NovelToon NovelToon

CINTA YANG TAK TERLUPAKAN.

PERDEBATAN.

Di perusahaan kontruksi.

Dilantai dua delapan, dan disalah satu ruangannya, tampak beberapa orang sedang duduk mengelilingi sebuah meja yang berukuran panjang. Tampaknya mereka sedang mengadakan rapat besar. Dan tampak juga diantara mereka terlihat sedang berseteru.

"Kak Barra yakin kalau tanah itu tidak bermasalah? Dan apakah Kakak juga sudah menyelidiki perusahaan itu, hm?" Tanya seorang pria yang berjaskan warna navy. Ia terlihat begitu tenang dan santai.

Pria yang di sebut Barra pun menyunggingkan senyuman sinis pada pria berjas navy tersebut."Kamu tidak percaya dengan Kakakmu ini Airil?" Aryan balik bertanya pada pria itu yang ternyata ia Adalah Chairil Rafqi Alfarazel, yang biasa di panggil Airil oleh keluarganya sendiri.

"Aku bukan ti..." Balas Chairil, namun belum selesai lagi ia menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba Saja Aryan memotongnya.

"Aaah... Tidak penting Mendengar pendapatmu." Potongnya seraya ia mengibaskan tangannya. Setelah itu pandangannya berpindah pada pria paruh baya yang sepertinya ia adalah direktur utama di perusahaan tersebut. Itu jelas tertulis di sebuah papan nama yang ada di hadapannya. Dan papan itu bertuliskan: Direktur Utama Andara Alfarazel

"Pah ini proyek terbesar, sayangkan kalau kita melewatinya begitu sajakan? Jadi Papah harus mendukung Barra dan kalau proyek ini berhasil. Papah harus menjadikan Barra wakil direktur yaa Pah?"

Barra tampak begitu antusiasnya menerangkan proyek yang ingin ia tangani. Namun semua orang yang berada disana tidak begitu menanggapinya. Mereka hanya memperlihatkan wajah datar saja. Termasuk Andara, ayahnya sendiri.

"Barra, kamu jangan terlalu berambisi dengan proyek itu. Dan Papah tidak setuju kamu mengambil proyek itu. Sebab Papa sudah mendapatkan laporan, bahwasannya perusahaan itu sedang bermasalah. Ditambah lagi tanah yang mereka ajukan sedang bermasalah juga. Makanya Papa tidak..." Ujar Andara. Namun lagi-lagi Aryan berani memotong perkataan sang ayah.

"Aahh... Papa memang selalu begitu! Selalu mendengar perkataan Airil Kan. Dan pasti yang orang yang melapor Dia Jugakan?!" Potongnya dengan nada suara terdengar keras. Ia terlihat amat kesal sekali pada Adiknya itu.

"Kak tenangkan diri kamu! Papa dan Kak Airil bermaksud menyelamatkan kamu kak. Karena kalau Kakak terlibat dalam proyek itu, bukan Kakak saja yang hancur. Tapi perusahaan kita akan ikut hancur Kak." Ujar pria muda yang sedang duduk di sebelah kursi Barra.

"Aaah... Diam kamu Dhafi! Jangan ikut campur!" Bentak Barra tampak begitu emosional. "Hah, sudahlah kalau Papah tidak mau mendukung Barra. Tapi jangan halangi bila ada para pemegang saham disini mau mendukung Barra. Gimana Pah?"

Setelah mendengar perkataan putra pertamanya, Andara hanya memberi kode lewat tangannya mempersilahkan Barra, untuk berbicara pada para pemegang saham yang terlihat dari tadi mereka hanya terdiam dan hanya menyaksikan perdebatan antara Ayah dan anak-anaknya saja. Setelah mendapatkan persetujuan dari Sang Ayah, Barra pun mengambil sebuah File, berwarna hitam. Lalu ia mengeluarkan beberapa kertas putih dari dalamnya.

"Para pemegang saham yang terhormat, sebelum saya menerangkan proyek ini, ada baiknya kalian lihat dulu keuntungan yang akan kita peroleh. Jadi untuk itu sebaiknya kalian lihatlah dulu." Kata Barra, sambil ia membagi-bagikan kertas putih itu kepada semua yang hadir di sana. Dan beberapa saat kemudian.

"Gimana cukup besar bukan? Jadi sekarang apakah kalian berminat?" Tanya Barra yang kembali tampak berantusias.

"Maaf Barra, kami tidak ada yang berminat. Karena kami sudah pada tahu kalau perusahaan itu sedang bermasalah." Balas salah satu dari mereka. Hal itu membuat Barra langsung terdiam.

"Apakah kamu sudah puas, setelah mendapatkan jawaban dari mereka Barra?" Tanya Andara. Namun hanya dibalas dengan lengusan saja oleh Barra. "Baiklah, kalau begitu Rapat dibubarkan!" Kata Andara lagi, seraya ia bangkit dari duduknya. Dan sebelum ia melangkah pergi. "Airil! Ayo ikut keruangan Papa!" Katanya lagi pada Chairil.

"Baik Pah!" Chairil pun ikut bangkit dari duduknya, lalu ia pun mengikuti Andra dari belakang meninggalkan ruangan rapat tersebut. Sedangkan Barra dan Dhafi masih terlihat diposisinya masing-masing dan hanya menyaksikan para pemegang saham yang meninggal ruangan itu satu persatu.

"Ah, lelahnya. Setiap rapat selalu saja menyaksikan perdebatan mereka ya?" Bisik salah satu dari mereka.

"Ya begitulah, tapi untungnya hari ini Pak Airil sudah memberitahu kita. Tentang proyek yang ditangani Pak Barra. Kalau tidak mungkin kita akan mendapatkan masalah juga." Bisik dari salah satu dari mereka juga. Dan ternyata bisikan mereka terdengar oleh Barra dan juga Dhafi.

"Cih! Bangsat Kau Airil! Kau selalu saja menggagalkan rencanaku!" Hardik Barra tampak begitu geram.

"Kak, jangan terbawa emo..." Kata Dhafi yang tampaknya ia bermaksud ingin menenangkan Kakaknya. Namun langsung di potong oleh Barra.

"Aaah... Diam kamu!! Sudah ku bilang jangan ikut campur!!" Katanya seraya ia bangkit dari duduknya dan langsung pergi begitu saja meninggalkan Dhafi yang terlihat hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Haiiis... Kenapa Kak Barra makin lama, makin menyeramkan begitu ya? Ah sudahlah lebih baik Aku keruanganku saja." Gumam Dhafi, yang akhirnya ia pun meninggalkan ruangan rapat itu juga.

____________________

Sementara itu di ruangan Barra.

"Berengsek!! Rencana gua gagal semuanya!" Geram Barra, Ia masih terlihat amat kesal, bahkan ia sampai melempar file-file yang ada di atas meja kerjanya. "Hm... Kalau terus-terusan begini, Papah pasti akan menjadikan Dia sebagai wakil direktur!" Gumamnya, tampak gelisah.

"Aah... Itu tidak boleh terjadi, gue harus mengambil tindakan!” gumamnya lagi dan ia pun langsung mengambil handphonenya dari saku jasnya. Lalu ia pun membuka hp tersebut dan langsung mencari kontak. Dan tak berapa lama kemudian.

"Halo? Apakah hari ini Airil sudah mendatangi proyeknya?" Tanyanya pada seseorang yang ada di sebrang.

"Belum Bos!" Jawab orang diseberang.

"Bagus! Kalau begitu buat dia mengalami kecelakaan di proyeknya! Kalau bisa sampai mampus! Kamu pahamkan maksud gue hah?!"

"Paham Bos!"

"Bagus! Kalau begitu cepat kerjakan sekarang juga!" Setelah mengatakan kalimat terakhirnya Barra langsung mengakhiri panggilannya. Setelah itu ia pun tersenyum sinis.

"Heh... Sekarang gue tinggal menunggu kabar tentang kematian Lo Airil. Ah... Adikku tersayang seandainya Kau tidak mengusik rencana gua. Mungkin ini tidak akan terjadi. Ya semoga kau mau memaafkan kakakmu ini!"

Bersambung.....

\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*

Bismillah... Semoga Novel ini membawa berkah bagi pembuat dan pembacanya Aamiin. Dan jangan lupa berikan dukungannya ya guys. Syukron.

PERGI KE PROYEK.

Diruangan Direktur Utama.

Tampak Andara dan Chairil sedang duduk saling berhadapan. Tampaknya mereka sedang mendiskusikan sesuatu yang amat serius. Dan itu sangat terlihat jelas dari raut wajah keduanya.

"Hah...! Papah, bingung menghadapi kakak kamu, yang semakin lama semakin haus akan kekuasaan. Gimana kalau nanti Papah mati? Apakah kalian akan saling membunuh?" Keluh Andara, dengan wajah yang terlihat begitu sendu.

"Papah ngomong apa sih? Jangan berkata yang menyeramkan seperti itu Pah. Kasihan Mamah kalau Papah pergi begitu cepat. Pokoknya mulai sekarang Papah cukup jaga kesehatan Papah saja. Selebihnya biar Airil yang akan menanganinya. Termasuk persoalan Kak Barra." Ujar Chairil dengan wajah yang tampak serius.

Mendengar perkataan putra keduanya, Andara langsung bernapas lega. "Huuhf... Kalau begitu Papah jadi merasa lega. Kamu memang selalu menjadi andalan Papah." Katanya sambil tersenyum lembut.

"Sudahlah Pah. Sebaiknya Papah sekarang istirahat saja dirumah. Biar urusan dikantor Airil yang handle."

"Eh, benaran nih Papah di izinkan pulang hm? Tapi bukankah tadi Papah dengar kamu mau pergi ke proyek ya? Apakah tidak jadi perginya?"

Mendengar pertanyaan sang ayah Chairil langsung melihat jam. "Ah iya! Kenapa Airil bisa lupa yaa?" Katanya seraya ia bangkit dari duduknya. "Maaf Pah sepertinya hari ini istirahat Papa ditunda dulu ya. Soalnya proyek tidak bisa Airil tunda." Katanya lagi seraya ia bergegas keluar dari ruangan sang ayah dengan langkah yang tergesa-gesa.

"Huh! Dasar anak plin-plan baru juga dibanggakan. Eeeh malah kabur dia!" Gerutu Andara, sambil memandang kepergian putra keduanya. "Hah, sudahlah lebih baik ku kerjakan sendiri saja! Memang hanya diri sendiri yang bisa diandalkan." Gumamnya lagi sembari ia membuka salah satu file yang ada di atas meja kerjanya. Dan ia pun mengerjakan semua yang sudah menjadi tugasnya.

*****

Sementara itu di sisi lain.

Chairil yang tadi berjalan begitu tergesa-gesa kini sudah berada di dalam lift bersama asistennya. "Rendi, apakah kamu sudah memberitahu Mang Ardi?" Tanyanya pada Asistennya yang dipanggil Rendy itu.

"Sudah Bos! Mungkin sekarang beliau sudah menunggu di depan." Balas Rendi.

"Bagus! Oh ya, apa semua berkas yang diperlukan sudah dibawa?" Tanyanya lagi.

"Sudah juga Bos!" Balas Rendi, seraya ia menepuk tas yang ia bawak. Dan secara bersamaan, pintu lift pun terbuka.

Chairil dan asistennya pun segera keluar dari lift, lalu langsung berjalan menuju ke pintu lobby. Dan ternyata didepan pintu Lobby sudah ada sebuah mobil hitam, sedang menunggu mereka. Bahkan pintu mobilnya sudah dibukakan oleh seorang pria paruh baya.

"Selamat siang Den." Kata pria paruh baya tersebut sambil membungkukkan tubuhnya sedikit.

"Siang juga Mang Ardi." Balas Chairil, seraya ia masuk ke dalam mobilnya. Dan setelah bosnya masuk, Rendi pun ikut masuk dan duduk di kursi depan disamping bangku pengemudi.

Setelah keduanya sudah masuk ke mobil, pria yang di panggil Mang Ardi pun ikut masuk dan duduk di bangku pengemudi. Tak berapa lama kemudian Ia pun mulai melajukan mobilnya dengan perlahan. Namun belum lagi memasuki jalanan raya...

"Mang, berhenti dulu!" Titah Chairil membuat Ardi maupun Rendy sedikit terkejut.

"Baik Den!" Balas Ardi dan dengan spontan ia pun menghentikan mobilnya.

"Ada apa Bos?" Tanya Rendi terlihat penasaran.

"Gue baru ingat, kalau hari ini pihak dari group CkH akan datang. Nah Lo kan tau sendiri, kalau Kak Barra selalu ingin merebut klien-klien gua. Jadi sebelum itu terjadi, sebaiknya Lo yang menemui mereka. Dan kalau mereka mau, bawa mereka ke proyek biar mereka lihat sendiri gimana hasil kerja kita." Balas Chairil

"Hmm... Emangnya jam berapa sih mereka akan datang?" Tanya Rendi lagi, tampak ada keraguan.

"Itu yang gue nggak tau, tapi mungkin sekitar habis makan siang."

"Hm, kalau gitu apa tidak sebaiknya kita menunggu mereka saja Bos?"

"Tidak bisa! Karena gue harus secepatnya ke proyek. Soalnya gua merasa ada yang aneh disana." Jelas Chairil.

"Nah itu dia Ril, gua juga merasa ada yang aneh, ketika kita terakhir kesana, terutama para pekerjanya. Gue rasa para pekerjanya banyak yang diganti. Tapi kok gue nggak ada pemberitahuannya ya?" Balas Rendi, yang sebenarnya ia adalah sahabat dengan Chairil.

"Apa iya ya? Ah sudahlah, pokoknya Lo handle ya dikantor, gua diproyek. Sekalian gua mau memastikan apa yang Lo katakan tadi." Kata Chairil.

"Tapi gue khawatir membiarkan Lo sendiri. Soalnya perasaan gue nggak enak nih." Balas Rendi, yang wajahnya jelas mengkhawatirkan sahabatnya itu.

"Lo nggak usah khawatir, nanti gua sama Mang Ardi kok. Lagian Lo kan kalau Mang Ardikan guru bela diri gue." Jelas Chairil.

"Baiklah kalau begitu, tapi tetap Lo hati-hati ya."

"Iya! Udah sono Lo turun!" Bentak Chairil.

"Iya iya galak banget sih." Balas Rendi, seraya ia membuka pintu mobilnya dan ia pun turun dari mobil Chairil. "Mang, jagain Airil ya?" Katanya lagi sebelum menutup pintu mobilnya.

"Baik Den Rendi. Insyaallah Mamang jagain kok Den Airilnya" balas Ardi, sambil tersenyum lembut.

Setelah mendengar balasan Ardi, Rendi pun menutup pintu mobilnya. Dan tak berapa lama kemudian, mobil pun kembali melaju meninggalkan Rendi yang masih terlihat berdiri di tempatnya sambil memperhatikan kepergian mobil Chairil. Sedangkan didalam mobil...

"Mang sebaiknya nanti kita dari belakang saja ya? Soalnya saya ingin menyelidiki sesuatu" kata Chairil, seraya ia membuka jas dan dasinya. Setelah itu ia mengambil jaket Kulit yang berwarna hitam yang selalu ia bawa di dalam mobilnya.

"Baik Den." Balas Ardi dengan mata yang tetap fokus kedepan.

Setelah satu jam berlalu, akhirnya mereka sampai di area sebuah gedung dengan pembangunan yang belum jadi. Dan sesuai keinginan sang majikannya, Ardi pun memarkirkan mobilnya di belakang bangunan tersebut. Setelah mobil terparkir dengan sempurna mereka pun langsung turun dari mobil.

"Ayo Mang, kita dari sana saja. Kayaknya tidak ada orang disana." Ajak Chairil sambil menunjuk jalan kecil untuk memasuki area pembangunan.

"Baik Den." Balas Ardi, dan Ia mengikuti Chairil dari belakang. "Hati-hati Den! Banyak besi-besi tajam disana." Ujar Ardi.

"Ah, iya Mang. Mamang juga hati-hati." Balas Chairil. Dan mereka akhirnya masuk ke area pembangunan. Namun belum lagi mereka memasuki bangunan tersebut, tiba-tiba sebuah benda dari atas melayang kebawah. Dan Ardi yang melihatnya langsung berteriak.

"Awaaas Den Airil!!" Teriak Ardi seraya ia mendorong tubuh Chairil dengan cepat. Sehingga Chairil terpental jauh. Sedangkan dirinya langsung terjatuh dengan posisi telungkup dan...

JELBB!!

"Aaakh!!"

 

Jangan lupa tinggalkan jejaknya dengan, Bintang, Vote, Like, dan komentar. Syukron 🙏🏻.

KEPANIKAN CHAIRIL.

Chairil terpental cukup jauh, akibat dorongan yang cukup kuat dari Ardi. Untuk sesaat ia belum menyadari situasi yang terjadi. Sebab tubuhnya sempat terbentur oleh dinding bangunan tersebut. Hingga akhirnya ia mendengar suara teriakkan Ardi.

"Aaakh !!" Dan seketika itu juga ia menolehkan wajahnya ke sumber suara. Dan terlihatlah olehnya, Ardi yang sudah bersimbah darah akibat sebuah besi yang menancap di punggungnya.

"Mang Ardi!! Mang Ardi!!" Teriak Chairil. Lalu ia pun berlari menghampirinya. "Bertahanlah Mang! Aku akan memanggil ambulans! Jangan tidur ya Mang!" Katanya sambil ia mengambil benda pipih yang ada di saku jaketnya. Dan ia pun langsung menghubungi pihak rumah sakit. Ia tampak begitu panik melihat keadaan supirnya yang lumayan parah itu.

Melihat kepanikan Chairil, Ardi pun meraih tangan Chairil. "D-den... Sa-saya tidak papa. A-aden tidak apa-apakan? Maaf ta-tadi Mamang terlalu kuat me-mendorong Aden ya? A-apakah a-ada yang ter-luka Den?" Tanyanya, dengan suara yang tertahan seperti sedang menahan sesuatu.

"Sudah seperti ini, Mamang masih mengkhawatirkan orang lain hah?!" Kata Chairil membentak. "Ah! Maaf Mang saya panik."katanya lagi terlihat merasa bersalah. Lalu ia meraih tangan Ardi. "Saya baik-baik saja Mang. Terimakasih sudah menyelamatkan saya."

"Hms... I-itu sudah kewajiban sa-saya Den." Balas Ardi masih menahan rasa sakitnya. "Huk... Huk...brus..."

Chairil semakin panik, setelah ia melihat Ardi menyemburkan darah dari mulutnya setelah terbatuk. "Ah, Mang Ardi?! Mang saya mohon bertahanlah!" Pintanya. Dan di saat bersamaan, beberapa pria berseragam polisi datang menghampiri mereka. Tampaknya tadi Chairil menyempatkan diri untuk menghubungi pihak berwajib.

"Ada apa ini Ril? Apa yang terjadi pada Mang Ardi? Mengapa dia jadi seperti ini?!" Tanya salah dari mereka.

"Jangan tanya gua dulu Danu! Gua juga nggak tahu! Cepat Lo cari bantuan!" Balas Chairil, yang tampangnya semakin panik. Sebab ia melihat Ardi sudah tidak sadarkan diri.

"Ah, sorry baiklah." Balas pria berseragam yang di panggil Danu itu. Dan ia pun bermaksud menyuruh salah satu anak buahnya. Namun disaat bersamaan terdengar suara serini ambulance. "Ril, sepertinya ambulance datang!" Katanya. Dan benar saja, tak berapa lama kemudian mobil ambulans datang mendekati mereka.

Setelah mobil berhenti para petugas kesehatan langsung membawa brankar untuk membawa Ardi. Setelah Ardi dibawa oleh mobil ambulans, Chairil langsung menghampiri Danu.

"Dan, gua mau ke rumah sakit, jadi masalah disini gua serah sama Elo. Tolong selidiki, oke?" Pinta Chairil pada Danu yang ternyata ia adalah sahabat Chairil.

"Oke Ril. Lo memang harus kerumah sakit, obatin tuh lengan dan dahi Lo. Masalah disini nggak usah Lo pikirkan. Karena gua akan menanganinya sampai tuntas. Sekarang sebaiknya Lo pergi saja." Balas Danu seraya ia menepuk pundak Chairil.

Setelah mendapatkan balasan dari Danu. Chairil pun langsung pergi meninggalkan Danu berserta Anak buanya. Karena supirnya sedang terluka, akhirnya ia sendiri yang menyetirkan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit ia langsung menuju ke ruang operasi. Yang ternyata disana Rendi asisten, sekaligus sahabatnya sudah menunggu dirinya.

"Lo kok bisa ada disini? Siapa yang memberitahu Lo hah?" Tanya Chairil, tampak heran, dan curiga saat melihat sahabatnya itu.

"Lo kok curiga gitu sih ama gua? Gue disini tuh karena di kasih tau Danu tau!" Balas Rendi sedikit kesal karena dicurigai oleh sahabatnya sendiri. Namun saat ia melihat darah yang menetes dari tangan Chairil, ia pun menjadi khawatir. "Ril, Lo baik-baik sajakan?" Tanya Rendi seraya ia hendak memeriksa tangan Chairil. Namun baru saja ia menyentuhnya tiba-tiba saja Chairil...

"Aakh!!" Pekik Chairil merasakan sakit pada lengannya setelah disentuh oleh Asistennya. "Gua baik-baik saja!" Balasnya sembari ia mendorong tubuh Rendi.

"Apanya yang baik-baik saja hah?! Jelas-jelas Lo kesakitan saat gue nyentuh tangan Lo. Dan lihat tuh, darah Lo berceceran di lantai!" Protes Rendi yang merasa heran, karena Chairil tak biasa ia mengabaikan luka pada tubuhnya. "Sekarang sebaiknya Lo obatin dulu deh luka Elo. Lagian Mang Ardikan masih dioperasi. Pasti akan lama selesainya. Jadi ayo kita ke IGD dulu." Katanya lagi. Dan kembali lagi ia menarik tangan Chairil. Tapi kali ini ia menarik tangan yang sebelah kanannya. Sebab yang adalah tangan kirinya.

Chairil akhirnya mengikuti langkah Rendi menuju keruang IGD. Sesampainya di ruangan tersebut, Chairil pun langsung ditangani oleh salah satu dokter yang bertugas di sana. Selama proses pengobatan Chairil hanya diam saja, seperti ada yang ia pikirkan. Sehingga ketika dokter berbicara padanya tak ia hiraukan. Rendi yang melihatnya, langsung menyenggolnya.

"Ada apa sih?!" Tanya Chairil terdengar ketus.

"Aih... Kok marah? Tuh Dokter lagi ngomong sama Lo. Tapi Lo kok malah melamun sih." Balas Rendi seandanya.

"Ah, maaf Dok! Saya lagi nggak fokus. Tapi ada apa ya Dok?" Tanya Chairil pada Dokter yang terlihat masih membalut lukanya yang ada di lengannya.

"Tidak apa-apa Pak. Saya hanya mau memberitahu kalau luka di lengan anda ini cukup dalam dan sudah saya jahit. Jadi jangan sampai terkena air ya Pak." Ujar sang Dokter mengingatkan Chairil.

"Ooh, baik Dok saya akan mengingatnya. Apakah sekarang sudah selesai?" Tanya Chairil lagi terdengar datar

"Ya sudah selesai pak, saya tinggal menuliskan resep obat saja kok." Balas Sang Dokter dan bermaksud untuk menuliskan resep dimejanya.

"Ooh kalau begitu berikan saja pada asisten saya Dok." Kata Chairil, dan ia pun langsung keluar dari ruangan dokter tersebut. Membuat Rendi yang melihatnya langsung melongok.

"Haah... Eh... Main menyelonong baek tuh orang." Gerutu Rendi setelah kepergian sahabatnya itu. "Eh, maaf ya Dok, teman saya itu, lagi kacau pikirannya. Jadi ya seperti itu deh." Jelasnya lagi pada Sang Dokter.

"Iya tidak apa-apa, saya maklum kok. Oh iya, ini resepnya, dan jangan lupa tiga hari lagi, suruh beliau datang untuk menganti perbannya." Kata sang Dokter sembari ia menyerahkan secarik kertas putih pada Rendi.

"Baik Dok. Kalau begitu saya permisi."

"Silahkan Pak."

Setelah mendapatkan balasan dari sang dokter. Rendi pun meninggalkan ruangan itu juga. Dan ia langsung mengambil obat ke apotik. Setelah mendapatkan obat ia segera menghampiri Chairil, yang saat ini sudah berada didepan ruang operasi.

"Ril, sebaiknya Lo makan roti ini, biar Lo bisa langsung minum obatnya." Kata Rendi seraya ia menyodorkan sebungkus roti pada Chairil, yang sedang duduk di kursi tunggu.

"Nanti saja, gua lagi nggak nafsu!" Ketus Chairil sambil mendorong tangan Rendi. Disaat bersamaan pintu ruangan operasi terbuka. Melihat itu Chairil pun langsung bangkit dari duduknya. Dan ia pun menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruangan tersebut.

"Gimana keadaan pasien yang didalam Dok?" Tanya Chairil tampak begitu penasaran

"Kami sudah cukup berusaha Pak. Sekarang tinggal tergantung keinginan hidup dari pasien itu sendiri. Dan menunggu keajaiban dari tuhan. Untuk itu perbanyaklah berdoa ya Pak." Jawab sang Dokter. Membuat Chairil tubuh Chairil menjadi gemetar. Hingga tak bisa mengeluarkan kata-katanya lagi.

Karena Chairil tak hanya diam saja, sang Dokter pun pamit pada Rendi, yang berdiri di samping Chairil. "Kalau begitu saya permisi." Katanya lagi dan hanya di balas dengan anggukan oleh Rendi. Setelah itu sang Dokter pun berlalu meninggalkan mereka.

"Lo yang sabar ya Ril." Kata Rendi terlihat cemas, saat melihat sahabatnya yang semakin pucat wajahnya. Disaat bersamaan terdengar suara seorang pria memanggil nama mereka.

"Airil! Rendi!" Chairil dan Rendi langsung menoleh secara bersamaan.

"Papah?"

"Om Andara?" Gumam mereka secara bersamaan. Setelah melihat wajah pria itu, yang ternyata ia adalah Andara Ayah Chairil.

"Apakah Kamu baik-baik saja Nak?" Tanyanya, sambil memeluk tubuh Chairil. Namun baru saja ia memeluknya tiba-tiba saja tubuh Chairil terkulai lemas dan akhirnya tak sadarkan diri.

"Airil!!"

__________

Jangan lupa tinggalkan jejaknya ya guys. Syukron 🙏🏻

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!