NovelToon NovelToon

Menikahi Suami Tidak Normal

BAB 1: Tamu Mama

Seorang gadis yang usianya 32 tahun tetapi masih melajang atau bahasa gaulnya yaitu jomblo kerap di juluki sebagai perawan tua. Hal ini pun terjadi pada gadis cantik bernama Alena yang sedang di omeli Ibunya.

"Apa sih, Ma. Masih 32 tahun gini. Santai." tutur Alena sambil melipat kedua tangan di dadanya.

"Santai kata kamu, Len? Astagfirullah, anakku!"

Nisa selaku Ibunya mengucap istigfar sambil membuang napas kasar.

"Mama kenapa sih ngebet banget aku nikah? Ma, Mamanya orang lain itu berharap anaknya kaya, bukan nikah cepet."

"Ya itu kan Mamanya orang lain, Mama kan Mama kamu. Umur Mama sudah 50 tahun lebih, Len."

"Gini deh, Mama mau beli apa biar Mama tenang? Perhiasan? Atau mau ganti kitchen set? Yang 5 juta per meter aku Acc, Ma. Aku kabulkan."

"Mama bukannya tidak senang apalagi tidak bersyukur melihat kamu sukses dan cita-citamu tercapai. Mama khawatir sama masa depanmu di sisi yang lain." nada bicara Ibu Alena mulai merendah.

"Mama tenang aja ya. Ekonomi Alena udah bagus, Ma. Alena berdiri di kaki Alena sendiri, Alena nggak kesepian tanpa cowo yang namanya suami. Aman."

Ibunya membuka mulut namun Alena langsung berdiri dan memegang kedua bahu Ibunya.

"Mama tenang aja, ya. Oke?"

Tanpa mendengar jawaban sang Ibu, Alena langsung melangkah pergi dari ruangan tersebut. Ibu Alena menatap anak tunggalnya itu dengan mata yang berkaca-kaca.

****************

Alena, gadis berusia 32 tahun, bekerja sebagai guru di SMA swasta dengan pendapatan yang lumayan besar di daerahnya, selain itu ia juga membuka program les privat sejak usia 22 tahun dengan banyak peserta dan dengan upah besar sesuai dengan kemampuannya yang memberikan hasil memuaskan hingga pendapatannya lebih besar daripada gajinya sebagai guru. Ia juga mendapat warisan tanah dari mendiang Ayahnya yang hasil panennya di gunakan untuk membeli tanah lainnya.

Hingga saat ini ia memilih melajang dan terakhir kali menjalin hubungan di usia 23 tahun. Dan di usianya kini Ibunya terus mendesak agar Alena cepat menikah, sedangkan Alena enggan memenuhi permintaan Ibunya itu dengan alasan ingin berkarir saja.

****************

Pukul 22:00

Alena membuka pintu dan mengucap salam.

"Assalamu'alaikum, Ma. Alena pulang."

Tidak terdengar sahutan. Alena menutup pintu dan mematikan lampu, ia menuju kamar Ibunya dan membuka pintu dengan pelan.

"Udah tidur ya?" gumam Alena yang melihat Ibunya sudah terlelap.

Alena masuk ke kamar Ibunya dan mematikan lampu.

Setelah masuk ke kamarnya, Alena langsung menggerai rambutnya yang tadinya di kuncir, ia duduk di pinggir tempat tidur sambil kembali mengingat kejadian kemarin sore saat Ibunya kembali mendesaknya untuk menikah.

"Untuk apa juga aku buru-buru menikah, toh kalau menikah sekarang Papa tidak bisa menjadi wali nikahku." ucapnya.

Keesokan harinya...

"Hari minggu yang cerah. Oke Len, sekarang jadwal cek calon uang."

Setelah siap, Alena menuju dapur untuk sarapan dan melihat Ibunya baru selesai masak.

"Wih, masak apa nih?" tanya Alena dengan Antusias.

"Udang kesukaanmu. Tapi jangan banyak-banyak, Mama masak pedes banget."

Air liur serasa membanjiri mulut Alena.

"Mau kemana?" tanya Ibu Alena sambil meletakkan piring di meja.

"Mau ke kebun, mau lihat Kelapa dan lainnya, barangkali sudah siap panen."

"Pulangnya jam berapa?"

"Agak siang paling, Ma. Mama mau ikut? Atau mau aku belikan sesuatu?"

Ibu Alena menggeleng.

"Nanti jangan terlalu lama ya pulangnya, bantu Mama juga soalnya mau ada tamu."

"Siapa?" tanya Alena.

"Jangan bilang yang katanya saudaranya Mama itu. Males banget." imbuhnya.

"Hus! Jangan gitu."

Alena hanya menghela napas. Selesai sarapan ia langsung berangkat menggunakan motornya. Sesampainya di Kebun ia langsung berkeliling dan memperhatikan isi kebunnya terutama tanaman-tanaman di dalamnya.

"Oke, Kelapa bisa lah ya minggu depan panen. Sayang banget kali ini lebih sedikit dari kemarin. Talas juga bolehlah ya di panen juga."

"Wah parah sih, kopinya merah menggoda. Sip minggu depan siap panen. Semoga saja cuaca terus panas sampai selesai jemur kopi."

Setelah hampir 1 jam berlalu, Alena duduk di gubuk yang ia bangun di tengah kebun, ia menyalakan api dan mengambil singkong yang ia bawa lalu ia membakarnya. Sambil menunggu singkongnya matang, Alena sesekali berdiri dan memperhatikan sekitar.

"Kok aku deg-degan, ya?" gumamnya.

Pukul 12:00, puas menyantap singkong bakarnya, Alena bersiap-siap pulang. Sesampainya di rumah, ia mendapati Ibunya sedang masak lagi.

"Masak lagi, Ma?" tanya Alena heran.

"Iya."

Alena melihat kali ini masakan Ibunya tidak hanya 1 menu, tapi ada beberapa menu layaknya akan kedatangan tamu penting.

"Kalau cuma saudara jauh Mama yang dateng, kenapa mesti masak banyak?" tanya Alena dengan nada tidak suka.

Ibu Alena hanya diam tidak menjawab.

"Ini tolong terusin masaknya, ya. Mama mau mandi. Kamu juga habis ini mandi lagi."

Alena mengernyitkan dahi.

"Ngapain mandi lagi?" tanya Alena.

"Loh, kan mau ada tamu. Kamu juga kecut habis dari kebun."

Alena mengerucutkan bibirnya.

"Menyambut saudara tidak tahu diri sudah seperti menyambut tamu penting. Huh." keluhnya sambil mengaduk masakannya.

Pukul 14:30. Setelah selesai melaksanakan shalat, Alena mendengar namanya di panggil.

"Alena."

'Tok tok tok'

Ibunya memanggil sembari mengetuk pintu.

"Iya, Ma."

"Pakaiannya yang sopan ya." pesan Mamanya yang kemudian meninggalkan kamar Alena.

"Hmmm, kalau aku pakai baju bagus dan perhiasan, pasti mata mereka nanti berkilau dan mau pinjem. Males. Tapi seru juga kayaknya."

Setelah beberapa menit kemudian Alena datang ke ruang tamu, ia mematung melihat tamu Ibunya yang seorang laki-laki beserta orang tuanya. Ibu Alena meremas ujung bajunya saat melihat Alena yang memakai rok sedikit di atas lutut, baju tanpa lengan, beberapa kalung yang menggantung di lehernya, cincin yang melingkar di semua jari tangannya serta 10 gelang di masing-masing lengan.

Tamunya pun heran melihat penampilan Alena.

"Maaf ya, Mir. Anakku ini memang agak lain." ucap Ibu Alena.

Alena hanya tersenyum kikuk.

"Sebentar ya," Ibu Alena berdiri dan menarik Alena pergi dari ruang tamu.

"Duh, kamu ini."

"Kok Mama nggak bilang tamunya itu." protes Alena.

"Itu teman Mama. Udah Mama bilang pakai baju yang sopan."

Ibu Alena membuka lemari Alena dan memilihkan pakaian.

"Lepas itu semua emasnya."

Alena mengangguk sambil melepas perhiasannya yang berlebihan.

"Siapa sih itu, Ma?" tanya Alena.

"Teman Mama."

"Kok Alena nggak pernah lihat?"

"Iya itu baru pulang dari luar kota. Anak dan suaminya kerja di luar kota dan baru ini pulang kampung."

"Oh."

Ibu Alena menyerahkan pakaian yang ia pilih.

"Pakai ini, jangan lama-lama." ujar Ibunya sambil pergi dari kamar Alena.

"Waduh, ada apa ini?" gumam Alena sambil menyentuh dada kirinya dan merasakan jantungnya berdegup kencang.

BAB 2

Alena keluar dari kamar, dengan ramah ia menyapa semua tamu.

"Salim, dong." bisik Ibu Alena.

Alena yang sudah mau duduk kembali berdiri dan menyalami tamu, namun saat akan mencium tangan anak dari teman Ibunya, pria itu malah menariknya dan hanya tersenyum singkat.

Alena tersenyum namun terlihat jelas ia sedang memicingkan mata. Setelah itu ia duduk di samping Ibunya.

"Nah, ini anakku, Mir."

"Owalah, ini Alena ya? Sudah dewasa ya sekarang." tutur Mirna yang merupakan teman dekat Ibu Alena.

Alena hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Cantik ya, lebih cantik dari kamu sewaktu kamu muda, Nis."

"Bisa aja sih kamu. Anak kamu juga lebih tampan dari Ayahnya."

"Ya kalau sama, kembar dong namanya."

Mereka bertiga tertawa bersama.

"Oh iya sampai lupa. Alena, ini anak tante, Mahendra. "

Pria tersebut hanya tersenyum pada Alena.

"Duh, kenalan dong. Udah tua masa harus di ajarin kayak bocah." ujar Mirna sambil menoel lutut anaknya.

"Ayo kenalan." ujar Ibu Alena sambil menarik tangan Alena agar bersalaman dengan Mahendra.

"Mama, kan udah tadi." bisik Alena.

"Lagi, biar afdol."

"Ck!" Alena berdecak.

"Dia itu nggak mau sentuhan sama aku. Liat aja tadi."

"Iya juga ya."

Ibu Alena pun melepas tangan Alena.

"Kamu ini gimana sih, Ahen? Nggak peka." bisik Mirna.

Untuk mencairkan suasana, Ibu Alena memulai obrolan, membahas masa lalu mereka bahkan percintaannya dengan suaminya masing-masing.

"Ini serius aku di diemin? Jadi manekin?" gumam Alena.

Sesekali ia melihat ke arah Mahendra yang ternyata ia juga curi-curi pandang.

"Geli liat kumisnya, nggak sekalian di jadiin perosotan." batinnya.

Setelah hampir 30 menit mengobrol tanpa jeda, Ibu Alena mengajak mereka untuk makan bersama.

"Ayo, Mir. Aku sudah masak banyak. Ada jengkol juga kesukaanmu, pedes pol!"

"Banyak duit nih beli jengkol, lagi mahal loh."

"Anda meragukan kekayaan saya."

Mereka berdua tertawa bersama.

Alena bernapas lega, biasanya tamu setelah makan pasti akan pulang.

"Kalau Alena masih suka yang pedes?" tanya Mirna.

"Iya, Tan. Mama setiap hari masak minimal satu genggam cabe rawit untuk satu menu."

"Wah masih begitu ternyata Mama kamu ya. Dari muda loh, kebal banget lambungnya. Hahaha."

Mereka semua mulai menyantap makanan sambil mengobrol lagi.

"Oh iya, Alena kenapa tidak lanjut S3?" tanya Ayah Mahendra.

"Untuk itu aku harus ke luar kota, Om. Mama nggak mau aku ajak dan aku nggak mau jauh sama Mama." jawab Alena.

"Oh, begitu."

Alena mengangguk.

"Emang di kota mana?" tanya Mirna.

"Ada beberapa kota yang sesuai sama Alena, tapi itu di luar Jawa."

****************

Mereka kembali duduk di ruang tamu setelah selesai makan. Alena menghela napas karena sudah mulai merasa tidak tenang dan ingin pergi ke kamarnya.

"Ma, masih lama?"

"Hus! Dia teman Mama loh."

"Ya Mama ajak keliling atau gimana gitu, Alena mau ke kamar soalnya."

"Mama capek tau. Atau kamu ajak saja Mahendra ngobrol di tempat lain, biar nggak bosen."

Alena membuang napas kasar.

"Ogah." sahut Alena, ia pun memilih duduk kembali di ruang tamu.

"Oke, jadi kita ke intinya aja yuk." tutur Mirna.

Alena yang tadinya akan menyalakan HP-nya langsung terdiam.

"Nak, Mama dan Tante Mirna sebenarnya pengen jodohin kalian."

Napas Alena seolah terhenti, ia menatap wajah Ibunya. Alena beralih menatap ke arah Mahendra.

"Dengan dia?!" tanya Alena sambil menunjuk Mahendra menggunakan jari telunjuknya.

Ibu Alena langsung menurunkan tangan Alena.

"Iya, kamu sama Mahendra."

Alena kembali menatap wajah Ibunya. Wajah Alena memerah karena amarahnya.

"Mama tega ngelakuin ini?!" Alena bangkit berdiri, seluruh tubuhnya terasa panas.

Mirna dan suaminya terkejut melihat reaksi Alena, namun tidak dengan Mahendra yang hanya memasang wajah datar.

"Nak, dengerin Mama dulu. Duduk dulu." pinta Ibu Alena sambil menarik Alena untuk kembali duduk.

"Nggak! Aku tolak dia!" ucapnya dengan penuh emosi.

"Om, Tante. Maaf ya, aku tidak siap menikah dan aku menolak perjodohan ini. Lagian bisa-bisanya kalian memaksa 2 orang asing untuk bersatu tanpa adanya cinta."

"Alena!"

"Ma, aku ini masih gadis. Sedangkan dia?!"

Ibu Alena ikut berdiri, keluarga Mahendra pun demikian.

"Mama nggak pernah ngajarin kamu bersikap kayak gini."

"Mama yang bikin sikapku begini."

Dengan emosi yang membara, Alena pergi meninggalkan mereka dan masuk ke kamarnya.

"Mir, maafin Alena. Dia biasanya nggak begini."

Mirna menghela napas. Ia mendekat dan memegang tangan Ibu Alena.

"Aku yang minta maaf, Nis. Nggak seharusnya aku punya ide untuk jodohin mereka. Padahal status anakku itu duda. Aku minta maaf, ya. Alena nggak salah, dia pasti juga pengen punya suami yang perjaka."

Ibu Alena menitikkan air mata.

"Kamu nggak salah, Mir. Aku malah senang dengan idemu ini."

Ibu Alena kembali duduk di ikuti Mirna.

"Aku sudah semakin tua, Mir. Aku nggak akan hidup selamanya. Hiks." Ibu Alena menangis.

"Aku yang salah sedari kecil sudah menanamkan mindset itu pada anakku."

"Enggak, kamu nggak salah."

Mirna dan Ibu Alena berpelukan dan menangis bersama. Ayah Mahendra menepuk bahu anaknya itu dan tersenyum.

"Are you okay?"

Mahendra tersenyum.

****************

Malam harinya.

Alena belum juga keluar kamar padahal sudah pukul 9 malam. Biasanya Alena akan membuatkan susu atau minuman herbal untuk Ibunya.

"Yang ku lakukan ini salah, ya?" gumamnya.

'Tok tok tok' Ibu Alena mengetuk pintu kamar Alena.

"Nak, udah tidur?"

Tidak ada sahutan.

Ibu Alena membuka pintu perlahan dan mendapati Alena sedang berada di balkon kamarnya. Dilihatnya banyak tisu berserakan di lantai. Ia melangkah mendekatinya sambil membawa rasa bersalah.

"Len." panggil Ibunya lagi.

Alena hanya sedikit menoleh dan kembali memandang ke arah depan.

"Mama mau ngomong."

"Ngomong aja, Ma." balas Alena dengan suara yang serak.

"Maaf ya. Mama udah maksa kamu terus selama ini." ucap Ibu Alena, ia ikut duduk di depan Alena namun Alena langsung memutar badan membelakangi Ibunya.

"Mama bangga banget sama kamu. Kamu mandiri. Materi bisa cari sendiri, pinter kelola uang hingga kita bisa di titik ini, materi yang Mama rasakan saat ini bahkan melebihi yang Papa kamu beri. Mama seneng liat kamu sukses dengan versi ini. Ibu mana yang pengen liat anaknya hidup tanpa harta, dan Mama bangga banget kamu nggak seperti itu. Nanti pun setelah Mama nggak ada, kamu pasti tetap bisa hidup layak, Nak."

"Mama kenapa ngomongin masalah harta? Kurang materi yang Alena kasih ke Mama? Atau Mama mau adain acara santunan yang lebih besar dari tahun lalu? Alena bisa lakuin itu buat Mama. Alena bisa ngasih Mama, nyenengin Mama dengan uang hasil kerja sendiri itu udah pencapaian terbesar Alena, Ma."

"Mama berterimakasih sekali, anakku. Tapi sekarang bukan itu yang Mama pengen."

Alena memutar badannya dan menatap Ibunya.

"Mama pengen apa? Mama nggak puas ya umroh? Alena bakal jual tanah yang di desa sebelah dan itu uangnya kalau di gabung dengan tabungan Alena udah cukup untuk kita naik haji berdua di tahun ini."

Ibu Alena menangis. Alena duduk bersimpuh dan menggenggam tangan Ibunya.

"Alena bakal lakuin apapun buat Mama biar Mama seneng. Kemauan Mama bakal Alena turutin. Se-mu-a-nya. Kecuali nikah apalagi di jodohin."

Bab 3: Sah

"Alena, besok Mama belum tentu hidup."

Alena terdiam.

"Ini bukan tentang materi lagi. Kemampuan kamu bertahan hidup dengan mencari materi nggak perlu Mama ragukan lagi. Tapi ini tentang teman hidup."

"Aku udah cukup sama Mama."

"Dan Mama belum tentu bisa menemanimu hingga hari tuamu. Kalau Mama meninggal, terus kamu masih belum menikah, nanti kamu sama siapa? Kalau kamu menikah setelah Mama meninggal, Mama nggak bisa menilai pria itu baik enggaknya buat kamu."

Alena masih terdiam.

"Mama minta maaf, ya. Cara Mama mungkin salah, tapi Mama nggak mau ninggalin kamu sebelum kamu punya teman hidup."

"Ma, umur nggak bisa kita tebak. Kan siapa tau kita masih bakalan bareng-bareng sampek 40 tahun lagi, kan?"

Mendengar itu Ibu Alena semakin terisak.

...****************...

Keesokan harinya, hari sudah sore, Alena baru selesai menyelesaikan pekerjaannya dan anak-anak yang les privat juga sudah pulang.

"Ma, Alena berangkat." pamit Alena sambil mencium punggung tangan Ibunya.

"Nanti langsung pulang, ya."

Alena mengangguk.

"Alena pakai motor. Sekalian nanti ganti oli di bengkel langganan."

Waktu terus berjalan, waktu Maghrib pun tiba, setelah shalat Maghrib saat Alena kembali ke parkiran, ia merasakan Hp-nya bergetar.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Saya sudah di lokasi."

"Iya, 5 menit lagi."

Setelah mengakhiri panggilan, Alena langsung melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di Cafe yang merupakan tempat janjian, Alena langsung duduk di meja yang sudah di pesan.

"Assalamu'alaikum." ucap Alena.

"Wa'alaikumsalam,."

Alena menghela napas melihat laki-laki di depannya yang tidak lain adalah Mahendra.

"Kenapa secepat itu berubah pikiran?" Ahen membuka pembicaraan dengan pertanyaan.

"Demi Mama." jawab Alena.

Ahen hanya menunjukkan wajah datar.

"Kenapa kita harus bertemu di luar? Saya bisa datang ke rumahmu jika ingin mendiskusikan hal ini."

"Aku nggak mau Mama denger pembicaraan kita."

"Oke."

"Duda kenapa? Selingkuh?"

Ahen menggeleng.

"Saya duda ditinggal mati. Istri saya meninggal 5 tahun lalu. Saya tidak ada rekam jejak selingkuh seperti yang kamu pikirkan."

"Orang yang ditinggal mati itu susah move on. Ngapain nikah lagi? Emang udah move on? Atau istri kamu itu meninggal gara-gara kamu siksa? Laki-laki jaman sekarang kan serba menuntut istri ini itu, nggak jauh beda sama pembantu, pelayan naps*u dan lainnya. Bedanya mereka di bayar pakai uang dan istri dibayar pakek cinta. Jadi kamu mau cari penggantinya."

Ahen mengepalkan tangan.

"Saya sudah cukup bersabar sejak kemarin menghadapi tingkahmu. Bisakah kamu itu tidak selalu berpikir buruk tentang saya?"

Alena memutar matanya.

"Saya mau di kenalkan dengan kamu juga atas permintaan Ibu saya. Bukan untuk hal menjijikkan yang kamu sebutkan tadi."

"Sekarang gimana? Aku mau ada perjanjian."

"Perjanjian pranikah? Tentang harta? Kamu mau harta berapa persen dari saya?"

"Dih. Bukan ya. Masalah harta, aku bisa sendiri."

"Sebutkan saja."

"Pertama, aku mau kita beda kamar. Kita di kamar masing-masing. Aku nggak mau tidur satu kamar denganmu apalagi di kamar bekas istrimu.

Kedua, aku tidak ingin kau membawaku ke luar kota lagi karena itu akan menjauhkanku dari Ibuku.

Ketiga, kau tidak boleh memaksaku menunaikan kewajibanku memberikan jatah tanpa persetujuanku.

Keempat, jangan batasi relasiku, jangan larang-larang aku berteman dengan siapapun.

Kelima, kita akan terlihat baik-baik saja saat bertemu dengan orang tua kita. Aku juga ingin tetap bekerja.

Ah, yang terakhir. Jangan paksa aku hamil."

Tanpa pikir panjang, Ahen setuju.

"Oke."

...****************...

Pukul 8 malam, Alena pulang.

"Maaf ya Ma, agak malam pulangnya."

"Nggak apa-apa. Gimana tadi?"

"Kami sepakat untuk mengurus pernikahan secepat mungkin. Besok lusa Ahen dan orang tuanya akan kesini untuk mendiskusikan acaranya."

Ibu Alena sangat gembira, matanya berbinar.

"Nak, kamu nggak terpaksa kan?"

Alena menggeleng.

"Apapun yang bikin Mama seneng. Mama adalah orang yang bikin Alena sekuat ini."

Mereka berdua berpelukan.

FLASHBACK ON

"Ma, umur nggak bisa kita tebak. Kan siapa tau kita masih bakalan bareng-bareng sampek 40 tahun lagi, kan?"

Mendengar itu Ibu Alena semakin terisak.

"Mama udah ngerasain tanda-tanda Mama bakal pergi, Len."

"Maksud Mama?"

"Saat orang akan meninggal, ada tanda-tandanya. Mama sadar tanda-tanda itu. Mama pengen kamu nikah itu untuk kebaikan kamu, Nak. Jangan buat Mama khawatir meninggalkanmu."

"Mama ada-ada aja. Nggak ada yang begitu." Alena berusaha tertawa.

"Mama serius. Waktu Mama nggak lama lagi. Mama nggak nuntut pengen cucu, Mama cuma pengen kamu ada temen hidup."

Alena kembali terdiam, air matanya mengalir deras, tubuhnya terasa panas dingin. Ibu Alena duduk di lantai dan menghadap Alena.

"Mama mohon." pinta Ibu Alena sambil menangkup wajah Alena.

"Jika aku mengabulkan permintaan Mama, berjanjilah Mama tidak akan lagi mengatakan hal itu."

Ibu Alena diam sambil menatap mata Alena, kemudian ia mengangguk.

"Oke. Alena mau menikah dengan dia. Mama tolong hubungi temen Mama dan minta anaknya menghubungiku. Aku akan bicara dengannya."

Ibu Alena mengangguk dan tersenyum.

"Nak, jika pilihan Mama salah dan di kemudian hari kamu tidak bahagia, Mama tidak akan memaksamu bertahan."

"Jadi Mama menjodohkan Alena dengan dia dan Mama menjamin aku akan bahagia?" tanya Alena

Ibu Alena mengiyakan.

"Kalau kata Mama ini pilihan tepat, aku percaya sama Mama. Maafin Alena ya."

FLASH BACK OFF

🍀🍀🍀🍀

1 bulan berlalu...

Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Mahendra. Penghulu pun sudah datang, Alena yang sudah selesai di Make Up pun terlihat sedih.

Sedih karena ia tidak akan serumah lagi dengan Ibunya dan sedih menikah tanpa dasar rasa suka. Alena juga sudah menebak bagaimana alur kehidupan rumah tangganya kelak.

"Ya, tidak akan ada bahagia karena kami sama-sama melakukan ini untuk orang tua." gumam Alena.

"Kenapa Mbak? Kok mau nangis? Softlensnya nggak nyaman?" tanya asisten MUA.

"Enggak kok, Mbak. Aku nangis soalnya sedih bakal jauh sama Mama."

"Owalah, nanti kalau ada apa-apa sama riasannya bilang ya."

Alena mengangguk.

Ini adalah momen penting dalam acara hari ini, Ijab Kabul. Alena duduk di dalam kamar sementara Ahen melakukan akad di pelaminan. Melalui pengeras suara yang terdengar ke beberapa arah, suara pria matang itu terdengar dengan lancar dan tegas saat mengucapkan Kabul.

'Sah' terdengar suara serentak dari luar dan membuat Alena menitikkan air mata, ia memejamkan matanya.

"Selamat tinggal masa lajangku." gumam Alena pelan sambil mengatur napasnya yang mulai tidak karuan.

"Wahh! Selamat ya." ucap para teman-teman Alena yang berada di dalam kamar bersama Alena.

Alena membuka mata dan tersenyum pada teman-temannya. Mereka saling berpelukan. Terdengar MC memandu kembali acara dan meminta pengantin wanita untuk dibawa keluar menemui pengantin pria. Dengan jantung yang berdegup kencang dan langkah kecil, Alena berjalan pelan menuju pelaminan. Bagaimanapun ia harus seanggun mungkin agar rasa terpaksanya tidak terlihat.

Ahen terkesiap melihat Alena yang baru keluar dan berjalan dengan anggun, Ibu Alena terharu melihat anak tunggalnya akhirnya mengenakan pakaian sakral ini. Melihat Ibunya yang menangis haru, Alena ikut menitikkan air mata dan berusaha tersenyum pada Ibunya.

"Nampaknya pengantin pria sangat terpesona pada pengantin wanita. Mari pengantin wanita berdiri disini, saling berhadapan dengan pengantin pria."

Sesuai panduan MC, Alena mencium tangan Ahen dan Ahen menyentuh bagian kepala Alena sambil membaca do'a.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!