NovelToon NovelToon

Istri Siri Om Majikan

Bab. 1

“Abang, saya nggak punya uang lagi, saya sudah kirimkan uang ke kampung, bukannya baru kemarin saya transferkan uang untuk Abang masa sudah habis?” ujarnya sambil memegangi ponselnya yang ada di telinganya.

“Kamu mulai pintar perhitungan dengan tunangan kamu sendiri? Apa susahnya kali ini kamu menolongku,” ketusnya Amri.

Syifa sedikit terhenyak mendengar ucapan Amri kepadanya.

“Bukannya saya nggak mau bantuin Abang atau perhitungan cuman demi Allah saat ini saya sama sekali tidak memiliki uang,” tuturnya berusaha menyakinkan calon suaminya.

“Kamu perlu ketahui uang yang minggu lalu yang kamu TF itu, aku pake untuk beli ban motor sama ganti oli. Uang sejuta itu sekarang nggak ada apa-apanya hanya sedikit saja,” sahut Amri.

Syifa menghela nafasnya karena betul-betul dalam situasi yang sangat sulit dan terjepit.

“Saya nggak tau harus mencari uang itu dimana Abang? nggak mungkin saya minta pinjam ke majikan, sedangkan baru lima hari yang lalu gajian. Saya mohon pengertiannya kali ini,” bujuknya Syifa.

Amri dibalik telepon saking kesalnya dengan penolakannya Syifa sampai-sampai menendang kaleng minumannya yang ada di depannya.

Prang!!

“Brengsek! Kenapa perempuan bodoh dan tolol ini nggak mau memenuhi keinginanku sih padahal sepuluh juta itu jumlahnya cuman sedikit,” batinnya.

Syifa dibuat dilema dan kebingungan harus gimana caranya mendapatkan uang sejumlah yang diinginkan oleh Amri tersebut dalam waktu singkat.

“Aku belum bayar uang cicilan motor makanya saya meminta tolong padamu, kali ini saja yah, tolonglah,” Amri masih berusaha untuk membujuk Syifa.

“Abang kan tau, saya juga harus kirimkan uang untuk ibu sama adik-adik jadi saya benar-benar tidak punya simpanan lagi di tabungan,” ujarnya.

“Apa jangan-jangan kamu sudah punya kekasih baru di kota sehingga kamu tidak mau mengabulkan keinginanku dan dia pria yang kamu kasih gaji kamu?” tuduh Amri.

Amri malah menuding kalau Syifa berselingkuh dengan pria lain hanya karena gara-gara tidak dikirimkan uang oleh pacarnya.

“Astaghfirullahaladzim, tega bang menuduh saya berbuat macam-macam? Saya itu di kota bekerja bukan selingkuh! Saya benar-benar tidak punya uang,” Syifa tidak terima dituduh yang tidak-tidak.

”Tolonglah sayang, calon istriku. Hanya kamu yang bisa menolongku makanya aku meminta kepadamu bantulah aku cintaku bidadari surgaku,” ucap Amri dari seberang telpon dengan nada suaranya yang dikecilkan dan lemah lembut agar Syifa menuruti perintahnya kali ini.

Syifa tersenyum malu-malu mendengar ucapan pujian-pujian yang ditujukan untuknya dari pria yang sangat dicintainya.

“Jadi gimana caranya saya bisa bantuin Abang?” balasnya Syifa yang tersanjung mendengar segala pujian dari kekasihnya.

“Yah gampang saja caranya kau kirimkan aku uang 10 juta itu hari sabtu. Mudah kan?” Amri tersenyum penuh arti dari seberang telpon.

“Ya Tuhan, bagaimana uang itu bisa saya dapatkan?” lirih Syifa sambil menyeka air matanya.

“Pokoknya kamu harus mendapat uang itu paling lambat minggu ini kalau tidak kita putus!” dengus Amri.

“Ya Allah, saya nggak mau putus dengan Abang. Saya sangat mencintaimu, jangan pernah meminta putus kita sudah tunangan. Saya mohon tarik ucapannya Abang barusan,” rengek Syifa yang dibuat kalang kabut mendengar kata putus.

Syifa sampai-sampai menitikkan air matanya mendengar kata perpisahan yang terucap dari bibirnya Amri.

Sedangkan Amri tertawa terbahak-bahak di dalam hati mendengar ratapannya Syifa.

“Aku yakin kamu pasti akan melakukan apapun agar kita nggak jadi putus,” batinnya Amri.

“Abang Amri bagaimana caranya saya dapat uang sepuluh juta dalam dua hari? sedangkan pekerjaanku di kota ini cuma sebagai pembantu,” keluhnya yang terduduk di atas kursi taman di belakang rumah majikannya.

“Terserah caranya kamu, mau dapat uang itu gimana. Mau mencuri juga nggak apa-apa. Mau jual diri sakalian aku ngga pusing atau mau jadi simpanan om-om juga tidak masalah yang paling penting kamu kirimkan uang sepuluh juta itu titik!” ketus Amri kemudian mematikan sambungan teleponnya.

Amri dan Syifa menjalin hubungan LDR-an selama Syifa memutuskan tiga tahun lalu bekerja di ibu kota.

“Ya Allah, dimana saya harus mencari uang sebanyak itu sedangkan semua gajiku saja bulan ini sudah aku kirimkan sama ibu di kampung,” cicitnya sambil terus memandangi layar ponselnya yang masih menyala.

Ponsel jadul yang sudah ketinggalan jaman dan sedikit butut karena warna casing dan gambarnya pun sudah kusam dan pudar.

Syifa setiap bulannya paling sedikit mengirimkan uang satu juta untuk pria yang sangat dicintainya. Pria yang sedari SMA sudah menjalin hubungan dengannya.

Setahun yang lalu ketika pulang kampung mereka bertunangan sesuai dengan desakan ibu tirinya Syifa yang menginginkan anak sambungnya itu cepat-cepat bertunangan.

Karena menurutnya Amri pasti bisa bahagiakan Syifa sehingga Bu Darma mendesak Syifa menikah dengan Amri yang pekerjaannya cukup mapan dan bagus.

“Syifa apa yang terjadi kepadamu?” Tanyanya Mbak Fatma rekan kerjanya yang dulu menawarkan bekerja di rumah besar itu.

Fatma perempuan berusia 35 tahun itu diam-diam mencuri dengar pembicaraan Syifa dengan pacarnya lewat telepon.

“Nggak apa-apa Mbak,” kilahnya.

Syifa sangat malu kalau harus mengatakan kepada orang lain mengenai permasalahan pribadinya.

“Saya dengar kamu tadi bicara uang yah,” tanyanya sambil celingak-celinguk memperhatikan sekitarnya.

Syifa tertunduk malu-malu karena ketahuan sedang berdebat dengan kekasihnya.

“Maaf yah, bukannya mau ikut campur, tapi kalau kamu mau dapat uang banyak dalam waktu singkat tak perlu repot-repot bekerja berat ataupun mencari pekerjaan tambahan, Mbak ada solusi untuk kamu,” ucapnya dengan suara yang cukup lirih.

Syifa menatap intens ke arah perempuan yang lebih tua darinya itu,” ca-ranya bagaimana Mbak?”

Seperti oase di Padang gurun pasir mendengar perkataan dari Fatma atas permasalahan yang dihadapinya saat ini.

Fatma tersenyum smirk ketika Syifa seperti tertarik dengan ucapannya. Ia kemudian berbisik di telinganya Syifa.

“Apa!? Bagaimana kalau ada orang lain yang mengetahuinya bisa-bisa saya dipecat dan dilaporkan ke polisi,” protesnya.

Raut wajahnya pucat seketika dan ketakutan dengan jalan keluar yang diusulkan oleh Fatma barusan.

“Jangan ribut nanti ketahuan beneran lagi. Kamu cukup diam dan tutup mulut semuanya pasti aman terkendali kamu bisa kaya raya,” pintanya agar Syifa diam-diam baek saja.

“Tapi, Mbak saya takut,” cicitnya.

“Kamu nggak perlu ketakutan kayak gitu juga santai saja. Mbak juga menjadi istri simpanan kok sudah setahun lebih. Apa kamu nggak perhatikan penampilan Mbak yang sudah berubah dibanding sejak kamu datang ke sini?” Fatma berdiri kemudian berputar di hadapan Syifa.

Syifa mengangguk-angguk dan memang begitu adanya kalau banyak sekali perubahan yang terjadi kepada Fatma perempuan desa yang dulunya dekil,kumal dan lebih cantik Syifa kemana-mana, tapi saat ini lebih seksi dan glowing.

“Apa Mbak sama Tuan juga gitu?” Tanyanya hati-hati karena tidak mau menyinggung perasaannya Fatma.

Fatma kembali duduk di atas kursi,” nggak lah bukan orang di rumah ini, tapi kamu tau tetangga kita Om Dani dia adalah suami sirinya Mbak. Kamu akan menikah siri dengan salah satu penghuni rumah ini. Apa kamu setuju?”

Syifa tertunduk sambil berpikir baik-baik sebelum menjawab permintaan dari Fatma.

“Kamu kan cinta sama kekasih kamu itu, apa kamu nggak bisa berkorban sedikit saja demi pernikahan idaman yang sudah kamu impikan dengannya?”

Fatma berusaha untuk membujuk Syifa menerima tawarannya.

“Jangan terlalu lama berfikir, kallau Kamu sudah setuju kamu datang lah ke kamarnya Tuan,” bisiknya Fatma.

Syifa terdiam memikirkan solusi apa yang seharusnya dilakukannya, apakah setuju dengan sarannya Fatma ataukah mencari jalan keluar lainnya.

Dia tidak ingin putus dengan pria yang sangat dicintainya, tapi dia juga tidak ingin ingin melakukan hal-hal sangat bertentangan dengan moral dan etika. Apalagi melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama.

“Kamu nggak bakalan rugi, kamu cukup buka paha lebar-lebar di depannya Tuan. Kamu sudah bisa mendapatkan uang yang banyak,” cicitnya Fatma.

Fatma masih berusaha untuk meyakinkan dan membujuk Syifa karena hanya Syifa perempuan yang diinginkan oleh majikannya sejak Syifa bekerja di rumah itu.

Ia sudah merantau selama kurang lebih tiga tahun lebih, tapi baru sekitar sebulan dia bekerja di rumah tersebut. Itupun atas rekomendasi dari Fatma langsung karena gajinya lebih bagus dari tempat kerja sebelumnya.

Fatma menepuk pundaknya Syifa,” kalau kamu setuju kamu datanglah sekarang ke ruangan kerjanya Tuan. Jangan berpikir lama sebelum kesempatan sebagus ini nggak ada lagi. Ingat tidak selamanya kesempatan besar datang dua kali.”

Fatma gegas meninggalkan Syifa yang kembali merenung memikirkan apa yang harus dilakukannya.

Panasnya matahari pagi menjelang siang itu tidak mampu mengubah hati dan perasaannya yang sedang galau dan pusing setengah hidup memikirkan permintaan kekasihnya.

“Gue sudah capek dimintai terus mencarikan perempuan yang masih perawan tintin yang terjamin nggak ada penyakitnya. Itu sangat sulit gue lakuin. Untungnya Syifa adalah gadis yang cocok dengan kriteria Tuan jadi nggak perlu bersusah-susah lagi. Tidak lama gue dapat bonus banyak nih,” gumamnya Fatma.

“Bismillahirrahmanirrahim, demi Abang Amri saya rela melakukan apapun.” putusnya Syifa kemudian berjalan ke arah dalam rumah majikannya.

Syifa mengetuk pintu ruangan kerja majikannya. Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Fatma kalau kedatangannya sudah ditunggu sedari tadi.

“Masuk!” Suara bariton itu terdengar jelas dari dalam ruangan yang cukup luas.

Syifa berjalan pelan-pelan ke arah dalam dengan pandangannya yang terus tertunduk.

Ia tidak berani memandangi wajah majikannya yang terdengar tegas dan disiplin itu yang tak segan-segan memecat bawahannya seenaknya.

“Jangan menunduk saya ingin melihat langsung wajah cantikmu!” Titahnya pria itu.

Syifa sontak mengangkat kepalanya ke atas hingga sanggup bertatap langsung dengan pria yang rencananya akan menjadi teman ranjangnya.

Pria itu berjalan ke arah Syifa yang tiba-tiba tubuhnya tremor gemetaran sambil memainkan ujung bajunya.

“Kamu Syifa Mutmainah gadis berusia 20 tahun dari desa, bapak Kamu sudah lama meninggal dunia dan hidup bersama dengan ibu tiri dan dua adik kamu,” tuturnya pria itu sambil mengelilingi tubuhnya Syifa.

“Be-nar Tuan apa yang Anda katakan,” jawab Syifa dengan suara nada rendah.

Pria itu menghirup wangi aroma rambutnya Syifa yang terikat ekor kuda, “Apa Fatma sudah menyampaikan kepadamu apa saja yang akan kamu kerjakan?”

“Su-dah Tuan,” jawabnya Syifa yang tergagap ketakutan.

Pria itu masih memainkan anak rambutnya Syifa dengan jemarinya, “Tubuhmu sangat seksi, wajahmu sangat cantik seukuran pembantu tapi kamu akan semakin cantik jika setuju menjadi istri siri ku.”

Syifa terkejut mendengarnya karena setahunya dari Fatma cuman teman ranjang saja nggak ada ikatan apapun.

Pria itu tersenyum penuh arti,” kenapa terkaget seperti itu? Apa kamu lebih mau berhubungan terlarang atau menikah siri denganku?”

“Menikah adalah yang terbaik,” ucapnya Syifa buru-buru.

Pria itu tersenyum kembali mendengar jawaban cepat-cepat dari Syifa.”kita melakukannya dalam hubungan yang halal jadi kamu tidak perlu khawatir.”

Tubuhnya Syifa menegang ketika Tuan Muda itu memainkan bibirnya Syifa.

“Hidupmu tidak akan sengsara lagi asalkan kamu bersedia menikah siri denganku? Saya akan penuhi apapun yang kamu inginkan termasuk transfer uang ke kekasih dan keluargamu itu yang matre,” ujarnya Pria itu yang membuat Syifa terheran-heran kenapa majikannya mengetahui segalanya yang dialaminya.

Bab. 2

Langit malam masih menyisakan semburat kelam saat Syifa duduk di kursi belakang mobil mewah itu. Jari-jarinya saling menggenggam erat, dingin dan gemetar seperti sedang menyentuh baja.

Di depannya, pria itu duduk tenang. Kaca jendela memantulkan wajahnya yang tampan namun dingin. Tak ada senyum, tak ada ragu. Hanya rencana.

Syifa menunduk, jemarinya yang kurus mengepal erat di sisi bajunya. Nafasnya pendek dan tak menentu saat mendengar kalimat pria di hadapannya.

“Malam ini kita akan menikah secara siri. Tapi sebelumnya, kamu harus ke rumah sakit. Aku ingin memastikan kamu sehat... sebelum kamu menjadi milikku.”

Suara pria itu datar, dingin, tanpa emosi. Seolah keputusan besar itu hanya soal administrasi biasa. Sesuatu yang bisa dibeli. Syifa menggigit bibir bawahnya, gugup.

“Sa–saya tidak punya uang untuk periksa ke dokter, Tuan,” ucapnya pelan, hampir berbisik.

Pria itu pemilik rumah besar tempat ia bekerja sebagai pelayan tersenyum kecil. Senyuman yang bukan pertanda kebaikan, melainkan kuasa yang telanjang.

“Tenang saja. Aku yang tanggung semuanya. Kita akan pergi bersama. Dan malam ini, kamu akan menjadi istriku. Di salah satu rumah kenalan, jauh dari telinga keluarga.”

Syifa mengangkat wajahnya, ragu.”Kalau... kalau Nyonya Besar tahu, atau yang lain?” gumamnya, takut.

“Tak akan ada yang tahu. Asal kamu tutup mulut.” Diam dingin seperti sebuah kontrak tak tertulis.

Syifa menelan ludah. Perasaannya bercampur aduk. Ketakutan, bingung, tapi juga ada rasa terpaksa demi uang untuk pengobatan abang Amri calon suaminya dan ibu tirinya di kampung serta untuk keluarga pamannya.

“Berapa lama kita akan menikah?” tanyanya polos, dengan nada penuh rasa takut.

“Selama aku menginginkannya,” jawab sang Tuan singkat.

“Setelah ini kita ke rumah penghulu. Semua sudah disiapkan. Kamu tak perlu berpikir macam-macam, Syifa,” ucapnya tanpa menoleh, suaranya datar namun menekan.

Syifa menggigit bibir. Wajahnya tetap menunduk, berusaha menyembunyikan gemuruh dalam dada. Ia bukan gadis bodoh. Ia tahu pernikahan ini bukan tentang cinta. Bahkan bukan tentang hubungan. Ini hanya ikatan semu untuk melayani nafsu orang yang memanggil dirinya “Tuan”.

“Tapi… kalau keluarga Tuan tahu..” ucapannya memotong terpotong.

“Mereka tidak akan tahu,” potongnya tajam. “Kamu hanya perlu diam.”

Diam. Kata yang terasa seperti hukuman.

Dalam hitungan jam, mereka sudah berada di mobil menuju rumah sakit. Seolah semua sudah dirancang matang. Pemeriksaan dilakukan. Begitu cepat hasil pemeriksaan kesehatannya Syifa yang menyatakan dia itu sehat.

Lalu, ke salon. Lalu ke rumah sederhana di pinggiran kota, tempat seorang imam dan dua saksi Jamal, supir rumah, dan Fatma, pelayan senior sudah menunggu.

"Sah."

Kata itu diucap dalam suasana sunyi. Tanpa pesta, tanpa bunga. Hanya kontrak sunyi antara majikan dan pelayan. Syifa resmi menjadi istri dalam diam.

Ketika ijab kabul terucap, tak ada air mata bahagia. Tak ada cium tangan. Tak ada pelukan. Hanya doa lirih dari penghulu tua yang tak banyak bertanya, dan dua saksi yang menjaga pandangan mereka agar tak terlalu ikut campur.

Dan sejak itu, Syifa bukan hanya pelayan rumah. Tapi istri secara hukum agama, bukan negara dan bukan juga karena hati.

Malam pertama itu datang terlalu cepat. Syifa berdiri mematung di kamar mewah yang biasanya hanya ia bersihkan diam-diam. Sekarang, kamar itu menjadi tempatnya melayani.

Cahaya redup dari lampu tidur menyapu lembut sisi kamar mewah yang kini terasa lebih sempit dari biasanya. Aroma mawar putih menyelinap dari diffuser di sudut ruangan, berpadu dengan ketegangan yang menggantung di udara.

Jordan duduk membelakangi Syifa, membetulkan kancing kemeja putih yang belum sempat dilepas sepenuhnya. Tubuh tegapnya tak bergerak. Seolah, setelah apa yang terjadi barusan, ia tak tahu harus berkata apa.

Syifa menarik selimut sampai ke lehernya, menatap punggung pria yang kini resmi menjadi suaminya. Dalam hatinya, badai kecil masih belum reda antara syok, lega, dan kosong.

Pagi itu, langkah kaki Syifa terdengar lebih ragu dari biasanya. Seragamnya rapi, rambutnya disanggul sederhana, dan ekspresinya... datar. Tidak ada yang berubah secara kasat mata padahal semalam, hidupnya berubah drastis.

Ia kini seorang istri. Tapi tak ada cincin. Tak ada panggilan mesra. Tak ada status.

Hanya perintah, hanya rutinitas.

“Pagi, Syifa. Bantu siapkan kopi untuk Tuan Jordan, ya. Dia ada meeting pagi ini,” pintanya Fatma.

“Siap, Kak Fatma.” balasnya Syifa.

Syifa menunduk seperti biasa, menyembunyikan kenyataan bahwa kopi itu, kini disiapkan bukan sekadar untuk majikan, tapi untuk suaminya. Suami yang bahkan tak menatapnya saat turun ke ruang makan.

Jordan muncul dengan jas abu gelap dan jam tangan mahal yang mencolok. Sorot matanya tajam dan fokus. Di hadapan keluarganya, ia kembali menjadi pria publik yang sempurna, CEO muda, cerdas, tegas.

“Pagi, Pa.” sapanya Jordan.

“Pagi, Jord. Kamu jadi ke Surabaya minggu depan?” tanya Pak Julian.

“Iya. Proyek reklamasi perlu ditekan progresnya. Aku juga harus ketemu investor Korea,” jawab Jordan sambil menyesap kopi.

Sekilas matanya bertemu dengan Syifa yang berdiri diam di sudut ruangan. Tak ada anggukan. Tak ada pengakuan, bahkan tak ada ucapan terima kasih, tetapi Syifa sudah terbiasa.

Sepanjang hari, Syifa hanya melayani Jordan. Mencuci pakaiannya, mengatur kamar pribadi dan ruang kerjanya. Menyediakan makanan dan keperluannya. Tapi semua dilakukan dengan skenario: seolah dia hanya pelayan, bukan istri.

Jordan pun sibuk di luar rumah, menghabiskan waktu di kantor pusat milik Julian Corp. Semua mengenalnya sebagai sosok yang sempurna, pemimpin muda yang tak kenal kompromi. Tak ada yang tahu, bahwa di balik layar, hidupnya terasa hampa.

Setiap kali ia menatap layar presentasi atau berdiri di depan ruang rapat, pikirannya kosong. Ia seperti mesin yang terus bergerak tanpa arah yang benar-benar berarti.

Malam turun lagi. Di rumah besar itu, semua orang sudah masuk kamar masing-masing. Rumah terlihat tenang dari luar, tapi di sayap kiri lantai atas, pintu kamar Jordan terbuka diam-diam.

Syifa masuk perlahan, mengenakan gaun tidur sederhana warna gading yang sudah disiapkan oleh Jordan.

“Kamu telat lima menit,” ucap Jordan dari balik sofa, tanpa menoleh.

“Maaf, Tuan...” balasnya sambil tertunduk.

“Berhenti panggil aku Tuan. Kita sudah menikah, setidaknya formalitas itu tak perlu di kamar.”

Syifa menelan ludah. Ia hanya mengangguk.

Malam kembali berjalan seperti malam-malam sebelumnya. Jordan memintanya mendekat. Ia memegang tangan istrinya seperti memegang barang.

Bukan dengan cinta. Tapi... dengan kebutuhan.

“Aku tidak butuh drama atau perasaan, Syifa. Aku hanya butuh kamu tetap di sini. Diam. Setia. Dan bersih.”

“Saya tahu,” balas Syifa pelan, matanya menatap lantai.

Setelah itu, keheningan menyelimuti mereka. Tak ada ciuman penuh cinta. Tak ada pelukan. Yang ada hanya kulit yang menyentuh kulit, tapi jiwa mereka saling berjauhan.

Setelah semuanya selesai, Jordan berdiri dari tempat tidur. Ia mengenakan kembali kemejanya dan duduk di dekat jendela, memandangi langit malam Jakarta yang kelabu.

“Kau boleh pergi sekarang,” ucapnya datar.

Syifa mengenakan seragam pelayannya perlahan, tapi sebelum membuka pintu, ia menoleh sedikit.

“Kalau suatu hari... saya benar-benar jatuh cinta pada Tuan, haruskah saya menyimpannya sendiri?”

Jordan tidak menjawab. Padahal Syifa hanya sekedar bertanya dan tak berani apalagi berniat untuk mencintai majikannya itu.

Dan Syifa pun keluar, kembali ke kamarnya yang sunyi, dengan hati yang makin beku.

Di balik pintu itu, Jordan menutup matanya dalam diam. Tapi dalam hatinya ada suara kecil yang tak ingin ia dengar.

“Kenapa aku takut... kalau dia benar-benar mencintaiku?”

Bab. 3

Tuan Muda memperhatikan kepergian Syifa,” masih pemula, tapi lumayan juga cepat beradaptasi dan tahu gimana caranya membahagiakanku.”

Syifa berjalan seperti pinguin ke arah kamarnya, tanpa membersihkan tubuhnya dia langsung tidur karena tubuhnya seperti remuk redam digempur habis-habisan oleh sang suami.

Hanya butuh waktu dalam sepersekian detik saja dia sudah tidur lelap dalam buaian mimpinya. Menjelang jam dua belas siang barulah dia bangun tidur.

“Alhamdulillah bisa bangun juga dengan kondisi tubuh yang lebih baik dari sebelumnya,” gumamnya.

Syifa mentransfer sepuluh juta uang dari aplikasi m-bankingnya ke nomor rekening kekasihnya Amri di kampung.

“Semoga saja, Abang Amri nggak minta uang lagi. Masa saya harus memintanya lagi kepada Tuan Muda,” cicitnya.

Syifa berjalan ke arah luar karena ingin bersih-bersih sebelum memulai pekerjaannya. Sesekali meringis menahan rasa perih dan ngilu di sekitar daerah sensitifnya jika dia berjalan.

“Moga saja nggak ada yang curiga dengan cara jalanku yang kelihatan aneh banget,” cicitnya.

“Syifa, sedari tadi kamu dicariin Pak Tio, kamu tumbenan kanbat nangun biasanya selalu on time jam lima pagi sudah bangun ini baru bangun orang-orang sudah bekerja,” ucapnya Dania teman kerjanya ketika melihat Syifa baru muncul.

“A-nu itu sa-ya dapat tugas tambahan dari Mbak Fatma makanya tengah malam baru bisa tidur,” kilahnya Syifa yang menutupi lehernya menggunakan handuk yang dipegangnya.

“Cepat mandi takutnya Pak Tio marah-marah lagi. Kamu kan tau kalau terlambat dia sering ngoceh dan marah-marah nggak jelas,” ujarnya Dania.

“Pak Tio, kira-kira dia cari saya ada apa yah Mbak?” Tanyanya Syifa yang kebingungan.

“Nggak tau juga, kalau mau tau lebih jelasnya ke dapur saja karena dia ada di dapur bersama dengan Mbak Fatma,” jelas Dania.

“Makasih banyak sudah diinfokan Mbak,” balas Syifa.

Dania hanya tersenyum sambil mengangguk. Sedangkan Syifa berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya terlebih dahulu sebelum menemui kepala pelayan yang bernama Tio itu.

Syifa adalah asisten rumah tangga yang paling muda dari yang lainnya. Minimal usia yang bekerja di mansion itu adalah 20 tahun, itu sudah jadi aturan yang berlaku di rumah itu.

“Ini harga sabun dan shamponya pasti mahal, wangi banget,” ucapnya seraya menghirup aroma wangi shampo tersebut.

Setelah membersihkan tubuhnya memakai perlengkapan mandi yang dibelikan khusus untuknya itu membuatnya tubuhnya harum, lembut, kenyal dan halus.

“Pantesan artis-artis semakin cantik-cantik saja karena memakai sabun dan perlengkapan mandi yang kualitas premium,” gumamnya.

Dia berjalan ke arah dalam kamarnya dan menyimpan peralatan mandinya. Tanpa sengaja melihat di lehernya banyak terdapat bintik-bintik merah yang sudah membiru kayak macan tutul.

“Ya Allah, kenapa banyak banget, Tuan Muda seharusnya nggak nyimpen kissmark yang sangat banyak seperti ini. Kalau dilihat orang lain dan mereka sadar bisa-bisa berabe,” Syifa ngedumel sambil menutupi bintik itu dengan beberapa jenis makeup sesuai dengan anjuran dari Fatma.

Untuk menutupi bekas kissmark di lehernya Syifa menggunakan makeup, dia menggunakan color corrector hijau untuk menetralkan warna kemerahan, lalu ditutupi dengan concealer yang sesuai warna kulitnya yang memang sudah putih dan foundation. Akhiri dengan bedak tabur dan setting spray untuk hasil yang lebih tahan lama dan natural.

“Untungnya Mbak Fatma sudah mengajari cara memakainya kalau tidak bisa-bisa saya yang kerepotan karenanya,” kangkung.

Hingga pandangannya tertuju kepada buah d4danya yang size-nya sedikit bertambah besar dari sebelumnya.

Dia sampai-sampai memegangnya,” ya ampun, pantesan bra yang saya pakai agak sempit ternyata memang karena ukurannya semakin gede.”

Syifa yang teringat kalau dia dipanggil oleh Pak Tio buru-buru menyelesaikan merias wajahnya yang lebih terkesan natural.

“Semoga saja Pak Tio tidak marah-marah,” lirihnya yang terus berjalan ke arah dapur utama di rumah itu.

Saking seriusnya berjalan tidak disadarinya apabila ada empat orang yang memperhatikannya.

“Dia pelayan baru kan yang kerja di sini?” Tanyanya pria yang berambut gondrong sambil menikmati minumannya.

“Lo tau banget,apa jangan-jangan Lo perhatiin semua orang yang bekerja di sini lagi,” tebak lainnya.

Sedangkan seseorang terdiam hanya memperhatikan kemana perginya Syifa tanpa ikut berkomentar.

“Kalian bertiga santai banget. Nggak ada yang ke kantor?” Tanyanya pria lainnya.

“Jo sama gue mau ke Tokyo sore nanti, kalau Abang Jordan CEO kita kayaknya lagi hibernasi dua hari dari pekerjaannya, Lo itu kan dokter kenapa kelayapan ke rumah kami?” sahutnya pria yang bernama Jayden.

“Gue pusing karena Papi Mami nggak capek-capeknya maksa gue nikah! Kalian tau kan gue paling nggak suka dipaksa menikah dengan perempuan pilihan mereka,” ucapnya Kian pria kedua tertua dari keempatnya.

“Kenapa harus pusing kalau nggak suka bilang nggak suka. Kalau Lo punya perempuan lain kenapa nggak ngomong langsung dengan Uncle Davies dan Aunty Clara saja,” usulnya Jayden.

“Kalau gue nemu perempuan yang speck pelayan yang kalian perhatikan barusan baru deh gue ngomong kalau gue sudah siap nikah,” ujarnya Kian.

“Gue udah ketemu perempuan yang lebih cantik dari mantan gue yang dulu, gue dengan cewek itu sudah anu cuman belum siap nikah. Gue masih pengen bebas, usia gue juga baru 35 tahun. Abang Jordan saja yang lebih tua belum mau nikah apalagi gue yang adiknya,” tukas Jayden.

Jonathan masih memperhatikan apa yang dilakukan oleh Syifa dari atas balkon kamar tersebut.

“Kalau cewek modelan pelayan itu gue rela dijodohin,” sahut Jonathan pria yang paling muda dari saudaranya yang lain.

“Hahaha! Lo sudah minus atau rabun!?” Ejek Jordan pria single berusia 38 tahun itu.

“Nggak apa-apa orang bilang gue bodoh lah gila lah atau apapun itu yang paling penting jodoh aku kayak gadis tadi gue ikhlas dah,” timpalnya Jonathan lagi.

“Aneh dan crazy! Emangnya Daddy dan Moms akan setuju jika kalian menikah dengan perempuan yang dari golongan rendahan!?” Ejek Jordan kemudian meninggalkan kedua adik dan sepupunya itu.

Semua orang menatap kepergian pria yang paling dewasa dari mereka yang berdiri menatapnya.

“Iya juga mana mungkin Daddy sama Mommy mengijinkan kita menikah dengan gadis dari kalangan rendahan,” keluh Jonathan.

“Kata Oma harus jelas bibit bebet dan bobotnya. Ribet dan sulit dan kita selamanya hanya bisa patuh dengan keputusan dan pilihan mereka tanpa bisa berjuang untuk kehidupan kita sendiri,” sahutnya Jayden.

“Kalau kalian mau bisa saja asalkan rela meninggalkan kejayaan dan kekayaan keluarga besar Julian Edward Loemy,” timpalnya Kian.

“Gue mau ke kantor, banyak kerjaan,” ucap Jordan sambil melempar kaleng bekas minuman bersodanya.

Sedangkan di tempat lain yang masih di area rumah yang sama. Syifa sudah berdiri di depannya Pak Tio.

“Mulai hari ini tugas kamu berubah, kamu kan awalnya bekerja di bagian laundry tetapi sesuai dengan keinginan Nyonya Besar kamu ditugaskan untuk mengurusi masalah kebersihan kamarnya Tuan Muda pertama dan masalah kebutuhannya dari pakaian hingga makanannya kamu yang mengurusnya karena asisten pribadinya selama ini sudah pulang kampung karena sudah menikah,” jelas Pak Tio panjang kali lebar sama dengan luas.

Fatma tersenyum tipis sambil diam-diam mengangguk ke arah Syifa sedangkan Syifa hanya diam memperhatikan dengan seksama apa saja yang disampaikan oleh Tuan Muda pertama.

“Syifa Muthmainnah apakah kamu sudah paham dengan apa yang barusan saya jelaskan?” Tanyanya Pak Tio Pria paruh baya itu menatap intens ke arah Syifa yang nampak lebih tenang dari biasanya.

“Saya sudah paham dan sangat mengerti Pak Tio,” balas Syifa dengan nada lembut.

“Ingat kamu itu harus pakai hp kemanapun perginya kamu karena sewaktu-waktu Tuan Muda membutuhkanmu jadi kamu standby setiap waktu dalam 25 jam nonstop,” tuturnya Pak Tio.

“24 jam Pak Tio bukan 25,” protesnya Fatma yang terkekeh mendengar perkataan dari Pak Tio.

“Maaf nggak sengaja,” ucap Pak Tio yang menertawai dirinya sendiri.

“Walaupun tengah malam maksudnya Pak Tio?” Tanyanya Syifa sambil melirik ke arah Fatma.

“Intinya mau tengah malam kek, dini hari kek, subuh-subuh pun kalau Tuan muda butuh kamu harus menemuinya dan saya sudah menyampaikan mengenai hal ini kepada semua pelayan yang bekerja di rumah ini agar tidak berfikir yang aneh-aneh kepadamu,” imbuhnya Pak Tio lagi.

“Baik Pak Tio, saya akan bekerja semaksimal mungkin,” balas Syifa sambil memperlihatkan senyuman terlebarnya.

“Satu lagi kamu nggak boleh berpenampilan jelek, lusuh dan kumal!” Teriaknya Pak Tio karena keduanya sudah berjalan sedikit menjauh.

Syifa menolehkan kepalanya ke arah belakang,” itu sudah kewajiban dan keharusan Pak Tio!”

Syifa dan Fatma berjalan meninggalkan ruangan dapur itu tapi ucapannya Pak Tio membuat keduanya berhenti.

“Syifa kamu harus ganti pakaian dan kamu muslim kan? Kamu harus memakai hijab mulai detik ini. Saya sudah menyiapkan pakaian khusus untuk kamu dan ini sudah ketentuan dan keputusan dari Nyonya Hana dan Tuan Besar Pak Julian!” Tegasnya Pak Tio.

“Apa! Jadi saya harus pakai jilbab yang gede itu kayak majelis taklim gitu Pak Tio?” Tanyanya Syifa.

“Nggak mesti seperti itu juga Syifa Mutmainah anaknya Pak Badrul Munir tapi semua yang bekerja di samping ketiga Tuan Muda wajib tutup aurat agar tidak menjadi wanita penggoda,” jelasnya Pak Tio.

“OMG! Pake hijab juga kalau Tuan Muda kebelet pengen anu pasti Syifa diminta buka baju dan buka paha lebar-lebar,’ batinnya Fatma.

“Baik Pak Tio semuanya akan saya laksanakan sesuai dengan perintah!” Balasnya Syifa.

Syifa mengambil beberapa potong setelan set pakaian kerja yang berbeda dari art lainnya yang ada. Dari warnanya pun mereka berbeda dan khusus yang sering seliweran di sekitar Big Bos dan anak-anaknya harus dan kudu pake hijab.

Di tempat lain yang cukup jauh dari mansion mewah itu, seorang pria tertawa terbahak-bahak ketika melihat notifikasi di sms bankingnya telah masuk transferan sebanyak 10 juta rupiah.

“Yes!! Syifa memang selalu bisa diandalkan. Untungnya aku berakting tak berdaya ketika menelponnya sehingga keinginanku dikabulkan,” gumamnya.

“Senang amat sayangku?” Tanyanya seorang perempuan yang naik ke atas pangkuannya tanpa ragu.

“Hari ini kita bisa berpesta, aku banyak uang nih sayangku,” balasnya sambil memainkan bibirnya sang kekasih.

“Apa kekasih dungu dan tololnya Abang sudah kirim uang?” Tanyanya perempuan itu yang sudah bergelayut manja.

“Hahaha! Benar sekali, dia sudah transfer 10 juta,” jawabnya.

Perempuan itu sampai menganga lebar mendengarnya,” wooo luar biasa! Kayaknya kita sering-sering saja meminta uang kepada Syifa pasti dia tidak akan menolak permintaan Abang.”

Amri mengecup bibirnya perempuan itu,” kamu silahkan belanja Aldaku sepuasnya. Kekasihmu ini akan menemani kamu belanja di pasar.”

Alda mengalungkan tangannya ke lehernya Amri,” ini yang selalu aku sukai dari kamu Abang selalu mengajakku shopping.”

Amri dan Alda berjalan ke arah dimana motornya berada, mereka akan berbelanja di pasar terdekat. Mengingat mereka hanya tinggal di perkampungan yang sangat jauh dari kota kabupaten.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!