Harsa Nayanika, Gadis berusia sembilan belas tahun itu tersenyum simpul, wajahnya yang ceria itu berseri.
Dia mampu menyembunyikan perasaannya, namun dia tidak bisa menyembunyikan senyum manisnya. Kabar kepulangan Muhammad abidzar maulana itu adalah salah satu alasan wajahnya terus memancarkan kebahagiaan.
"ciye, yang delapan tahun tak jumpa."
Talita, sahabat harsya berbisik pelan. Dia suka melihat pipi merah sahabatnya yang malu karena godaannya.
"Gue penasaran sama wajah mas abi mu itu."
Talita, gadis yang nyantri selama lima tahun itu tentu belum pernah melihat wajah putra semata wayang pengasuh pesantren al-hikmah. Dia juga ikut heboh ketika mendengar kabar itu.
"Kamu jangan gitu tata!!!."
Harsa cukup sebal melihat kehebohan dan ke-lebay-an talita.
"cemburu ya. sebelum janur kuning melengkung, mas abi mu itu masih milik bersama... hahaha..."
Harsa memberengut, dia menimpuk kepala talita dengan buku bacaannya yang cukup tebal.
bugg...
Auu...
Kini harsa puas, melihat wajah tengil talita berubah jadi kesakitan.
"jahat!!!."
"kamu layak mendapatkan perlakuan jahat ku..."
Kini ganti talita yang memberengut sambil mengusap kepalanya.
muhammad Abidzar atau sering dipanggil Gus abid itu baru saja menyelesaikan pendidikan S-3 di kairo. Tepat hari ini, merupakan hari kepulangannya. Para penghuni pesantren al-hikmah tentu sangat menantikan, meraka tidak sabar untuk melihat wajah penerus pengasuh pesantren.
Pemuda yang selama delapan tahun belum pernah pulang, kini resmi kembali kerumahnya dan siap membantu sang abah untuk melanjutkan perjuangan-nya mengurus pesantren.
pengurus keamanan, segera mengkonfirmasi para santriwati untuk berkumpul dilapangan.
"sa, sekarang mas abi umur berapa.?"
Tanya talita penasaran, harsa melirik dengan sebal.
"gak sopan."
talita hanya menampilkan wajah tengil dan cengengesan, kini mereka sedang melangkah ke arah lapangan.
" ngapunten nawaneng..."
kini harsa semakin sebal, temanya itu semakin mengolok-olok-nya.
Harsa, sering dipanggil ning, karena dia adalah putri angkat umma halimah. Bayi merah yang diletakkan didepan gerbang pesantren itu ditemukan umma Halimah ketika pulang dari pengajian.
Harsa calluna adalah nama yang diberikan oleh anak laki-laki berusia tujuh tahun yang begitu bahagia ketika memiliki adik perempuan.
Harsa dan talita sudah ikut bergabung bersama para santriwati. dua sahabat itu mendapatkan barisan paling belakang karena datang terakhir.
Lima belas menit dia menanti dalam degup jantung yang berdebar. Akhirnya iringan mobil keluarga ndalem datang. Harsa menatap depan, namun tubuhnya yang mungil itu tak mampu menembus kerumunan para santriwati.
Harsa menjijikkan kakinya, sesekali dia meloncat-loncat layaknya anak kecil.
Rasa yang menggebu-gebu yang ingin segera dituntaskan dengan melihat wajah pria yang dirindukan selama ini.
"sa."
Talita mencolek lengan sahabatnya, harsa menoleh sebal. namun kode mata talita yang melirik kebawah itu langsung melenyapkan rasa sebalnya.
"loe memang sahabat pengertian."
"siapa dulu..."
ucap talita dengan bangga.
"cepetan.."
Harsa segera naik ke kursi berwarna merah muda yang entah darimana talita dapat.
Meski tak cukup membuatnya tinggi, namun mampu membuat harsa melihat sekilas wajah "mas abi-nya" yang wajahnya sedikit terhalang oleh keberadaan kyai Maulana yang mendampingi putranya dan beberapa sesepuh ustadz.
Harsa melihat umma halimah yang juga mendampingi putranya. Harsa merasa kecewa, kemarin dia berharap umma halimah akan mengajaknya ke bandara. tapi sampai saat ini, keberadaannya terabaikan. kekecewaan itu tiba-tiba menjadi luka.
Harsa diam membisu, menyisakan ke berisikan di kepalanya.
apa aku sudah dilupakan?
***
Sudah satu minggu kepulangan gus abid. Para santriwati tak ada habisnya membicarakan gusnya itu.
pemuda tampan berkarisma, berilmu agama, berpendidikan tinggi. Wanita mana yang beruntung memilikinya? seputar pertanyaan itu yang mereka ulang setiap membahasnya.
Sejak pulangnya " mas abi-nya" harsa belum pertemuan atau berpapasan. Dia hanya sering melihat ketika sudah jauh, melihat punggung pria yang menjadi taman masa kecilnya sekaligus saudara laki-laki penyayang bagi-nya. namun sekarang sekedar berpapasan rasanya sangat sulit.
pasti akan ada waktunya....
Kalimat penengah yang selalu harsa yakinkan.
jika tidak hari ini, maka besok, dan besoknya lagi....
Harsa disibukkan dengan ujian madrasah diniyah, sekaligus tugas kuliahnya, sehingga dia tidak terus menerus memikirkan tentang kapan pertemuannya dengan gus abid.
bulan ini adalah akhir tahun pembelajaran. Harsa yang sudah kelas ulya, kini harus lebih banyak untuk menghafal.
gadis itu berusaha mengesampingkan perasaannya, dan lebih memfokuskan diri pada pendidikannya di kampus maupun di pesantren.
"neng harsa, sampean ditimbali (kamu dipanggil) umma."
Harsa yang tadi akan ke gedung perpustakaan putri kini memutar arah kearah ndalem.
"sudah lama aku gak lihat sampean neng..."
Bosa basi mbok darmi, wanita baya yang dulu menjadi pengasuh gus abid dan harsa. kini wanita baya itu bertugas didapur, memasak makanan untuk keluarga ndalem dan santi, ditemani beberapa mbak ndalem. Harsa hanya nyengir menampilkan gigi rapinya.
"hari ini menunya apa mbok?."
"biasa, oseng kangkung sama tahu goreng."
Harsa memanyunkan bibirnya, membuat, si mbok ketawa.
"mbok ada simpenan sisa lauk tadi pagi, nanti balik kesini."
"siapp mbok ku.."
Harsa tidak langsung masuk keruang keluarga, dia masih mondar mandir didapur.
hingga tanpa sengaja dia mendengar perbincangan mbak ndalem yang sambil mengupas bawang.
mbak ndalem 1"tahun ini kayak-nya akan diadakan pernikahan masal, tadi umma dawuh ke bu ketum. acaranya sebelum haflah. ada yang mau daftar..."
Mbak ndalem 2 "enggak, dijodohin itu gak bisa pilih-pilih."
mbak ndalem 3 " paling kamu diam-diam punya doi, jadi gak mau. barokah loe di jodohin itu."
mbak ndalem 2 "pokoknya enggak."
mbak ndalem 1" tapi sebelum pernikahan masal, aku denger gus abid juga bakal nikah...."
cerita mbak ndalem sedikit heboh.
Deg,
detak jantung harsa rasanya berhenti sesaat.
"eh neng harsa."
sapa mbak ndalem yang menyadari keberadaan putri angkat umma halimah itu. harsa yang tengah membuka pintu kulkas, memilih untuk menutup kembali.
Gadis dengan baju navi dengan sarung batik itu sudah berada diruang keluarga. susana hening yang damai, yang hanya diisi oleh dua wanita beda generasi.
Umma halimah baru saja keluar kamar dengan membawa sejumlah uang. sudah harsa hafal, bulanannya sedang mencair. meski dia tidak meminta, tapi umma halimah masih memberikannya uang saku setiap bulan. kuliahnya gratis, dan dia juga mendapatkan sedikit penghasilan dari usahanya membuat buket.
"apa ada kebutuhan lain nak?."
tanya umma lembut, selayaknya ibu penuh kasih pada putrinya.
"mboten umma, ini udah lebih cukup buat harsa."
"kamu kalau butuh apa-apa jangan sungkan. umma sedih jika kamu gak bilang.."
Harsa mengangguk, dia melirik sekeliling.
"abah kemana umma?."
Dalam hati harsa " mas abi kemana umma?"
"keluar, menghadiri undangan walimatul ursy. kalau mas mu pergi ke asrama putra..."
jawab umma halimah, seolah tahu pertanyaan harsa.
"sebelum acara haflah akhirusanah, umma pengen acara nikah masal tahun ini di dahulukan."
"kenapa umma? biasanya setelah acara akhirusanah.."
"itu sebenarnya usulan salah satu santri putra. katanya kalau wisuda sudah punya pasangan, umma rasa juga ada baiknya." ucap umma halimah dengan senyum, seolah dia tahu pemikiran anak-anak yang sudah waktunya menikah.
"teman kamu yang namanya tata itu bagaiman? dia sudah siap menikah belum?."
"harsa kurang tahu umma."
"nanti kamu bilang sama dia ya, syukur-syukur jika kamu juga minat."
harsa hanya tersenyum canggung.
"bagaimana jika kamu nak? sepertinya sudah siap apa belum.."
"harsa belum kepikiran umma."
umma halimah mengangguk mengerti.
"tapi kalau sudah siap jangan ditunda ya sa, apalagi kalau ada yang kamu suka, bilang sama abah dan umma. umma gak ingi n kamu pacaran.."
harsa mengangguk.
Gus abid, tengah berdiri di dekat pagar balkon kamarnya, dari sini dia melihat aktivitas lalu lalang para santriwati yang ada dibawah sana. Didepan sana, bangunan berlantai empat yang sedang menampung beratus -ratus santriwati.
"mas abi lama gak kuliahnya, nanti harsa sama siapa di pesantren?."
"masih ada umma dan abah..."
"tapi gak asikkk..."
gadis berusia sebelas tahun itu memberengut.
"jangan kuliah jauh-jauh kenapa? disini saja..."
"itu cita-cita mas, harsa..."
"lama..."
"enggak."
"berapa bulan?"
Gus abid tersenyum mendengar pertanyaan gadis kecil yang ngambekan itu.
"bertahun-tahun harsa, bukan cuma sebulan dua bulan."
"itukan lama..., mas jangan pergi ya.."
rengek harsa.
"kenapa?."
"harsa takut mas abi lupa."
"kan kamu bisa ingatkan mas dek."
"tapi,..."
gadis kecil itu ingin protes lagi, namun mulutnya kembali tertutup.
"ada apa?."
Gus abid menatap harsa yang menunduk.
"gak papa mas. harsa akan ingatkan mas abi jika lupa."
gadis kecil itu terpaksa senyum, meski matanya tidak bisa membohongi, mata coklat terang itu berkaca-kaca.
Indah...
itu kata yang tersirat dari otak gus abid, remaja sembilan belas yang tahun yang tiba-tiba menyukai adik angkatnya.
akhirnya gadis kecil itu luluh.
"harsa ikhlas mas abi berangkat, tapi ada satu syarat, mas abi harus janji sama harsa."
"iya, kamu minta mas janji apa?."
"apa aja."
Tanpa pikir panjang, pemuda yang baru merasakan jatuh cinta itu menjanjikan sesuatu yang tak seharusnya. Harsa hanyalah anak perempuan yang belum banyak mengerti mengenai dunia.
"mari kita menikah harsa, setelah mas pulang dari kairo..."
gadis kecil itu membulat.
"apakah boleh mas?, kita kan saudara .."
"kelak kamu akan mengerti dek. tapi jangan bilang abah dan umma tentang ucapan ku hari ini."
Gadis itu tersenyum kecil bagaikan mendapatkan janji membeli lolipop di festival pasar malam.
"janji. harsa gak akan bilang umma abah."
"good girl!"
Pria yang baru saja menginjak umur dua puluh tujuh tahun itu menghela nafas kecil. setelah pulang dari asrama putra dia tak sengaja melihat ibu-nya dan seorang santriwati tengah duduk di ruang keluarga. pembicaraan santai kedua wanita itu begitu akrab. tanpa menebak, gus abid pun sudah tahu siapa wanita muda yang tengah duduk di samping sang ibu-nya.
Harsa, siapa lagi kalau buka dia, tidak ada perempuan sedekat itu pada umma halimah selain anak perempuan angkatnya. Gus abid tak langsung menyapa, pria itu lebih memilih diam dan mengamati percakapan mereka sampai selesai, hingga harsa pergi dari ruang keluarga. barulah dia menghampiri ibunya.
"kamu sudah pulang.."
"baru saja umma."
"tadi adikmu datang, sayang sekali kalian tidak bertemu."
ucap umma halimah, entah mengandung kekecewaan atau kelegaan, tapi yang jelas itu salah satunya.
."aku ke kamar umma."
umma halimah mengangguk.
Setelah keluar dari ndalem harsa mampir ke dapur untuk mengambil lauk yang dijanjikan mbok darmi barulah dia melanjutkan ke kamar pengurus.
Hari ini harsa harus menyelesaikan powerpoint yang akan digunakan kelompoknya presentasi besok.
"ada perlu apa neng?."
Tanya pengurus keamanan ketika harsa datang ke arahnya.
"ambil laptop mbak."
"oh, sebentar ya.."
Harsa duduk di kursi depan kamar pengurus keamanan sambil menunggu laptop nya diambilkan.
"ciye, calon bu nyai, tuh ada calon adik ipar kamu neng diluar, samperin apa. bosa -basi biar lebih akrab."
Suara gurauan dari dalam kamar pengurus yang masih didengar harsa. harsa hanya mengerutkan alis, entah siapa yang sedang digoda itu harsa tak begitu tertarik.
"ini neng."
Harsa segera menerima laptop miliknya.
"makasih mbak."
***
"Axel!!!!."
Disebuah ruangan elit di rumah sakit ternama di ibu kota seorang pria tua mengamuk pada cucu satu-satunya.
Pria yang disebutkan namannya hanya berdiri, sesekali melirik kakeknya dengan lirikan dingin.
"aku akan ke kantor, jika memerlukan sesuatu hubungi max."
Ucapan dingin, namun itu sebenarnya sebuah perhatian yang bisa dia berikan.
"Menikahlah!!! berikan aku cucu menantu, biar ada yang mengurus kita berdua."
"kakek, menikahlah sendiri. aku tidak ada waktu untu mencari wanita. wanita muda juga tidak masalah jika kamu membutuhkan kasih sayang, tapi jangan suruh aku menikah."
Axel, pria yang sudah menduda selama lima tahun itu sangat muak dengan kata pernikahan.
"Bocah, pulang saja kau!!! aku tidak membutuhkanmu."
teriak sebastian, dia cukup emosi dengan cucunya. Pria tua berusia tujuh puluh satu itu hanya memiliki satu anak laki-laki dan cucu laki-laki. Namun putra dan istrinya sudah lama meninggal, begitupun dengan ibu axel.
Pria dewasa yang keras kepalanya sama dengan dirinya. membuat sebastian sering mengalami darah tinggi.
Sebastian mulai memikirkan cucunya. Dia takut jika Axel tidak memiliki hasrat menikah setelah dikhianati oleh mantan istrinya. hingga dia tidak ada hentinya mengenalkan putri dari koleganya. namun selalu gagal, Axel selalu meninggalkan wanita ditengah kencan yang disiapkan sebastian.
"wanita manalagi yang harus aku sodorkan. huh apa cucuku sudah tidak normal lagi, bagaimana nasib perusahan ku tanpa pewaris."
keluh Sebastian. kemudian dia melirik perawat cantik yang sedang mengurusnya.
"apa kamu mau menikah dengan cucuku?"
pertanyaan Absurd itu membuat perawat muda itu menyunggingkan senyum kaku.
"maaf tuan, saya baru saja menikah."
Sebastian menghela nafas. dia cukup lelah untuk mencarikan pasangan untuk axel.
"assalamualaikum..."
Suara teduh itu sudah membuat sebastian hafal.
"Waalaikumsalam, masuk saja halimah."
"Om bas. bagaimana kondisinya? apa sudah membaik?."
tanya umma halimah, dia bergegas menyalami tangan Sebastian diikuti sang putra dibelakang.
"Ya beginilah."
Umma halimah meletakkan sebuah rantang kecil.
"aku dengar tekanan darah om bas tinggi, jadi tadi sempetin masak soup brokoli."
"terimakasih halimah, kamu sangat repot-repot. siapa pemuda dibelakang mu?."
"ini abidzar om."
"ah ternyata putramu sudah cukup dewasa ya."
Sebastian menatap gus abid dengan senyum.
Gus abid berjalan mendekat, dia mencium sebastian.
"bagaimana kabarmu bi?."
"alhamdulillah baik opa."
"yah, sudah sangat terlihat jelas."
sebastian terkekeh.
"sebentar lagi abid juga akan menikah om."
"oh ya."
Sebastian terkejut, tapi dia juga sangat excited mendengar kabar cucu dari adiknya itu akan menikah.
"kapan? kenapa baru sekarang kamu memberikan kabar pada ku halimah."
"maaf om, tapi ini memang sangat mendadak."
"ah, andai si Axel itu juga mau menikah?."
curhat sebastian. dia kini menatap keponakannya dengan dalam.
"apakah kamu punya saran halimah?."
Umma halimah paham. pembicaraan mengenai Axel itu sudah sering dia dengar.
"bagaiman jika Axel ikut dalam pernikahan masal yang diadakan lima tahun sekalih di pesantren om. siapa tahu axel tertarik."
Gus abid mengernyit. Meski lama dia tidak bertemu dengan sepupunya itu, dia cukup mengenal sifat axel.
"umma.."
Gus abid mengingat ibunya untuk tidak bicara sembarangan.
"abid. siapa tahu axel mau?."
"ck,tapi sepertinya itu mustahil."
jawab sebastian.
"gini saja halimah. carikan salah satu santriwati di pesantren milik suamimu itu. nanti kirimkan fotonya, biar ku perlihatkan ke axel. siapa tahu dia tertarik dengan gadis berjilbab."
umma halimah hanya tersenyum.
"tapi aku gak janji om."
sebastian mengangguk.
***
Pukul dua belas malam harsa baru saja menyelesaikan tugasnya. dia segera merapikan barangnya dan bergegas untuk tidur.
ceklek...
suara pintu terbuka. talita yang menggunakan sweater itu nongol dari balik pintu.
Harsa melirik.
"udah kayak maling takut ketahuan aja lo ta."
Ucap harsa pelan. talita hanya tersenyum simpul. dia meletakkan tas dan laptop-nya diatas meja.
"nugas dimana?."
"biasanya."
"loe gak ada takutnya."
"enggak lah."
Harsa tahu betul tempat yang sering dikunjungi talita.
"loe masih ketemuan sama cowok itu?."
Talita tak menjawab, dia hanya cengengesan gak jelas.
Talita mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. sebuah botol kecil dari kaca. lebih tepatnya seperti botol bekas ekstrak vanili namun didalamnya terdapat gulungan kertas.
Talita meletakkan pada telapak tangan harsa.
"apa ini?."
harsa mengernyit bingung sekaligus curiga.
"surat dari santri putra. gue gak tahu tapi itu titipan..."
Harsa menghela nafas.
"loe udah baca?."
"enggak lah, modelnya aja gitu. takut kalau ada guna-gunanya."
ucap talita dengan ekspresi merinding. harsa jadi ikutan merinding.
Namun akhirnya dia membuka botok kaca itu, mengeluarkan gulungan kertas yang ternyata berisi surat cinta.
Gosip mengenai pernikahan gus Abid semakin gencar dibicarakan. pembicaraan mereka sampai ke telinga gadis yang tengah asyik membingkai mawar satin yang dia buat.
"lo percaya gak sama gosip yang sedang beredar akhir-akhir ini?."
tanya talita sambil menutup kitab yang sedang dia hafal.
"entahlah..."
Jawaban harsa singkat, namun mengandung ke enggan untuk membicarakan hal itu.
gosip yang belum pasti itu sedikit mengusik pikirannya akhir-akhir ini. namun sebelum mendapatkan konfirmasi dari keluarga ndalem, harsa tak akan begitu percaya.
"neng harsa!!!"
Suara marwa, ketua kamar asrama yang harsa tinggali saat ini sedang ngos-ngosan.
Harsa dan talita menoleh bersama, suara marwa membuat mereka berdua cukup terkejut.
"ada apa mar?."
"Sampean di suruh ke kantor pengurus sekarang!!!."
Harsa menatap jam dinding yang menunjukkan pukul tiga sore.
"kenapa?."
"gak tahu neng."
jawab marwa cepat, tapi menyembunyikan sesuatu.
Harsa yang hanya menggunakan kaos pendek bergegas ke pojok kamar, untuk mengambil baju yang dia gantung disana bersama jilbabnya.
"di temani ngak sa?."
"enggak usah ta. gue ke kantor dulu."
"hati-hati beb."
harsa mengangguk, lalu dia keluar kamar. marwa tidak ikut, dia hanya menyampaikan perintah saja.
"kenapa dia dipanggil?." tanya talita.
marwa menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan talita.
"aku denger mau di sidang mbak?."
"di sidang?."
talita mengerutkan keningnya. untuk apa sahabatnya itu disidang jika tidak diam-diam pacaran dan ketahuan.
"siapa yang akan menyidang harsa, mar?."
"aku dengar-nya sich langsung ke gus abid, katanya dari santri putra menemukan surat atas nama neng harsa "
"oh my god.."
kini talita ingat. ah surat cinta botol jin yang dititipkan dari sahabat doi-nya itu.
"ya sudah, terimakasih infonya."
talita segera bangkit dan akan menyusul harsa.
Harsa sudah sampai didepan pintu kantor pengurus santri putri. namun yang bikin dia heran, semua pengurus putri bubar keluar.
"sampean di minta segera masuk neng."
ucap mbak pengurus dengan sopan, tapi tatapnya tidak begitu bersahabat.
Harsa mengangguk lalu segera masuk.
"kenapa gak ada yang tinggal didalam?." tanya salah satu pengurus.
"setidaknya neng elsa." lanjutnya.
Mereka yang ada disitu melirik kearah neng elsa.
"mungkin gus abid ingin privasi, masalahnya harsa kan adiknya." jawab teman elsa yang tengah berdiri disamping sahabatnya.
"tapikan gak sedarah."
"hus, jangan rame sendiri, udah kita tunggu saja hasilnya."
Bella selaku ketua pengurus menengahi.
"Assalamualaikum."
salam harsa sambil menutup pintu meski tidak sepenuhnya tertutup.
"waalaikumsalam."
Suara rendah nan berat namun cukup tegas itu hampir membuat harsa melonjak kaget. tatapannya langsung tertuju pada pria yang tengah duduk di depa meja sambil menatapnya sesaat.
Ini pertama kalinya pemilik mata bulat dengah iris coklat terang menatap pria pemilik mata teduh.
"mas abi."
spontan harsa memanggil nama pemuda yang tengah duduk menatap. Dia sedikit tak percaya jika yang duduk disana adalah mas abi-nya. sudut bibir gadis itu tersenyum, menarik sebagian pipinya hingga menimbulkan dua lesung pipit.
gus abid segera memotong kontak mata setelah menyadari pandangannya pada gadis kecil yang sudah tumbuh menjadi remaja.
"duduklah sa."
Harsa melangkah pelan, kini pandangannya tertunduk menghadap lantai. Dia sadar, kondisi saat ini berbeda, jika dulu dia akan meloncat-loncat dan berlari memeluk gus abid. saat ini dia harus menjaga marwahnya sebagai perempuan.
Dada harsa rasanya ingin meledakan kebahagaikan, bagaikan sekuntum mawar yang bertebaran.
Harsa segera duduk di kursi yang langsung menghadap gus abid, hanya meja yang menjadi penghalang mereka. dia tersenyum manis, tak hentinya menyiratkan perasaan bahagia yang amat dalam.
"kamu tahu mengapa kamu dipanggil?. " tanya gus abid tegas, namun sedikit ada kelembutan.
Didepannya adalah harsa, gadis yang tumbuh bersama dengannya dibawah asuhan ibunya.
harsa menggeleng. dia memang tidak tahu mengapa dia dipanggil ke kantor kepengurusan putri.
"Tadi malam pengurus putra melakukan penggeledahan, dan menemukan surat yang ditujukan kepada mu."
Harsa membulatkan matanya, keningnya mengkerut.
Didepannya gus abid menatap kearah jendela.
"terus kenapa mas?."
"dan tadi pagi pengurus putri juga menemukan surat di lemari mu."
pernyataan gus abid membuat harsa ingat tentang surat cinta semalam.
"aku gak pacaran."
Jawab harsa mantap. Dia menatap gus abid yang juga menatapnya, namun ekspresi pria didepannya menunjukkan ketidakpuasan akan jawabnya.
"lantas surat siapa yang kamu simpan di lemari mu?."
Harsa terdiam, dia berpikir keras untuk mencari jawabannya.
"itu..."
Harsa tak bisa berkata. matanya bergerak mengamati wajah gus abid.
"aku gak pacaran mas, memang itu surat dikirimkan ke aku, tapi aku gak membalasnya, sungguh..."
"tapi bukan berarti alasanmu dapat dipercaya harsa. siapa tahu santri itu membuang nya. umma dan abah pasti kecewa jika mendengar ini."
Harsa membulatkan matanya.
"tapi sungguh harsa gak pacaran mas."
"bukti sudah dibawa pengurus harsa. besok kalian akan di kenai takziran."
"mas abi gak percaya dengan ku!!."
kini suara harsa sedikit meninggi, menyimpan ke dongkolan yang amat sangat jelas terlihat dimata gus abid.
"sa, bukan begitu. tapi bukti..."
"ya, besok harsa akan terima takziran itu mas."
Harsa kecewa, ternyata pria yang dianggap tahu sifatnya itu tidak mempercayainya.
"kupikir mas abi tahu betul harsa..."
"sa,.."
Gus abid mendengus kesal. Sebenarnya dia tak ingin percaya, tapi bukti itu sangat jelas. memang pengurus tidak menemukan surat balasan dari harsa. namun pengurus putri menemukan surat-surat yang tidak hanya sedikit di lemari harsa.
Ah, ternyata selama ini adik angkatnya banyak yang melirik. gus abid sedikit kesal. Dari surat itu menunjukkan nama pria yang berbeda-beda.
"sebagai pembelajaran pagi santriwan dan santriwati, maka kamu akan ditakzir bersama tujuh santri putra."
Harsa bangkit dari duduk nya, dia sangat kesal atas tuduhan tak berdasar padanya itu.
"baiklah.." ucapnya, namun bibir kecil itu bergetar, harsa sangat kecewa dengan ketidak adilan yang diberikan padanya.
Harsa segera melangkah, namun ada sesuatu yang dia ingit ditengah langkahnya. dia kembali menoleh menghadap gus abid.
"selamat ya atas kelulusan S-3 nya mas."
ucap harsa ditengah dia menahan tangisnya.
Perkataan harsa mengingatkan gus abid tentang kondisi-nya saat ini.
"dek.."
Harsa yang akan pamit keluar mengangkat kepalanya.
"maaf..."
Entah mengapa gus abid ingin mengatakan hal itu, namun dia tak sanggup melihat mata coklat terang itu berkaca-kaca didepannya.
Namun lambat laun harsa pasti akan mendengar dari orang lain, jadi gus abid hanya ingin mengucapkan kata maaf tanpa harus menjelaskan.
"untuk?"
Tanya harsa, dia merasa tidak tenang, namun dia memilih berdiri ditempatnya.
"kamu bisa keluar sekarang..."
jawaban gus abid dengan wajah berpaling itu membuat harsa dilanda rasa kebingungan dan tanda tanya.
Harsa tak langsung pergi, dia masih berdiri menunggu penjelasan gus abid.
Hening, hanya deru nafas masing-masing. tiba-tiba harsa mengingat kembali gosip yang sering dibicarakan akhir-akhir ini. mengusik pikirannya, namun harsa mencoba menampiknya.
"apa benar mas akan menikah?."
Sebuah pertanyaan yang terlontar begitu saja dari bibir mungil yang menunggu jawaban.
Gus abid menghela nafas berat. dia masih memalingkan wajahnya pada harsa dan memilih diam.
"kamu bisa keluar sekarang dek..."
"apa itu benar?."
bukanya menuruti perintah, harsa malah mencerca dengan pertanyaan.
Gelagat tubuh dan wajah gus abid sudah memberikan jawaban bagi harsa, tapi gadis itu masih bersikukuh berdiri disana sebelum mendapatkan jawabannya secara langsung.
"Dengan siapa?."
pertanyaan kali ini sedikit bergetar. gus abid melirik adik angkatnya yang menatap dengan pandangan berkaca-kaca. Gus abid jadi ingat wajah harsa delapan tahun lalu.
gadis yang diam-diam menangis di belakang pesantren karena menangisi keberangkatannya ke kairo.
"harsa..."
"Mas minta maaf tidak bisa menepati janji itu.."
Brakkk...
Harsa mematung, air mata yang tadi menggunung di pelupuk mata itu terjun bebas ke pipinya. pandangannya pada gus abid bagaikan jendela buram. harapan lamanya yang dia nanti tiba-tiba retak, terhantam oleh ucapan pria yang begitu dia percaya.
harsa tersenyum pelan, namun giginya menggigit bibir bawahnya.
"Selamat mas."
Dua kata terucap dengan suara sendu itu menutup perbincangan mereka.
Harsa yang tadinya teguh berdiri di pijakan lantai dingin itu memilih berpaling pergi membawa retakan harapannya . dia berjalan cepat setelah keluar dari kantor.
"Dia kenapa?."
Tanya salah satu pengurus.
pengurus yang sempat melihat wajah harsa yang menangis itu hanya mengangkat bahu dan menggeleng.
Harsa tidak berlari, namun jalannya begitu cepat.
talita yang sedikit terlambat sampai ke kantor itu menghentikan langkahnya. dari jauh dia melihat sahabatnya sedang berjalan kearahnya denga air mata yang terus bergulir. tidak terisak, tapi talita tahu itu sangat menyakitkan.
"harsa."
ucap talita ketika harsa sudah dekat.
bruk.
tubuh talita bergoyang ketika tubuhnya di tubruk sahabatnya dengan keras.
"tata!!!..."
kini harsa memeluk talita dengan kuat.
talita seperti tidak bisa bernapas, namun dia memilih diam. di dekapan-nya harsa terisak.
"sesak.."
"iy, iya gue tahu... ayo kita ke kamar."
akhirnya talita membawa harsa ke kamar sambil merangkul wajah sahabatnya yang masih menangis itu.
talita tak ingin sahabatnya itu jadi tontonan santriwati lainnya yang memandang ke arah mereka.
"Apa neng harsa dapat takziran berat dari gus abid?." tanya meraka pada satu sama lainnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!