BACA TERLEBIH DAHULU PERATURAN MEMBACA CERITA INI ❗❗
Buka dan bacalah cerita ini saat malam hari atau tengah malam.
Matikan lampu ruangan sampai sekitar Anda gelap gulita.
Tutup pintu dan jendela rapat-rapat agar tidak ada yang masuk.
Pastikan sekitar Anda tidak ada sesuatu yang bisa menjadi tempat istirahat 'mereka' (lemari, meja, atau barang lainnya)
Cari posisi ternyaman kalian, duduk maupun berbaring. Pastikan tidak ada yang menemani kalian saat duduk maupun berbaring.
Saat membaca jangan pernah sekali-kali menoleh terus-menerus ke kanan, kiri, belakang, depan, maupun menoleh ke arah atas.
Pastikan belakang kalian dinding, agar 'mereka' tidak ikut membaca di samping kalian.
Tepat pada malam Jum'at, kalian harus membaca lebih dari satu part.
PERATURAN INI DIBUAT UNTUK DIPATUHI!! JIKA TIDAK, SELAMAT KALIAN MEMILIKI TEMAN BARU DI SAMPING, BELAKANG, MAUPUN DEPAN KALIAN
JIKA PERATURAN SUDAH DIBACA DENGAN BAIK. SELAMAT BAGI KALIAN SUDAH BOLEH MEMASUKI AREA INI
JANGAN MERASA TENANG KARENA SEMUA KISAH YANG ADA MERUPAKAN KISAH NYATA 👹
SELAMAT MEMBACA ❗❗
Di rumah seorang diri pada malam hari mungkin bagi sebagian orang menjadi salah satu hal yang menakutkan. Beberapa pikiran negatif muncul di pikiran mereka, entah itu karena sesuatu yang jahat atau sesuatu yang tak kasat mata. Tapi tidak dengan perempuan bernama Okta, perempuan itu sudah terbiasa dengan keadaan sendiri ketika malam hari.
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, hampir tengah malam tapi kedua orang tuanya belum ada tanda-tanda akan datang. Okta menatap layar televisi di depannya tanpa minat, masih bersikeras menunggu kedua orang tuanya yang masih berada di luar.
Lelah menunggu kedua orang tuanya yang tak kunjung datang, Okta memutuskan untuk beristirahat. Ia mematikan televisi yang sedang menayangkan sebuah film barat yang tidak ia mengerti.
Ia melangkah menuju kamarnya seraya menguap lebar karena tidak bisa menahan rasa kantuknya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung merebahkan dirinya di atas kasur. Ia bergerak mencari posisi nyaman untuk dirinya bisa tertidur dengan nyenyak.
Ia mengetikkan sesuatu pada layar ponselnya, memberikan pesan pada kedua orang tuanya yang masih belum datang. Ia akan tidur terlebih dahulu, rasa kantuknya sudah tidak bisa ia tahan.
Okta menghentikan jarinya yang terus mengetik di layar ponselnya. Ia terdiam dengan tatapan terus mengarah ke luar jendela kamarnya. Jendela tersebut berhadapan langsung dengan sebuah pohon rambutan berukuran besar yang menghalangi pemandangan sekitar.
Ia menghela napas pelan, mencoba tak acuh pada perasaannya saat ini. Ia sudah terbiasa dengan apa yang ia rasakan, tapi tidak pernah sampai melihat sesuatu yang menyeramkan.
Dari kamarnya saat ini ia bisa mendengar daun-daun lebat terus bergesekkan karena angin malam yang berhembus kencang. Sesekali ia juga mendengar suara kucing liar bertengkar di area atas rumahnya.
Tring
Okta mengalihkan tatapannya ke arah ponselnya yang berbunyi. Ia membaca satu pesan yang baru saja ibunya kirimkan.
Masih lama sayang, ini macet banget. Pintu rumah kunci aja, takut ada maling
Okta menghela napas pelan, ia tidak begitu peduli dengan maling yang menggegerkan warga sekitar rumahnya. Lagi pula pintu utama sudah ia kunci dan percaya jika rumahnya akan aman dari maling.
Angin kembali berhembus dengan kencang, disusul dengan suara guntur yang cukup mengejutkannya. Suasana malam semakin sunyi, hanya suara daun-daun yang saling bergesekkan yang terdengar.
Mau hujan, pikir Okta.
Okta mengalihkan perhatiannya pada ponselnya saat ini, mencoba mengabaikan perasaannya yang sedikit mengganjal. Ia menyamankan posisinya seraya memainkan game online yang ada di ponselnya. Dirinya tiba-tiba tidak bisa tertidur, rasa kantuk yang sedari tadi ia rasakan menghilang begitu saja.
Tok... Tok....
Okta mengalihkan tatapannya ke arah jendela kamar dengan jantung berdetak cepat. Suara ketukan tersebut terdengar jelas, ia sangsi jika angin yang berhembus bisa mengetuk kaca jendela kamarnya.
Ia terdiam, mencoba untuk mendengar kembali suara ketukan dari jendela kamarnya. Ia bukan perempuan penakut, ia sudah terbiasa sendiri sampai ia menjadi seorang perempuan pemberani.
Tapi tidak dengan malam ini, rasanya seperti berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Biasanya ia hanya merasa jika dirinya diperhatikan, tidak sampai mendengar suara aneh-aneh dari sekitarnya.
Tok... Tok....
Okta mengubah posisinya menjadi duduk di atas kasur. Ia meletakkan ponselnya begitu saja untuk memfokuskan perhatiannya pada suara ketukan di jendela.
Merasa jika suasana menjadi mencekam, ia langsung mematikan lampu kamarnya untuk segera tertidur. Ia menarik selimut tebal untuk membantu menutupi seluruh tubuhnya agar tidak kedinginan.
Ia mengubah posisinya menjadi menghadap ke arah lemari kamarnya. Ia terdiam dengan tatapan mata terus mengarah ke arah kaca yang ada di lemarinya. Kaca lemari tersebut mengarah langsung ke jendela kamarnya, dari pantulan tersebut ia bisa melihat daun-daun lebat dari pohon rambutan besar depan jendela kamarnya.
Kalimat 'jika kita takut dengan mereka, mereka akan terus mengganggu kita' selalu ia terapkan ketika sedang ketakutan. Ia percaya jika mereka menghisap energi negatif kita untuk semakin kuat. Jika kita berani dan mengeluarkan energi positif, hantu tidak akan muncul begitu saja di depan kita.
Ia mengumpat kesal karena rasa kantuk yang ia rasakan benar-benar menghilang. Ia sangat membenci rasa kantuknya yang menghilang ketika ia sedang terjebak di suasana mencekam seperti malam hari ini.
Dirinya sudah tidak ada minat untuk memainkan ponselnya. Apalagi lampu kamar sudah ia matikan, ia tidak ingin matanya kembali rusak karena selalu memainkan ponselnya di ruangan gelap.
Rasa penasarannya yang tinggi membuat ia kembali menoleh ke arah pantulan kaca lemarinya. Ia terus menatap ke pantulan kaca tersebut dengan tatapan yang sulit diartikan.
Okta memejamkan matanya, mencoba untuk tertidur walaupun dengan perasaan yang terasa aneh. Dalam hati ia terus merapalkan doa-doa agar perasaan negatif yang ia rasakan menghilang.
Tok... Tok....
Ia kembali membuka matanya karena mendengar jendela kamarnya terus diketuk. Saat ini ia selalu meyakinkan perasaannya jika itu hanya halusinasinya saja. Ia tidak ingin berpikiran hal negatif pada malam hari ini, takut jika hal tersebut benar-benar terjadi.
Tidak ada apa-apa, batinnya seraya menatap pantulan jendela dari kaca lemarinya.
Ia kembali memejamkan matanya, mencoba untuk tertidur kembali. Dalam hati ia berharap jika kedua orang tuanya akan datang. Semakin lama sendiri di suasana seperti ini, membuat perasaannya semakin tidak nyaman.
Tok... Tok....
Lagi, ketukan di jendela kamarnya membuat ia kembali membuka matanya. Ia berdecak kesal karena merasa terganggu dengan ketukan tersebut.
"Jangan ganggu, biasanya juga gak ganggu," kesal Okta.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malas. Sudah sejam ia berusaha untuk tidur tetapi tidak bisa. Ketukan di jendela kamarnya benar-benar mengganggunya malam ini
Ia menoleh ke arah pantulan kaca lemarinya. Ia memicingkan matanya saat melihat sesuatu hal yang tampak janggal. Ia terdiam saat ia menyadari ada sesuatu di balik jendela kamarnya.
Bentuknya tidak terlihat jelas, tapi ia tau bentuk sosok itu besar dengan bulu-bulu hitam di tubuhnya. Saat ini ia hanya bisa melihat dua mata merah yang mengintip dari celah gorden kamarnya. Mata merah tersebut terus menatap ke arahnya melalui pantulan kaca lemari di kamarnya.
Okta menelan salivanya susah payah, baru kali ini ia melihat sosok menyeramkan seperti itu. Sebelumnya ia tidak pernah melihat sosok menyeramkan yang selalu diceritakan orang-orang di sekitarnya. Tapi malam ini, ia melihat sosok tersebut.
Ia terus menatap mata merah tersebut melalui pantulan kaca lemarinya. Dirinya seperti dipaksa terus menatap ke arah sosok tersebut. Bahkan tubuhnya pun saat ini tidak bisa ia gerakkan dengan bebas. Seperti ditahan oleh sesuatu yang membuatnya terus menatap ke arah sosok tersebut.
Okta mengerjapkan matanya terkejut saat mendengar suara kaca yang digesek oleh benda tajam. Ia meringis ngilu karena suara tersebut terdengar nyaring di telinganya.
Ia menghembuskan napasnya beberapa kali dengan pelan, mencoba untuk menenangkan dirinya saat ini. Ia memejamkan matanya perlahan untuk segera tidur, berharap jika ia segera tertidur pulas dan melupakan sosok hitam di depan jendela kamarnya.
"Bisa tidur ayo," gumamnya gusar.
Ia menghela napas lelah karena rasa kantuknya yang tidak kunjung datang. Dengan perasaan tidak menentu, ia mencoba untuk melirik ke arah pantulan jendela dari kaca lemari di depannya.
Ia menelan salivanya susah payah saat melihat sosok tersebut masih ada di dekat jendela kamarnya. Bonus dengan mata merah yang menyala serta taring besar nan tajam yang baru dikeluarkan sosok tersebut.
•••
Matahari pada siang hari ini terasa sangat panas. Tidak ada satu orang pun yang ingin berlama-lama berkegiatan di luar ruangan siang hari ini. Sengatan sinar matahari siang hari ini rasanya seperti membakar kulit siapa saja yang berkegiatan di luar ruangan.
Tisha menghela napas lega saat dirinya sudah sampai di depan rumah temannya. Ia melangkah masuk ke dalam rumah temannya untuk mendapatkan hawa sejuk dari pendingin ruangan setelah ia harus menerjang panasnya sinar matahari siang ini.
"Tis," panggil Ica.
Tisha menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menatap ke arah Ica yang baru saja keluar dari dalam kamar, "hai," sapanya.
"Di ruang tengah aja, agak adem. Di ruang depan panas, di tengah ada AC. Jadi enak tinggal ngadem."
Tisha menganggukkan kepalanya setuju mendengar perkataan Ica. Lagipula ia memang membutuhkan udara sejuk dari pendingin ruangan, tubuhnya sudah berkeringat karena terlalu lama di luar rumah.
Sesampainya di ruang tengah, ia menatap ruang tengah dengan tatapan menelisik. Cahaya matahari tidak masuk ke area ruang tengah, membuat ruangan tersebut terlihat sedikit gelap karena lampu yang belum dinyalakan.
Dari ruang tengah, mereka bisa melihat ke arah pintu utama yang terbuka lebar. Di ruangan tersebut juga terdapat televisi dan juga single bed sebagai pelengkap ruangan agar tidak terlalu kosong.
Tisha langsung duduk lesehan di dekat kasur seraya menyadarkan tubuhnya yang lelah pada dinding di belakangnya. Ia sengaja duduk di dekat kasur karena letaknya yang tidak jauh dari pendingin ruangan.
"Yang lain sebentar lagi bakal dateng kok."
Tisha hanya mengangguk singkat mendengar perkataan Ica. Sambil menunggu temannya yang lain datang, ia memakan beberapa cemilan yang sudah disediakan oleh temannya itu.
"Mau nonton apa?" tanya Ica pada Tisha.
"Film horor?"
Ica terdiam sesaat, "lo kan tau kalau gue gak berani."
"Kan nonton rame-rame, lagian ini masih siang," balas Tisha tak acuh.
Ica menghela napas pelan, "ya udah deh, tapi nanti lo temenin gue sampe Mama gue dateng ya."
Tisha menganggukkan kepalanya, "hm."
"ICA!!!"
"CA!!!"
Ica menghela napas pelan saat mendengar suara teman-temannya yang lain. Ia beranjak menuju pintu utama untuk menghampiri ketiga temannya yang baru saja datang.
Tisha mengalihkan perhatiannya saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia menghela napas lelah saat melihat ketiga teman laki-lakinya yang baru saja datang.
"Panas banget hari ini!! Gila asli panasnya," keluh Fadhil seraya duduk di ruang tengah.
"Udah biasa," balas Tisha tak acuh.
"Asik nonton horor," ucap Farhan seraya menatap layar laptop milik Ica.
"Sebenernya gue gak mau nonton, tapi paksaan dari Tisha," ujar Ica memberitahu ketiga temannya yang lain.
Tisha mengedikkan bahunya tak acuh mendengar perkataan Ica, "ini lebih seru. Daripada nonton cinta-cintaan gak jelas," ujarnya.
"Bentar, gue minum dulu. Haus, panas banget di luar," ujar Fadhil seraya meminum sirupnya hingga tandas.
"Sha, bener ya nanti temenin gue sampe Mama gue dateng," ujar Ica mengingatkan Tisha.
Pasalnya ia takut mengenai sesuatu hal yang berhubungan dengan hantu. Ia bukan perempuan pemberani yang bisa menonton film horor atau sejenisnya.
"Gak usah penakut ah, nanti disamperin loh," ucap Rizky dengan santai.
Ica memukul bahu Rizky yang menakutinya, "jangan nakutin."
"Makanan sama minuman udah siap kan?! Biar pas nonton enak aja gitu," ujar Farhan pada teman-temannya.
"Ada."
Farhan mulai mencari film horor yang sekiranya seru untuk mereka tonton. Sesekali ia memberitahu teman-temannya mengenai film yang ia pilih.
Sedangkan Ica hanya berdiam diri di dekat lorong menuju dapur dan juga kamar mandi. Ia lebih baik menerima jadi apa yang akan teman-temannya pilih. Lagipula ia tidak terlalu memahami film horor yang sedang ramai saat ini.
"Anjing," umpat Fadhil.
"Kasar," ucap Rizky seraya memukul kepala Fadhil. "Kenapa sih?!"
Fadhil tertawa kecil, "lo liat temen lo tuh, nyari film horor yang ada adegan dewasanya. Gila."
Tisha mencubit lengan Farhan dengan kencang, "jangan yang ada adegan dewasanya, gue tabok lo ya."
Farhan mendengus, ia kembali mencari film horor yang sekiranya seru, "nih ketemu, gue jamin seru dan gak ada adegan dewasanya," ujarnya seraya menekan tombol play.
Saat film telah diputar, mereka semua langsung terdiam dan fokus pada layar laptop di depannya. Tidak ada yang membuka suara, mereka terlalu menikmati film yang sedang diputar.
Mengetahui salah satu temannya tampak takut, membuat keempat orang di depannya sesekali membuka percakapan. Rizky, Farhan, dan juga Fadhil sesekali mengeluarkan celetukan-celetukan yang membuat mereka tertawa.
Rizky menoleh ke arah Ica, "sini Ca, jangan jauh-jauh," ucapnya pada Ica yang terdiam.
Ica menggelengkan kepalanya dengan cepat, "gak ah, takut."
"Cemen lo," cibir Fadhil.
Rizky kembali mengeluarkan celetukan yang membuat mereka tertawa. Ia melakukannya untuk mengurangi rasa tegang yang terjadi antara mereka berlima.
"Anjir, goblok banget tuh orang," umpat Farhan dengan mata yang terus terfokus ke arah layar.
Fadhil dan Rizky tidak tinggal diam, mereka kembali membuat celetukan agar suasana tidak terlalu tegang. Usaha mereka tidak sia-sia karena ketiga temannya yang lain ikut tertawa karena celetukan mereka.
Tontonan yang mereka tonton menjadi terlihat santai dan tidak terlalu tegang. Celetukan asal kembali Fadhil dan Rizky keluarkan, membuat tawa mereka terdengar sampai keluar rumah.
Tisha menghentikan tawanya saat ia merasa sesuatu hal yang aneh. Ia menatap temannya satu persatu dengan tatapan penuh selidik. Mereka semua sedang tertawa keras, tapi dari tawa tersebut terasa ada yang aneh.
Ia mengalihkan tatapannya ke arah Ica yang sedang tertawa. Ia mengerutkan keningnya dengan bingung saat tawa Ica dengan suara tawa perempuan yang ia dengar terasa berbeda.
Tiba-tiba saja suasana ruang tengah menjadi hening. Tisha menatap satu persatu temannya yang langsung terdiam dengan wajah terkejut. Mereka semua yang berada di ruang tengah saling tatap, mencoba memberitahu sesuatu hal aneh melalui kode mata.
Tisha menatap semua temannya dengan tatapan yang sulit diartikan, "dari tadi loh gue dengernya," ucapnya memberitahu.
Semuanya yang berada di ruang tengah terdiam, tidak ada satupun yang membuka suara. Mereka ingin memastikan jika suara tawa perempuan yang mereka dengar bukan dari area rumah Ica.
"Terus siapa?" tanya Ica dengan takut.
Pasalnya suara tawa perempuan tersebut terdengar jelas. Perempuan misterius itu seperti ada di tengah-tengah mereka saat ini.
"Ada Kakak lo?" tanya Farhan mencoba berpikir positif.
Ica menggelengkan kepalanya dengan pelan, "gue sendirian di rumah," jawabnya.
Farhan yang berada di dekat laptop langsung menghentikan film yang sedang diputar. Mereka semua kembali terdiam, mencoba memastikan jika suara tawa perempuan tersebut hanyalah halusinasi mereka.
Suara tawa tersebut kembali terdengar dengan jelas. Kali ini suaranya berada di area dapur dan juga kamar mandi yang berada di bagian belakang rumah.
"Gue gak salah denger kan ini?" tanya Tisha memastikan.
Semuanya menggelengkan kepalanya secara bersamaan. Mereka semua sama-sama mendengar suara tawa tersebut.
"Gue juga denger," ucap Rizky memberitahu.
"Sama."
Brakk
Ica tersentak kaget saat mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Ia langsung mendekat ke arah Tisha yang sama terkejutnya dengan dirinya.
"Itu suara apa?" tanya Rizky ingin tau.
"Dari dapur kayanya," balas Tisha pada teman-temannya.
"Barang dapur ada yang jatuh mungkin Ca," ujar Farhan mencoba kembali untuk berpikir positif.
"Tapi apa?" Ica meremas kedua tangannya dengan gelisah.
"Panci mungkin, atau baskom. Di dapur kan banyak barang," balas Fadhil yang sedari tadi mencoba mencerna apa yang terjadi.
Brakk
Brakk
Dua benda jatuh kembali terdengar, total ada tiga benda yang jatuh dari arah dapur.
"Mau di cek?" tawar Farhan pada keempat temannya.
Ica menggelengkan kepalanya, "gue takut."
"Ada kita."
"Ayo."
Mereka semua melangkah menuju ke arah dapur untuk memastikan tidak ada hal aneh di sana.
"Duluan Han." Rizky mendorong Farhan agar melangkah terlebih dahulu.
"Kok gue?!" kesal Farhan seraya berdecak sebal.
"Gapapa."
Dengan tak ikhlas Farhan melangkah terlebih dahulu, di susul Ica, Tisha, Rizky, dan juga Fadhil di posisi paling belakang. Mereka mengerutkan keningnya dengan bingung saat tidak ada satupun barang yang terjatuh. Semua barang masih berada di tempatnya masing-masing, tidak ada yang aneh di area dapur maupun kamar mandi.
"Gak ada apa-apa," ucap Tisha pada keempat temannya.
"Ya udah balik lagi yuk ke depan," ucap Ica seraya memegang lengan Tisha dengan erat.
Semuanya menganggukkan kepalanya setuju dengan perkataan Ica, mereka kembali melangkah menuju ruang bagian tengah. Sesampainya di ruang tengah, mereka menyibukkan dirinya dengan kegiatan masing-masing. Mencoba untuk mengabaikan suara tawa misterius yang tadi mereka dengar.
"Nanti beneran temenin gue kan Tis, sampe Mama gue dateng," ujar Ica memastikan.
Tisha menganggukkan kepalanya setuju, ia juga tidak berani membiarkan temannya itu sendirian setelah kejadian tadi. Lagipula ia tidak masalah jika harus berlama-lama di sini.
Mereka semua kembali terdiam karena suara tawa dari seorang perempuan yang entah siapa terdengar kembali. Mereka berlima saling tatap, mencoba untuk mencerna suara tawa yang terdengar jelas itu.
"Sebenarnya siapa yang ikut ketawa sama kita?"
•••
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!