Malam pernikahan, seharusnya menjadi impian seluruh perempuan di muka bumi. Tetapi nyatanya malam itu menjadi malam yang paling kubenci.
Nyatanya, pria yang kini menjadi suamiku memporak-porandakan hatiku. Sungguh tak kuduga. Ia yang berkharismatik dan menawan, tega menghabisi seluruh keluargaku tepat di depan mataku.
Dan yang semakin membuatku membencinya, ia selalu mempersulit hidupku. Bahkan dengan berbagai cara ia tak membiarkan aku didekati pria manapun.
Di kesempatan lain. Aku kerap melihatnya memamerkan kemesraan dengan perempuan berbeda. Jijik.
Ia tak hanya pria kejam, tetapi juga mahir mempermainkan perempuan. Mungkinkah ia lupa? Jika sebenarnya ia pun terlahir dari perempuan juga.
Aku sedang berusaha mati-matian, mencari pelarian, tetapi ia justru menunjukkan cinta. Entah itu palsu, atau dirinya yang sebenarnya.
Suatu malam, aku sengaja menemani seorang pria kaya bernama Liam di sebuah pesta. Ia sangat rupawan dengan mata birunya.
Namun, tak kuduga di kesempatan yang sama, suamiku hadir di pesta itu bersama banyak kroninya.
Sama seperti biasanya, tatapannya tajam mengiris. Tetapi itu tak membuatku takut. Aku sudah terbiasa dengan pesakitan ciptaannya.
Dari sorot matanya aku bisa menduga jika ia sedang marah, saat melihat Liam begitu perhatian padaku.
"Mau berdansa denganku," ujar Liam.
Sungguh, ini adalah hari yang kutunggu. Tentu saja aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini.
"Ah, aku tak pandai berdansa. Tapi aku mau coba." Jemari lentikku terangkat dan terulur ke arahnya.
Mataku memerah, ada banyak embun yang nyaris merembes, tapi kutahan. Seraya tersenyum, kutatap mata suamiku.
Bukan tanpa alasan, aku ingin mencari tahu. Seberapa dalam ia membenciku hingga membunuh seluruh keluargaku tanpa sisa.
Dan ....
DOR!
Suara pistol meledak ke arah Liam. Beruntungnya aku memperhatikan, hingga aku berhasil menutupi tubuh Liam dengan tubuhku.
Lalu aku pun terhuyung, Liam memelukku erat lalu mengangkat tubuhku.
"Cari pelakunya!" seru Liam.
Tak kuduga, segerombolan orang dengan setelan rapih serba hitam bergerak serentak mendekat, dan beberapa terlihat menyebar. Lalu aku pingsan.
Lionel Danny bukanlah orang yang mudah menyerah. Ia bahkan berani menyusup ke sebuah kamar orang yang paling ditakuti sekalipun, hanya demi menemuiku.
"Danny apa yang kamu lakukan? Liam bisa membunuhmu jika dia tahu." Aku yang ketakutan langsung panik.
Ditambah kudengar suara langkah kaki seseorang.
"Nona, Tuan Liam memintaku membawakan kudapan dan minuman hangat," teriaknya memberi tahu.
Lalu, aku dan Danny menatap ke arah pintu bersama-sama. Saat itu aku benar-benar tak sanggup menyembunyikan rasa cemasku.
"Aku sudah berbaring," sahutku.
Menit setelahnya tatapan mataku kembali pada Danny yang kini mulai mengikis jarak wajahnya denganku.
"Keluar, Danny!" Aku menunjuk ke arah jendela kamar yang masih terbuka, lengkap dengan ekspresi memperingati.
Danny menggeleng cepat sebagai jawaban.
"Apa kau mencintainya? Mengapa kamu mengorbankan diri? Aku menembaknya!"
**
Aku melihatnya dari kejauhan, berdiri di tepi jendela, ia sangat tampan dengan setelan mahalnya. Dan aku tidak bisa menahan napas ketika matanya bertemu dengan mataku.
"Lionel Danny," bisikku, merasakan getaran yang tak biasa.
Getaran yang rasanya berbeda dengan hari-hari sebelumnya.
Pria yang dikenal sebagai Don Juan itu tersenyum, mengundangku ke dalam dunianya. Dunia kelam sama persis dengan dunia yang pernah ditapaki oleh Ayahku dulu.
Aku merasakan diriku terjatuh ke dalam hati yang entah tak kumengerti seperti apa rasanya. Luka, benci, dendam, cinta, semua bercampur menjadi satu.
Malam itu, aku tidak tahu bahwa hidupku akan berubah selamanya.
Malam ini bulan bersinar terang. Langit yang ditaburi bintang sekalipun, tak mampu menerangi jalanan sepi yang dilewati Maura.
Malam ini, Maura diajak serta oleh ayahnya untuk menghadiri sebuah pesta ulang tahun seorang pemuda berpengaruh, yang enam bulan belakangan menjadi rekan bisnisnya.
"Maura, kau sangat cantik. Ayah yakin Lionel Danny akan langsung jatuh hati padamu," kata ayah Maura sembari memandangi putrinya.
Maura masih bersikap tak acuh. Sama seperti biasanya, ia tidak tertarik sama sekali jika diajak membicarakan tentang pria manapun.
Ia bisa menebak. Jika ayahnya akan mengatur perjodohan dengan rekan bisnisnya itu.
"Dia tertarik atau tidak, aku tidak peduli. Lagi pula ... aku lebih tertarik dengan belajar bela diri." Maura mengembuskan napas, lalu ia lebih memilih mengalihkan perhatian ke arah luar jendela.
Sementara itu, sang ayah justru terkekeh pelan.
"Dia berbeda, Maura. Pria ini sangat digandrungi wanita. Kamu akan cemburu melihatnya," goda sang ayah, yang malas ditimpali oleh Maura.
Kemudian, suasana di dalam mobilpun menjadi hening. Mungkin saja sang ayah lelah meyakinkan putrinya.
Malam itu, mobil melaju kencang menuju daerah perkotaan. Gedung-gedung tinggi pencakar langit, menjadi saksi ramainya jalanan kota saat itu.
Setelah sekitar setengah jam lebih berkendara, akhirnya Tuan Antoni sampai juga di gedung megah yang dituju.
Letaknya berada di tengah kota, memudahkan para tamu undangan yang ingin datang. Berbeda dengan Tuan Antoni yang memang memilih tinggal di pinggiran kota. Sehingga untuk sampai di sana saja lumayan memakan waktu lama.
Pintu ruangan terbuka lebar, ketika Tuan Antoni yang datang bersama istri dan anaknya melangkah memasuki tempat itu.
Sementara beberapa orang kepercayaan Tuan Antoni, terlihat berdiri siaga.
Di waktu yang sama. Lionel Danny, menoleh ke arah mereka. Pandangan matanya sejenak menatap Tuan Antoni, tetapi menit setelahnya berpindah ke arah Maura.
Sorot matanya sangat tajam mengiris, seakan menyiratkan arti yang entah. Lalu kemudian, kakinya berjalan cepat menghampiri tamu undangan yang dianggap spesial itu.
"Oho, Tuan Antoni. Tak kusangka Anda datang sendiri. Aku merasa sangat terhormat." Danny setengah membungkukkan badannya, seolah menunjukkan rasa hormat.
"Hahah, aku memang harus datang anak muda. Lagi pula ada janjiku padamu yang belum kutepati bukan?"
Kemudian, mereka berdua terlihat mengobrol sejenak, entah mungkin sekedar basa-basi bisnisnya.
Selanjutnya, Tuan Antoni berjabat tangan dengan pemuda itu, setelah beberapa orang kepercayaan mendekat menyerahkan hadiah ulang tahun untuknya.
"Selamat ulang tahun," ucap Tuan Antoni dengan tatapan teduhnya, yang disambut senyum hangat oleh Danny.
"Terimakasih, Tuan," jawabnya, lalu pandangan Danny berpindah pada wajah cantik Tuan Antoni.
"Dia ...," katanya. Kalimatnya terjeda.
Sepasang mata Maura dan Lionel Danny akhirnya bertemu sejenak. Seperti dua orang yang saling mengagumi.
Beberapa tamu yang datangpun melihat ke arah keduanya. Maura sangat cantik. Ia menjadi pusat perhatian dengan gaun merah jambu lengkap dengan tali yang menggantung di lehernya.
"Dia putri pertamaku. Bagaimana menurutmu, kau setuju Danny?" tanya Tuan Antoni, seraya menatap manik mata lawan bicaranya.
Suasana yang riuh mendadak hening.
Lionel Danny memang tidak menjawab, tapi gestur tubuhnya yang disertai anggukan kepala mengisyaratkan persetujuan.
"Nama Anda, Nona?" Danny mengalihkan pandangannya ke arah Maura sambil mengulurkan tangan.
"Maura," jawab Maura. Irit kata.
Gadis cantik itu rupanya sedang berusaha menutupi rasa gugupanya. Ia bahkan mengedarkan pandangannya ke arah lain. Seolah menghindari bertatapan mata langsung dengan Danny.
"Mari," ajak Danny, ia mengulurkan tangannya.
Tetapi sayangnya Maura hanya melirik, lalu melangkah mengikuti pergerakan Danny, membiak keramaian para tamu.
Suasana ulang tahun Danny berlangsung meriah, ketika tiba saatnya potong kue, beberapa perempuan cantik menatapnya penuh harap.
Mungkin saja di antara mereka berharap pemuda itu memberikan kue potongan pertama pada mereka. Tetapi sayangnya dugaan itu membuat mereka akhirnya kecewa.
Karena Danny, memberikan potongan kue pertamanya pada Maura.
Namun, siapa sangka gadis itu justru menyerahkan kue yang baru saja ia terima kepada sang Ayah.
"Maaf, tidak bermaksud membuatmu tersinggung. Tradisi keluargaku mengajarkan, orang tua harus lebih dulu," ungkapnya, sambil sedikit tersenyum.
Pipi Danny bersemu merah seketika, kedua tangannya terkepal. Ini untuk pertama kalinya ia merasa dipermalukan.
"Ah, tidak apa-apa," katanya. "Maaf Tuan Antoni, aku tidak bermaksud membuat Anda tersinggung," imbuhnya kemudian.
Tuan Antoni tersenyum simpul, sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
"Aku paham anak muda."
Kemudian mereka melanjutkan keseruan pesta. Karena hari semakin larut malam. Akhirnya Tuan Antoni memutuskan untuk pulang.
Mulanya, ia ingin membawa serta Maura. Tetapi entah apa yang Lionel Danny pikirkan, ia menentangnya.
"Tuan, jika Anda ingin aku menyetujui kesepakatan kita. Aku ingin mengenal lebih dekat Maura," katanya sambil terus memandangi gadis itu.
Maura merasa tak nyaman ditatap seperti itu. Sehingga ia memilih melempar pandangan ke arah ibunya.
"Oh tentu," sahut Tuan Antoni.
"Silahkan Anda pulang, saya ingin Maura tinggal. Sebelum tengah malam, saya sendiri yang akan mengantarnya di kediaman Anda, Tuan," bujuk Danny seraya memberikan gestur mempersilahkan.
Ucapan itu membuat kening Tuan Antoni berkerut, kemudian ia menyetujui seakan patuh.
Maura yang sebenernya keberatan, akhirnya menerima karenasang Ayah.
***
Singkat cerita. Maura ikut bergabung di kemeriahan pesta, sepulang kedua orangtuanya.
Malam itu, Tuan Antoni yang selalu berhati-hati meninggalkan salah seorang pengawal untuknya secara diam-diam.
Danny membawa Maura masuk ke dalam ruangan yang lebih dalam. Di sana ada beberapa perempuan cantik menunggu.
Danny baru saja menjatuhkan diri ke sofa empuk sudut ruangan. Beberapa dari mereka langsung berkerumun.
Pemuda itu hanya melambaikan tangan, tetapi dua orang gadis sudah langsung duduk di pangkuannya. Beberapa lainnya menyuapkan makanan, bahkan ada pula yang sengaja menuangkan minuman.
Maura yang tidak tertarik hanya berusaha mengamati, lalu ia melangkah menjauh.
Ada debaran tak biasa yang gadis itu rasakan. Rasa aneh yang menjalar ke sekujur tubuhnya.
Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa sedih. Sedih luar biasa.
Di waktu itulah beberapa orang terlihat menerobos masuk dan menyerang. Danny menyadarinya.
Ia melihat salah seorang pria bertopeng, menyerang dan langsung ingin menggapai tubuh Maura.
Beberapa orang lagi melepaskan tembakan. Suasana seketika berubah kacau dan riuh.
Danny bergerak cepat, berlari sekuat tenaga dan menarik Maura hingga berada dalam dekapannya.
DOR!
Suara tembakan terdengar memekakkan telinga. Maura dan Danny terjatuh, dengan posisi Danny berada di atas tubuh Maura.
Napas mereka terengah-engah.
"Dalam hitungan ke-tiga, cepat bergerak," ucap Danny memberikan aba-aba.
Maura masih terpaku menatapnya sejenak, lalu ia mengangguk setuju.
Suara tembakan masih berlangsung. Danny menarik tembak yang semula berada di pinggangnya. Lalu mengarahkan ke beberapa orang yang sengaja mengacaukan pesta ulang tahunnya.
"Satu, dua, tiga ... lari!" teriak Danny.
Lalu ia terus menembak sambil melindungi Maura. Dari arah lainnya, sang bodyguard Maura terus menembak juga kepada siapapun yang akan menyerangnya.
Keduanya berhasil lolos, lalu Maura berlari ke belakang. Di sana sudah ada mobil sport menunggunya.
"Masuk," aja Danny seraya menarik lengan Maura setengah memaksa.
'Kau, sebenarnya pria seperti apa, Danny. Begitu banyak di kelilingi perempuan. Dan memiliki musuh tak terduga.' Batin Maura menatapnya.
Sejak peristiwa di pesta ulang tahun Lionel Danny dan Maura tidak lagi bertemu. Keduanya juga tidak sempat bertukar nomor.
Padahal, hubungan keduanya sudah diatur oleh Tuan Antoni. Entah karena sedang sibuk, atau mungkin pemuda itu tidak lagi tertarik pada Maura.
Pagi ini, Maura sedang bersiap untuk latihan bela diri. Ayahnya memang sudah menyewa pelatih khusus untuknya.
"Maura, kamu sudah siap?" tanya Tuan Antoni.
Gadis cantik yang sedang mengikat pinggangnya dengan lilitan kain panjang berwarna putih itu, terkejut mendengar suara kedatangan ayahnya.
Sebab, tak biasanya Tuan Antoni datang dan memperhatikan gadis itu ketika hendak latihan bela diri. Tentu saja hal itu membuat kening Maura berkerut. Bukan tanpa maksud, ia sedang menerka sesuatu.
"Sebentar, Ayah!" serunya.
Ia mencoba menahan rasa penasaran yang menggelayuti pikirannya. Tak lama berselang, setelah Maura berpakaian lengkap akhirnya ia keluar kamar.
Namun, betapa terkejutnya sang ayah melihat penampilan putrinya.
Maura memang hanya mengenakan celananya kain panjang berwarna hitam, yang sengaja ia kombinasikan dengan kaos oblong berwarna putih. Tentu saja di bagian dalam tubuhnya sudah ditutupi dengan kain panjang yang dililit rapih.
"Astaga! Di mana ibumu?" Raut wajah Tuan Antoni berubah panik.
Sedangkan Maura, alisnya setengah terangkat setelah menyadari ekspresi sang ayah. Bingung, tentu saja bingung.
"Ada apa ini, Ayah?" tanyanya penasaran.
"Apa ibumu tidak bilang jika pagi ini Lionel Danny akan datang? Apakah kau akan menyambutnya dengan penampilanmu yang seperti ini?" tanya Tuan Antoni.
Tatapan matanya tertuju pada penampilan putrinya. Maura benar-benar terkejut hari itu.
"Apa? Aku...." ucapannya terjeda.
"Lekas ganti baju!" perintah Tuan Antoni.
Tuan Antoni adalah pebisnis kawakan yang disegani dan ditakuti banyak kalangan. Sebagai putrinya, tentu saja Maura tidak pernah membantah.
Gadis yang baru berusia dua puluh satu tahun itu langsung mengangguk, kemudian kembali masuk ke dalam kamarnya.
****
Waktu baru menunjukkan pukul setengah sembilan pagi, tetapi Maura sudah harus disebutkan dengan merias diri.
Tak lama berselang, ia berjalan elegan dengan gaun pilihan ibunya. Kali ini warna krem, yang dipadukan dengan sepatu hak tinggi berwarna silver. Membuat penampilan Maura mampu mencuri perhatian siapapun di rumah besar itu.
Dan ya, siapa sangka jika ternyata Lionel Danny sudah duduk menunggunya.
Pemuda itu tampak menawan dan gagah dengan setelan jas mahalnya berwarna navy. Ia duduk dengan kaki menyilang, tatapannya tajam. Ia tidak sedikitpun melepas pergerakan Maura ketika menuruni anak tangga hingga ke lantai dasar.
Mungkin ia kagum, terpukau, terpesona, ah ... entah.
Maura terkejut melihat ada banyak pria dengan pakaian serba hitam, dan beberapa perempuan berpenampilan seperti main yang datang bersama Danny membawa banyak hadiah.
Setelah Maura sampai di lantai dasar, seketika Danny berdiri, lalu berjalan ke arahnya.
Sama seperti sebelumnya, Maura lebih memilih menghindari bertata mata langsung dengan pria itu. Bukan tanpa sebab, berdekatan dengannya bisa membuat pipi gadis itu bersemu merah.
Siapa yang mau ditangkap tersipu oleh pria yang akan menjadi calon suaminya.
"Ada apa ini?" tanya Maura, melemparkan pandangan ke arah ibunya, dan berharap mendapatkan jawaban.
"Hari ini aku datang melamar kamu, Nona," jawabnya singkat.
Maura tersenyum kecut. "Melamar?"
Gadis itu mengedarkan pandangannya ke semua orang.
Danny tidak tersenyum. Ia justru membalasnya dengan tatapan tak suka. Entah apa maksudnya itu.
"Apa yang lucu? Hingga mudah sekali membuatmu tersenyum," cecarnya dengan raut wajah tegas.
"Aku tidak menyangka jika ucapanku ini, mudah sekali membuat calon suamiku tersinggung. Maaf, ini semua karena aku tidak menemukan seorangpun anggota keluarga Anda, Tuan Danny," sahut Maura membela diri.
"Oh, itu ... seluruh keluargaku sudah tidak ada, yang tersisa hanya pengikut setiaku."
Maura langsung tak enak hati mendengarnya.
"Maaf, aku tidak bermaksud menyinggung." Maura langsung menutupi kegugupannya dengan gestur tangan mempersilahkan.
Danny langsung mengulurkan tangannya ke arah Maura, lalu ia mendahului dan melenggang menuju sofa empuk yang tertata rapi.
Tuan Antoni memulai pembicaraan, ia sangat berterimakasih atas kedatangan pemuda itu yang ternyata benar-benar menunjukkan keseriusannya.
Danny pun mulai membaur, mengurai ketegangan yang sempat terjadi bersama Maura.
Kemudian tiba saatnya Danny mengumumkan, jika kedatangannya ini demi sebuah pinangan. Ia mulai mengutarakan niatnya.
"Paman, Antoni. Maaf, aku kurang pandai berbasa-basi. Aku datang melamar putrimu. Aku tidak paham apakah ini pantas atau tidak, tetapi aku berusaha melakukan hal yang menurutmu baik untuk kerja sama kita."
Kemudian Danny mulai menyodorkan satu demi satu hadiah yang dibawanya. Semua mata menatap takjub saat melihat barang-barang mewah bermerk seperti tas, sepatu, dan gaun indah.
Tak hanya itu, Danny juga memberikan mobil mewah dan juga beberapa properti sebagai hadiah pertunangan.
Namun, Tuan Antoni justru tersenyum getir.
"Aku tidak bermaksud menukar putriku dengan semua kemewahan ini," tukasnya, sombong tapi tegas.
Danny pun juga membalasnya dengan senyuman tetapi raut wajahnya tetap terlihat dingin. Karena ia hanya memasang sedikit senyum saja.
"Ah, mungkin aku salah paham. Kupikir Anda akan melakukan segala cara demi urusan dunia," sindirnya.
Tatapannya nyalang. Kemudian bangkit dari tempat duduknya.
"Eh, jangan salah paham anak muda. Aku menyetujuinya."
Kening Danny bertautan. Ia mencoba menerka apa sebenarnya yang diinginkan pak tua di hadapannya itu.
"Apa?" tanyanya setengah tak percaya.
"Aku menyetujui, tapi dengan syarat." Tuan Antoni mengangkat salah satu tangannya seolah ingin memberikan isyarat.
"Apa?" tanya Danny singkat.
"Nikahi dia dengan segera!" Tuan Antoni menunjukkan raut tegas ketika berbicara.
Entah apa yang dipikirkan pria itu, ia seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Ada senyum tak biasa yang Maura tangkap kala itu.
Maura tersentak dengan keinginan ayahnya. Bagaimana tidak? Jika ini benar akan terjadi, itu artinya hidupnya tak lagi bebas.
Selain itu, Maura adalah gadis yang kurang suka diatur, apalagi ia sangat tidak menyukai penampilan dan perilaku Danny sejak pertama kali bertemu.
Mata Maura bahkan memerah, karena menahan segala rasa gelisah bercampur amarahnya.
Marah karena ayahnya tidak mempertanyakan bagaimana perasaannya. Ia terkesan egois dan memaksakan.
****
Setelah bertukar cincin. Danny mengatakan akan menikahi Maura salam waktu tidak kurang dari seminggu. Lalu ia tersenyum menyeringai. Senyum yang memberikan kesan kengerian bagi siapapun yang melihat. Entah apa maksudnya itu.
Namun, setelah menikmati hidangan, pemuda itu meminta waktu untuk berbicara berdua saja dengan Maura.
Di kamar Maura, Danny melangkah hingga membuat Maura mundur dan langkahnya terhenti sebab tubuh rampingnya terdesak di tembok.
"Kau tidak menyukaiku?" Danny mengerang dengan ekspresi kesal.
Wajahnya sengaja mengikis jarak, hingga keduanya sangat dekat. Bahkan saking dekatnya, Maura bisa merasakan embusan napas pebisnis muda di hadapannya itu.
"Mundur!" teriak Maura.
"Aku tidak suka ditolak, ini penghinaan!" desis Danny.
Kemudian, ia mencengkeram kedua pergelangan tangan Maura, dan mendekatkan bibirnya, hingga kedua bibir mereka bersentuhan. Entah berapa menit lamanya.
Maura terkejut sekaligus marah. Napasnya dibuat memburu seketika.
PLAK!
Maura menamparnya.
"Aku suka perempuan galak, Nona," ejeknya.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!