NovelToon NovelToon

LIKU-LIKU SANG MANTAN

BAB 1

Jika suatu hari kamu tak lagi di sampingku, jika suatu hari kamu tak memelukku. Aku bisa apa?

Layaknya ikan yang hanya bisa hidup dan bernafas di air. Aku yang terlalu bodoh. Hanya mencintai kamu, dan melupakan tentang diriku sendiri yang harusnya lebih berharga dari hal apapun.

BAB 1 (Aku ingin bangun dari mimpi buruk)

Selepas mencuci muka, aku keluar dari toilet. Berjalan sempoyongan menaiki tangga menuju lantai dua. Bersiap-siap merapikan meja kerjaku, sebelum bel di Pabrik berbunyi. Beberapa rekan juniorku sudah berlenggang wara wari melewati ruang kerjaku, karena tampak dari kaca jendela.

Tok tok

Aku mengangkat kepalaku, setelah berhenti mematikan laptop, melihat temanku Vira yang tersenyum di luar jendela menungguku untuk keluar. Mataku berkeliling memastikan lagi barang yang aku bawa pulang sudah lengkap atau belum.

“Ayo, pulang!” ucap Vira yang tak sabaran, dia masuk ke ruang kerjaku dengan aroma parfum jasmine yang menyengat.

“Ah, astaga,” keluhku sambil menutup hidung karena tak kuat dengan aroma parfum yang digunakan Vira. Mungkin, kalau 2, 3 semprotan di tubuh tidak masalah. Namun, karena aku tahu kebiasaan seperti mandi parfum membuat kepalaku sejenak pusing.

“Akhirnya, setelah berbulan-bulan lembur, kita bisa merasakan udara sore dan melihat matahari sebelum terbenam,” ucap Vira yang tampaknya bahagia, karena hari ini tidak ada jam lembur. “Gila, kita setiap hari kerja berangkat pagi pulang tengah malam selama 6 bulan terakhir, pulang tidur, bangun lagi kerja,” imbuh Vira yang masih mengomel. Sedangkan pikiranku sekilas antara peduli dengan perkataannya atau sekilas peduli dengan seorang pria yang berjalan di depanku saat ini. Detak jantungku bergemuruh kacau.

“Dia, mantanmu kan?” tanya Vira lirih membisik setelah memperhatikanku menatap punggung pria berkulit putih dengan tinggi 180 cm itu. Aku hanya diam, dan menarik tangan Vira untuk berjalan ke arah lain. Namun, baru beberapa langkah sudah ketahuan.

“Ra,” sapa Reino, yang tak lain mantan kekasihku. Kami baru saja putus sekitar 3 bulan lalu. Dengan waktu yang cepat pula, seperti nya hubungan cinta kami yang bersemi selama 3 tahun, mudah dilupakannya. Karena baru saja Reino melangsungkan pernikahannya 2 bulan ini. Hatiku terguncang begitu lama setelah mendengar kabar pernikahan itu, aku kira hubungan kami akan rujuk kembali seperti sebelum sebelumnya yang sering putus nyambung. Tetapi, kenyataannya kali ini Reino tak ada niatan untuk kembali lagi padaku, dan lebih memilih menikahi wanita lain yang dikenalnya beberapa bulan saja.

Aku tak menjawab sapaannya, dan langsung mempercepat langkahku untuk menghindarinya. Tanpa terasa, perasaan yang aku susun rapi menjadi kacau kembali setelah mendengar suara Reino. Aku semakin sadar jika masih mencintainya. Namun, ini sudah mustahil untuk bisa kurebut hatinya kembali.

“Aroma, aroma pengantin baru memang bikin meleleh ya. Dia semakin terlihat tampan,” kata Vira, seakan mengejekku. Aku hanya terdiam tak menyahuti.

“Aku doakan kamu segera menyusul Ra, semoga habis ini kamu bertemu pria tambatan hati. Kamu sih, tau masih cinta malah bilang putus.” imbuh Vira. Aku mempercepat langkahku dan langsung masuk ke dalam mobil. Meninggalkan Vira yang awalnya ingin menebeng sampai kosnya.

Emosiku meluap, meradang. Mendengar perkataan Vira yang seakan membuatku terpojok kembali. Setelah orang tuaku yang menyalahkanku karena Reino pada akhirnya tidak menikahiku dan memilih wanita lain, kini sahabatku juga berlarut-larut mengungkit masalah itu.

Hatiku kesal dan iri bercampur aduk menggema di dalam. Aku ingin berteriak jika perpisahanku dan Reino hanyalah sebuah mimpi buruk dan seketika saat aku bangun aku masih bisa bersandar di pundaknya, mengecup bibirnya dan memeluknya. Aroma tubuhnya yang sesaat lewat di depanku tadi, membuat perasaanku bertambah kacau. Hubungan ku bersamanya bukan sebentar, bahkan kami sudah saling tahu seluk beluk tubuh masing-masing.

Harusnya aku tidak terlambat mengambilnya kembali, harusnya aku datang sebelum pernikahannya, meminta maaf atas kesalahanku dan tunduk lagi kepadanya. Beberapa kalimat mustahil lagi dan lagi memenuhi otakku, semua semakin rumit karena hanya berisi kalimat “seharusnya.”

Aku merasa dia kejam, meninggalkanku setelah aku berikan segalanya dari dalam diriku. Kenapa tidak memulai dulu meminta maaf, seperti sebelum-sebelumnya. Sebelumnya puluhan kata aku meminta putus, dia selalu menarikku kembali. Memelukku kembali. Memberikan kenikmatan padaku di atas ranjang lagi, dan akhirnya aku luluh dalam pelukannya.

“Kenapa tidak kali ini?!” teriakku di dalam hati.

“Dasar bajing*n!” Teriakku kali ini dengan lantang. Lagi dan lagi, aku terperangkap dalam kesedihan ini. Ingin melupakannya. Namun, kami masih dalam satu Pabrik. Usiaku yang tidak muda, membuatku enggan keluar dari pekerjaan untuk memulai hal baru lainnya. Meskipun berusaha menghindar. Tetapi, Tuhan seakan akan juga ingin menertawakanku. Mempertemukan aku dan dia lagi, lagi, lagi.

Rrrreeeeetttttt

Suara getar ponsel ku dapat ku lihat. Aku melihat nama Vira yang mencoba menghubungiku berulang kali. Aku mengabaikan juga, aku masih marah dengan sikapnya dan ucapan-ucapannya tadi.

Aku semakin menancap gas lebih cepat. Seluruh darahku seakan ikut naik ke atas kepala. Melihat Reino bagaikan sebuah pancingan dosa untukku mengumpat Tuhan lagi.

Hingga akhirnya….

Aku menginjak rem kuat-kuat, dan tanpa sadar menabrak seseorang dengan mobilku. Tatapanku kosong seketika, tubuhku bagai di sambar petir. Tangan dan kakiku langsung lemas. Beberapa orang meneriaki ku dari kedua sisi jendela kanan kiriku, menyuruhku untuk keluar dari mobil dan bertanggung jawab. Jantungku berdetak lebih kencang, tubuhku kaku gemetar dan pandangan mataku mulai berkunang-kunang. Semua tampak gelap dan suara teriakan itu semakin lirih ku dengar. Mataku masih mencari kesadaran, dan terakhir kalinya sebelum benar-benar terpejam. Aku memastikan lagi cincin di jari manisku masih melingkar atau tidak, karena itu adalah hadiah terakhir yang Reino berikan padaku, aku tidak ingin kehilangan janji itu. Berharap jika waktu bisa ku putar kambali, aku masih ingin memeluknya dan mencium setiap inci di tubuhnya. Aku merindukan hal itu.

“Sayang, maafkan aku,”

“Sayang, maafkan aku,”

Seharusnya malam itu aku berlari dan mengatakan itu padanya, jika itu aku lakukan aku tak akan menjadi seperti ini. Aku tak akan terkurung dan terpenjara dalam kebencian pada diriku sendiri.

BAB 2

Saat ini pikiran yang bodoh mengelilingi otakku. Kacau, berantakan dan tak terarah. Salah satu imajinasi tol*l ku adalah berharap jika aku mati, aku akan lahir kembali di kehidupan baru. Mendapatkan kebahagiaan, keberanian dan kesuksesan dalam berkarir. Hari-hariku bahagia, tidak melihat perceraian dan pertengkaran kedua orang tuaku. Tidak mendengar keberisikan memiliki 2 adik kembar yang selalu memperebutkan banyak hal. Aku ingin lahir di keluarga kaya raya, orang tuaku memiliki harta yang tak habis 7 turunan, menjadi anak tunggal bergelimang cinta dan harta. Hingga aku tak pernah takut dengan apa yang dinamakan kehilangan.

Aku menginginkannya. Imajinasi konyol dan kotor, terbesit begitu saja ketika aku bangun tidur dengan keadaan tubuh dan pikiran yang lelah. Tubuhku beristirahat akan tetapi, otakku berisik.

Bab 2 ( Ingin Mati Saja )

Aku seakan baru saja terbangun dari mimpi panjang. Mataku perlahan terbuka dan mulai pikiranku mencoba menerka nerka keberadaanku saat ini. Aku menghirup aroma pengharum ruangan bercampur dengan aroma obat-obatan.

Melihat Ibuku bergegas bangun dari tempat duduknya, menekan tombol di samping kiriku, lalu beberapa saat kemudian seorang Perawat masuk kedalam ruangan. Aku masih syok dan belum seutuhnya mengingat apa yang terjadi.

Perawat itu mengecek detak jantung dan nadiku, menanyaiku dengan kalimat yang sama berulang kali. “Apa yang dirasakan saat ini, Bu? “

“Kepalaku sedikit pusing,” jawabku

“Dan rasanya seperti ketakutan.” Imbuhku.

Tiba-tiba tangan kanan ibuku memukul belakang kepalaku dengan kesal.

“Kau baru saja menabrak orang, kau tidak ingat!” ketus Ibuku.

Pintu terbuka lagi, satu orang Polisi masuk kedalam ruangan. Aku terkejut melihatnya.

“Apa dia… mati?” tanyaku tertatih.

Perawat itu membicarakan kondisiku kepada Polisi, aku tak menggubris apa yang mereka bicarakan. Intinya, saat ini aku benar-benar ketakutan. Memikirkan hal paling buruk jika orang yang aku tabrak tadi meninggal, lalu aku akan masuk penjara. Semua keadaan ini membuatku gemetar.

Tanpa pertanyaan lainnya padaku, Polisi itu keluar dari kamar, diikuti dengan perawat itu di belakangnya.

“Kau minum?” tanya Ibuku, pertanyaan minum yang menjurus ke arah minuman alkohol.

“Ibu, apa dia mati?” aku menjawab dengan pertanyaan lain.

“Ibu tidak tahu,” jawab ibuku sambil mengetik pesan di handphonenya.

Tubuhku lemas tak berdaya, seakan ingin tak sadarkan diri lagi lebih lama.

“Ibu akan keluar, menanyakan kondisi korban.” ucap Ibuku, keluar dari kamar.

Aku seperti orang gila yang linglung, menjambak rambutku sendiri dengan kuat, lalu memukul kepalaku berulang kali dengan genggam tanganku.

“Ya Tuhan, aku sudah lelah hidup sial seperti ini.” gerutuku.

Aku menunggu sekitar 15 menit, setelah itu Ibuku masuk ke dalam kamar.

“Wanita itu masih tidak sadarkan diri, sepertinya lukanya tidak cukup parah. Dia hanya sedikit terserempet,” kata Ibuku memberikan kabar tentang kondisi wanita yang aku tabrak.

“Ada saja ulahmu Ra, bagaimana kalau keluarganya minta uang banyak untuk kekacauan ini! Kau ada uang!!”

Aku menggelengkan kepala, lalu tertunduk.

Polisi itu masuk lagi kedalam kamar dan membuatku semakin gugup. Polisi itu memberikan beberapa pertanyaan padaku tentang kecelakaan yang barusan aku alami. Melihat mobilku dalam keadaan aman dan baik, serta aku tidak dalam pengaruh minuman keras dan obat-obatan, mencurigaiku dendam kepada wanita itu sehingga menabraknya. Aku pun memberikan penjelasan, jika saat itu pikiran dalam keadaan tertekan karena kelelahan dalam bekerja dan tidak mengenal wanita itu sama sekali. Ku tambahkan sedikit kebohongan, jika tiba-tiba kepalaku pusing berat sebelum akhirnya mengerem mendadak.

Polisi masih tampak curiga dengan penjelasanku, lalu memintaku untuk beristirahat sejenak sebelum beberapa pertanyaan lagi nanti akan ia tanyakan kembali.

Setelah Polisi itu keluar kamar, aku menarik nafas sedikit lega. Ibuku terus mengomel dan memakiku tanpa henti. Membuatku semakin stres hingga akhirnya berteriak dan membuat ibuku keluar dari kamar meninggalkanku.

Aku kembali berbaring di tempat tidur, mencoba memejamkan mata dan menenangkan kegelisahan.

“Tuhan, ambil saja nyawaku. Aku sudah lelah dengan derita ini,” ucapku.

“Aku sudah tidak ada lagi semangat untuk hidup, seharusnya aku saja yang mati. Biarkan, wanita itu hidup.”

Mataku terpejam lagi, dan kali ini mencoba bermimpi panjang dan berharap tidak bangun. Takut berhadapan dengan kenyataan, jika harus menghabiskan sisa hidupku di balik jeruji.

“Ra, bangun,”

Aku mendengar dan merasakan tanganku di tepuk berulang kali. Aku berusaha bertahan di dalam mimpi, mengacuhkan kehidupan nyata.

“Jangan pura-pura tidur, keluarganya meminta uang 100 juta jika ingin jalur damai,”

Mendengar uang sebanyak itu membuatku sontak kaget dan membuka mata, ibuku tampak kesal melihatku.

“Apa dia patah tulang?” tanyaku panik.

“Dia baru saja menjalani operasi, wanita itu keguguran.” jawab ibuku.

“Hah…”

“Kau pikirkan saja uangnya, mereka memberi waktu 3 hari, jika tidak mereka akan menguggatmu,”

“Aku dapat uang darimana sebanyak itu, Bu?”

“Seharusnya itu yang kau pikirkan sebelum menabrak seseorang!”

Ucapan ibuku tak membantu sama sekali, ibuku pergi meninggalkanku sendirian, seakan melepas tanggung jawab. Padahal aku tahu, setelah menikah lagi Ibuku terbilang cukup memiliki uang, karena ayah tiriku memiliki pekerjaan yang mapan. Aku memikirkan uang sebanyak itu sendirian, menghitung tabunganku yang tak seberapa, karena sebagian sudah ku habiskan untuk bepergian saat patah hati.

Dengan tubuh terhuyung huyung, aku keluar dari kamar dengan membawa selang infus yang menancap di tangan kiriku. Mencari keberadaan kamar, wanita yang meminta 100 juta itu untuk mengganti atas kehilangan anaknya.

Seorang Perawat, menyuruhku untuk kembali ke kamar. Namun, keinginanku yang sangat penasaran membawa ku tetap kekeuh berjalan mencari kamar wanita tersebut, sambil terus memikirkan ucapan maaf terbaik.

“Haruskah aku bertekuk lutut, meminta maaf sambil menangis, agar dia memaafkanku dan mengurangi angka 100 juta itu,” ucapku di dalam hati.

Perawat yang mengomel masih mengikuti dari belakang.

“Dia suaminya,” ucap Perawat itu.

“Suami dari wanita yang kau tabrak dan baru saja selesai operasi karena keguguran”

“Sayang sekali, usia kehamilannya baru 6 minggu, pasti sangat syok suaminya saat ini.”

Langkahku pun berhenti, punggung lebar itu sangat aku kenal. Aku pernah memeluknya erat dulu. Aku ikut syok, setelah mengetahui wanita itu adalah istri Reino. Perlahan memutar arah tujuanku, aku urungkan permintaan maaf itu. Entah ini sebuah kebetulan, keberuntungan atau kesedihan. Aku melihat orang yang menyakitiku mengalami kesakitan kehilangan yang dalam. Mungkin tidak sebanding dengan kehilangan Reino.

Pemikiran kejam dan jahat mungkin yang bisa aku jelaskan. Wanita itu mengambil Reino dariku, dan aku mengambil nyawa anaknya tanpa disengaja. Mungkinkah ini kesempatan dari Tuhan, masih ada satu langkah lagi aku bisa merebut Reino lagi.

Uang 100 juta bahkan akan aku berikan, jika wanita itu mau mengembalikan Reino padaku. Padahal lelaki itu telah menyakitiku, tetapi aku masih ingin memilikinya.

BAB 3

Entah kenapa aku sangat menyukai Reino. Bertahan selama ini sering di caci ibunya, namun aku tak pernah mundur. Mungkin karena sebelumnya tidak ada yang pernah mencintaiku seperti aku mendapatkan cinta darinya.

BAB 3 ( Perkenalan Dengan Reino )

Sebelumnya aku hanya seorang kutu buku yang payah soal menjalin cinta. Cinta datang dan pergi hanya untuk sekedar memanfaatkanku. Aku terlalu naif.

Ada yang pernah memanfaatkanku untuk sekedar membantunya mengerjakan skripsi, menjadikanku rekening uang, bahkan yang terakhir membawa kabur mobil yang baru ibuku beli sebagai hadiah ulang tahunku ke 20 tahun.

Rasa insecure di dalam diriku dengan penampilan, menjadi masalah utama. Bagiku merasa dicintai dan di bodohi hanya beda tipis. Karena pada akhirnya yang bertahan hanya diri sendiri ketika kesulitan.

Setelah kelar S1, aku melamar di berbagai perusahaan. Namun, kenyataannya di jaman sekarang, semua mengutamakan penampilan. Hingga 2 tahun menganggur, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan di tempat sekarang. Aku menjadi ambisius bekerja untuk bisa naik jabatan dan menjadi salah satu wanita memiliki kedudukan tinggi di Pabrik yang aku naungi. Awalnya, aku berjanji pada diriku sendiri setelah banyak problematik dalam percintaan. Aku ingin melajang seumur hidup saja.

Menikmati hidup dalam kesendirian lebih baik, daripada terus-menerus terluka karena patah hati.

Hingga akhirnya, aku bertemu dengan seorang teknisi berwajah tampan, dengan kulit putih yang bersinar. Pria berpostur tegap dan tinggi, mendatangi ku saat jam makan siang di kantin. Dia tanpa ragu menatapku dan duduk si sebelahku.

“Aku Reino,” ucapnya memperkenalkan diri.

“Ciye…” sindir beberapa teman yang melihat kami saat itu, ada yang bersiul seakan menggoda pertemuan kami.

“Niara.” balasku, tertunduk dengan wajah memerah.

“Nama yang cantik seperti orangnya,” puji Reino

Suaranya begitu lembut dan merdu. Hingga terngiang-ngiang di benakku. Jam makan siang telah usai, namun obrolan kami masih berlanjut. Reino mengikutiku sampai di ruangan kerjaku. Kemudian, berpamitan pergi dengan meninggalkan senyuman yang manis.

“Sepertinya dia terbiasa memainkan perasaan wanita,” batinku kala itu.

Namun, kenyataannya setelah mengenalnya lebih dekat dia sangat sopan dan hanya aku saja wanita yang terlihat diajak bicara saat jam makan siang. Pria yang supel dengan teman lelaki lainnya, tapi tidak terlalu mengakrabkan diri dengan wanita selain aku. Aku merasa, dunianya hanya benar-benar tertuju padaku. Kebersamaan kami mulai berangkat kerja hingga pulang kerja. Reino selalu menjemput dan mengantarku. Aku merasa terjaga dan tidak kesepian lagi. Dia pria yang baik, tidak pernah mengijinkan aku mengeluarkan uang sepersen pun saat kita keluar makan bersama, tidak seperti Pria yang dekat denganku sebelumnya. Meskipun gajinya lebih kecil dariku, dia terlihat bertanggung jawab.

Hubunganku dan Reino dimulai bukan seperti layaknya masa remaja. Jika dengan dulu mantan pacarku terang-terangan menyatakan cintanya dan meminta persetujuan padaku, apakah dia bisa lebih dekat denganku lebih dari teman. Namun, tidak dengan Reino. Usianya lebih tua 3 tahun dari aku, tanpa pertanyaan “Apakah kau mau jadi kekasihku?” Reino yang saat itu mengantarkan aku pulang kerja, dia tak langsung pergi seperti biasanya. Dia memintaku untuk membuatkan secangkir kopi dan ingin bersantai di kamar kos ku, karena saat itu hujan, aku pun mengijinkannya masuk ke kamar kosku.

Kopi hangat dan sepiring kue bolu aku sajikan untuknya, layaknya menghargai tamu.

“Ra…” dia menarik tanganku, hingga aku terjatuh dalam pangkuannya.

Mata kami saling tak lepas memandang, hingga beberapa c*uman mendarat.

Bagiku itulah awalnya hubungan kami, bisa dikatakan lebih dari teman dan dalam status pacaran.

Pertama kalinya hasrat diriku untuk memiliki seseorang menjadi menggebu. Aku tergila-gila pada Pria yang memberiku kenyamanan, selalu mengerti aku dan mengalah dengan keegoisan yang aku miliki.

Aku memberanikan diri memberikan hal yang tidak sepatutnya aku ijinkan orang yang belum memberikan janji sucinya padaku. Beberapa kali mendengar jika hal itu dianggap bukan hal tabu lagi di jaman ini.

Aku sangat posesif dalam hubungan ini setelah melangkah jauh dengan Reino. Sedang Reino juga terlihat hanya setia padaku. Namun, di balik rasa cintanya padaku. Dia sangat utama menuruti kemauan ibunya.

Memilikiku dalam hidup Reino, bagi kedua orang tuanya adalah kesalahan. Dari awal berpacaran dan bertemu dengan kedua orang tuanya, mereka selalu mengatakan padaku untuk segera meninggalkan Reino. Toh, pada akhirnya Reino tetap akan dijodohkan dengan pilihan ibunya.

Namun, kebodohanku yang fatal membuat ku terus berusaha bertahan. Aku tidak memperdulikan ultimatum itu. Selama hubunganku dan Reino masih saling mencintai, Reino pasti pada akhirnya akan tetap memilihku.

Percaya dengan keyakinan itu, hingga membutakan diriku yang padahal layak dimiliki orang lain semestinya. “Apa mungkin aku kurang membuka diri untuk orang lain?” aku selalu menanyakan itu pada diriku sendiri.

Saat sempat putus dengan Reino, aku pada akhirnya mulai ingin mengenal pria lain. Tetapi, setelah menyadari aku sudah melakukan hal lebih dengan Reino, rasa takutku jika ketahuan oleh Pria lain bahwa aku sudah tak s*ci lagi menjadi dilema.

Menyadari sebenarnya akulah yang sudah terperangkap, akhirnya mau tak mau memperbaiki hubungan lagi dengan Reino. Menjadi wanita yang tidak tahu malu, menjadi kata-kata yang selalu aku telan ketika Ibunya Reino menyindirku terus menerus yang tak bisa meninggalkan anaknya.

‘Apa aku harus hamil dulu, baru orang tua Reino setuju?’ pemikiran itu pernah terbesit di dalam otak dungu ku. ‘Tapi jika sama sekali tidak, apa yang harus aku lakukan?’ Aku juga tidak yakin, Reino siap meninggalkan ibunya dan menikahiku.

Mencintai Pria yang sangat menyayangi ibunya lebih dari menyayangi dirinya sendiri sangat menyusahkan. Mengejar cintanya bukan syarat utama dia mau menikahi, melainkan meluluhkan hati ibunya menjadi syarat utama yang harus dilalui.

Hingga benar pada akhirnya. Ibunya Reino tetap memisahkan kami. Hal yang membuatku sangat frustasi. Menikah dengan Reino hanya sebuah impian yang telah sirna. Dan Reino yang sepertinya juga tidak ada effort lebih mempertahankanku. Aku merasa dikhianati, tetapi juga aku merasa akulah yang bodoh.

Mengenal Reino menjadi kesalahan terbesarku. Namun, juga menjadi pengalaman terindahku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!