagian pentingnya," gumamnya, wajahnya memerah menahan kesal.
"Aku bahkan tak tahu jalan ceritanya! Selalu fokus sama pria-pria tampannya saja!"
Ia memukul pelan pipinya sendiri, ekspresi wajahnya berubah menjadi putus asa.
"Bodohnya aku! Sialnya aku harus menjadi Luo Yi! Aku tak pernah tahu kisahnya semenyeramkan ini!"
Kepalanya tertunduk, rambutnya menutupi sebagian wajahnya yang dipenuhi penyesalan.
"Aku sudah lupa," kata Luo Yi, suaranya sedikit gemetar. Ia menatap Hui dengan mata memohon, "Kamu masih ingat, kan?"
Hui mengalihkan pandangannya, menatap jauh ke langit. Wajahnya tampak sendu.
"Dulu, wajah Nona sangat mulus dan cantik," katanya pelan, "Tapi setelah kejadian itu... wajah Nona berubah. Muncul bercak kemerahan, lalu perlahan membesar. "
Luo Yi menyentuh lukanya, jari-jarinya menelusuri luka besar di pipinya. Warna merah kehitaman, meradang, dan sedikit bernanah terlihat jelas.
Ayahnya yang terlalu membencinya tak membantu untuk mengobati luka itu, hanya Hui yg setia menemani Luo Yi berobat kesana kemari namun semua hasilnya nihil.
"Kejadian apa yang kualami, Hui? Ceritakan padaku," pintanya.
Hui menatap wajah Luo Yi dengan simpati. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita. "Saat ulang tahun Ibunda Nona... Nona memaksa untuk memasak sendiri. Nona dan Ibunda menyantap makanan itu bersama. Tapi... Ibunda Nona keracunan." Hui menunduk, matanya berkaca-kaca.
"Ada bahan masakan yang Nona campur... sangat beracun. Ibunda Nona meninggal... Nona selamat karena hanya sempat makan sedikit. Tapi... beberapa hari kemudian, wajah Nona memerah dan menjadi luka mengerikan seperti sekarang." Ia berhenti sejenak, menghapus air mata yang jatuh di pipinya.
"Bahkan Pangeran pertama... teman masa kecil Nona yang sangat Nona sukai... tak mau lagi melihat Nona." Hui menatap Luo Yi dengan iba.
Air mata Luo Yi akhirnya jatuh membasahi pipinya, mencampur dengan nanah luka di pipinya. Tubuhnya bergetar hebat, bahunya terisak. Rasa sakit, penyesalan, dan kesedihan memenuhi hatinya. Ia bisa merasakan bagaimana derita yang Luo Yi alami.
"Kenapa aku tak pernah tahu jalan cerita ini? Apa ceritanya berubah saat aku masuk ke sini?" gumam Luo Yi lirih, matanya menatap kosong ke depan.
Kepalanya menggeleng perlahan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Namun, raut wajahnya berubah. Sebuah tekad bulat terpancar dari matanya. Kepalan tangannya mengepal erat.
"Aku tak akan hidup tertindas lagi! Aku tak mau menderita! Aku akan membuat jalan ceritaku sendiri! Aku yang akan menentukannya!" Batinnya.
Ia menegakkan tubuhnya, posturnya berubah menjadi tegap dan kuat. "Di duniaku, aku dikenal pandai dan pekerja keras. Di sini pun, aku akan melakukan hal yang sama!"
Ia menatap Hui, suaranya sedikit lebih lembut. "Hui... lalu... kenapa aku mencoba bunuh diri?"
Hui mengusap lututnya, raut wajahnya tampak ragu-ragu. Ia tampak bimbang antara menceritakan atau tidak.
Luo Yi tersenyum, mencoba menenangkan Hui. "Hui... katakan saja. Aku tidak apa-apa kok."
Hui menghela napas, lalu mulai bercerita. Wajahnya tampak menyesal.
"Kemarin... Nona nekat pergi ke perjamuan yang di adakan Raja. Nona diundang, tapi Tuan tidak mengajak Nona. Itu sebabnya Nona nekat pergi sendiri. Di sana, di depan banyak orang... Nona meminta Raja untuk menikahkan Nona dengan Pangeran pertama..."
Ia berhenti sejenak, menatap Luo Yi dengan tatapan penuh penyesalan. "Permintaan itu mengejutkan semua orang. Pangeran pertama marah besar. Ia menolak keras, bahkan menghina Nona di depan banyak orang. Tapi... karena jasa Jenderal sangat besar... Raja menyetujuinya, meskipun Pangeran Pertama menolak keras. Itulah yang membuat Nona hampir mengakhiri hidup, Nona sakit hati dengan perkataan pangeran. " Hui menundukkan kepalanya, tampak sedih atas apa yang terjadi.
Sebelum Mei Yi masuk ke dunia ini, Luo Yi yang sakit hati karena perkataan pangeran berniat mengakhiri hidupnya.
"Jadi, ini pernikahan paksa,lalu di abaikan, lalu kematian mengenaskan di tiang gantungan...Dulu aku sangat puas saat melihat dia di abaikan karena aku gak suka dia mengganggu pangeran dan kekasihnya. Karena bagiku dia hanya pengganggu. Tapi kini kenapa aku yang harus mengalaminya" gumam Luo Yi, tubuhnya bergidig.
Matanya membesar, wajahnya pucat pasi. Ia menggelengkan kepala dengan kuat, rambutnya tergerai menutupi sebagian wajahnya yang dipenuhi rasa takut.
"Tidak! Aku tak mau berhubungan dengan istana. Pernikahan ini harus dibatalkan! Aku tak mau mati konyol! Namun sebelum itu aku harus menyembuhkan luka di wajahmu dulu, aku juga tak ingin selalu di hina karena parasku yang seperti ini. "
Ia merabanya sekali lagi, pipinya yang luka.
Hui menatapnya dengan heran, alisnya terangkat tinggi. Luo Yi terlihat ketakutan, matanya berkilat liar, tangannya mengepal erat.
Tiba-tiba, Luo Yi berteriak, "Hui!!"
Suaranya lantang, membuat Hui tersentak, tangannya terangkat memegang dadanya.
"Ada apa, Nona? Saya sampai terkejut," kata Hui, napasnya tersengal.
Luo Yi tersenyum lebar, sebuah senyum yang tampak dipaksakan. "Kali ini, kamu harus membantuku! Aku akan menyembuhkan luka ini! Tapi kamu harus membantuku."
Hui mengerutkan dahi, ekspresinya masih bingung. "Nona bisa? Bagaimana caranya? Para tabib terkenal saja tak mampu."
Luo Yi mengangkat dagu, penuh percaya diri. "Percayalah padaku. Besok kita ke pasar, membeli bahan-bahan obat. Malam ini, jangan biarkan siapa pun menggangguku. Aku perlu mempelajari luka ini."
Hui masih bingung, tapi ia mengangguk patuh. Mereka kembali ke kamar, menikmati makanan yang dibawa Hui.
Saat makan, pikiran Luo Yi melayang. Ia menatap hidangan tumis daging di hadapan Hui, keningnya berkerut dalam.
"Kenapa kamu tidak makan tumis daging ini?" tanya Luo Yi, matanya mengamati ekspresi Hui dengan tajam.
Hui menggeleng cepat, wajahnya tegang. "Maaf, Nona. Ini kesukaan Nona. Dibuat khusus untuk Nona."
Luo Yi mengerutkan kening, rasa curiga mulai tumbuh. Ia meletakkan sumpitnya, matanya menyipit.
"Sejak kapan? Kenapa mereka begitu perhatian padaku, sementara semua orang membenciku?"
"Katanya, Nyonya Li Wei bilang ini kesukaan Nona. Ibu Nona sering memasaknya. Saya dilarang memakannya. Jika ingin makan, saya harus memasak sendiri. Nona sangat menghargai itu, makanya selalu dihabiskan."
Kata-kata Hui menggantung di udara, menimbulkan tanda tanya besar di benak Luo Yi. Ia menatap hidangan itu dengan curiga, sesuatu yang janggal, sesuatu yang disembunyikan... Sebuah senyum misterius muncul di bibirnya.
Luo Yi tiba-tiba menyingkirkan semua makanan yang ada di meja, ia merasa ada yang tidak beres dengan makanan itu. Ia mengambil piring yang berisi tumis daging kesukaannya. Luo Yi mendengus sambil mencium aroma daging itu, di dekatkan piring ke hidungnya. Ia tak mencium bau yang aneh, matanya memicing menyelidik mencari sesuatu dalam masakan itu.
Hui penasaran, mendekat. " Ada apa Nona, kenapa Nona mencium-cium daging itu. "
Jari telunjuk Luo Yi hinggap di bibir Hui membuatnya terdiam.
" Ssst... pelan-pelan, aku curiga ada sesuatu yang salah dalam makanan ini. "
Piring itu di dekatkan ke wajah Hui, aroma daging yang sebelumnya menggoda berubah menjadi mengancam.
Mata Hui membelalak, " Maksut Nona, makanan ini ada racunnya. " Hui menutup mulutnya rapat.
Di tariknya perlahan tangan Luo Yi dari bibir Hui, alisnya naik turun.
" Aku curiganya seperti itu, sekarang kamu fikir, mereka kan sangat membenciku tapi kenapa mereka memperhatikan makananku sampai menyiapkan khusus hanya untukku. Apa kamu gak penasaran. "
Kedua tangan Hui mengepal di atas meja, kuku jari-jarinya memutih karena ia menekannya kuat. " Wah...kalau yang Nona katakan itu benar, mereka benar-benar kejam! " Gerutu Hui kesal, namun ia kemudian ragu. " Tapi jika makanan ini ada racunnya, kenapa setiap Nona memakannya tidak terjadi apa-apa. "
Luo Yi berdiri , tangannya menyilang di dada. Ia mengetuk-ngetuk kepalanya dengan jari mencoba untuk berfikir. Pandangan tertuju pada Hui yang memperhatikannya dengan cemas.
" Ini masih dugaanku," Katanya. "Jadi kita harus membuktikannya. "
" Bagaimana,Caranya? "
" Di sini masih belum ada Laboratorium, aku hanya bisa menguji racun itu dengan cara yang tradisional. " Batin Luo Yi.
Sebuah ide tiba-tiba muncul di benaknya. " Di sini ada bunga Wolfsbane gak... aku membutuhkannya untuk menguji apakah ada racun di makanan ini. "
"Sepertinya saya pernah melihatnya , saya kan mencarinya. Nona tunggu saja di sini. " Seru Hui.
Ia bergegas keluar kamar, langkahnya tergesa-gesa namun tetap hati-hati. Luo Yi hanya bisa duduk tenang, jari-jarinya memainkan ujung kain bajunya, menunggu Hui kembali dengan secercah harapan. Detik-detik terasa begitu panjang. Akhirnya, ketukan pintu memecah kesunyian. Hui masuk dengan napas tersengal-sengal, wajahnya bersemu merah.
Dengan hati-hati, ia membuka kantongan kain putih itu, memperlihatkan bunga Wolfsbane yang berwarna ungu pucat. Bunga itu diletakkan di atas meja dengan lembut, takut akan merusak keindahannya. Luo Yi meminta Hui mengambilkan cawan kecil, matanya memancarkan fokus yang tajam.
Setelah semua siap, Luo Yi mulai menumbuk bunga Wolfsbane dengan gerakan tangan yang terampil dan pasti. Airnya yang sedikit, hanya beberapa tetes, diperoleh dengan susah payah dan diteteskan ke dalam cawan. Setetes kuah daging tumis kemudian ditambahkan.
Mata Luo Yi memperhatikannya dengan seksama. Perlahan air dalam cawan berubah warna, yang awalnya berwarna ungu pudar perlahan berubah menjadi warna hitam pekat. Luo Yi mengangkat sebelah sudut bibirnya.
"Nona... kok warnanya bisa berubah. " Katanya kaget.
"Kalau warnanya berubah, itu menandakan di dalam tumis daging ini memang ada racunnya. " Gigi Luo Yi terkatup.
"Jadi, selama ini Nona di racuni. "
Luo Yi mengangguk pelan. " Itulah yang membuatku bingung, luka ini seakan tak mengering padahal luka ini sudah bertahun-tahun. Jelas ada penyebabnya dan ada pemicunya, racun ini di berikan dengan dosis kecil hingga hanya berdampak pada wajahku. Racun ini tidak mematikan, namun jangka panjangnya akan membuat tubuh kita sakit-sakitan jadi kesannya kita sakit biasa bukan karena racun. " Ungkap Luo Yi, ia menggeleng tak percaya.
Kedua tangan Hui mengepal kuat, ia berdiri dadanya kembang kempis menahan amarah.
" Kalau gitu kita beritahu Jendral Non... biar jendral tau betapa busuknya mereka. "
Di tariknya tangan Hui, di usapnya lembut. " Jangan gegabah, yang kita lawan ini orang yang cerdik. Lagi pula kita belum tau siapa yang sudah memberikan aku racun. Yang ada nanti kita malah di tuduh melakukan tuduhan palsu. "
" Jelas semua ini perbuatan Nyonya dan Nona Mei Na. "
"Sekarang kita diam dulu, kita selidiki ini diam-diam. Saat kita punya bukti kita bongkar semua kebusukan mereka di depan Ayah. " Ujar Luo Yi penuh tekat. " Sekarang kita fokus sembuhkan luka di wajahku. "
Luo Yi mendekap pundak Hui. " Jadi mulai sekarang kita jangan makan masakan yang mereka siapkan untuk kita, lebih baik kamu memasak sendiri makanan yang akan kita makan, mengerti. "
Hui mengangguk. " Baiklah Non, mulai sekarang saya yang akan memasak makanan untuk Nona. "
Luo Yi tersenyum sambil mengangguk, " Ya, sudah lebih baik kamu buang makanan ini. Tapi ingat jangan sampai ada yang melihatnya, kita pura-pura memakannya. "
Hui mengangguk, ia segera mengumpulkan makanan itu di satu tempat dan membawanya keluar diam-diam sambil mengawasi sekitar takut jika ada yang melihatnya.
Sementara Luo Yi tengah memikirkan bagaimana mendapatkan bahan obat yang begitu langka itu. Ia juga teringat jika dirinya tak punya uang sepeserpun, jika meminta ayahnya belum tentu sang ayah memberikannya. Ia menggaruk kepalanya nampak frustrasi.
Luo Yi segera bangkit, membuka semua lemari dan kotak yang ada di kamarnya itu. Ia mencari sesuatu yang mungkin berharga hingga bisa di jualnya. Setelah mencari cukup lama namun ia tak juga menemukan sesuatu.
Namun saat ia terduduk di lantai ia melihat ada kotak kecil di bawah lemari, kotak yang terbuat dari kayu namun ada ukiran bunga. Luo Yi segera meraihnya. Matanya membelalak tatkala membukanya. Chai (penjepit rambut )yang sangat bagus dan mewah, terbuat dari bahan perak, serta dengan model sangat indah bahkan ada batu Giok yang berkilau.
Senyuman mengembang di bibir Luo Yi, akhirnya ia bisa mendapatkan uang untuk membeli bahan obat. Ia segera menyimpannya di bawah bantalnya . Ia duduk di samping ranjang, senyum bahagia terukir di wajahnya.
.
.
Keesokan paginya, Luo Yi dan Hui bersiap untuk pergi ke pasar. Langkah mereka ringan, beriringan menuju gerbang utama. Namun, tepat saat melewati aula utama, Jendral Luo Zhi muncul, wajahnya serius dan tatapannya tajam.
"Kalian mau ke mana?" suaranya tegas, berkumandang di aula utama, membuat Luo Yi dan Hui langsung berhenti.
Keringat dingin membasahi dahi Luo Yi. "Gawat!" batinnya, "Bagaimana kalau Ayah melarangku pergi?"
Jendral Luo Zhi berkacak pinggang, tatapannya tajam menusuk ke arah mereka berdua. "Kalian mau buat ulah lagi, ya? Kemarin sudah mempermalukan aku, sekarang apa lagi yang ingin kalian lakukan?" Suaranya meninggi.
Bibir Luo Yi mengerucut, menahan rasa takut dan kecewa. Perlahan, ia berbalik menghadap ayahnya, suaranya bergetar sedikit.
"Tidak, Ayah, aku hanya ingin pergi jalan-jalan saja."
Tiba-tiba, Le Wei dan Luo Mei Na muncul, wajah mereka dipenuhi dengan ekspresi jijik dan sinis. Mereka menatap Luo Yi dengan pandangan penuh kebencian.
Luo Mei Na melangkah maju, suaranya bernada mengejek. "Apa Kakak tidak tahu malu? Setelah apa yang Kakak lakukan kemarin, pasti membuat semua orang merasa jijik dengan Kakak Luo Yi. Apa Kakak mau membuat Ayah semakin malu dengan menunjukkan wajah buruk Kakak di depan banyak orang?" Ia menyeringai, sebuah senyum penuh kepuasan dan kemenangan.
Tanpa aba-aba, Luo Mei Na mendorong tubuh Luo Yi dengan keras. Luo Yi terhuyung, hampir terjatuh. Hui, dengan sigap, menangkap tubuh Luo Yi, mencegahnya jatuh ke tanah.
Namun, dalam kekacauan itu, kotak perhiasan yang disimpan Luo Yi di lengan bajunya terlempar. Kotak kecil itu jatuh ke lantai, membuat semua orang tertegun sejenak. Mei Na, dengan cepat, merampas kotak itu. Ia membukanya, matanya membulat sempurna saat melihat isinya. Wajahnya berubah, dari terkejut menjadi penuh kecurigaan.
"Apa ini? Kamu mencurinya?!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!