NovelToon NovelToon

SENORITA DEL AMOR

Bab 1 : Balasan Untuk Si Pendosa

Assalamu’alaikum, semoga teman-teman suka ya sama series ini. Jujur aja sih, saya nggak terlalu pede buat rilis di noveltoon. Soalnya ini series ada 5 judul dan takutnya kalian capek, makanya saya lebih milih rilis di platform lain yang memang kebanyakan series.

Jangan lupa berikan dukungannya ya, suara dari kalian semua itu sangat sangat sangat berharga buat saya. Karena rezeki bukan hanya di materi kan, bagi penulis amatir seperti saya, seorang pembaca juga rezeki yang besar.

Ini series pertama ya, nanti kalo semisal rame bakalan saya lanjut di platform ini. Sayang kalian semua 🥰

...•••Selamat Membaca•••...

Lantai kamar itu lengket. Bukan karena air tapi darah. Merahnya begitu pekat, sampai cahaya lampu tua di langit-langit memantul di permukaannya seperti genangan oli busuk.

Maula berlutut di tengah ruangan, tangannya menekan dada pria setengah telanjang yang terikat di kursi besi. Bibir pria itu sobek karena dihantam berkali-kali oleh Maula. Separuh hidungnya mengelupas dan matanya tersisa satu.

Maula mencongkel mata kanan pria tersebut dengan sebuah obeng bunga kecil.

“Namamu siapa tadi?” bisik Maula, sembari menekan jari kelingkingnya ke dalam luka menganga di perut korban. “Eduardo, ya? Tukang pukul anak-anak panti,” lanjutnya.

Eduardo tak bisa menjawab. Lidahnya sudah lepas dari dalam mulut. Maula yang memotongnya sendiri menggunakan silet berkarat.

Tubuh pria itu gemetar. Bukan karena hidup, tapi karena tubuhnya belum sadar bahwa ia seharusnya sudah mati sejak penyiksaan pertama yang dilakukan oleh Maula Chulpan Maximillian, gadis manis yang masih berusia delapan belas tahun.

Maula tertawa kecil. Senyumnya manis, tapi matanya kosong seperti lubang kubur.

“Kau tahu, Eduardo,” katanya pelan, “perbuatanmu itu sangat keterlaluan, kenapa kau bisa melecehkan dan menyiksa anak-anak di panti itu hah? Mereka sudah kehilangan kedua orang tua dan kau menambah penderitaan dengan melecehkan mereka, kau tidak punya otak ya.”

Ia menurunkan kepalanya, menatap luka di paha Eduardo yang sudah tercabik dengan goresan pisau, memperlihatkan tulang paha Eduardo.

“Kau tahu bagian mana dari tubuh yang paling keras untuk dipotong?” tanyanya riang. “Betis. Dagingnya padat, keras. Tapi, aromanya manis seperti daging panggang.” Eduardo hanya bisa mendesis. Matanya memohon, atau mungkin hanya kejang. Tak ada yang peduli.

Maula berdiri, lalu mengambil sebuah palu godam dari sudut ruangan. Masih ada rambut menempel di kepala palu itu, korban sebelumnya. Ia menatapnya sejenak, lalu berkata pelan.

“Ini bukan pembunuhan. Ini adalah penyucian dari jiwa yang telah kalian kotori, dasar biadab.”

Palu itu menghantam wajah Eduardo tiga kali. Suara tengkorak retak seperti kayu patah. Otaknya muncrat ke lantai.

Maula berdiri, napasnya sedikit terengah, tapi ekspresinya tetap datar seperti gadis yang baru selesai mencuci piring dan menyelesaikan tugas ringan.

Ia menoleh ke cermin tua di sudut ruangan, menatap bayangannya sendiri. Tubuhnya berlumur darah dan kaos putihnya kini merah gelap, menempel di kulit. Ia mengangkat tangannya, melihat darah menetes pelan dari jemarinya ke lantai, tik... tik... tik...

Lalu terdengar suara. Bukan dari luar. Tapi dari dalam kepalanya.

“Kau menikmati ini, Maula. Kau lahir dari darah. Dan darahlah yang akan memelukmu sampai akhir.”

Maula memejamkan mata. Lalu tersenyum kecil. “Aku hanya memotong bagian dari dunia yang busuk.”

Ia berjalan keluar dari kamar itu. Sepi. Rumah bobrok itu terletak di ujung hutan, tempat di mana orang-orang seperti Eduardo membawa anak-anak untuk “bermain”. Bermain dalam konteks yang berbeda.

Tak ada sinyal, tak ada CCTV. Hanya sunyi dan bau kematian yang menempel di dinding seperti jamur tua.

Sebelum pergi, Maula menabur bubuk pemicu di seluruh ruangan, lalu menyalakan korek. Api menjilat tirai, lalu dinding. Dalam waktu lima menit, rumah itu berubah jadi api neraka.

Ia melangkah pergi tanpa menoleh. Setiap langkah meninggalkan jejak darah dan lumpur di tanah.

Di sakunya, ada daftar nama dan satu sudah dicoret.

Udara malam menggigit. Embun menempel di ujung rambut Maula yang basah oleh keringat dan darah. Ia berjalan pelan melewati semak belukar, meninggalkan api yang kini melahap rumah itu seperti iblis kelaparan.

Bau daging terbakar menguar dari balik pepohonan, menyesakkan, tapi Maula menghirupnya dalam-dalam seperti aroma parfum mahal yang sayang kalau harus disia-siakan.

Ia sampai di jalan tanah. Di bawah cahaya bulan, mobil van tuanya menunggu. Ia membuka pintu belakang. Di dalamnya ada koper hitam, bukan koper biasa.

Dengan hati-hati, ia membuka resletingnya. Di dalam koper itu ada potongan tubuh.

Beberapa jari, potongan kulit, satu bola mata yang masih utuh. Maula mengambil potongan bibir yang tadi ia gunting dari Eduardo. Ia menatapnya, lalu menyelipkan ke dalam toples kecil berlabel: “Berkata Manis Pada Anak-Anak”

Ia memiliki sebuah ornamen dari tubuh korbannya. Setiap bagian tubuh adalah simbol dosa.

Tiba-tiba, terdengar suara dari semak, sebuah geraman kecil, lalu derap langkah. Maula langsung menarik pisau lipat dari sepatunya. Nafasnya tertahan. Mata menajam. Satu... dua... tiga detik...

Seekor anjing hutan muncul, kelaparan, matanya menyala merah terkena pantulan api.

“Ayo sini,” bisik Maula.

Ia mengulurkan telapak tangan, masih hangat dengan darah manusia. Anjing itu mendekat perlahan, mencium dan Maula mencabik sedikit daging dari kantong plastik, melemparkannya.

Anjing itu menyergap dan memakan potongan daging dengan lahap.

“Semua makhluk lapar pada akhirnya,” katanya. “Manusia, binatang… tak jauh beda. Yang beda cuma siapa yang lebih baik menyembunyikannya. Aku pikir, seekor anjing jauh lebih mulia ketimbang manusia, mereka akan menggigit jika diganggu tapi manusia? Ck... mereka akan menggigit semaunya.”

Ia masuk ke mobil. Nyalakan mesin. Musik klasik mengalun pelan dari tape rusak. Tchaikovsky – Symphony No. 6 in B minor. Lembut. Tragis. Kontras dengan isi bagasi yang penuh sisa kematian.

Tchaikovsky – Symphony No. 6 in B minor, juga dikenal dengan nama Pathétique, karya musik klasik terakhir dari komponis Rusia Pyotr Ilyich Tchaikovsky. Karya ini sangat terkenal karena nuansanya sangat emosional dan tragis, penuh kesan muram, sedih, dan melankolis.

Gerakan terakhirnya (Adagio lamentoso) justru sangat pelan dan menyayat, berbeda dari simfoni pada umumnya yang biasanya berakhir megah. Ini membuat simfoni terasa seperti “kematian perlahan.”

Banyak yang percaya ini adalah surat perpisahan Tchaikovsky sebelum kematiannya, ada teori ia bunuh diri tak lama setelah simfoni ini dirilis pada 1893.

Musiknya bisa membuat suasana jadi semakin mencekam, emosional, dan tak terlupakan. Kalau kamu dengarkan, pasti langsung kebayang film horor atau thriller psikologis yang elegan tapi menyeramkan.

Cukup lama perjalanan yang ditempuh oleh Maula hingga sampai di jalan raya, dia berhenti sejenak di sebuah toilet umum untuk membersihkan tubuhnya dari sisa darah yang menempel.

Mengganti pakaian dan kembali mengemudi, membelah jalanan yang gelap dan mencekam.

Tadi Maula hanya pamit ke panti asuhan tempat dia biasa berbagi makanan. Panti yang memang dibangun oleh Leo dan Maureen. Namun, sudah pukul 11 malam, dia belum juga pulang. Terakhir ayahnya menelepon, sekitar jam 5 sore dan setelah itu ponselnya mati karena habis baterai.

Maula paling benci pada manusia yang selalu bertindak semaunya, sudah sering anak-anak panti mengeluh atas beberapa pengelola mereka. Tak jarang pengelola itu meneguk manisnya tubuh anak-anak tak berdosa demi kepuasan binatang dalam dirinya.

...•••Bersambung•••...

...Ditunggu loh ya komenan dan dukungan dari kalian semua, berharap banget loh saya ini. ...

Bab 2 : Hadir Kembali

...•••Selamat Membaca•••...

Maula sampai di rumah sudah larut malam, dia sedikit tersentak kaget ketika melihat Leo dengan wajah gelisah menunggu dirinya. Maula mencium aroma tubuhnya dan menyemprotkan sedikit parfum agar bau anyir tersamarkan.

Maula turun dari mobil dengan wajah tenang seperti tak terjadi apapun.

“Kamu oke?” tanya Leo saat Maula di depannya.

“Oke Papa. Kenapa belum tidur?” Leo dan Maula berjalan memasuki rumah.

“Bagaimana bisa tidur kalau kamu belum pulang, ini sudah jam berapa?” Maula tersenyum.

“Maaf ya Pa, tadi mobilnya mogok dan harus dibawa ke bengkel. Untung saja bengkelnya masih buka.”

“Lain kali, ada baiknya kamu sama sopir ya. Papa khawatir.”

“Iya Pa.”

Maula memasuki kamarnya, mandi dengan air hangat dan mengganti pakaian tidur. Besok dia akan mengurus beberapa dokumen untuk berangkat ke Spanyol.

Perasaannya cukup lega karena sebentar lagi akan segera pindah ke Spanyol.

Cahaya matahari pagi menyusup masuk melalui celah tirai, mengusik tidur insan cantik dengan hazel terang bak bidadari. Maula menggeliat, tubuhnya terasa sedikit ngilu karena pembunuhan yang dia lakukan semalam.

Ada beberapa memar di tubuh karena perlawanan korbannya, tapi bisa dia tutupi dari Leo dan Maureen. Maula menurunkan kaki jenjangnya dari tempat tidur lalu beranjak ke kamar mandi.

Di ruang tamu, Leo menyambut kedatangan Rayden pagi ini. Pria yang kini telah terlihat cukup dewasa dari empat tahun yang lalu. Rayden tetap menggunakan identitas yang diberikan oleh Leo, tidak ingin kembali ke identitas lamanya.

“Empat tahun, kau berubah cukup baik ya,” ujar Leo begitu bangga melihat pria di depannya. Rayden menyeruput kopi panas itu perlahan dan memainkan bibir cangkir sambil tersenyum.

“Apa sekarang aku diizinkan untuk mencintai putrimu, Tuan?” tanya Rayden mantap, terdengar sangat keren bagi seorang pria.

“Apa kau tidak memiliki hubungan apapun dengan mafia?” Rayden menegakkan tubuhnya.

“Tidak. Selama satu tahun, aku menuntaskan semuanya dan memutuskan koneksi dengan beberapa mafia. Tahun berikutnya aku mengumumkan kepada beberapa organisasi bahwa aku tidak lagi terlibat dalam bisnis gelap Archer dan aku juga bukan bagian dari Dragonvich lagi. Aku menjual semua aset yang kupunya dari bisnis bersih dan memulai bisnis sendiri, selama empat tahun ini aku sudah berjuang dengan bisnis bersihku sendiri. Anda bisa memeriksa riwayatku.” Leo menaruh cangkir kopinya dan terkekeh ringan.

“Kau melakukan semua itu hanya demi anak keras kepala itu?”

“Ya. Aku juga tidak mengerti kenapa aku sangat mencintai dia. Aku hanya ingin berjuang untuk mendapatkan cintanya, dan juga restu darimu.” Leo menganggukkan kepala, salut dengan perjuangan Rayden untuk memantaskan diri sebagai menantunya.

“Aku percaya padamu, restu kuberikan asal kau bisa membuat dia jatuh cinta tanpa paksaan. Dia akan ke Spanyol, kuliah di Madrid dan hal itu akan memudahkanmu mendekatinya.” Rayden membelalakkan mata, tak percaya bahwa Maula akan ke Madrid.

“Dia akan ke Madrid?” Leo mengangguk mantap.

“Tolong jaga dia, jangan paksa dia untuk menerima dirimu. Biarkan hatinya yang memilih kamu Ray.”

“Iya Tuan, saya mengerti.”

Bagaimana Leo tidak luluh, selama empat tahun Rayden menghilang hanya untuk memantaskan diri menjadi menantunya dan membuat dia yakin kalau Maula bisa aman dengannya.

Maula yang sudah berpenampilan rapi dan cantik, langsung berlari memeluk Rayden yang sedang duduk bersama Leo.

“Dasar pria tua kurang ajar, kau menghilang selama empat tahun dan seenaknya datang tanpa dosa ke rumahku hah?” Maula merepet dan memukuli tubuh Rayden berkali-kali.

Pria itu hanya menangkis dengan tangannya sambil terkekeh kecil.

“Maafkan aku, aku hanya memenuhi tugas dan sekarang aku kembali kan?” Maula berhenti lalu duduk di samping Leo.

“Pa, aku mau mengurus beberapa dokumen ya. Karena sopirku sudah datang, boleh aku pergi dengannya?” Leo menatap Rayden lalu membawa pandangan ke arah Maula.

“Silakan, jangan berpikir untuk membuat kasus baru dengannya.” Maula tertawa.

“Siap Papa.”

...***...

Di dalam mobil, Rayden memutar lagu romantis agar suasana mencair dari ketegangan saat ini.

“Masih marah?” tanya Rayden membuka pembicaraan.

“Memang kau lihat apa? Aku jingkrak-jingkrak kesenangan?” Rayden langsung mengatupkan bibirnya, melawan Maula bukan hal baik saat ini.

Rayden menemani Maula mengurus beberapa dokumen penting yang akan dia gunakan ketika pergi ke Spanyol nantinya. Cukup lama, hingga pukul 15.00 baru selesai.

Maula terlihat begitu lelah, Rayden membukakan minuman botol lalu memberikannya pada Maula.

“Tidak sia-sia aku berjuang selama empat tahun ini, dia semakin cantik dan lebih dewasa. Walau mulutnya masih berapi-api.” Rayden terpana melihat Maula, gadis kecil yang dia cintai sejak dulu.

“Aku mau makan dulu,” pinta Maula dengan manja.

“Oke. Resto mana?”

“Terserah, yang penting enak.” Rayden mengangguk, dia membawa Maula ke resto biasa. Tempat langganan mereka dulu.

Maula memilih duduk di dekat jendela sambil menatap jalanan yang semakin ramai dilalui orang-orang.

Tatapan Rayden seakan terkunci pada Maula, dia bahkan tak berkedip sama sekali setelah memesan beberapa makanan tadi.

“Kau ini ke mana saja, uncle? Kau sama sekali tidak menghubungi aku.” Rayden menggeleng pelan dan fokus pada pembicaraan saat ini.

“Aku merintis bisnis di Spanyol, aku berhenti bekerja pada Archer.” Maula tersenyum dan melipat kedua tangannya di atas meja.

“Spanyol? Wah, kita akan sering bertemu nanti ya, paling tidak sekali sebulan lah kalau lokasimu jauh dari kampusku.” Rayden ikut melipat kedua tangannya di atas meja dan menatap Maula dari dekat.

“Rumahku dekat dengan rumah yang disewa oleh Tuan Leo. Dia juga meminta aku untuk menjaga kamu, menjamin ke pihak universitas jika kau berulah lagi.” Maula tertawa.

“Serius?”

“Ya, aku serius.”

“Hm apa kau sudah memiliki kekasih?” Rayden menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Maula.

“Belum.”

“Sampai kapan kau akan sendiri terus? Kau masih normal kan?”

“Masih, pikiranmu jauh sekali.”

“Ya wajar, dari awal aku kenal kamu, kau sama sekali tidak melirik wanita mana pun. Kau juga tidak memiliki kekasih.”

“Karna tidak akan wanita yang mampu menarik perhatianku.”

“Memang tipemu seperti apa? Setahuku, selama kau bersama kami, banyak gadis yang menggatal padamu tapi kau cuek saja.”

“Sudah kubilang, tidak ada yang berhasil menarik perhatianku.”

“Oke. Wanita seperti apa yang kau inginkan?” Rayden menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

“Sepertimu, Piccola.”

Sayangnya, kalimat itu hanya bisa dia ungkapkan di dalam hati.

“Kita lihat saja nanti, kau akan tahu juga.”

“Baiklah, percuma juga kalau aku memaksa dirimu sekarang. Oh iya, apa aku ini cantik?” Rayden langsung tersedak mendengar pertanyaan Maula, dia baru saja meminum air mineral.

“Tiba-tiba sekali kau bertanya begitu?”

“Soalnya aku sedang mendekati seorang pria, dia suka gadis yang modis dan cantik. Bagaimana pendapatmu?”

“Kau itu jelek, tidak modis sama sekali dan penampilanmu sangat udik.” Maula menganga mendengar jawaban Rayden, ia melemparkan buku di dekatnya pada Rayden.

“Pria tua sialan,” umpat Maula yang hanya dibalas kekehan oleh Rayden.

“Aku di depanmu sekarang, Piccola. Kenapa malah pria lain yang menarik hatimu?”

...•••Bersambung•••...

Bab 3 : Langit Baru

...•••Selamat Membaca•••...

Selesai makan, mereka lanjut ke taman dengan satu es krim di tangan masing-masing. Duduk di bangku sambil senderan, seperti biasa—Maula menaruh kedua kakinya di atas paha Rayden dengan santai.

“Kau masih suka membunuh orang?” tanya Rayden serius, Maula mengangguk sambil menyuap es itu ke mulutnya.

“Aku tidak bisa menahan diri ketika melihat orang lain terancam. Anggap saja aku membantu pekerjaan pemerintah dalam membasmi orang-orang jahat.” Rayden tak kuasa menahan tawa, jawaban yang keluar dari mulut Maula sungguh di luar ekspektasi.

“Kau selalu punya ide gila di otak kecilmu itu ya?” Maula hanya menampakkan deretan gigi putihnya.

Puas di luar, mereka kembali ke rumah dan Rayden menginap di rumah Leo pastinya. Malam yang hangat bersama keluarga itu kembali Rayden rasakan.

Thalia yang dulunya masih bayi, kini sudah tumbuh menjadi gadis kecil yang tak kalah cantik dari Maula. Memiliki hidung yang mancung dan mata yang terang. Mereka semua menuruni mata Maureen sedangkan Marlo lebih dominan ke wajah Leo.

“Gimana dokumen kamu sayang?” tanya Maureen yang kini mengusap lembut kepala Maula di atas pahanya.

“Udah selesai Ma, dua hari lagi aku udah bisa berangkat ke Spanyol.”

“Kamu fokus sama pendidikan, jangan aneh-aneh ya di sana.”

“Iya Ma. Jangan khawatir.”

“Mama sama Papa nggak bisa nganterin kamu ke sana, paling sebulan lagi baru kami bisa ke sana.” Maureen merasa kasihan pada Maula karena hari pertamanya tidak bisa ditemani.

“Uncle Ray kan ada, selama ada dia, aku aman aja.” Rayden yang sedang asyik bermain tebak gambar dengan Thalia langsung mengalihkan pandangannya pada Maula dan Maureen.

“Saya akan menjaga dia dengan baik Nyonya, lagian rumah Maula tak jauh dengan rumah saya. Aman saja.” Maureen dan Leo tersenyum, memang tidak salah mereka mempercayakan Rayden sebagai penjaga anak itu.

Tiba harinya untuk berangkat ke Spanyol, Leo membekali putri sulungnya dengan materi yang cukup. Ia memastikan kalau Maula tak kekurangan uang sama sekali, Leo dan Maureen mengantar kepergian Maula dan Rayden ke bandara.

“Selalu kasih kabar ke kami ya, jangan lupa makan dan tidak boleh keluyuran dengan bebas. Ingat! Kamu anak perempuan.” Maula memberikan hormat pada Maureen yang begitu khawatir dengan dirinya.

“Oke Mama.”

“Sebulan lagi kami akan menyusul, jaga dirimu baik-baik.” Kini Leo yang memeluk putrinya.

Lambaian tangan mengiringi kepergian Maula dan Rayden. Mereka menaiki pesawat dengan hati yang bahagia, Maula sendiri tidak menyangka bahwa dia akan ditemani oleh Rayden selama kuliah di Madrid.

...***...

Pesawat Qatar Airways mendarat di Aeropuerto Adolfo Suárez Madrid–Barajas pada pukul 09.12 pagi waktu setempat. Setelah hampir lima belas jam perjalanan dari Jakarta dengan transit di Doha, Maula Chulpan Maximillian akhirnya menginjakkan kaki di tanah yang hanya ia kenal lewat peta dan film. Spanyol. Tepatnya, Madrid—kota tua penuh gairah, dengan riwayat panjang dan jalanan yang bersuara dalam diam.

Ia mengenakan coat panjang berwarna krem dan sepatu boots kulit cokelat tua. Aroma udara kering dan dingin langsung menyambutnya saat ia keluar dari bandara.

Di kejauhan, deretan pegunungan Sierra de Guadarrama tampak membiru seperti garis ilusi di ujung cakrawala. Sopir pribadi yang disewa Leo telah menunggu sejak pagi, berdiri di samping Mercedes hitam mengilap dengan kertas bertuliskan: Senorita Maula Chulpan Maximillian.

“Papa tidak bilang kalau dia menyuruh orang untuk menjemput aku ke bandara,” lirih Maula yang membuat Rayden ikutan bingung.

“Kamu yakin?” Maula mengangguk mantap. Rayden yang curiga, langsung menghampiri sopir tersebut.

Setelah beberapa menit berlalu, Maula menerima pesan di ponselnya dan dengan cepat ia lihat.

[Selamat datang di negaraku, Senorita]

Maula mengerutkan dahi, ia tidak mengetahui siapa pengirim pesan tersebut.

“Apa dia lagi? Tapi ini Spanyol. Oh come on Maula, abaikan saja, kau bukan gadis yang mudah untuk diteror begini.” Maula menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku.

Rayden kembali dan mengangguk, menandakan kalau sopir tersebut memang suruhan Leo.

“Papamu memang meminta dia, hanya sopir hari ini saja. Mengantarkan kamu ke rumah yang sudah disewa Tuan Leo selama kamu di sini.” Maula mengangguk lega, dia tidak memberitahu perihal pesan tadi pada Rayden karena baginya tidak penting.

Tujuan mereka bukan apartemen sempit di pusat kota, melainkan sebuah rumah sewaan mewah yang terletak di La Moraleja, distrik elite di wilayah Alcobendas, sekitar 17 kilometer utara pusat Madrid.

Dikenal sebagai kawasan paling prestisius dan aman di seluruh kota, La Moraleja dihuni oleh para ekspatriat kaya, diplomat, pengusaha, dan bahkan beberapa bintang sepak bola.

Rumah-rumah besar dengan pagar tinggi dan taman tersembunyi berderet di balik jalan-jalan yang tenang dan lebar.

Rumah itu berdiri di Calle de Azalea, tak jauh dari lapangan golf dan taman alami. Bangunannya bergaya kontemporer dengan sentuhan klasik Spanyol, dinding putih gading, jendela besar berpola lengkung, dan halaman belakang seluas hampir 800 meter persegi yang dilengkapi kolam renang dan paviliun kecil.

Dalamnya lebih memukau dengan lantai marmer Italia, langit-langit tinggi dengan lampu gantung dari Murano, dan perpustakaan pribadi yang dipenuhi buku-buku berbahasa Spanyol, Inggris, bahkan Latin.

Leo menyewakan rumah itu untuknya selama masa studi—bukan hanya sebagai tempat tinggal, tapi juga perlindungan. Ia tahu, di tengah dunia baru yang asing dan penuh tekanan, anaknya butuh ruang yang aman untuk tumbuh.

Leo juga menempatkan beberapa anak buahnya untuk berjaga di kawasan tersebut. Secara, Maureen adalah ibu yang selalu cemas dengan semua anak-anaknya. Apalagi Leo yang begitu protektif dengan Maula.

Maula juga diberikan sebuah mobil pribadi yang mewah dan berkelas, cukup  baik untuk dia yang baru di negara tersebut.

Dari La Moraleja ke kampus Universidad Autónoma de Madrid (UAM), yang terletak di kawasan Cantoblanco, jaraknya hanya sekitar 10 kilometer.

Dengan mobil pribadi atau taksi, waktu tempuhnya sekitar 15–20 menit lewat Autovía M-607, jalan bebas hambatan yang menghubungkan Madrid dengan kota-kota di utara. Rutenya langsung, melewati hutan pinus dan lahan terbuka yang jadi pembeda nyata antara dunia sibuk kota dan wilayah akademik yang lebih tenang.

Maula memasuki rumah barunya, semua fasilitas dirinya begitu lengkap.

“Papa, Mama, I Love You. Kalian memang yang terbaik.” Maula sangat mengagumi rumah tersebut. Rayden membantunya untuk menyusun beberapa barang dan menatanya dengan rapi sehingga Maula nyaman.

“Rumahku tidak jauh dari sini, aku akan melihat keadaanmu setiap hari dan memberi laporan pada Tuan Leo.” Maula terkekeh.

“Kau tidak perlu segitunya padaku, kau juga memiliki kehidupan sendiri, uncle.” Rayden mendekat dan memegang dagu Maula.

“Bisakah kau memanggil namaku saja? Jika nanti teman-temanmu mendengar kau memanggil ‘uncle’, bisa ditertawakan aku,” protes Rayden yang disambut tawa hangat oleh Maula.

“Siap Ray. Apa itu terdengar sopan?”

“Sangat sopan dan... akrab.”

“Oke.”

Selesai berkemas, Rayden membawa Maula untuk membeli perlengkapan makanan ke supermarket. Sudah seperti seorang suami yang menuntun istrinya berbelanja, mereka membeli begitu banyak sehingga Maula tidak perlu belanja untuk dua minggu ke depan.

Malamnya, Rayden dan Maula memasak bersama, Rayden mengajarkan Maula mengolah beberapa bahan makanan.

“Aku pulang dulu, jaga dirimu dan jangan keluyuran malam-malam. Jika kau perlu sesuatu, hubungi saja aku.” Maula mengangguk, mereka berpisah untuk malam ini.

“Hati-hati di jalan Ray, temani aku tidur malam ini, oke.” Rayden menyusun kelima jarinya ke dahi lalu tersenyum pada Maula.

Dia menggunakan helm dan menaiki motor besar kesayangannya. Maula menutup pintu dari dunia luar malam ini dan siap menyambut hari esok.

...***...

Saat pertama kali memasuki kawasan kampus, Maula merasa seperti berada di universitas dalam film-film Eropa. Gedung-gedung kampus luas, didesain fungsional tapi tetap estetik, dikelilingi taman dan pepohonan. Fakultad de Medicina berdiri megah di sisi timur kompleks, dengan kaca tinggi yang memantulkan langit dan langit-langit aula anatomi yang menjulang seperti basilika modern.

Ia berdiri di pelataran, menatap tulisan Universidad Autónoma de Madrid. Dadanya sesak oleh rindu, kagum, dan tekad yang mulai menajam. Dunia barunya bukan lagi mimpi atau peta. Dunia itu sekarang ada di depan mata.

“Aku akan lulus dengan nilai terbaik di sini,” tekad Maula penuh keyakinan.

...•••Bersambung•••...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!