Bau tumisan sayur buncis dan ayam kecap memenuhi dapur kecil Alya, ia tampak sibuk menyiapkan makan malam untuk suaminya. Sesekali ia menyeka keringat di dahinya sambil mencicipi sedikit kuahnya di sendok.
“Ehm.. Enak,” ucapnya sendiri sambil mengangguk kegirangan.
Alya sedang menunggu kedatangan suaminya Reza dari kantor, pria yang sudah ia nikahi selama 5 tahun. Walaupun sudah lama menikah tetapi keduanya belum di karuniai buah hati, karena itu dari satu tahun yang lalu Alya rela resign dari pekerjaannya demi fokus untuk program kehamilan.
“Tumben hari ini Mas Reza pulang telat,” gumam Alya sambil melihat jam dinding di ruangan makan. Meski demikian ia tetap menunggu suaminya dan dengan senang hati menyiapkan makanan favorit suaminya seperti biasa, ia ingin rumahnya tetap hangat walaupun belum ada gelak tawa dan tangisan dari seorang anak.
Setelah beberapa saat, terdengar suara pintu depan terbuka dan derap langkah kaki yang terdengar tidak asing bagi Alya. Ia segera beranjak menghampiri pria yang ia tunggu sedari tadi itu.
“Sudah pulang Mas?” seru Alya sambil mengambilkan tas kerja Reza dan membantu membukakan jas suaminya itu. Alya memperhatikan gerak gerik suaminya, sepertinya ada sesuatu yang berbeda malam ini.
“Mas, mau makan sekarang? Aku sudah masak makanan kesukaan kamu,” ujar Alya.
Reza hanya tersenyum tipis dengan mimik wajah yang tidak biasa. Ia lalu duduk di ruang makan.
“Mas, kamu kenapa? Kelihatan nggak seperti biasanya Apa ada masalah di kantor?” selidik Alya sambil terus memperhatikan wajah suaminya.
Wajah Reza tampak cemas dan gugup ia juga tidak bersemangat seperti biasanya ketika melihat makanan kesukaannya tersaji di atas meja makan.
Reza hanya bergeming ia tidak bisa menjawab pertanyaan Alya. Ia hanya memandangi piring di atas meja tanpa menyentuh makanannya.
“Mas!” ujar Alya sekali lagi dengan suara agak keras.
“Hm.. Al, aku mau membicarakan sesuatu denganmu,” ucap Reza dengan suara dalam dan agak ragu.
Alya menggenggam sendok yang di pegangannya lebih erat. Darahnya seolah surut, tubuhnya membeku padahal Reza sama sekali belum mengatakan apa-apa, tetapi firasatnya berkata jika sesuatu yang akan dikatakan Reza adalah hal yang buruk.
“Maafkan Mas, Al. Mas, telah berkhianat kepada kamu,” ucap Reza sambil menundukan kepalanya ia tidak sanggup melihat ekspresi istrinya ketika mendengar kenyataan pahit itu. “Mas, sudah menikah secara siri dengan wanita lain,” lanjut Reza dengan mata yang berkaca-kaca.
Seketika dunia Alya seperti berhenti berputar dan tiba-tiba senyap. Seperti ada sesuatu yang menghujam jantungnya sehingga membuatnya merasakan nyeri di dada.
“Apa Mas?” Bisik Alya pelan sampai nyaris tidak terdengar oleh dirinya sendiri.
“Mas, sudah menikah secara siri dengan seorang wanita bernama Nadia. Mas, tidak bisa meninggalkan dia Al, karena saat ini ia tengah mengandung anak Mas. Mas, minta kamu terima dia dengan ikhlas yah Al,” Lanjut Reza tanpa memikirkan perasaan Alya yang saat ini sedang hancur.
Alya hanya bisa terdiam, matanya tidak berkedip. Kata-kata Reza tadi tidak bisa ia mengerti, butuh beberapa saat baginya untuk mencerna perkataan suaminya itu.
Bibir Alya menyeringai. “Ikhlas, katamu Mas! Kamu menyuruh aku untuk menerima dengan ikhlas! wanita mana Mas, yang bisa menerima hal ini dengan ikhlas!” Teriak Alya dengan suara yang bergetar sambil menatap tajam wajah Reza. Air mata Alya seketika tumpah.
Reza hanya tertunduk. “Maafkan Mas, Alya. Mas, tidak bermaksud menyakitimu, tapi ini sudah terjadi. Apalagi sekarang Nadia sedang mengandung anakku. Anak yang selama ini aku tunggu. Kamu tahu betul jika Mas ingin mempunyai seorang anak,” sahut Reza.
Tangan Alya bergetar sendok yang ia genggam sedari tadi ia pukulkan ke atas meja yang terbuat dari kaca itu sehingga menimbulkan suara yang nyaring dan memecah keheningan.
“Mas, apa kamu tidak bisa bersabar, aku ini sedang berusaha untuk mempunyai anak, kamu juga tahu jika aku sedang melakukan program hamil!” pekik Alya.
“Mas, tahu Alya tapi kapan? Sampai saat ini kamu belum hamil juga kan? Mas ini kerja dari pagi sampai malam untuk apa? Semuanya terasa sia-sia jika tidak ada kehadiran seorang anak,” balas Reza.
“Terus sekarang apa mau kamu Mas? Kamu tahu bukan aku bukan wanita yang bisa berbagi suami? Kalau Mas, ingin menceraikan aku silahkan Mas, aku akan terima,” ujar Alya dengan hati yang terluka.
“Mas, tidak akan menceraikan kamu Alya, kamu ini istri yang baik. Mas, yakin kamu bisa mengerti dan dapat menerima kehadiran Nadia,” ucap Reza yang terdengar sangat egois.
Alya kemudian berdiri dari kursinya, memandang dalam wajah suaminya, air matanya mengalir deras tanpa ia sadari.
“Aku ini bukan malaikat Mas, aku tidak sebaik yang kamu kira. Aku ini cuma perempuan biasa yang hatinya bisa hancur,” ujar Alya sambil terisak.
Reza hanya diam. ia tercekat dengan ucapan Alya tatapan nanar Alya menghujam ke dadanya membuat hatinya bergetar, tetapi bukan karena menyesal karena telah menyakiti Alya, tetapi karena ketakutan kehilangan istri yang baik seperti Alya, Ia tak pernah menyangka jika tindakan dan ucapannya akan melukai hati Alya sedalam itu. Ia kira, cintanya cukup untuk membuat Alya bertahan, meski kini cintanya telah terbagi.
“Alya... aku hanya menginginkan kehadiran seorang anak, kamu tahu betul hal itu, tetapi kamu belum mampu memberikan Mas seorang anak, jadi Mas mohon kamu tetap disisi Mas dan terima saja kehadiran Nadia dan calon anak Mas,” ucap Reza mencoba menjelaskan, tetapi kalimat itu justru membuat perasaan Alya makin sakit.
“Mas, kamu pikir hatiku ini terbuat dari baja sehingga kamu bisa semudah itu berpikir aku bisa menerima kehadiran gundi* itu dan anaknya? Ingat Mas aku yang mendukung kamu dan menemanimu dari nol," kata Alya dengan suara bergetar menahan emosi.
“Jaga ucapan kamu Alya! Dia bukan seorang gu*dik hina seperti yang ada pikiran kamu,” ujar Reza.
“Wanita seperti itu memang pantas disebut gu*dik Mas, mana ada wanita baik-baik yang tega merusak rumah tangga orang lain!” pekik Alya.
Reza menunduk. Dalam hatinya, ia tahu semua kata-kata Alya benar, Tetapi tetap saja Reza tidak bisa melepaskan Nadia. Perempuan yang bisa memberikan ia keturunan. Ia salah, ia tahu. Tapi sekarang, ia hanya ingin semuanya tetap utuh walaupun ia harus bertindak egois.
“Aku tidak sanggup berbagi Mas, Aku ingin dicintai sepenuhnya," lanjut Alya. "Aku ingin suami yang memegang ucapannya bukankah dulu Mas berjanji akan menjaga, mencintaiku dan hanya aku? Tapi sekarang apa kata-katamu ternyata bohong!"
Reza mendekat, mencoba menghampiri dan menggenggam tangan Alya, tapi perempuan itu dengan cepat menarik tangannya. Tangisnya semakin tumpah menandakan luka yang tak bisa sembuh hanya dengan kata maaf.
"Kalau kamu memilih untuk tetap dengan dia, aku mohon... lepaskan aku. Jangan paksa aku untuk hidup dengan berbagai suami dengan wanita lain.”
Reza akhirnya terdiam. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan. Di hadapannya, Alya berdiri seperti pecahan kaca rapuh tapi tajam. Dan dalam diam itu, keduanya tahu ada sesuatu yang patah dan tak akan pernah bisa kembali seperti semula.
Bersambung...
Bismillah. Assalamu'alaikum teman-teman. Author kembali lagi dengan judul baru semoga kalian suka. jangan lupa tinggalkan jejak kalian dengan cara like, subs dan komen... 🥰 bye.
Malam itu Alya mengunci diri di kamarnya, ia menangis sejadi-jadinya meluapkan amarah yang ada di dadanya. Ia sadar hal ini bukan kesalahan Reza sepenuhnya ada andil dari dirinya yang belum mampu memberikan anak untuk suaminya. Rasa sakit itu menjalar keseluruh tubuhnya membuat Alya lemah tak berdaya sampai ia tertidur lama di ranjangnya.
Keesokan paginya Reza begitu panik karena tidak melihat Alya keluar dari kamarnya semenjak pertengkaran kemarin. Di balik pintu kamar Alya suara Reza, memanggil-manggil nama Alya dengan keras. “Al buka pintunya!” teriak Reza sambil menggedor kencang pintu kamar Alya. “Buka sekarang atau Mas, dobrak pintu ini,” ancam Reza.
Alya mulai terbangun dari tidurnya, ia kemudian terduduk di ranjangnya lalu mengambil napas panjang dan berusaha menenangkan badai di dalam dadanya. Alya berjalan menuju meja riasnya Ia memandangi pantulan wajah di cermin, wajahnya tampak sembab dan penampilannya begitu berantakan seperti bukan Alya yang biasanya. ia tidak ingin terlarut dalam kesedihan. Sorot matanya kini penuh tekad ia tidak ingin tampak lemah. Cukup. Ini sudah terlalu lama selama 5 tahun ia memikul beban rasa bersalah atas sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa ia kendalikan.
Setelah merapikan penampilan kini ia siap untuk bertatap muka dengan Reza.
“Kamu tidak perlu mendobrak pintu ini Mas aku baik-baik saja,” ucap Alya dengan kepala tegak matanya masih merah tetapi dengan sorot mata yang tajam menatap Reza.
“Kamu tidak apa-apa Alya? Apa perlu kita ke rumah sakit,” tawar Reza.
“Tidak Mas, aku hanya butuh sendiri. Jika kamu ingin pergi silahkan. Aku tidak akan melarang. silahkan kamu bersama wanita itu,” ujar Alya tegas.
“Bukan seperti ini yang Mas mau Al,” ucap Reza serba salah. “Mas, hanya mau restu dari kamu Al, untuk menerima Nadia dan calon anakku.”
“Lupakan saja restu itu Mas, sampai kapanpun aku tidak akan sudi dimadu!” Balas Alya.
“Kamu jangan keras kepala seperti ini Alya. Jangan memaksaku berbuat kasar! Aku sudah berusaha berkata halus kepadamu tapi sikapmu malah tambah kurang ajar!” pekik Reza.
“Aku bersikap seperti karena kamu yang memulai Mas! Siang ini juga aku akan mendaftarkan surat cerai ke pengadilan!” balas Alya.
“Kamu ini dasar… ! Reza mengangkat tangan bersiap untuk melayangkan tamparan ke pipi istrinya itu. Tapi, ia segera tersadar dan tak jadi untuk melakukan hal itu. “Sudahlah lebih baik kita bicarakan lagi nanti,” ujar Reza lalu ia pergi meninggalkan Alya.
Sedangkan Alya yang sudah menyiapkan mental hanya bergeming ia berdiri mematung matanya tak berkedip ketika Reza bersiap akan menamparnya. Ketika Reza pergi, air matanya kembali tumpah karena ini untuk pertama kalinya Reza bersikap kasar padanya, ternyata pernikahan selama 5 tahun, tidak cukup baginya mengenal watak Reza yang sesungguhnya.
Reza memacu kendaraannya dengan cepat menuju ke sebuah apartemen. Untuk sementara ia pergi dari rumah Alya untuk menenangkan dirinya. Pertengkaran dengan Alya cukup menguras energinya ia tidak menyangka jika Alya akan melakukan perlawanan yang sengit atas keinginannya. Karena selama ini Reza mengenal Alya adalah sosok yang lemah lembut dan penurut. Biasanya apapun keinginan Reza, Alya pasti akan menuruti.
Setelah sampai di apartemennya Reza lalu membaringkan tubuhnya di atas sofa dan memejamkan matanya. “Mas, kamu sudah pulang?” bisik seorang wanita berambut panjang sebahu itu.
Reza hanya mengangguk. “Bagaimana Mas, apa mbak Alya bersedia menerimaku dan calon anak kita?” tanyanya dengan hati-hati.
“Tidak Nadia, Alya sangat marah sepertinya ia ingin menggugat cerai aku,” jawab Reza pasrah.
Seketika Nadia bersemangat ketika mendengar hal itu. “Lalu apa yang akan kamu lakukan Mas, apa kamu akan bercerai dengan Mbak Alya?”
“Tentu saja tidak, aku tidak akan pernah melepaskan Alya, walau bagaimanapun aku masih mencintai Alya,” tegas Reza.
Seketika raut wajah Nadia berubah kesal mendengar hal itu dari mulut Reza. “Tetapi Mas, dia tidak bisa memberikanmu anak seperti aku lihat aku Mas, aku ini sedang mengandung anakmu, anak yang kamu dan keluargamu tunggu-tunggu.”
Reza memandangi perut istri sirinya itu yang kini tampak buncit, lalu mengelus perutnya dengan lembut. “Iya sayang aku tahu, tapi kamu harus mengerti posisimu, dari awal aku sudah bilang jika kamu adalah yang kedua yang artinya kamu adalah istri cadangan untukku paham!” tegas Reza lagi.
“Aku tidak bisa terima Mas, aku juga ingin kejelasan dari statusku bukan hanya sekedar istri siri, aku juga ingin menjadi istri sahmu untuk melindungi status anakku,” Balas Nadia.
“Sudahlah kita jangan bahas masalah ini lagi. Kamu tunggu saja dulu, Alya pasti akan menerima kamu masalah statusmu kita bicara saja nanti aku ingin Istirahat dulu,” ujar Reza.
Nadia kemudian pergi ke kamarnya dan meninggalkan Reza yang sudah terlelap di sofa ruang tamu. Ia membuka ponselnya. Didapatkannya notif chat dari seseorang.
“Nadia, aku tunggu kamu di tempat biasa,” tulis seseorang itu.
“Siala* mau apa lagi manusia baji*ngan ini,” gumam Nadia kesal.
“Aku sibuk hari ini,” balas Nadia cepat.
“Aku tidak menerima alasan jika kamu tidak datang kamu akan tahu akibatnya,” balas orang itu lagi.
“Kurang ajar orang ini! dia terus saja mengganggu hidupku,” pekik Nadia.
Nadia mau tak mau harus menuruti perkataan orang itu karena kartu As nya dipegang olehnya. “Baiklah hanya sebentar aku tidak ada waktu,” balas Nadia.
Nadia akhirnya diam-diam dan tanpa sepengetahuan Reza bertemu dengan seseorang itu di sebuah kafe. Ketika dirinya tiba ke kafe itu, orang tersebut sudah menunggunya, ia sedang duduk manis di sudut kafe.
“Apa yang kamu inginkan kali ini?” ujar Nadia langsung.
“Kenapa harus terburu-buru sayang, aku kangen sama kamu ingin melihat wajah cantik kemu. Bagaimana keadaan anak kita dia sehat bukan?” tanya seorang pria itu sambil tersenyum senang.
“Jaga ucapan kamu Ryan! ini bukan anak kamu ingat itu!” pekik Nadia.
“Nadia…Nadia mau bagaimanapun kamu menyangkalnya anak yang ada dalam kandunganmu itu tetap anakku kita sama-sama tahu bukan,” tegas pria itu. “Well, seperti maumu kita langsung saja, aku mau kamu beri aku uang sepuluh juta, sekarang!” pinta Ryan.
“Apa? Gila yah kamu! Dari mana aku punya uang sebanyak itu hah! Kamu tahu bukan jika aku tidak bekerja!”
“Heh, Jangan kamu pikir aku ini bodoh Nadia aku tahu kamu menjadi simpanan seorang bos kamu pikir aku tidak tahu! Bahkan aku juga tahu jika kamu mengakui anak itu sebagai anaknya. Ayolah pasti kamu punya banyak uang bukan! Jangan pelit kepadaku kita sama -sama untung bukan.”
Kali ini Nadia tidak bisa berkutik, rahasia besarnya ternyata diketahui oleh mantan pacarnya itu.
“Baiklah, tapi dengan satu syarat!” ucap Nadia.
“Apa?” jawab Pria itu penasaran.
“Aku mau ini menjadi yang terakhir setelah itu aku minta kamu pergi jauh dari hidupku paham!”
“Baik jika itu maumu, aku bisa secepatnya pergi jika kamu memberikan aku uang itu sekarang juga!”
Tiba-tiba dering ponsel Nadia berbunyi, ia melihat nama Reza di layar ponselnya. Nadia seketika panik karena ia tidak berpamitan untuk keluar kepada suami sirinya itu.
Bersambung....
jangan lupa tinggalkan jejak kalian dengan cara like, subs dan komen... Bye🥰
“Ha..halo, Mas Reza,” ucap Nadia pelan.
“Kamu dimana Nadia? kenapa kamu keluar tidak pamit kepadaku padahal aku sedang ada di rumah!” Pekik Reza.
“A..Aku sedang di minimarket Mas, tadi aku mau pamit sama kamu, tapi kamu sedang tidur pulas aku jadi gak tega buat bangunin kamu,” ucap Nadia berbohong, dengan nada bicara yang dibuat manja.
“Kalau begitu cepat kamu pulang jangan terlalu capek. Aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada anakku aku tunggu kamu di rumah!”
“Iyah Mas, aku pulang sekarang yah,” ucap Nadia lalu segera menutup teleponnya.
Ryan tersenyum sinis ketika mendengar kebohongan Nadia kepada Reza. “Kamu memang pembohong ulung Nadia aku angkat topi untuk mu.”
“Sudahlah jangan ikut campur urusanku. Aku sudah transfer uang itu. Aku harap ini pertemuan terakhir kita,” Tegas Nadia lalu pergi meninggalkan Ryan di kafe itu. Sementara Ryan tersenyum puas karena berhasil mendapatkan uang secara cuma-cuma dari mantan kekasihnya itu.
****
Dengan hati yang mantap Alya memacu kendaraannya menuju pengadilan agama, sedari malam ia sudah menyiapkan berkas-berkas untuk pengajuan gugatan cerainya.
Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit akhirnya ia sampai di tempat itu, ia menatap nanar gedung yang berada di hadapannya, tidak pernah terbayangkan olehnya jika pernikahannya akan berakhir seperti ini. Hatinya dibuat hancur berkeping-keping oleh pria yang paling ia percayai.
“Bismillah,” ucap Alya mantap. Lalu ia melangkahkan kakinya untuk masuk ke ke gedung itu. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan melewati pintu masuk pengadilan, ponselnya tiba-tiba saja berdering ia melihat nama sang ibu di layar ponselnya dengan cepat ia lalu mengangkat panggilan tersebut.
“Assalamu'alaikum Bu,” jawab Alya pelan.
“Mbak Alya ini Rahma Mbak!” ucap Rahma terdengar panik.
“Loh, Rahma ada apa? Kok, kenapa kamu panik begitu?” tanya Alya.
“Ini Mbak Ibu.. Ibu pingsan sampai sekarang belum sadar, Rahma sekarang sedang ada di IGD rumah sakit. Mbak kesini sekarang yah,” pinta Rahma panik.
“Astaghfirullah, iya Rahma Mbak kesana sekarang yah tunggu Mbak,” ucap Alya.
Tanpa pikir panjang, Alya langsung berbalik arah. Ia menunda rencana untuk mengajukan gugatan cerai terhadap Reza. Tiba-tiba emosinya terhadap perceraian seolah menguap, digantikan oleh rasa cemas luar biasa akan keadaan ibunya. Ia berlari menuju mobil, menggenggam erat berkas-berkas cerai yang kini terasa tak lagi penting. Hatinya berdegup kencang seolah hal buruk akan terjadi.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, pikiran Alya sangat kacau. Ia terus Berpikir hal yang macam- macam rasa takut kehilangan ibunya menjalar keseluruh tubuh “Bagaimana jika aku kehilangan Ibu, Satu-satunya orang tempat ku bersandar, siapa lagi yang akan menguatkanku dalam titik terendahku ini,” batin Alya sampai tak terasa air matanya tumpah.
Sesampainya di rumah sakit, ia segera menghampiri Rahma yang tengah cemas sedang duduk gelisah di ruang tunggu rumah sakit.
“Rahma,” panggil Alya.
“Mbak Alya. Mbak Ibu Mbak,” ucapnya cemas.
“Bagaimana keadaan Ibu sekarang Rahma?” Tanya Alya.
“Ibu sedang di periksa Dokter Mbak, belum tahu apa yang terjadi,” jawab Rahma.
Di sinilah titik balik hidup Alya dimulai. Di sela harap dan doa, ia mulai mempertanyakan apakah perceraian adalah satu-satunya jalan. Dalam keadaan seperti ini ia tidak bisa berpikir tentang hal lain.
Saat ini Alya dan Rahma tengah harap-harap cemas matanya terus menatap pintu yang bertuliskan “IGD”. Yang tepat berada di hadapan mereka.
Setelah beberapa saat, seorang Dokter pria paruh baya menghampiri Alya dan Rahma dengan raut wajah yang serius.
"Kalian keluarga Bu Meta?" tanya dokter itu.
Alya dan Rahma segera berdiri. "Iya, saya putrinya,” Jawab Alya. “Bagaimana kondisi ibu saya, Dokter?"
"Maaf Bu, Ibu Meta rupanya mengalami pendarahan hebat di otak. Kami harus segera melakukan operasi sebelum kondisinya semakin memburuk. Keadaannya tidak bagus, tetapi kami butuh persetujuan keluarga secepatnya dan hal ini juga akan membutuhkan banyak biaya yang cukup besar." Kata Dokter itu.
Alya dan Rahma seketika lemas. Tangannya gemetar saat menerima formulir dari Dokter itu “Berapa besar, biayanya Dok?” tanya Alya gematar.
“Sekitar 150 juta rupiah. Bisa lebih tergantung kondisi selama operasi,” jawab Dokter itu.
Dunia seolah runtuh. Tabungan Alya tidak cukup. Ia bingung, tidak tahu harus minta tolong kepada siapa. Ia berpikir sejenak memikirkan solusi terbaik dan yang terpikirkan oleh Alya saat ini adalah hanya sang suami Reza.
Dengan berat hati, ia mengeluarkan ponselnya dan menekan nama yang sebenarnya sangat ia hindari. Tak butuh waktu lama, suara bariton dari pria itu terdengar dari seberang sana.
"Ada apa, Al?" Tanya Reza tegas.
“Mas…begini Ibuku sekarang koma, beliau mengalami pendarah otak dan harus dioperasi sekarang. Aku butuh bantuanmu Mas, untuk biaya operasi Ibu. kamu bisa pinjami aku uang dulu sekitar 150 juta” ucap Alya dengan suara bergetar menahan tangis.
Keadaan Sunyi sejenak. Sepertinya Reza sedang berpikir terlebih dahulu sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Alya.
“Baik Alya, Mas akan bantu kamu, tapi ada syarat yg harus kamu penuhi,” ujar Reza pelan namun tegas. “Mas minta kamu batalkan gugatan cerai itu dan Terima kehadiran Nadia. Mas, janji akan bersikap adil kepada kalian berdua dan tidak akan ada yang berubah dari hubungan kita.”
Alya hanya terdiam, ia tak menyangka dalam keadaan genting seperti ini Reza malah bernegosiasi dengannya. Hatinya mencelos. Ini seperti menukar harga dirinya demi nyawa ibunya. Tapi di titik ini, apalagi yang bisa ia lakukan? tentu saja tidak ada pilihan lain demi nyawa ibunya.
“Pikirkan cepat, Alya. Waktu Ibu kamu tidak banyak,” ucap Reza sebelum ia akhirnya menutup telepon untuk memberikan Alya waktu untuk berpikir.
Alya menatap langit-langit rumah sakit. Air matanya jatuh satu persatu. Perjuangannya untuk keluar dari luka kini bersanding dengan nyawa orang yang paling ia cintai.
Dengan tangan gemetar dan hati yang seolah remuk, sekuat tenaga Alya berusaha tegar lalu Alya menekan nomor Reza kembali. Ia menunggu beberapa detik yang terasa seperti setahun itu hingga pria di seberang sana akhirnya menjawab telepon darinya.
“Hallo Al, bagaimana keputusanmu?” Tanya Reza.
“Baik Mas, Aku setuju…” ucap Alya lirih.
“Pilihan yang bagus Alya kamu tidak akan menyesal sayang?” ucap Reza tanpa rasa empati.
“Aku setuju, untuk membatalkan gugatan cerai itu aku juga akan terima kehadiran Nadia,” ucapnya pelan tapi jelas. “Asal kamu bantu biaya operasi Ibu sekarang juga Aku butuh secepatnya uang itu,” jelas Alya.
“Baik,” jawab Reza cepat. “Aku transfer sekarang tunggu beberapa detik akan aku kirim uangnya ke nomor rekening kamu,” ucap Reza sambil mengakhiri percakapan telepon.
Setelah menunggu beberapa saat ia mendapatkan notif transfer uang di mobile bankingnya.
“Bagaimana ini Mbak, uang kita tidak cukup untuk biaya operasi ibu,” isak Rahma putus asa.
“Kamu tenang yah Rahma, Mbak sudah dapat uangnya kamu tunggu saja sini.”
Alya lalu dengan segera menyerahkan berkas dan data ke bagian administrasi rumah sakit. Dokter langsung bersiap. Dalam waktu singkat, lalu ibu Alya langsung dibawa ke ruang operasi.
Alya dan Rahma terduduk lemas di kursi tunggu, menatap kosong ke ruangan operasi ibunya. Rasanya seperti ia baru saja menjual harga dirinya, tetapi demi ibu, orang yang telah membesarkannya sendirian itu, orang yang selalu ada saat dunia meninggalkannya ia rela mengorbankan apa saja walaupun harus kehilangan harga dirinya di depan Reza.
Beberapa jam kemudian, lampu ruang operasi mati. Dokter keluar dengan wajah penuh peluh. Dengan perlahan ia menjelaskan keadaan Bu Meta kepada Alya dan Rahma.
“Operasi berhasil, tetapi Bu Meta masih dalam pengawasan ketat untuk beberapa hari ke depan.”
Alya menunduk, menangis dalam hati. Di tengah rasa syukurnya, terselip luka yang harus ia tanggung. perjanjian dengan Reza membuat batinnya terasa sesak.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!