NovelToon NovelToon

Merayakan Kehilangan

Mata Sendu milikmu - 1

...Dari caramu tersenyum, aku langsung tau jika senyuman yang kau berikan itu hanya sebuah semu, yang berusaha kau tutupi dengan hati yang pilu. ...

***

Sekolah memang selalu ramai oleh pelajar, banyak langkah yang mengisi bangunan besar ini dengan hati yang senang. Selain belajar, mereka menjadikan sekolah sebagai tempat pertemuan dengan teman-teman.

Bahkan, sekolah juga bisa menjadi tempat kasamaran!

Di tempat parkir khusus siswa, Rey sibuk mencari tempat agar motornya ini bisa berdiam dengan nyaman, selagi ia belajar di dalam.

Jam segini tempat parkir memang rawan penuh. Tapi untungnya, ia bisa menemukan tempat kosong paling ujung.

"Kamu kalau udah pulang, langsung telpon Pak Deni buat dijemput. Awas aja kalau enggak, nanti Kakak gorok kamu!"

Pak Deni adalah supir pribadi Ibunya, setelah sang Ayah pergi bekerja dalam waktu yang lama.

Bukan apa-apa, Rey berkata seperti ini hanya karena ingin menjaga adiknya agar tidak kenapa-napa.

Karena hari ini ia akan pulang terlambat, jadi adiknya tak bisa menunggu ia untuk kembali pulang bersama seperti biasanya.

"Kayak berani aja gorok adiknya yang cantik ini."

Rey terkekeh mendengarnya. Lalu setelah berhasil memarkirkan motornya dengan sempurna, Rey merangkul Renata untuk berjalan bersama.

Rey selalu menyempatkan diri untuk mengantar Renata ke kelasnya. Lalu setelahnya, mereka akan menatap satu sama lain seraya berkata "Semangat!" Secara bersamaan.

"Inget lho, Ren-"

"Langsung telpon Pak Deni kalau udah pulang." Potong Renata yang sudah tau kalimat apa yang akan Kakaknya itu lontarkan.

"Anak pinter!"

Rey mengusap puncak kepala Renata pelan, dan tersenyum sebentar.

Setelah Renata masuk ke dalam, Rey mulai berbalik badan untuk menuju kelasnya yang ada di ujung lorong.

Kelasnya masih terlihat sepi ketika ia melangkahkan kakinya ke dalam. Kemungkinan besar, semua temannya sedang berada di lapangan untuk sekedar menghirup aroma pagi yang segar.

"Assalamu'alaikum para penghuni surga!"

Sedang enak-enaknya sunyi, Angkasa tiba-tiba datang dengan suara lantang. Rey bahkan hampir melempar buku yang sedang ia pegang ke arah Angkasa yang kini tersenyum ke arahnya tanpa dosa.

"Lo kok gak jawab salam gue sih, Rey?"

Rey berdecak pelan sebelum menjawab. "Makanya kalau ngasih salam, nadanya biasa aja. Gue kaget duluan daripada ngejawab dulu. Wa'alaikumsalam."

Setelah mendapat jawaban, Angkasa memberikan senyum lebar. Lalu ia duduk di bangkunya yang ada di paling depan. Berbeda dengan Rey yang duduk di bangku paling belakang, tanpa teman. Sembari sesekali memegang dadanya yang kesakitan karena suara Angkasa yang begitu lantang.

"Eh iya, Rey. Lo udah ngerjain tugasnya Bu Indri belum?"

Rey cukup peka untuk pertanyaan ini, maka tanpa diminta, ia langsung mengeluarkan buku tugasnya untuk ia berikan kepada Angkasa.

"Makasih banyak lho, Rey! Ntar gue traktir batagor Mang Iyan deh pas istrahat."

"Gak usah. Tapi ada syarat kalau lo mau liat tugas gue. Pahami, biar nanti pas ujian, lo bisa ngerti."

Angkasa mengangkat tangannya membentuk gerakan hormat "Siap!"

Selagi Angkasa sibuk mencatat tugasnya, Rey mulai fokus melihat keluar lewat jendela. Kelasnya yang kebetulan berada di lantai dua, membuatnya lebih leluasa menatap langit biru di atas sana.

Ia suka bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta. Semua mencipta warna, menjadi satu dan sempurna. Termasuk luka yang ia punya.

"Rey."

Rey hanya berdehem pelan ketika Angkasa memanggil namanya.

Angkasa mulai membalikkan badan agar ia bisa melihat Rey yang akan ia tanya "Lo gak lupa lagi buat minum obat, 'kan?"

"Gak, gue udah minum tadi pagi. Jadi lo gak usah khawatir, sorry gue malah repotin lo kemarin." Balasnya tanpa melihat ke arah Angkasa.

Tapi dari ekor matanya, Rey bisa melihat gelengan yang Angkasa keluarkan. "Bukan masalah itu. Tapi gue khawatir lo kenapa-napa."

Hingga akhirnya, Rey juga membalas tatapan Angkasa.

"Orang sinting kayak lo ternyata bisa khawatir juga?"

Angkasa memutar bola matanya malas. "Sinting sinting gini juga gue tetep manusia, kali."

"Iya iya, sorry."

Setelahnya, Angkasa kembali memutar tubuhnya ke depan untuk melanjutkan mengerjakan tugasnya.

Begitupun dengan Rey yang kembali melihat cakrawala di atas sana, dihiasi burung yang berkicauan mengisi kekosongan angkasa.

Dan tak lama, semua temannya mulai masuk ke dalam kelas ketika bel masuk tiba. Mengisi ruang yang awalnya memliki banyak celah, kini tinggal tersisa setengah.

***

Matanya sibuk mencari ruang kepala sekolah untuk ia singgahi sebentar, dengan tujuan pengambilan seragam. Karena ia akan mulai bersekolah disini besok.

Setelah kemarin sang Ayah pergi untuk selama-lamanya, kini Ibunya memberi saran agar mereka pindah kota saja. Katanya, supaya hati mereka tidak selalu merindukan kenangannya, biarkan itu terbenam dalam hati saja.

Karena matanya tidak begitu fokus melihat jalan, tanpa sengaja ia menubruk tubuh seorang lelaki yang membelakanginya sekarang.

Ketika lelaki itu memutar badan, tatapan dingin langsung diberikan, membuat ia sedikit ketakutan.

"Aku minta maaf."

Lelaki di depannya ini tak kunjung memberi jawaban. Membuat rasa bersalah menggerogoti hatinya saat ini.

"Aku bener-bener minta maaf, aku gak sengaja." Ucapnya sekali lagi.

Helaan napas ringan terdengar setelahnya. "Lo siapa? Gue belum pernah liat lo di sekolah ini sebelumnya?"

Rey tau wajah semua murid di sekolahnya, mulai dari kelas sepuluh sampai Kelas dua belas. Ia hanya tidak tau namanya saja.

"Aku Rai, murid baru di sekolah ini. Tadi siang, aku dapet kabar buat ambil baju seragam di ruang kepala sekolah. Tapi daritadi belum ketemu juga, karena sekolah ini besar banget, astaga!" Jelas Rai panjang lebar.

"Kalau gak tau nanya. Apa gunanya lo ada mulut kalau gitu? Ikut gue."

Rey mulai melangkah ke depan, diikuti Rai dari belakang.

Jam pulang memang sudah daritadi berbunyi, makanya suasana sekolah sangat sepi. Hanya ada beberapa orang yang berkegiatan karena ada kepentingan.

Langkah mereka bergema cukup kencang. Mengalahkan nyaringnya suara pantulan bola basket di lapangan.

Rai tidak suka dengan suasana sekarang, ia berusaha mencari topik untuk dibicarakan. Tapi ia juga tak ingin di cap sebagai orang yang sok kenal.

"Ini ruangannya." Ucap Rey yang membuat hari Rai tenang.

"Makasih banyak, ya! Euh...nama kamu siapa?"

Rey sedang malas berbicara sekarang, ia hanya menggerakkan tangannya untuk menunjuk name tag yang menempel di dada kirinya.

Rey Adiwangsa Sajagat.

"Oke. Makasih banyak ya, Rey!"

Rey tak membalas, ia malah langsung berbalik arah untuk melakukan kegiatan yang sempat tertunda karenanya.

***

Setelah selesai mengambil seragam, Rai berniat untuk langsung pulang. Ia kembali membelah lorong yang terlihat lebih gelap dari sebelumnya.

Bahkan sekarang, tak ada siswa yang sekedar bermain di lapangan. Mungkin karena ini sudah hampir malam.

Handphonenya tiba-tiba meraung kencang di tengah suasana yang mencekam. Jantungnya saja sekarang ikut berdetak dengan kencang.

Ketika dilihat, ternyata Tantenya dari pihak Ibu yang menelponnya.

"Halo?"

"Rai, kamu baik-baik aja, 'kan?"

Sebelum menjawab, Rai melangkah ke bangku yang tersedia dan mulai duduk disana.

"Baik kok, Tan. Tapi kayaknya enggak kalau Mamah."

Terdengar helaan napas panjang di sebrang sana. "Tante minta maaf ya belum bisa temenin kamu disana. Tapi kalau kamu udah bener-bener capek, Tante bakal langsung terbang kesana."

Rai mengangguk, walau ia tau Tantenya itu tak bisa melihatnya. "Rai bakal rawat Ibu sampai sembuh."

"Emang susah buat diterima, Rai. Tapi Tante yakin kamu bisa."

Sekarang, Rai tersenyum sembari memainkan rok panjangnya. "Makasih, Tan."

"Salam buat Mamahmu, ya!"

"Iya, nanti Rai sampein."

Setelah panggilan terputus, Rai menggigit bibir bawahnya cukup kuat. Hingga tanpa sadar, air matanya keluar. Ia terisak cukup hebat sekarang.

Ada ketakutan yang coba ia pendam, juga kenyataan yang mematahkan harapan. Ia takut kembali kehilangan.

Daritadi air matanya memang meminta untuk keluar, tapi selalu ia tahan agar Ibunya menganggap jika ia tidak terluka dengan keadaan. Ia tidak ingin melihat Ibunya merasa terluka hanya karena melihatnya menangis di pojok kamar.

"Lo kenapa nangis?"

Rai kira sekarang dirinya hanya sendirian. Tapi ketika suara Rey mulai terdengar, ia jadi malu karena telihat menyedihkan.

"Aku cuman kelilipan doang."

Hebatnya, Rai langsung bisa tersenyum cukur lebar.

Air mata memang sudah tidak mengalir di pipinya, tapi masih terlihat di ujung matanya walau Rai memakai kacamata minus cukup tebal.

Entah kenapa, Rey tidak suka dengan senyum yang tercetak jelas di wajah Rai sekarang. Senyum itu seakan menyiratkan luka, bukan suka. Makanya Rey tidak suka.

Tak mau mencampuri urusan orang, Rey kembali berjalan ke depan. "Dikira gue bodoh apa?" Gerutunya yang masih terdengar cukup jelas oleh Rai di tempatnya.

Tak mau terlalu lama merasa terluka, Rai mulai beranjak untuk kembali pulang ke rumahnya. Tak lupa, ia juga membersihkan seluruh wajahnya agar tak terlihat aura menyedihkan seperti barusan.

***

^^^22-Mei-2025^^^

Semua punya luka -2

...Kukira, hanya aku yang terluka disini. ...

...Tapi ketika melihat bagaimana kamu tersiksa di dalam sana. ...

...Membuatku semakin yakin jika dunia ternyata sekejam ini. ...

***

Sudah lima menit lamanya Renata mempertimbangkan film apa yang akan ia tonton sekarang. Di tangan kanannya, ada kaset film yang direkomendasikan teman sekolahnya. Sedangkan di tangan kirinya, ada kaset film yang diberikan Sang Ayah ketika ulang tahunnya yang ke enam belas kemarin.

Sepulang sekolah, Renata langsung membersihkan diri dan duduk di sofa ruang tamu, untuk menemani Ibunya yang sedang membaca buku.

"Kakakmu kok belum pulang juga ya, Ren? Udah sore banget ini."

Renata melihat jam dinding yang terpampang dengan jelas di depannya. "Mungkin lagi dijalan? Jam segini 'kan jalanan suka macet, Bu."

Ibunya itu hanya menghela napas pelan.

Dan ketika telinganya mulai mendengar suara motor Rey yang mendekat, hatinya sebagai seorang Ibu langsung tenang.

Tak lama, Rey mulai melangkah ke dalam.

"Kakak kemana dulu? Lama banget perasaan. Ibu sampe khawatir, tuh!" Ucap Renata ketika Rey sedang menyalimi Ibunya.

"Macet banget dijalan, seriusan."

Sesuai dengan dugaan Renata. Jam segini memang banyak karyawan yang pulang, memadati setiap jalan diseluruh kota.

"Kamu langsung bersih bersih, sana! Terus mandi. Udah itu Ibu mau minta tolong kasihin kue ke tetangga baru kita."

"Kenapa gak sama Renata aja?"

Padahal dirinya daritadi siap untuk membantu Ibunya. Kenapa harus menunggu Kakaknya segala?

"Kamu kalau ke rumah tetangga suka gak tau malu soalnya." Ucap Rey yang mampu membuat Renata mendengus sebal.

"Gak tau malu gimana maksudnya? Renata 'kan cuman main sebentar."

Ketika ditawari untuk masuk ke dalam, Renata selalu mengiyakan, dan bermain sebentar dengan tetangganya. Apa itu tindakan yang tak tau malu seperti yang Kakaknya bilang?

"Takutnya ganggu, Ren. Kalau udah selesai, kamu sebaiknya langsung pulang." Ucap Ibu mereka, yang membuat Rey menjulurkan lidahnya merasa menang, dan Renata hanya menekuk wajahnya kesal.

Setelahnya, Rey mulai masuk ke dalam kamar, bersiap untuk membersihkan diri. Dan meninggalkan Renata yang masih sibuk memilih dua pilihan rumit hari ini.

***

Kini Rey sudah berdiri dengan tegak di depan rumah tetangga barunya, untuk memberikan kue seperti yang Ibunya perintahkan.

Sudah cukup lama ia menekan bel, tapi tidak ada yang keluar untuk sekedar menyambutnya disini. Apa penghuni rumah baru ini sedang tidak ada?

"Permisi!"

Jika teriakan kali ini belum juga ada yang keluar, Rey akan mundur dan kembali pulang.

Tapi syukurnya, pintu rumah itu perlahan terbuka. Menunjukkan gadis yang sebaya dengannya, dan kebetulan ia sudah mengenalnya.

Penghuni rumah baru ini ternyata Rai.

"Lho, Rey? Kenapa kamu tau rumah aku?"

"Gue sebenarnya gak tau ini rumah lo. Tapi kita tetanggaan, yang di depan sana itu." Rey menunjuk sebentar rumahnya yang terlihat hidup dibandingkan rumah Rai sekarang. "Rumah gue."

"Oh, oke. Jadi ada perlu apa kamu berkunjung kesini? Mau masuk dulu ke dalam?"

Rey hampir lupa tujuan awalnya. Maka dengan segera, ia menyodorkan tote bag yang berisi kue buatan Ibunya. "Gue cuman mau anter kue."

"Wahh, makasih banyak, ya!"

Rey tak membalas dan langsung berbalik badan. Urusannya disini sudah selesai.

Begitupun dengan Rai yang mulai masuk ke dalam, dan mengeluarkan kue pemberian Rey barusan. Ia akan menyuguhkan kue ini kepada Ibunya di dalam kamar.

"Mamah? Kita makan kue, yuk!" Ucapnya sembari mengetuk pelan pintu kamar sang Ibu.

"Iya, Rai. Mamah sebentar lagi keluar."

Rai tersenyum mendengarnya. Ia akan menunggu sang Ibu di ruang tamu.

Ibunya keluar tepat ketika ia mendudukkan dirinya di sofa panjang. "Ini kue buatan kamu?" Tanya sang Ibu yang menyusul untuk duduk di sampingnya.

"Bukan, tadi ada tetangga yang ngasih."

Ibunya mengangguk mengerti, dan mulai menyantap kue yang kini tersaji dengan cantik. Sedangkan Rai pamit sebentar untuk mengambil minum untuk mereka berdua di belakang.

"Mamah udah minum obat belum?" Tanya Rai yang sudah kembali duduk, dan berusaha mengingatkan. Karena biasanya, sang Ibu suka lupa untuk sekedar minum obat saja.

"Buat apa minum obat sih, Rai? Kalau setiap hari tubuh Mamah malah semakin tumbang, bukan malah baikan." Terdengar getar tak biasa dari kalimat yang Ibunya lontarkan. Seperti rasa lelah karena kata sembuh belum kunjung datang.

"Tapi dengan Mamah minum obat, tubuh Mamah bisa bertahan lebih lama lagi."

Ibu menggeleng, membuat hati Rai merasa sesak sekarang. Kenapa Ibunya seperti menyerah dan tak ingin menemukan jalan keluar?

"Mamah bukan bertahan, tapi tertahan. Mamah mending langsung pulang aja daripada terus ngerasain sakit kayak gini."

Rai berhenti mengunyah sebentar, dan menggenggam tangan Ibu untuk menyadarkan.

"Kalau Mamah pergi, terus Rai sama siapa? Rai 'kan cuman punya Mamah doang sekarang. Makanya Mamah harus semangat buat sehat lagi."

Ibunya membalas genggaman Rai dengan usapan lembut di kepalanya.

"Mamah minta maaf ya, sayang? Mamah malah jadi beban buat kamu sekarang."

Rai menggeleng keras, karena baginya, sang Ibu bukanlah beban. Tapi hal yang harus ia jaga sampai darah penghabisan. Bukankah itu yang dilakukan Ibunya dulu ketika melahirkannya ke dunia?

"Mamah ini bilang apa, sih? Rai gak suka ya Mamah bilang gitu lagi."

Ibu hanya tersenyum mendengarnya. Dan Rai tau jika senyuman itu hanya sebuah ilusi saja. Rai juga tau jika di dalam hati Sang Ibu, ada luka besar, yang Ibunya itu tutupi agar tidak ketahuan.

"Besok kamu mulai sekolah, 'kan? Istirahat, sana. Biar besok gak terlambat."

"Mamah juga langsung istirahat lho, ya! Obatnya jangan lupa diminum."

Setelah menerima anggukan, Rai langsung melangkah ke kamarnya yang berada di lantai dua. Meninggalkan sang Ibu yang sekarang sedang menenangkan dirinya sendiri, dengan mengatur napasnya yang terasa berat.

Tapi karena tubuhnya sudah benar-benar tumbang, darah tiba-tiba mengalir dari dalam hidungnya. Ibu berusaha meredamnya dengan tissue yang disediakan Rai sebelumnya. Tanpa sepengetahuan Rai tentu saja.

***

Rai belum benar-benar tidur. Malah, ia tidak bisa tidur. Ia membuka sedikit jendela besar di kamarnya yang kebetulan berhadapan langsung dengan kamar milik Rey, untuk sekedar menenangkan hatinya yang kini sedang berantakan.

Mata yang kini terlihat sendu itu begitu suka menatap langit malam. Bintang yang bertebaran selalu membuat hatinya tenang, apalagi sang bulan yang bersinar terang.

Angin malam yang menubruk wajahnya mampu membuat hatinya lebih baik dari sebelumnya.

Kalau boleh jujur, Rai benci dengan hidup. Ia benci dengan seluruh realita yang ia punya, juga kenyataan yang menyapanya tiba-tiba.

Ternyata hidup serumit ini, ya?

Mata yang fokus melihat langit malam kini teralihkan. Ia melihat Rey yang mulai masuk ke dalam kamarnya dengan tangan yang sedang mencengkram dada kanannya cukup kencang, juga napasnya yang terlihat tak beraturan.

Rey seperti sedang mencari sesuatu sekarang.

Terlihat oleh matanya, Rey kini duduk di ujung ranjang yang menghadap langsung ke arahnya, lalu Rey mulai meminum satu pil obat dengan air putih sebagai penghilang rasa pahit setelahnya.

"Rey sakit apa?" Tanyanya dalam hati.

Sedangkan Rey yang baru sadar jika Rai melihatnya tanpa terhalang apapun, karena gorden di kamarnya belum tertutup. Langsung berdiri dan menutup gordennya dengan segera.

Rai hanya tersenyum miris melihatnya.

Kenapa semua orang terlihat tidak baik-baik saja sekarang?

***

^^^22-Mei-2025^^^

Senyum yang terlihat palsu - 3

...Aku tak mengerti kenapa senyumanmu tidak aku sukai. ...

...Apa karena kamu tak pandai membohongi, atau karena aku yang terlalu mencampuri. ...

***

Setiap hari, rumah ini hanya diisi olehnya, Ibunya dan juga Renata, adiknya. Setiap pagi mereka hanya sarapan bertiga, karena ayahnya yang bekerja sebagai dokter di Jerman.

Ayahnya hanya pulang setahun sekali saja, dan situasi darurat lainnya. Makanya ia diwajibkan untuk bisa menjadi pelindung keluarga ketika Ayahnya tidak ada. secara 'kan, ia anak lelaki satu-satunya.

"Rey, nanti pulang sekolah tolong mampir dulu ke cafe langganan Ibu, ya! Ambilin pesanan Ibu disana." Ucap Ibunya memecah keheningan.

"Banyak gak pesanannya?"

Ibunya mengangguk sebelum menjawab "mungkin ada lima kresek besar."

Ibunya memang sangat suka dengan kue. Apalagi croissant coklat buatan cafe langganannya. Sekali pesan saja bisa langsung lima kresek besar. Tapi tidak untuk konsumsi pribadi saja, Ibunya juga selalu berbagi dengan para tetangga.

"Kalau gitu, Rey pake mobil aja, ya?"

Karena Rey sudah memiliki SIM C maupun A. Jadi Ibunya langsung mengangguk saja.

"Renata pulang bareng Kakak lagi, 'kan hari ini?" Rasanya Renata ingin ikut mengambil pesanan Ibunya, sambil sekalian jajan.

"Iya."

Rey lebih dulu menghabiskan sarapannya. Ia menunggu Renata agar bisa keluar bersama.

Sembari menunggu, Rey memainkan handphonenya dan menyelam lebih dalam di media sosial.

Sedang enak-enaknya melihat video random, tiba-tiba muncul puluhan notifikasi dari grup angkatan sekolahnya. Rey yang penasaran langsung membuka topik obrolan.

Ternyata mereka sedang membicarakan Rai sebagai murid baru di sekolahnya.

Di sekolahnya memang seperti ini. Jika ada murid baru, mereka akan mencari tau, dan menjadikannya sebagai bahan obrolan baru.

"Renata udah selesai. Berangkat sekarang?"

Rey langsung mengangguk dan mulai berdiri untuk menyalimi Ibunya, begitupun dengan Renata yang mengikutinya dari belakang.

"Kamu nanti tinggal ngambil aja ya, Rey. Udah Ibu bayar pake uang digital soalnya." Pesan Sang Ibu yang membuatnya kembali menganggukkan kepala.

"Kalian hati-hati di jalan."

"Iya, Ibu juga." Balas adik kakak itu bersamaan.

***

Entah kenapa hari ini langit terlihat sangat indah di matanya. Mungkin karena hatinya sedang berbunga-bunga, dan itu terjadi karena puisi yang ia buat sendiri berjudul semesta.

Rey memang suka dengan dunia sastra. Bahkan ia jadikan penulis sebagai cita-cita. Tapi entahlah, umurnya saja belum bisa ia jamin sampai puluhan tahun lamanya.

Dalam sebait puisinya, ada kalimat yang membuat ia tersenyum ketika membacanya.

'Dari Senja,

aku belajar bahwa sementara biasanya selalu bermakna.'

Kalimat itu seakan mewakili hidupnya.

Hidupnya memang sementara, tapi Tuhan membuatnya bermakna, karena menempatkan ia di dalam keluarga yang penuh akan cinta.

"Rey lo senyum? Astaga! Hal langka ini! Senyum lagi, Rey! Mau gue videoin." Ucap Lengkara-teman sekelasnya dengan heboh sembari mengambil handphone di saku kemejanya.

Rey memang jarang tersenyum, bahkan ketika ada lelucon sekalipun. Tapi berbeda jika sedang bersama Renata, ia tak sungkan mengeluarkan kekehan kecil untuk candaan sederhana yang dilontarkan adiknya itu.

"Berisik lo!"

"Dua hal yang harus lo tau, Ra. Pertama, Rey cuman bisa senyum karena keluarganya. Dan kedua, Rey bisa senyum karena karya sastra yang dia baca. Bukan karena kita." Papar Angkasa yang kebetulan mendengar percakapan mereka.

Angkasa cukup kenal dengan Rey. Ia tau apa yang Rey suka dan tidak. Begitupun dengan luka yang Rey punya, Angkasa tau itu semua.

"Kalau gitu, gue rela jadi karya sastra yang lo baca, Rey. Gue pengen liat senyum lo itu setiap hari, rela gue seriusan."

Gadis bersurai pendek ini memang penasaran dengan sosok Rey yang selalu sendirian. Bahkan melihat senyum Rey saja adalah hal yang harus ia abadikan.

"Bu Yasmin datang!" Teriak Mahes-ketua kelas mereka dengan lantang, sehingga obrolan mereka harus terhenti sekarang.

"Perasaan belum bel?" Tanya Angkasa mewakili semua.

"Belnya rusak. Lagipun patokan jam 'kan udah bisa dijadiin bel juga."

Tiba-tiba semua melihat jam tangannya masing-masing.

Sekarang sudah pukul setengah delapan, memang sudah waktunya mereka masuk ke dalam jam pertama untuk belajar.

Bu Yasmin datang dengan Rai yang melangkah di belakang. Semua temannya bersorak senang karena mendapat anggota baru sekarang.

Rey yang memang sudah tau dari awal hanya menatapnya datar.

"Anak-anak, kita kedatangan murid baru, nih!" Ucap Bu Yasmin sebagai wali kelas mereka.

"Mulai perkenalan, ya! Ayok, Nak. Perkenalkan diri kamu sama semuanya."

Rai tersenyum sebelum memperkenalkan dirinya sendiri.

Senyum milik Rai mungkin terlihat biasa saja bagi orang awam. Tapi dari sudut pandang Rey, senyum yang Rai punya seakan menyiratkan luka. Entah itu hanya perasaannya saja, atau memang benar adanya.

Terlebih lagi, Rey sudah mendengar tangisan Rai di lorong sekolah kemarin sore.

"Halo semua! Salam kenal, aku Rai Anggita Pertiwi. Aku pindahan dari Bandung karena alasan pribadi. Semoga kita bisa jadi teman baik sampai mati."

Semua terkekeh ketika mendengar kalimat terakhir yang Rai ucapkan. Terdengar lucu saja rasanya.

"Ada yang mau bertanya sebelum Rai duduk?" Tanya Bu Yasmin kepada semua anak muridnya yang masih terkekeh ringan.

Karena tidak ada yang mengacungkan tangan, makanya Bu Yasmin langsung mengakhiri perkenalan. "Baik, sepertinya tidak ada. Rai bisa langsung duduk di sebelah Rey, ya! Rey, acungkan tangan!"

Rey mengacungkan tangannya dengan malas. Karena Rai pasti sudah tau dimana keberadaannya sekarang.

"Terimakasih, Bu." Ucap Rai sebelum ia melangkah ke tempat duduknya yang baru.

"Hallo, Rey! Kayaknya kita emang bakal jadi temen deket, ya? Udah tetanggaan, sebangku pula."

Rey duduk sendiri karena memang keinginannya agar tidak kebisingan. Ia tak suka punya teman, karena pada akhirnya pun, ia akan menghilang. Dan ia tak mau membuat temannya merasa kehilangan. Ia hanya menghindari potensi sakit hati yang nantinya menyakiti.

Dan ketika Rai datang, rasanya ia tak bisa kembali hidup dengan normal. Ia merasa tak pantas memiliki teman.

"Gue gak suka orang yang berisik. Jadi, jangan berisik."

Lagi lagi Rai menunjukkan senyum yang mulai sekarang tidak Rey suka.

"Kamu tenang aja, aku gak berisik kok orangnya."

Rey hanya menghela napas pelan. Ia tak percaya jika Rai bukan orang yang berisik seperti yang diucapkan.

"Rai, kamu pindah sekolah ketika sebentar lagi akan tiba ujian kelulusan. Tapi Ibu yakin kalau kamu orang yang pintar. Jadi, kamu langsung belajar mengikuti materi di sekolah ini aja, ya!" Jelas Bu Yasmin yang kini menjadi orang tua keduanya di sekolah.

"Iya, Bu."

Bu Yasmin tersenyum sebentar sebelum akhirnya mulai menjelaskan.

Semua murid yang ada di kelas ini begitu fokus mendengarkan materi yang diberikan. Hal itu membuat Rai merasa nyaman karena ia bisa menyerap ilmu dengan tenang.

***

^^^22-Mei-2025^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!