NovelToon NovelToon

NIKAH KONTRAK, CINTA NYATA

BAB 1: Dunia yang Menyesakkan

Pagi itu, matahari nyaris tak terlihat di balik langit kelabu. Udara pengap masuk dari jendela retak di rumah kontrakan sempit yang nyaris rubuh itu. Di dalamnya, Elina berdiri diam menatap meja yang penuh dengan tumpukan kertas, semua bukan miliknya, tapi menghantuinya.

Surat tagihan listrik yang sudah tiga bulan belum dibayar. Air yang sebentar lagi diputus. Cicilan pinjaman yang berbunga gila, warisan dari kedua orang tuanya yang meninggal mendadak dua tahun lalu. Dan di antara semuanya, ada satu amplop yang lebih berat dari yang lain, berisi ancaman.

Tangannya gemetar saat membukanya.

"Jika tidak ada pembayaran minggu ini, kami akan mengambil alih barang-barang berharga Anda. Tidak ada negosiasi."

Napas Elina tercekat. Matahari belum tinggi, dan hari sudah terasa seperti malam yang panjang. Ia duduk perlahan di lantai dingin, membenamkan wajah di lututnya. Sebagai guru TK dengan gaji pas-pasan, ia tak bisa menutupi semua ini. Bahkan untuk makan sehari-hari pun, ia harus menghitung recehan. Kemarin, ia hanya makan roti kering yang disisakan murid-muridnya.

Pintu rumahnya diketuk keras.

Dug-dug-dug!

Elina terlonjak. Detak jantungnya melonjak lebih cepat daripada detik jam dinding. Ia melangkah pelan ke jendela, mengintip. Dua pria berdiri di luar. Yang satu berkacamata hitam, satu lagi merokok. Bukan tetangganya. Bukan teman. Ia tahu pasti siapa mereka.

Penagih.

Dengan cepat ia mematikan lampu dan menahan napas. Ini bukan pertama kali mereka datang. Minggu lalu, mereka memaki-maki dari depan rumah. Menyebut namanya. Menggedor pintu. Bahkan menyiramkan kopi basi ke dinding rumah.

Elina membeku, menunggu suara langkah mereka menjauh. Jantungnya berdentum begitu keras hingga ia yakin tetangga sebelah bisa mendengarnya.

Saat akhirnya mereka pergi, Elina tersandar di dinding. Matanya basah, tapi tidak menangis. Ia sudah melewati tahap air mata. Kini, hanya ada kelelahan. Kelelahan yang begitu pekat, seakan menelan hidupnya dari dalam.

Namun ia harus bangkit.

Ia mencuci wajahnya dengan air dingin yang mengalir lemah dari keran tua, mengganti bajunya dengan seragam kerja yang warnanya mulai pudar, dan berjalan keluar rumah, melangkah menuju sekolah tempat ia bekerja.

Anak-anak tak boleh tahu betapa dunia gurunya nyaris runtuh.

...****************...

Hari itu tak berbeda dari sebelumnya, langit suram, udara pengap, dan senyum-senyum kecil yang harus dipaksakan di tengah kelas taman kanak-kanak yang berisik oleh tawa anak-anak.

Elina duduk bersila di atas karpet biru, dikelilingi anak-anak yang sibuk menggambar dengan krayon warna-warni. Tangannya menggenggam buku cerita, tapi matanya kosong. Kepalanya masih penuh angka dan bayangan pintu rumahnya yang setiap saat bisa digedor para penagih.

"Miss Elina, ini bunga untuk kamu," ujar seorang murid, menyodorkan kertas yang dipenuhi coretan warna merah muda.

Elina tersenyum, senyum yang tak sampai ke mata.

"Terima kasih, sayang. Bunga kamu cantik sekali."

Ia mengelus rambut bocah itu dengan lembut. Di hadapan anak-anak, ia mencoba menjadi kuat. Tapi di dalam, jiwanya retak sedikit demi sedikit.

Waktu berlalu pelan. Saat bel pulang berbunyi, Elina mengantar anak-anak satu per satu ke gerbang sekolah. Beberapa dijemput orang tua mereka dan yang lainnya dituntun oleh pengasuh.

Lalu sebuah mobil hitam mengilap berhenti perlahan di depan gerbang. Jendelanya turun secara otomatis, dan dari dalam tampak seorang pria duduk di kursi pengemudi. Jasnya rapi, matanya tajam, rahangnya tegas. Wajahnya dingin, nyaris tak menyisakan ruang untuk kehangatan.

Claire, murid baru yang pendiam, segera berlari ke arah pagar. "Daddy!" serunya pelan, tapi penuh semangat.

Elina terkejut. Pria itu turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Claire. Ia tak mengucap kata manis, hanya mengangguk kecil, tapi tangannya meraih tangan putrinya dan menggenggam erat. Gerakannya singkat, dingin, tapi tak bisa disangkal... penuh kuasa.

"Dia ayah Claire?" bisik salah satu guru.

Elina menatap pria itu dengan campuran penasaran dan tekanan batin. Ada sesuatu yang mengganggunya, bukan hanya karena wajah tampannya yang mencolok atau mobil mewah yang ia kemudikan, tapi sorot matanya. Tatapan itu menyapu ruangan sejenak, lalu berhenti tepat padanya.

Tajam. Menilai. Seolah ia sudah tahu segalanya tentang Elina tanpa perlu bicara sepatah kata pun.

Untuk sepersekian detik, dunia seolah berhenti. Elina menahan napas, berdiri kaku seperti tertangkap basah.

Lalu pria itu, Adrian Leonhart, mengangguk singkat. Tidak ramah, tidak juga kasar. Hanya...formal. Claire memeluknya sebentar, lalu melompat masuk ke mobil.

Tanpa sepatah kata pun, mobil itu melaju perlahan, meninggalkan debu tipis di depan gerbang sekolah.

Elina berdiri terpaku, jantungnya berdetak tidak karuan. Ia tak tahu, tapi hari ini bukan sekadar hari biasa. Ia baru saja menatap mata pria yang akan mengubah hidupnya selamanya.

...****************...

Hujan mengguyur sore itu, seperti sedang menumpahkan semua kesedihan langit ke bumi. Semua anak sudah dijemput, kecuali satu, Claire.

Sesuatu terasa ganjil. Biasanya gadis kecil itu akan dijemput tepat waktu. Namun hari itu, menit terus berjalan dan Adrian Leonhart belum juga datang.

Elina melirik jam tangannya. Hampir setengah jam berlalu. Ia tak bisa membiarkan Claire sendiri. Maka ia menggandeng tangan kecil itu dan mengajaknya ke warung kecil di seberang jalan untuk berteduh.

"Daddy belum datang, ya?" tanya Elina lembut.

Claire mengangguk pelan. Matanya yang jernih mulai berkaca-kaca. "Mungkin Daddy sibuk..."

Elina meraih gadis kecil itu ke dalam pelukannya. Hatinya teriris, ia tahu rasanya menunggu, merasa tak penting di dunia yang terus berjalan tanpa peduli.

Dari kejauhan Claire melihat mobil Daddynya "Miss...itu Daddy sudah datang!" sambil menunjuk ke sebuah mobil diseberang jalan.

Tak lama kemudian, suara klakson keras dan teriakan membuat Elina menoleh cepat. Ia melihat sebuah mobil hitam melaju kencang dari tikungan, kehilangan kendali karena jalan licin.

Dan di ujung trotoar, Claire, yang berlari kecil ingin menyambut ayahnya, berada tepat dalam jalur maut itu.

"Claire!" teriak Elina, tapi suara itu tenggelam oleh dentuman hujan.

Tanpa berpikir panjang, Elina berlari. Ia mendorong tubuh kecil Claire ke sisi kanan, menjatuhkan dirinya bersamaan. Mobil itu mengerem keras, namun ban selip menghantam papan iklan di belakang mereka dengan suara menghentak.

Tubuh Elina terbanting ke tanah basah. Kepalanya terbentur keras.

"Miss Elina!" Claire berteriak, menangis keras.

Beberapa menit kemudian, keributan terjadi. Orang-orang berlarian. Dan dari arah berlawanan, seorang pria turun dari mobil hitam lain dengan wajah panik. Adrian.

Ia segera berlari ke arah Claire dan Elina. Napasnya tertahan saat melihat guru TK itu terbaring basah kuyup dengan darah tipis di pelipis.

"Daddy..." Claire tersedu. "Miss terluka karena menyelamatkan Claire.."

Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Adrian kehilangan kata-kata. Ia menatap wanita itu, terluka, lemah, tapi tetap menggenggam tangan Claire, seolah melindungi dengan seluruh nyawanya.

Petugas medis datang, dan semuanya berlangsung cepat. Elina dibawa ke klinik terdekat.

Adrian memeluk Claire kecil yang ketakutan "Miss tidak terluka parah, dan para tenaga medis itu bisa menyembuhkan Miss dengan cepat..."

"Benarkah?"

"Ya!" Sambil mengelus pucuk kepala gadis kecil itu.

"Claire pulang bersama pak supir ya, Daddy harus menemani Miss Elina!" Claire mengangguk ringan. Lantas Adrian menggendong tubuh kecil itu dan mendudukkannya di kursi penumpang.

"Tolong antar Claire ke rumah ya pak, setelah itu jemput saya!" seraya memasangkan sabuk pengaman Claire.

"Baik Tuan!"

Adrian menutup pintu dan segera menyusul Elina.

...****************...

Malam itu, Adrian duduk diam di dalam ruang kerja. Laporan medis Elina ada di meja. Tidak parah, tapi cukup untuk membuatnya merasa bersalah.

Wanita itu...telah mempertaruhkan nyawanya untuk putrinya.

Dan itu adalah hal yang tak pernah dilakukan Karien: ibu kandung Claire, sekalipun.

...****************...

Dua hari kemudian, saat Elina terbangun di ranjang klinik sederhana. Kepalanya masih terasa berat. Ia tidak mengingat semuanya, hanya kilasan suara mobil, teriakan, dan tubuh Claire yang begitu kecil dalam pelukannya.

Saat ia membuka mata sepenuhnya, ada seseorang duduk di samping ranjang.

Adrian Leonhart.

Dengan jas hitamnya yang mahal dan sorot mata yang sulit dibaca.

"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya datar.

Elina terkejut. Ia mencoba bangkit, tapi Adrian menahan pelan bahunya.

"Beristirahatlah."

Hening. Suara hujan di luar jendela menjadi satu-satunya pengisi ruang.

"Aku tak tahu harus berkata apa," lanjutnya. "Tapi aku tak suka berutang. Dan kali ini...aku berutang besar padamu."

BAB 2: Di Balik Pintu yang Retak

Udara sore masih menyimpan sisa-sisa hujan ketika Elina dinyatakan boleh pulang dari klinik. Luka di pelipisnya telah dibalut rapi, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Ia mengenakan cardigan lusuh dan membawa tas kecil, berharap bisa segera kembali ke rumah tanpa drama.

Namun ketika ia melangkah keluar, mobil hitam itu sudah menunggu. Lagi.

Adrian berdiri di sisi mobil, dengan tangan di saku dan wajah yang tak bisa dibaca.

"Aku bisa pulang sendiri, Tuan Leonhart,"kata Elina dengan suara lemah tapi mantap.

"Aku tidak terbiasa membiarkan wanita yang menyelamatkan putriku berjalan kaki pulang sendiri," jawab Adrian, kemudian kembali berbicara dengan santai, "Masuklah."

Elina membuka mulut untuk membantah, tapi Adrian sudah membuka pintu penumpang untuknya. Hening mengisi perjalanan. Elina hanya menyebutkan alamatnya singkat, dan sisanya dihabiskan dalam diam, hanya deru mobil dan suara napas mereka masing-masing.

Tapi begitu mobil berhenti di depan rumah kontrakan tua di gang sempit, Adrian menoleh, dan untuk pertama kalinya, ekspresinya goyah.

Dinding rumah itu lembap, catnya mengelupas. Genteng di sudutnya miring. Tak ada pagar, hanya satu pot bunga plastik yang setengah hancur di sudut beranda.

Inikah tempat tinggal wanita yang begitu tenang, begitu tulus saat bersama anak-anak di sekolah?

Elina buru-buru turun dan membukakan pintu rumahnya. "Masuklah sebentar. Saya akan ambilkan minum."

Ruang tamu itu kecil, sumpek, dan hanya memiliki sofa tua yang pegasnya sudah menonjol. Sebuah meja reyot berdiri miring, di atasnya ada tumpukan amplop, kebanyakan dengan logo bank atau perusahaan air dan listrik. Di pojok ruangan, kipas angin tua berdengung pelan.

Adrian duduk dengan kaku. Dunia ini begitu jauh dari dunia miliknya. Tapi justru itulah yang membuat matanya tak sengaja melirik tumpukan surat di meja. Ia melihat satu ujung amplop terbuka, lalu tanpa sadar meraihnya.

Tagihan.

Listrik tertunggak dua bulan. Peringatan terakhir dari perusahaan air. Beberapa bahkan bercap merah: PENAGIHAN TERAKHIR.

Adrian mengerutkan dahi. Tangannya berhenti di atas lembar tagihan lain, surat dari bank. Pinjaman warisan. Jumlahnya tak kecil.

Langkah kaki Elina terdengar dari arah dapur. Adrian segera meletakkan semua kembali, lalu menatap wanita itu saat ia datang membawa dua gelas plastik berisi air putih.

"Saya tidak punya teh atau kopi," ujarnya canggung.

Adrian tidak menyentuh gelas itu. Sebaliknya, ia mengeluarkan sesuatu dari saku dalam jasnya, sehelai cek kosong. Ia meletakkannya di atas meja reyot, lalu berkata pelan, "Tulis berapa pun yang kamu mau."

Elina mematung.

"Apa maksud Anda?" bisiknya, menatap cek itu seolah itu adalah sesuatu yang menghina harga dirinya.

"Sebagai ucapan terimakasih!"

"Saya tahu kamu kesulitan. Saya sudah melihatnya." Suara Adrian tetap tenang, tapi nada simpatinya tidak bisa disembunyikan. "Kau telah menyelamatkan nyawa anakku. Itu tidak ternilai. Tapi saya ingin setidaknya melakukan sesuatu."

Elina menatap pria itu, lalu cek di atas meja. Rahangnya mengeras. Ia menggenggam gelas airnya erat-erat.

"Dengan Anda membayar pengobatan saya dan mengantar saya pulang...itu sudah cukup," katanya pelan. "Saya tidak menjual hidup saya hanya karena saya miskin."

Adrian menatapnya dalam. Diam.

Tak ada amarah dalam nada Elina. Hanya luka yang tersembunyi di balik ketegaran. Harga diri seorang wanita yang selama ini berdiri sendiri di tengah gelombang utang dan ancaman.

Setelah beberapa saat, Adrian berdiri. Ia mengambil kembali cek itu, tanpa sepatah kata pun. Lalu beranjak menuju pintu.

...****************...

Langit sore mulai memerah saat mobil Adrian Leonhart berhenti di halaman sebuah rumah klasik bergaya kolonial. Bukan mansion pribadinya, melainkan rumah milik satu-satunya wanita yang masih bisa mengatur langkahnya: Nenek Elizabeth.

Adrian melangkah masuk tanpa mengetuk. Bau mawar dan lavender menyambutnya, bercampur dengan wangi teh hangat yang selalu disiapkan di waktu seperti ini. Di ruang tengah, Elizabeth Leonhart duduk anggun di kursi malasnya, ditemani seorang pelayan lansia yang telah bekerja sejak Adrian masih remaja.

"Cucu kesayanganku akhirnya datang," ujar sang nenek, matanya berbinar melihat Adrian, meskipun sorot itu segera berubah menjadi sesuatu yang lebih licik.

"Ada urusan penting, Nek?" Adrian melepas jasnya dan duduk di sofa seberang.

Elizabeth tersenyum tipis. Senyum seorang jenderal yang tahu bahwa rencana perangnya sudah dimulai.

"Ada jamuan malam ini di Grand Royale. Keluarga Hartford akan hadir." Ia menyeruput tehnya perlahan, seolah membicarakan hal sepele.

Adrian mendongak. "Keluarga Hartford?"

"Putri mereka, Anneliese. Lulusan Oxford, pengelola galeri seni, cantik, cerdas, dan tentu saja, anak pengusaha minyak terbesar di negara bagian."

Adrian mendesah panjang. "Jadi ini kencan buta?"

"Jangan kasar. Ini pertemuan yang dikurasi," jawab Elizabeth enteng. "Kau akan hadir. Aku sudah siapkan tuxedo barumu."

"Nenek," nada suara Adrian mengeras sedikit. "Aku sudah bilang, aku tidak tertarik."

Elizabeth meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi kecil. Tatapannya berubah, dari hangat menjadi dingin, seperti es tipis yang bisa pecah kapan saja.

"Tidak ada kata tidak di keluarga ini, Adrian. Kamu sudah membuat terlalu banyak keputusan sendiri sejak ibumu meninggal. Tapi urusan pernikahan, kau tidak bisa seenaknya."

Adrian menatap mata wanita tua itu. Mata yang dulu membacakan dongeng, kini menyematkan takdir.

"Aku sudah pernah menikah. Sudah gagal. Cukup bagiku."

"Kamu tidak gagal. Kamu hanya memilih wanita yang salah." Elizabeth berdiri perlahan, dibantu tongkatnya. "Kamu punya nama keluarga yang harus dijaga. Masa depan Claire juga."

Saat nama putrinya disebut, Adrian terdiam. Beberapa detik kemudian ia bangkit berdiri, memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

"Aku akan datang," ujarnya pelan. "Tapi hanya karena Nenek yang meminta. Bukan karena aku setuju dengan rencana ini."

Elizabeth tersenyum, kali ini dengan lebih lembut. "Itu saja cukup, Nak. Cinta bisa tumbuh, asalkan fondasinya kuat."

Tapi Adrian tahu, fondasi yang dimaksud sang nenek bukan tentang hati, melainkan uang, nama, dan kekuasaan.

...****************...

Grand Royale menjulang dengan megah di tengah kota, hotel bintang lima yang kerap menjadi saksi pertemuan para elit sosial. Malam ini, lobi utamanya dihiasi lampu kristal dan alunan piano klasik yang lembut, menyambut para tamu dengan kemewahan yang tak terucap.

Adrian Leonhart turun dari mobilnya dengan langkah pasti. Setelan tuxedo hitam malam itu membuat posturnya yang tegap makin mencolok. Para pelayan membukakan pintu dengan hormat, dan sorot mata para tamu wanita langsung melirik penuh kekaguman.

Di dalam ruang makan pribadi Grand Royale, keluarga Hartford sudah menunggu. Sang ayah, Mr. Vincent Hartford, adalah pria berkepala perak dengan senyum diplomatis, sementara putrinya, Anneliese, duduk anggun di sisi ibunya. Wanita itu mengenakan gaun biru senada dengan matanya, rambut disanggul rapi, bibirnya memancarkan kepercayaan diri khas bangsawan.

"Adrian Leonhart," sapa Mr. Hartford, berdiri dan mengulurkan tangan dengan ramah. "Senang akhirnya bertemu Anda."

"Begitu juga, Tuan Hartford." Adrian membalas jabatan tangan itu sopan, lalu mengangguk pada Anneliese. "Nona Hartford."

"Adrian," Anneliese tersenyum. Suaranya lembut, jelas terlatih menghadapi pergaulan kelas atas. "Saya sudah mendengar banyak tentang Anda. Nenek Anda selalu membanggakan Anda seperti pahlawan dari zaman Romawi."

Adrian menahan tawa sopan. "Sayangnya, saya bukan penggemar toga."

Meja makan penuh obrolan hangat. Vincent berbicara panjang lebar tentang proyek energi terbarunya, sementara Anneliese menanggapi dengan cerdas dan tenang. Ia memang menawan: lulusan Oxford jurusan Sejarah Seni, pernah magang di Louvre, dan sekarang mengelola galeri warisan keluarganya di pusat kota.

Tapi... tidak ada getaran. Tidak satu pun.

Adrian mendengarkan dengan sopan, bahkan sesekali tersenyum, namun pikirannya melayang ke tempat lain. Ke sebuah rumah sempit dan berantakan. Ke wanita bermata letih yang menatapnya dengan keberanian saat menolak cek kosong darinya.

"Elina..." gumamnya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat pelayan di belakangnya melirik bingung.

"Maaf?" tanya Anneliese, sedikit membungkuk.

Adrian mengangkat wajah. "Oh, tidak. Saya hanya... berpikir tentang pekerjaan."

Anneliese tertawa kecil. "Kau memang benar-benar CEO sejati."

Pertemuan berlangsung tanpa cela, tidak ada yang salah, tapi juga tidak ada yang terasa benar. Jamuan itu seperti naskah yang dipentaskan ulang untuk keseratus kalinya. Elegan. Kosong.

Saat malam usai dan keluarga Hartford berpamitan, Anneliese menatap Adrian dalam-dalam. "Aku tahu maksud dari pertemuan ini. Dan aku tidak keberatan menjalani hubungan formal demi reputasi dan stabilitas kedua belah pihak. Tapi... aku rasa kau bukan orang yang bisa menjalani hubungan tanpa hati."

Adrian mengangguk pelan, untuk pertama kalinya malam itu merasa dimengerti.

"Maafkan aku," ucapnya. "Aku tidak bisa."

Anneliese hanya tersenyum dan menepuk bahunya. "Good. Kau masih manusia, Adrian Leonhart."

Dan saat Adrian meninggalkan Grand Royale malam itu, dunia yang dibangun di sekelilingnya terasa rapuh. Ia bisa memilih jalan yang mudah: pernikahan terpandang, kehidupan yang stabil, warisan nama keluarga.

BAB 3 : Bayang-bayang yang Mengintai

Malam hari, kediaman Leonhart.

Rumah itu luas dan sunyi, dinding-dindingnya memantulkan cahaya lampu gantung yang hangat, tapi dingin dalam rasa. Adrian menaiki tangga menuju lantai atas, langkahnya lambat, seolah beban di pikirannya lebih berat dari tubuhnya sendiri.

Ia berhenti di depan sebuah pintu putih bergambar kelinci dan bunga berwarna pastel. Ia membukanya perlahan.

Claire sudah tertidur, wajah kecilnya damai dalam pelukan boneka kelinci lusuh yang hampir selalu ia bawa ke mana-mana. Selimut bergambar awan menutupi tubuh mungilnya, dan rambut pirangnya yang ikal berantakan di bantal.

Adrian mendekat, berjongkok di samping ranjang. Ia membelai lembut kening putrinya dan membisikkan, "Maaf, Daddy pulang terlambat."

Anak itu tidak bergerak, hanya mendesah pelan dalam tidurnya. Sejenak, dunia Adrian terasa sederhana, hanya dia dan putrinya.

Tapi kenyataan tak membiarkannya tinggal lama.

Adrian beranjak pergi, membuka pintu kamarnya dan melepas jas serta dasinya. Ia menyalakan lampu gantung, berjalan ke arah lemari dan melepas kemeja. Saat hendak menuju kamar mandi, dering teleponnya memecah kesunyian.

Ia sempat menatap layar ponsel di meja samping ranjang. "Nenek" terpampang jelas. Adrian menghela napas, lalu mengangkatnya.

"Ya, Nek?"

Suara ceria Elizabeth langsung terdengar di ujung sana. "Adrian! Bagaimana jamuannya? Bukankah Anneliese luar biasa? Wanita sempurna, bukan?"

Adrian berjalan ke arah jendela, memandangi taman belakang yang temaram. "Dia baik, sopan, dan cerdas."

"Dan cantik! Jangan lupa itu. Kau melihat mata birunya? Seperti safir!"

Adrian hanya menjawab dengan dengusan samar.

"Jadi?" desak sang nenek. "Kapan kalian akan makan malam lagi? Atau aku undang ke sini saja minggu depan, sekalian makan malam keluarga?"

"Nenek," suara Adrian terdengar berat. "Dia memang luar biasa... Tapi aku tidak ingin melanjutkan. Dia terlalu sempurna untuk disia-siakan dalam hubungan palsu."

Sejenak, hanya terdengar keheningan dari seberang.

Kemudian, Elizabeth menarik napas dalam. "Adrian... kau keras kepala seperti ibumu. Tapi jangan terlalu lama menolak takdir. Lelaki sepertimu tak bisa hidup dalam bayangan masa lalu selamanya."

Sebelum Adrian bisa membalas, suara neneknya kembali terdengar, kali ini lebih lembut. "Pikirkan Claire. Dia butuh sosok wanita dalam hidupnya. Bukan sekadar pengasuh atau guru TK."

Adrian menggigit bibirnya, "Aku tahu, Nek. Selamat malam."

Ia menutup telepon, meletakkannya kembali, lalu bersandar di kusen jendela. Malam itu, pikirannya tidak dipenuhi oleh Anneliese, bukan juga nasihat neneknya.

Yang muncul hanyalah suara tawa kecil Claire... dan sorot mata Elina yang menolak cek kosongnya dengan harga diri yang utuh.

...****************...

Mentari pagi menyusup lembut melalui jendela besar ruang makan keluarga Leonhart. Aroma roti panggang dan kopi hitam menyebar tipis di udara, menambah kehangatan di rumah megah yang biasanya sunyi itu.

Adrian turun dengan kemeja putih yang tergulung rapi di lengan, wajahnya masih menyimpan sisa letih malam sebelumnya. Tapi langkahnya melambat saat melihat sosok kecil yang duduk manis di kursi makan, mengenakan seragam TK berwarna pastel dengan pita merah muda di rambutnya.

"Selamat pagi, Daddy!" seru Claire dengan mata berbinar.

Adrian tersenyum, jarang, tapi tulus. "Pagi, Claire."

Gadis kecil itu mengayun-ayunkan kakinya sambil menyesap susu hangat. Wajahnya berseri saat mulai menceritakan semua kejadian luar biasa yang dialaminya kemarin.

"Daddy tahu nggak? Kemarin aku dapat bintang emas dari Miss Elina! Katanya karena aku bisa mewarnai tanpa keluar garis!" Claire menunjukkan tempelan bintang kecil di sudut tasnya. "Dan... dan! Aku juga belajar nyanyi lagu baru, Daddy harus dengar nanti malam!"

Adrian duduk, menatap anaknya yang begitu hidup pagi itu.

Setelah sarapan, Claire menggenggam tangan Daddynya dengan penuh semangat. Mereka berjalan beriringan menuju mobil yang menanti di pelataran.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Claire tak henti-hentinya berceloteh. Tentang temannya yang baru, tentang bunga yang mekar di taman sekolah, tentang harapannya untuk membawa kelinci sungguhan ke kelas.

Mobil berhenti di depan gerbang sekolah TK. Seperti biasa, para orang tua mulai berdatangan, mengantar anak-anak mereka sebelum kembali pada rutinitas masing-masing.

Adrian turun terlebih dahulu dan membuka pintu untuk Claire. Gadis kecil itu turun dengan riang dan menggenggam tangan ayahnya erat. Mereka melangkah ke gerbang, dan saat itulah pertemuan tak terduga itu terjadi.

Elina berdiri di sisi lain gerbang, dengan setumpuk buku cerita di pelukannya, mengenakan blouse sederhana berwarna biru muda dan rok panjang polos. Wajahnya sedikit pucat, namun tetap memancarkan kehangatan yang khas. Mata mereka bertemu.

Waktu seolah melambat.

Elina tampak terkejut, tapi buru-buru tersenyum sopan. "Selamat pagi, Tuan Leonhart...Claire."

Claire langsung melepaskan genggaman ayahnya dan berlari memeluk Elina. "Miss Elina! Aku sudah latihan nyanyi lagu ‘Pelangi’, lho!"

Elina tertawa kecil, membelai rambut Claire dengan lembut. "Wah, Miss tidak sabar mendengarnya."

Adrian berdiri kaku beberapa langkah di belakang, menatap keduanya. Lalu Elina mengalihkan pandangannya padanya, menunduk sopan.

"Terima kasih... untuk pengantaran kemarin," ujarnya pelan, tidak menyebut tentang cek yang ditolaknya.

Adrian tidak langsung menjawab. Hanya menatap wajah wanita itu, mata lelah yang menyembunyikan kekuatan, bibir yang menahan banyak kata.

Akhirnya ia berkata, suaranya rendah, "Sama-sama. Claire sangat menyukaimu, sepertinya."

Elina tersenyum, kali ini lebih tulus. "Saya juga menyukainya."

Bel masuk berbunyi, membuat Claire buru-buru pamit dan berlari masuk ke dalam bersama teman-temannya.

...****************...

Hari di sekolah berjalan lambat bagi Elina. Meski senyum tak pernah lepas dari wajahnya, hati dan pikirannya nyaris tak pernah tenang. Seperti biasa, dia menyambut murid-murid kecil dengan hangat, mengajari mereka mewarnai, membaca cerita, hingga menyanyikan lagu-lagu sederhana yang membuat tawa kecil mereka memenuhi ruang kelas. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, kecemasan yang terus berdesir di bawah senyum.

Satu per satu anak dijemput oleh orang tua mereka. Suara langkah kaki semakin jarang, derai tawa memudar. Sinar mentari bergeser ke arah barat, dan aroma kapur tulis di ruang guru mulai memudar, tergantikan dengan udara sore yang gerah.

Begitu bel pulang berdentang, Elina membereskan buku cerita dan perlengkapan kelasnya. Ia melirik jam dinding. Waktu pulang. Tapi entah kenapa, langkahnya terasa berat saat mendekati gerbang sekolah.

Dan benar saja, di sana mereka berdiri.

Dua pria.

Yang satu tinggi kurus, dengan rambut disisir rapi dan tatapan mata licik. Ia bersandar santai di samping sebuah mobil hitam tua dengan cat yang mulai mengelupas. Sementara satunya lagi bertubuh gempal, mengenakan setelan jas yang tampak usang dan kusut. Sebatang rokok bertengger malas di sudut bibirnya, mengepulkan asap yang membuat udara sore terasa lebih pengap dari biasanya.

Begitu mata mereka menangkap Elina, senyum mengejek merekah.

"Akhirnya keluar juga, Nona Elina," gumam si gempal, suaranya berat dan mengandung ancaman manis yang menyesakkan dada.

Wajah Elina memucat. Ia menunduk sedikit, seolah berharap tidak ada guru lain yang memperhatikan.

"Jangan di sini," bisiknya cepat. "Tolong... ikut saya bicara di tempat lain."

Si kurus mengangkat alis. "Di tempat lain? Kenapa? Di sini cukup terang, cukup ramai. Aman."

Elina menatap sekeliling dengan gugup. Beberapa orang tua murid masih berlalu lalang, dan seorang guru muda berjalan di kejauhan. Wajah Elina semakin pucat.

"Tolong," ujarnya memohon, suaranya nyaris bergetar.

Akhirnya, dengan gerakan kepala dari si gempal, mereka membuka pintu mobil.

"Masuk!"

Elina menggigit bibirnya, ragu sejenak. Tapi ia tahu tak ada pilihan. Ia tak bisa mempertaruhkan pekerjaannya. Ia melangkah masuk ke dalam mobil dengan hati penuh cemas, tanpa menyadari bahwa dari kejauhan...

Seseorang melihat.

Adrian Leonhart, yang baru saja tiba kembali untuk mengambil dokumen Claire yang tertinggal, berdiri tak jauh dari sana. Matanya menatap mobil tua yang tampak tak layak berada di area sekolah elite itu. Pandangannya membeku saat melihat Elina masuk ke dalam mobil itu, dengan wajah datar, tanpa penolakan.

Sebuah perasaan tak nyaman menjalar di dadanya. Ada sesuatu yang salah, pikirnya. Tapi sebelum ia sempat mendekat, dering teleponnya berbunyi. Panggilan dari asistennya.

"Tuan Leonhart, rapat dengan klien dari Jepang dimulai lima belas menit lagi."

Adrian memandang ponselnya, wajahnya mengeras.

Ada sesuatu yang tak benar. Tapi untuk saat ini... dia harus memilih.

Dan Adrian membalikkan badan, melangkah menuju mobilnya, tapi pikirannya tertinggal di tempat itu, bersama bayangan Elina yang perlahan menghilang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!