Jakarta, Indonesia
LANGIT senja kini tampak begitu cerah dan indah. Namun, entah mengapa, rasanya hari ini begitu menyesakkan. Seakan-akan, dada ini terus bergemuruh dan berteriak lantang dalam tangisan di hatiku.
Suara kasar, keras, dan bentakan defensif yang penuh amarah terdengar sedari tadi saat aku berdiri mematung di teras rumah mewah besar bercat perunggu ini. Tepat tak jauh beberapa meter dari tempatku berdiri, tampak seorang lelaki paruh baya tegap dengan raut wajah memerah dalam amarahnya tengah memelototi lelaki tegap dan masih muda sekitar berusia dua puluh enam yang tengah cemas dan sedih berusaha menjelaskan apa yang terjadi, dan di samping kanannya tampak seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dengan rambut hitam sanggulnya yang tengah meremas lengan gadis manis di sampingnya dengan raut wajah takut dan cemas seraya airmata berlinangan di mata dan pipi putih keriputnya. Gadis manis itu hanya memandang lelaki yang tengah di bentak dengan penuh sedih dan cemas, airmatanya sudah menetes sedari tadi sembari mendekap wanita paruh baya yang tengah berdiri tertegun di sebelahnya. Yeah, mereka keluarga lelaki yang tengah di bentak itu. Keluarga ningrat yang begitu terkenal di kotanya akan usaha-usaha yang telah mereka bangun sejak nol.
"Ayah, kumohon, dengarkan aku? Bisakah mengerti? Sekali ini saja, kumohon?" suara serak lelaki yang sedari tadi sabar itu, dengan teduh memandang lekat kedua mata ayahnya dengan raut wajah memelas. Aku bisa melihat, raut wajahnya begitu sedih dan sakit. Terlebih, melihat adik dan ibunya menangis.
Tak ada yang berkutik, bahkan menentang atau mengucapkan sepatah kata pun. Mereka hanya mematung menyaksikan semuanya. Memang, selama ini, sang ayahlah yang berkuasa. Tak ada yang dapat menentang jika beliau sudah berkata-kata, terlebih mengambil keputusan. Hanya saja, lelaki itu yang pantang menyerah untuk membuat beliau mengerti maksudnya.
Aku yang menyaksikan kondisi yang sungguh membuatku tak tega dan sakit dalam kesedihan ini, hanya bisa memutar mata, lalu menghela napas beratku. Menekan rasa perih yang semakin menjalar dan bergemuruh di benak bagai belati menekan dalam tusukan mirisnya.
Oh Tuhan.
"Jelaskan apa lagi? Kamu mau ayah mengerti apa lagi? Kamu membawa gadis itu kemari, Firhan, dan tiba-tiba saja memberitahu ayah akan keputusan bodoh mu itu. Kamu menolak sekolah di Mesir, dan lebih memilih untuk menikah dengannya? Di mana pikiran kamu itu, Nak?
“Kamu tahu, ayah selalu bermimpi, anak ayah lelaki satu-satunya bisa berburu ilmu di Negeri impian ayah, yang kelak bisa menjadi orang yang berguna untuk agamanya, hanya untuk membanggakan Allah, Nak, hanya untuk Allah dan Nabi kita! Ayah tidak pernah menuntut kamu membanggakan ayah," jelasnya mengakui dengan nada tinggi dan memandang putera sulungnya itu dengan sedih serta kecewa.
"Ayah, Firhan mengerti. Maafkan Firhan, Ayah? Tapi kumohon, ayah mengerti keputusan Firhan? Ayah, aku lelaki yang kelak akan jadi pemimpin keluarga. Kumohon, Ridha-kan Firhan bertanggung jawab dan menikahi Nesya?" pinta lelaki itu lalu menghela napas berat di akhir kalimat sembari memandang ayahnya penuh harap.
Plak! Aku yang sedari tadi memalingkan wajah karena tak sanggup melihat situasi itu, seketika kepalaku berputar cepat ke arah sumber suara yang membuat hati ini semakin perih. Ya, aku tahu suara itu. Sangat mengenalinya. Suara tamparan bersamaan dengan suara teriakan gadis muda dan wanita paruh baya yang terdengar menyayat hati, sedih, dan sakit dengan seruan memanggilnya dengan kata ‘ayah’. Tangan besar yang penuh kasih sedari dulu itu, rupanya telah melayang dan mendarat keras di pipi putih putera lelaki satu-satunya, yang seketika hanya di balas dengan kebungkaman Firhan sembari memegang pipinya yang memar. Sorot mata Firhan memandang sang ayah yang sudah sangat memerah kerana marah. Mata ayahnya masih melotot memandang dia penuh amarah, sakit dan kecewa.
Airmata Firhan tampak menetes dan masih memandang orangtua yang dikasihinya itu dengan teduh dan penuh maaf. Seolah-olah, matanya memohon maaf pada lelaki paruh baya yang begitu hebat dihadapannya saat ini.
"PERGI DARI SINI!!" titah lelaki paruh baya itu menggema dengan nada suara naik satu oktaf, setelah sejenak memandang Firhan lalu memalingkan wajahnya seraya memunggungi puteranya itu.
Bersamaan itu pula, suara erangan memohon istrinya dan suara tangisan puteri bungsunya terdengar, yang kali ini berusaha menentang untuk mencegat keputusan lelaki paruh baya itu.
"Ayah?" lirih Firhan memandang ayahnya dengan memohon yang lagi-lagi airmatanya menetes.
"Jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi! Kau bukan anakku lagi dan jangan pernah kembali," tegas sang ayah dengan nada meninggi penuh amarah tanpa berbalik melihat puteranya yang berlutut mendengar keputusan itu, diikuti dengan erangan putus asa istrinya. "Ayah, jangan mengatakan seperti itu, dia masih Firhan kita," elak sang ibu yang begitu sedih dan tak setuju putera satu-satunya di perlakukan dan di beri keputusan seperti itu. Lagi-lagi airmata itu berlinangan di pipi putih keriputnya.
"Tidak! Itu keputusannya, dan ini keputusanku," tegasnya sekali lagi dengan nada meninggi, kemudian berlalu tanpa memandang mereka.
Lelaki tegap penuh kasih malaikatku itu, kini terpuruk putus asa tak berdaya di lantai. Tangan lembut ibunya segera memapah tubuh atletisnya yang saat ini begitu tampak rapuh dan hampa, lalu membangkitkannya. Ia mengusap airmata putera sulung satu-satunya itu, lalu mengecup keningnya penuh linangan airmata.
"Bu, maafkan aku. Firhan–"
"Tidak, Anakku. Ibu tidak percaya kamu melakukan hal yang di benci Allah itu. Aku ibumu, dan kamu tumbuh di rahim ibu. Ibu tahu jelas siapa puteraku ini. Kamu masih anak ibu, Nak, putera ibu! Tidak ada yang bisa mengelak itu," sela ibunda Firhan memotong ucapannya dengan penuh kasih, menghapus airmata itu lagi dari wajah buah hatinya dan memeluknya erat. Gadis muda yang merupakan adik satu-satunya itu hanya terisak memeluk mereka berdua.
"Kak, kumohon, jangan pergi? Siapa nanti yang menjaga kita, Kak? Siapa yang akan membuatku tersenyum jika sedang sedih?" mohonnya memandang sembari memelas pada kakaknya yang kini dekapan mereka terlepas. Firhan tersenyum dalam lukanya.
"Kakak tahu, kamu sudah besar, Dek. Dan kakak sangat tahu, kamu bisa menjaga dirimu, bahkan menjaga ayah dan ibu. Dengar, Adikku manis, kesabaran itu jauh lebih penting, Sayang. Kerana sabar, hati dan diri lebih kuat. Kerana sabar, hati dan diri lebih tegar. Ingat, apapun masalahnya, apapun kesedihannya, jauh dari itu, Allah tahu sesungguhnya, Dek. Dan hanya Allah yang tahu ke depannya yang baik itu bagaimana.
“Kakak tetap sayang padamu, teruslah ikuti kata hati dan jangan menyakiti hati. Kakak tahu, kamu bisa melakukan jauh lebih terbaik dari yang kakak kira." Lirih Firhan memandang adiknya sembari menyentuh rambut dan wajah itu, lalu memegang lembut lengan gadis itu. Saudaranya itu hanya memandangnya sedih dan takut.
"Kak?" lirihnya saat sang kakak berusaha bangkit dan berdiri.
"Jaga hati kakak di sini, ya, Sayang? Mereka sangat berharga," lirih Firhan lagi memandang adiknya yang tengah berdiri di hadapannya, lalu bergantian memandang sendu penuh kasih ibunya yang kini semakin meledak tangisnya.
Sejenak, Lelaki itu menatap sang ibu, berusaha tersenyum menyemangati, lalu perlahan-lahan mengusap airmata wanita paruh baya itu dan menggeleng perlahan berulang kali sembari tersenyum penuh kasih dan membuat ibunya semakin menangis pilu. Firhan lalu mendekap wanita paruh baya yang begitu rapuh dan tiada hentinya menangis, yang sesekali mengecup kening itu. Selang tak beberapa lama, ia lalu beralih memeluk adiknya dan mengecup kening gadis itu setelah pelukan terlepas.
Tuhan, Apa yang ku perbuat? Bisakah aku meminta? Tolong, kumohon, jangan ada airmata kesedihan lagi untuk mereka. Maafkan aku, Tuhan.
Kaki kami terasa berat melangkah, menyusuri jalan beraspal dengan hati tertusuk-tusuk bagai beribu belati yang menancap kasar dan berefek semakin perih, sesak dan bergemuruh. Membawa entah ke mana malaikat penuh kasihku ini, meninggalkan rumah yang begitu banyak kenangan penuh kasihnya dan kehangatan dalam hidup calon suami hebat ku ini.
Sebelum kami meninggalkan rumah bak istana itu, ibu dan adiknya sempat memeluk dan mencium keningku. Lalu, memberi Tafsir Qur'an yang tengah ku genggam erat saat ini. Sebagai hatinya untuk menjaga kami. Dan sebagai restu, doa dan kasihnya, untuk menemani kami menjalani lembaran hidup baru ini.
...* * *...
"Sudah makan?" suara lembutnya kini menjelajah di seluruh otakku. Aku hanya bisa memandangnya tanpa berkedip.
"Nes? Nesya?"
Lagi, suara itu terdengar indah di telinga dan otakku, bak menari-nari lembut di pikiran ini.
"Nesya?"
Aku tersentak. Tangan putihnya saat ini menyentuh lembut rambutku.
"Hei, kok melamun, sih?" tegurnya lembut yang mengandung senyum di wajahnya dan menyentuh mata yang membuat tampak gelengan perlahan ini tampak, bersamaan dengan senyuman seraya memandangnya.
"Kamu sendiri belum makan." Timpalku dan memandangnya tersenyum. Ia mendesah.
"Sayang, kan kamu lagi—"
"Ssstttt, ia aku tahu!" desis ku menyela lalu terkekeh. Lelaki itu hanya tersenyum kemudian menarikku dalam dekapannya.
Memang, pagi ini entah mengapa begitu terasa aneh. Maksudku, sikap suamiku yang semakin lama—sejujurnya masih membuatku tidak menyangka hingga menganga tertegun nan terpesona bak orang tolol, setiap saat aku menyadari dan memang belum terbiasa—begitu dramatis tapi selalu berhasil membuatku terpesona dan konyolnya, merasa seolah berada dalam scene film drama. Firhan memang begitu penyayang dan perhatian padaku.
Namanya Firhan. Lengkapnya, Firhan Pradipta Zayn. Lelaki tampan menurutku dengan postur tubuh atletis tinggi nan tegapnya dan bisa di bilang ia termasuk kategori pria idaman. Kuakui, tak jarang ketampanan wajah dan eksotik tubuhnya begitu membuat wanita terpikat, terlebih ketika kami berjalan berdua di tengah keramaian, ia ibarat berlian berkilau. Dan itu, memang sudah sedari dulu hingga saat ini.
Awalnya, kami bertemu di sebuah perpustakaan. Dia juga sangat menyukai buku, terlebih puisi Urdu. Puisi berbahasa Punjabi, Pakistan. Memang, ia juga senang membuat puisi seperti itu. Sejak saat itu, kami dekat dan bersahabat. Bedanya, ia fokus dengan ilmu dan kuliahnya bersama sejuta harta yang melimpah ruah dan beberapa usahanya yang ia mulai dari nol. Dan aku, aku adalah gadis sederhana tanpa apa-apa dengan otak yang tak secerdas itu. Ayahku meninggal sejak aku berusia dua tahun, dan Ibuku juga meninggal sejak aku duduk di bangku SD kelas enam. Singkatnya, aku dengan kekasihku, dan dia dengan sejuta ilmunya yang menemani. Benar, meski memliki kesempurnaan yang banyak digilai oleh para wanita, namun lelaki ini seakan tak pernah terpengaruh sedikit pun, bahkan dengan gadis yang sangat cantik dan populer. Aku bahkan tak pernah melihatnya menggandeng gadis selain diriku, bersahabat tentunya.
Sejak kami menikah dua bulan yang lalu, ia semakin perhatian dan penuh kasih. Dan aku, perlahan-lahan, mulai membuka hati—meski, butuh waktu lama—namun entah mengapa, aku mulai cemas padanya jika dia pulang terlambat. Dan, perlahan-lahan menghapus cinta untuk mantan kekasihku, Daniel.
Hari ini dia sangat tampan, dengan kemeja kelabu dan rambut hitamnya yang sengaja di gel dengan membentuk spike. Terlebih, senyumnya nyaris tak lepas dari wajah tampannya itu, membuatku benar-benar tak bisa menahan untuk tidak ikut tersenyum.
"Kenapa senyum-senyum seperti itu? Ayo, pikirkan apa coba?" selanya menembus pikiranku yang membuatku tersenyum malu. "Sudah! Ini masih pagi, Pak Firhan. Jangan menggoda apalagi merecoki ku!" sahutku menggeliat di dekapannya.
"Oh, ya, Nyonya Firhan?" sahutnya lalu terkekeh.
Istilah barunya itu benar-benar membuat pipiku terasa memanas. Sepertinya aku harus terbiasa dengan itu. Lagi, sesuatu yang baru.
"Okay, sekarang waktunya pergi. Time’s to work!” seruku tersenyum setelah mendesah.
"Baiklah, Nyonya Firhan!"
Lagi, membuatku terkekeh dengan istilahnya itu dan ia tersenyum. Tersenyum manis menyentuh matanya. Firhan lalu memandangku sejenak, kemudian menggenggam wajahku dan menyentuhnya.
"Jaga diri baik-baik juga kesehatan. Dan .... ingat, minum susu," Aku mengangguk patuh dalam senyuman.
"Iya." Lirihku lembut, lalu dia mengecup keningku. Lalu, "Aku pergi dulu, ya, Sayang. Baik-baik di rumah. Bila ada apa-apa, telepon, okay?" pesannya lembut lalu mengusap rambutku. Aku mengangguk sembari senyum masih di wajahku.
"Love you." Lirihnya berbisik di telingaku dan membuatku terkekeh sembari mendorongnya pelan sambil tersenyum.
"Sudah, jangan gombal terus, nanti terlambat ke kantornya."
"Masa bos terlambat sedikit saja tidak boleh?" protesnya menimpali.
"Hei, Bos juga harus disiplin, "
Firhan terkekeh dan menarikku lagi agar lebih dekat. Menatap, seperti menunggu sesuatu.
"Love you, too." bisikku dalam membenamkan wajah di dadanya. Ia lalu melepas dekapan dan memandang tak percaya. Seperti terkejut, tapi setelah itu, ekspresi wajahnya kembali berubah menjadi …. Berseri? Hah? Apa? Dia berseri?
"Kenapa?" tanyaku menatapnya.
Lelaki itu terkekeh penuh kemenangan, lalu menggeleng. Kemudian, menarikku kembali dalam pelukannya dan mengusap rambutku. Aku hanya mengernyit dalam diam. Setelah dia melepaskan dekapannya, kami lalu ke teras dan ia mengecup ku sekali lagi, lalu mencium tangannya serta pamit padaku dan berlalu dengan penuh senyuman berseri. Aneh, tapi aku suka!
Senyumanku merekah konyol. Aku lalu masuk ke rumah. Cuaca hari ini begitu cerah dan hangat.
...* * *...
Siang ini, setelah aku dan Dian, sahabatku teleponan. Akhirnya kami janjian bertemu di rumahku. Rasanya bahagia, setelah lama tak bertemu dengan Gadis imut yang super cerewet ini, akhirnya meet up. Aku mendesah.
Suara ketukan berulang kali terdengar dan dengan antusias berlari kecil ke pintu utama untuk membukakan pintu. Begitu telah membuka pintu besar bercat cokelat lembut dengan gagang besi putih dingin yang mungkin dari efek pendingin ruangan ini, kini seorang gadis yang masih sama terakhir kulihat itu seketika berhambur memelukku.
"Nesya!" serunya riang lalu menarikku masuk.
Keningku hanya berkerut samar dalam senyuman dan menggeleng berulang kali padanya. Sangat Dian, selalu percaya diri dan tak pernah sungkan pada sahabatnya. Di mana pun aku berada, dia seolah menganggapnya juga dunianya.
"Hei, kamu tambah cantik loh, Say." Komentarnya yang memulai. Mataku memutar dan tersenyum. "Dan kamu, semakin cerewet."
Mendengar itu, ia lalu mencebik lalu cemberut. Dan itu membuatku terkekeh. "Tapi tetap imut, kok," tambahku tersenyum lalu mengacungkan ibujariku padanya. Yang membuatnya semakin menatap berlebihan dengan narsis dan centilnya.
Aku lalu masuk ke dapur, ketika sesaat ia mengutak-atik ponselnya sejenak. "Eh, bagaimana hubungan kalian?" tanyanya yang mulai serius saat aku kembali dari dapur dan membawakannya nampan berisi minuman juice dan juga snack ringan.
"Alhamdulillah, semakin bahagia, Di. Kamu bagaimana sama Juan?" Aku memandangnya mengingat hubungan yang super romantis mereka.
Dan dia, dia menunduk sejenak, lalu tersenyum setelah mengangkat wajah. Lalu, "Kami akan tunangan bulan depan. Daniel juga beg... " Ucapannya seketika berhenti dan mengambang. Dan itu, berhasil membuat wajahku terangkat dan senyumku hilang.
Yeah, aku ingat. Daniel, mantan kekasihku adalah sahabat Juan, kekasih sahabatku, Dian. Dan aku hanya bisa tersenyum kecut padanya.
Tangannya kini merengkuh pundakku dan mengusapnya sembari tersenyum menyemangati, yang kubalas tersenyum padanya. Namun, bencinya, airmata konyol ini malah menggantung di pelupuk mataku.
"Tidak ada yang perlu di sedihkan, Di. Yang aku dapatkan saat ini, lebih dari yang aku impikan," lirihku lalu menarik napas dalam-dalam dan tersenyum.
"Aku sangat beruntung mendapatkannya." Gumamku dan itu membuat sahabatku tersenyum seraya mengangguk setuju.
"That's right! Yeah, kamu sangat beruntung, seandainya saja aku mendapatkannya pula." Gumamnya dalam nada suara hampa.
“Hei, kamu bahkan juga lebih beruntung, kan? Lelaki mandiri dan penuh wibawa dengan perusahaan sukses dan besar di mana-mana, tentunya juga sangat mencintaimu,” antusiasku menyemangati yang hanya di balas slow respons olehnya. Bahkan senyuman yang baru merekah itu tampak seperti-
"Oh ya, Jadi, calon keponakanku ini sudah berusia berapa?" alihnya menyela dengan antusias dan membuatku tersenyum kikuk dan heran.
"Oh Tuhan, terima kasih sudah memberiku sahabat yang meski super cerewet, tapi the best!" Seruku bergumam sambil memutar mata dan membuatnya cemberut, namun senyumnya tak bisa ia sembunyikan. Ia lalu memelukku yang sekilas matanya tampak berkaca-kaca.
Cukup lama kami berpelukan, dan berhasil membuat suasana kembali mencair dan aku kembali tak canggung lagi. Meski sejujurnya, ada terbersit sedikit rasa aneh pada sahabatku ini yang terasa berbeda. Entahlah.
"Jadi, berapa?" tanyanya mengulang lagi setelah dekapan kami terlepas.
Aku lalu tersenyum dan sejenak mengusap perutku yang mulai membesar.
"Sudah jalan dua bulan, Di." Sahutku tersenyum mengangkat wajah memandangnya.
"Oh ya, jadi aqiqah-nya nanti gimana, Nes? Terus rencananya gimana? Terus kalau-"
"Sssstttt, not time to know yet!" desisku memotong dan menyelanya sembari nyaris berbisik.
Dan ia sejenak cemberut, lalu saling memandang dan detik kemudian kami tertawa bersama. Obrolan semakin berlanjut dengan seru, yang sesekali di selingi bersenda gurau.
...* * *...
Senja mulai masuk ke ruangan ini dan menampakkan cahaya jingganya. Untuk kali pertama, rasanya aku begitu canggung berada dalam satu kamar bersama lelaki yang telah menjadi suami sah dan halalku ini baru saja. Dia memandang, namun hanya sepersekian detik, kemudian cepat-cepat mengalihkan sepasang mata itu dariku. Dirinya sedari tadi merapikan yang entah apa, tepat tak jauh dariku yang tengah duduk di atas kasur empuk ini.
Hening. Hanya itu yang saat ini terjadi di antara kami, namun lucunya, sesekali kami berbalas senyum kecil namun terlihat kikuk.
“Umm, Nes, k-kamu .... mau istirahat? Mungkin kamu kelelahan dengan resepsi tadi.” Aku menggeleng kecil. “Oh. Atau .... mandi, mungkin? Maksudku, kamu bisa menghilangkan rasa lelah mu dengan menyegarkan tubuh, sementara aku memasak makanan untuk kita.” Lanjutnya yang membuatku lagi-lagi hanya menggeleng kecil.
“Aku mau shalat dulu, sepertinya waktunya hampir lewat.”
“Oh, oke.” Lagi, suasana kembali hening.
“Musholanya ada di bawah, dan sudah lengkap di sana. Jika kamu butuh sesuatu, aku ada di dapur.” Jelasnya kikuk memberitahu.
Aku mengangguk, namun kali ini sengaja aku selipkan senyum simpul, agar kesannya tidak terlalu kikuk.
“Nesya?” suaranya membuat kepalaku terangkat cepat.
“Ya?”
“Aku, Umm .... sudah, lupakan saja! See you.” Sahutnya menggantung yang membuatku mengernyit heran, lalu tersenyum di akhir kalimat dan menular padaku saat ia berlalu.
Aku lalu beranjak, sholat kemudian kembali ke kamar dan mandi serta berganti pakaian. Setelah itu, hanya berdiam diri di kamar sepanjang malam dalam kebungkaman. Bahkan, lelaki itu sedikit pun tak menggangguku dan membiarkan menyendiri di kamar ini.
Ruangan Musholanya tadi cukup luas, dan begitu sejuk. Rasanya begitu damai dan nyaman berada di dalamnya. Di sudut samping, ada koridor kecil namun masih dalam area musholla yang sengaja di tempatkan khusus untuk berwudhu dengan dua kran air di sana beserta alas kaki sendalnya. Sedangkan ruangan mushollah yang dindingnya dipasangi keramik kaligrafi dan motif hingga tampak begitu indah. Tepat di sebelah barat, ada sajadah besar sekaligus dinding yang di selimuti dengan keramik bergambar Ka'bah. Memandang itu, membuatku tersenyum hangat dan damai. Aku masih tak menyangka, ia masih memikirkan hal ini dalam hidupnya. Diam-diam aku berdoa dan berterima kasih telah memberikan lelaki baik itu dalam hidupku. Kado sekaligus anugerah yang indah.
Suara lembut yang nyaris tak terdeteksi indera pendengarku itu kini mengusik untuk memintaku turun makan malam bersamanya. Demi menghargai, toh sekaligus dia pernah jadi sahabatku, harus melakukan itu meski canggung. Dan benar saja, sepanjang kami makan malam, hanya suara peralatan makan kami yang terdengar di sela keheningan ini, dalam suasana canggung. Ia bahkan melarang untuk mencuci peralatan kotor dan hanya memintaku istirahat di kamar.
Lagi, kutemukan diriku dalam bayangnya. Masih sama, dengan mirisnya yang merenggut damai dan keceriaan hidupku. Yeah, Daniel masih berhasil masuk di celah pikiranku, meski aku berulang kali merangsek dan memaksanya untuk keluar. Entah apa yang harus kulakukan lagi, agar jerat konyol ini melepaskan ku. Mirisnya, setiap berusaha melupakan, air mata bodoh itu lagi-lagi berduka kelam. Memang benar! Sejauh apa pun kau pergi, sekeras apa upaya yang kau harus dan paksakan, pada akhirnya akan membawamu pada rasa sakit itu jua. Rasa sakit yang menimbulkan luka yang tak pernah kau lihat secara kasat mata, namun mampu membuatmu terjebak bertahun-tahun untuk keluar dari zona itu. Tapi aku percaya, setiap luka pada akhirnya akan menemukan kesembuhan tersendiri. Entah cepat atau lambat, dan itu hanya diri sendiri yang dapat melakukan.
Suara deret dalam ruangan itu kini merecoki lamunan dalam hening ku. Mata ini teralih pada lelaki yang sibuk sendiri di sana, sembari tengah berusaha mendorong sofa dan—
“Oh, hai, Nes?” Firhan masih tersenyum kikuk.
“Apa perlu bantuan?” tawarku saat menyadari dirinya tengah sibuk menggeser sofa, entah untuk apa dan di kemana kan.
“Tidak apa-apa. Aku hanya menggesernya sedikit untuk ditempati tidur nanti malam.” akuinya polos.
Keningku mengernyit. “Apa? Siapa yang menyuruhmu tidur di sana?”
“Aku sendiri.”
“Kenapa?”
“Kenapa?” tanyanya balik.
Keningku semakin mengernyit. Lalu, “Tidak. Maksudku, mengapa kamu tidur di lantai? Bukankah kita sudah menikah? Umm .... begini, setidaknya itu sudah halal di mata Allah.”
Dia terkekeh. Kecanggungan di antara kami mulai menghilang.
“Ini kemauanku sendiri. Iya, benar, aku tahu kita sudah menikah, tapi bukan berarti aku sudah memilikimu, Nes. Aku hanya tidak ingin sesuatu terjadi pada kita, terlebih kamu tidak mencintaiku atau atas dasar kamu tidak mau,”
Oh, aku tahu! Dia masih menjaga kehormatanku, masih menghargai diri ini yang jelas-jelas lelaki yang kuharapkan dan cinta selama ini bahkan sama sekali tak peduli lagi..
Sejenak, aku menatap mata sendunya. Lagi, diam-diam berterima kasih pada Tuhan.
“Tidak akan terjadi jika kita tidak melakukannya, tidak ada keinginan. Jadi, kumohon, tidurlah di tempat tidur.”
“Kenapa?”
“Bisakah kamu tidak bertanya?” dia terkekeh lagi, namun kali ini menatapku dengan aneh.
“Aku lupa kamu sedang hamil, itulah mengapa sensitive begitu.” Senyumnya menggoda yang membuatku tersenyum menunduk, namun diam-diam menghela napas.
“Jadi?” tanyaku lagi.
“Kamu .... terdengar seperti sangat ingin tidur bersamaku, ya?” timpalnya menyipitkan mata dengan curiga namun dalam menggoda. Rasanya menemukan kembali sahabat lamaku.
“FIRHAN?”
Dan untuk kali pertama, aku melihat tawa lepas itu yang begitu lebar. Terasa menyenangkan menatapnya seperti itu. Ia begitu bahagia terlihat. Yeah, dia seperti kembali. Sangat Firhan yang selalu konyol dengan lelucon asalnya.
Firhan mengangguk sembari mengacungkan ibu jarinya, namun masih dalam tawa riang yang membuatku tersenyum memandangnya.
Suara deringan ponselku kini membuyarkan lamunanku saat aku mengingat hubungan kami dahulu yang baru di mulai, yang membuatku sejenak tersenyum, lalu mengangkat telepon, saat aku menyadari sejenak bahwa aku telah sendirian di ruangan tengah ini.
...****...
HARI ini cuacanya berubah mendung. Awan tampak agak gelap, dan sepertinya hujan deras akan lama. Aku kini bersedekap sembari berjalan mengitari meja hias yang terbuat dari keramik berwarna pualam, meraih remote pendingin yang tengah menempel di dinding dan menyetel kembali suhunya agar tak terlalu sejuk, lalu kembali lagi ke tempat yang sedari tadi kuberdiri. Rongga dada terasa dingin, saat aku menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata dan tersenyum.
Dian sudah sedari tadi pulang saat langit berubah mendung. Dan aku, kini berada di ruang tengah sendirian. Berdiri, sembari memandang keluar jendela. menatap butiran-butiran menyenangkan itu yang tengah jatuh dan mendarat di atas bunga-bunga berwarna yang saat ini tengah menghias halaman samping rumah. Ya, jika moment seperti ini, biasanya aku dan Firhan memejamkan mata. Lalu, saat hitungan ketiga dan perlahan membuka mata, kami berharap pelangi itu muncul. Namun, jika masih belum terlihat, kami berulang kali mengulanginya. Bahkan, sampai pelangi itu baru terlihat ketika hujan agak reda. Aku terkekeh mengingat itu. Entahlah, semakin hari, aku semakin rindu padanya. Entah cinta atau bukan. Tapi sungguh, rasanya membuatku bahagia. Lagi, aku tersenyum saat wajah tampannya mulai mengusik dan menari-nari indah di pikiranku. Mungkinkah saat ini memang benar, bahwa ia berhasil menarikku dalam kegelapan masa lalu? Entahlah.
"Assalamu 'alaikum."
Bisikan suara lembut di indera pendengar ini sambil bersamaan itu pula, seseorang tengah mendekapku seraya menggelayut manja di punggung yang membuat seketika berbalik menoleh ke sumber suara tersebut.
"Firhan?"
Senyum manisnya menyentuh mata saat melihatnya. "Yang benar itu, Wa'alaikum salaam, Nyonya Firhan." Koreksinya yang membuatku tersenyum.
"Wa'alaikum salaam." Sahutku meralat ucapanku.
"Good!" Seru Firhan, lalu mengecup pipi dan tersenyum. Senyumnya menular.
"Jadi, apa yang membuat istri cantikku ini tertawa sendirian?" Tanyanya yang membuatku terkekeh.
"Apaa, ya?"
"Nesya... " erangnya manja dan lagi-lagi membuatku tertawa.
Ia sengaja memasang tampang kesal. Namun, hanya senyuman yang terlihat. "Aku ikut senang melihat kamu tertawa lepas dan tersenyum seperti itu," Gumamnya setelah kekehanku mereda.
Tangannya telah berpindah menggenggam wajah. Aku tersenyum dan menatap lekat matanya. Seolah-olah, ada keindahan di sana yang tak ingin aku lewatkan.
"Aku juga ikut senang melihat senyum indahmu itu, Mr. Tampan," Gumamku dan membuatnya terkekeh.
"Itu karena kamu penyebabnya. Karena, tawa dan senyummu. karena, ketulusan dan kasihmu. karena, doa dan semangatmu. Aku seperti ini, karena istri hebatku ini,” akuinya lirih sembari tersenyum.
Mata cokelat bulatnya tampak berbinar dan itu membuat aku tidak suka melihatnya. Seperti ada kesedihan di sana.
"Astaga, rambutmu basah seperti ini, mengapa masih dibiarkan begini?" tanyaku mengalihkan dan malah tangannya berpindah ke pinggangku, menarik, lalu mendekap yang seolah-olah tidak ingin membiarkanku lepas darinya, saat aku hendak mengambilkan handuk.
"Fir, lepaskan aku. Aku harus mengambil handuk untukmu, bisa-bisa kepalamu nanti sakit." Pintaku memandangnya sembari menggeliat dan tangannya semakin mendekap erat pinggangku. Lelaki itu hanya tersenyum memandangku dalam tatapan menggodanya tanpa sepatah kata pun.
"Kumohon, Fir?" mencoba kembali yang kali ini raut wajah sengaja memelas padanya dan senyum di wajah lelaki itu semakin melebar menyentuh matanya seperti menggoda.
"Jangan!"
Ucapannya membuatku berhenti menggeliat dan memandangnya penuh tanya. "Jangan memanggilku dengan sebutan seperti itu! Aku sudah menjadi calon ayah dan malaikat kecilku berada dalam sana." Lanjutnya, dan itu membuatku tersenyum.
"Lalu?" Tanyaku menggoda yang kini tangan ini kukaitkan di lehernya, menggelayut manja.
"Jadi, panggil aku papa," pintanya, tapi kedengarannya seperti mendesak. Kekehan ini terdengar.
"Iya, Papa sayang." Lirihku tersenyum dengan nada yang sengaja kubuat mengejek, namun itu tidak mengganggunya dan bahkan membuatnya menampakkan senyum puas.
Firhan semakin mendekap erat pinggangku, menatap lekat, lalu meniup mata ini dan seketika membuat mata ini terpejam. Kekehannya terdengar lagi yang kubalas hanya dengan memandangnya tersenyum.
"Baiklah! Beri aku kesempatan mengambilkan handuk untukmu." Dia mengerling padaku dan lagi-lagi membuatku tersenyum.
"Anehnya, suamiku tiba-tiba genit dan aggresive!" gerutuku hingga ia tertawa. Lalu, mengecup kening ini.
Saat hendak mengecup keningnya juga, dengan susah payah aku berjinjit untuk bisa meraihnya. Tapi, hanya kekehan mengejek kudengar dari mulutnya dan membuatku menatapnya dengan senyuman. Firhan tersenyum dan menundukkan wajahnya kepadaku. Dan dengan senang hati, aku tersenyum dan mengecup keningnya.
Dengan raut wajah berseri, tangannya telah terlepas dari pinggangku. Aku lalu berlalu sembari menahan senyum dan bergegas mengambilkan handuk untuknya. Rasanya pipiku memanas.
...* * *...
"Jadi, bagaimana harimu, Sayang?" Tanyanya setelah meraih piring yang telah kuisikan makanan untuknya.
Hari ini dinner kita memang menunya adalah Tumis Kangkung, Oseng Tempe Tahu, dan Teri Asin Saus Tiram. Itu memang menu favorite Firhan. Bahkan, sehari pasca pernikahan kita pun, dia membuat masakan itu. Sungguh, membuatku tak habis pikir. Lelaki berdarah konglomerat yang dibesarkan dengan kemewahan, menyukai makanan sederhana ini menurutku.
"Sayang, ada apa? Perutmu sakit?" Suaranya lagi-lagi menyentakkanku dari lamunan yang seketika membuatku kikuk dan tanpa sadar mengubah posisi duduk. Aku menggeleng sembari tersenyum.
"Omong-omong, Dian tadi siang kemari." Alihku memberitahu setelah berdehem.
"Oh, ya?" Sahutnya tak percaya dan raut wajahnya tampak senang juga.
"Aku senang, setidaknya cerewetnya membantumu membunuh rasa bosan sendirian di rumah."
Senyum sambil menggangguk setujuku tampak. Kami lalu makan. Tidak membutuhkan waktu lama, akhurnya selesai dan bercengkerama sejenak di ruang tengah, lalu berpindah ke kamar saat kami mulai mengantuk. Firhan saat ini tidur di pangkuanku, sambil tangan kanan ini membelai-belai rambutnya bak kanak-kanak. Ia sesekali menguap dan melirikku yang kadang mata kami bertemu dan hanya balasan saling tersenyum yang tampak. Sedang aku, masih asyik dan larut dalam Qur'an yang tengah kubaca sedari tadi. Ritual ini sengaja biasakan setiap hendak tidur. Setelah menyimpan Qur'an, membaca do’a senandung Al-Qur'an dan mengecup kitab ini, aku lalu tersenyum ke arah suamiku itu. Tangannya kini menggenggam hangat tanganku.
"Tidur dong, Mama sayang. Nanti kalau sakit, bagaimana?" pintanya memohon dalam rayuannya.
"Iya, ini juga sudah mau tidur." Patuhku tersenyum.
Kulirik jam sekilas, sudah pukul duapuluh tiga lewat. Suamiku bangkit dan mengubah posisi tidurnya. Dan saat hendak berbaring untuk istirahat dan tidur, ponselku berdering. Aku lalu meraihnya di atas meja. Sejenak, kami saling berpandangan.
Siapa yang menelepon malam-malam begini?
Firhan mengangguk untuk setuju meyakinkan, saat aku menatapnya ragu, lalu setelah mendesah panjang, akhirnya pada deringan kesekian kalinya yang kini kujawab telepon itu.
"Halo?" lirihku ragu sambil menggigit bibir setelah menyentuh dan menggeser screen ponsel.
"Assalamu'alaikum dulu, Sayang," bisik Firhan di sebelahku mengoreksi.
Aku menatapnya sejenak, lalu tersenyum saat ia mengerling padaku dengan wajah innocent-nya.
"Assalamu'alaikum." Ulangku mencoba.
"Nah, kan, enak di dengarnya." Lagi, suamiku itu kembali merecoki dengan godaannya yang kali ini suaranya tidak berbisik, namun cukup berisik. Aku seketika menjauhkan ponsel dan memandangnya lekat.
"Sayang, aku lagi angkat telepon." Keluhku yang lagi-lagi ditanggapi dengan mengerling dengan wajah innocent-nya ke arahku. Ia tersenyum lebar.
"Halo, ini siapa?" tanyaku mencoba lagi saat ponsel kudekatkan lagi di indera pendengarku.
Lagi, tak ada suara, hanya keheningan.
"Siapa saja yang ada di hatimu." Kembali, suara lembut Firhan masih merecoki dengan menggoda.
Aku hanya mendesah pasrah sembari memandangnya tersenyum sejenak. kemudian, "Mr. Firhan Pradipta Zayn?" erangku memandangnya memohon.
"Ya, Mrs. Bintang Elnesya Zayn?" sahutnya dengan raut wajah seakan tak bersalah yang membuatku tersenyum, saat mendengar penggabungan nama terakhir itu. Ia sengaja membubuhkan nama belakangnya, pada belakang namaku.
"Please?”
"Baiklah." Patuhnya menyengir, kemudian mengecup pipiku cepat dan terkekeh. Ia lalu berbaring dan tak menggangguku lagi. Dan tingkah manis nan konyolnya itu membuatku tersenyum memandangnya sejenak.
"Halo?" aku mencoba sekali lagi.
"Nesya?"
Suara serak nge-bass itu terdengar jelas di telingaku dan seketika membuat wajah ini berubah dan bahu merosot. Aku tak bisa membalas tatapan penuh tanya suamiku yang seketika heran melihat perubahan ekspresi dan sikapku. Dia bangkit dan mengambil cepat ponsel itu dariku, namun teleponnya sudah terputus. Tangan panjangnya yang hangat telah meremas lembut tanganku.
"Sayang, ada apa? Kumohon, bicaralah?" pintanya panik dan cemas. Namun, masih diam mematung tak bergeming. Seperti seluruh syarafku mati rasa. Dan seketika, kurasakan airmata menetes.
Rasanya dingin. Seperti kurasakan tubuh tenggelam di dasar Atlantic dengan rasa dingin yang begitu menggigit dan menusuk setiap pembuluh darah.
...* * * *...
BUTUH sepersekian detik, gadis itu baru tersentak sadar dari syoknya. Aku juga tak tahu, apa yang telah terjadi dengannya. Selepas mengangkat telepon misterius yang tak kuketahui itu, ia terdiam bak patung ukiran indah. Namun, mata hitam bulat nun indahnya itu seperti menunjukkan kesedihan mendalam. Entah ada apa, tapi saat ini, hanya bisa terdiam dan menyemangati istriku itu. Bukan tak peduli pada semuanya, hanya saja, ingin membiarkan dirinya tenang dulu, lalu menanyakan hal ini.
Aku mendekap Nesya begitu erat. Airmata tanpa hentinya mengalir di pipi putih lembutnya. "Tenanglah, semua akan baik-baik saja," desahku berbisik di telinganya yang masih mendekap begitu erat, lalu membantunya berbaring dan tidur.
Aku tak tahu apa yang saat ini ia rasakan, aku tak tahu apa itu. Meski, aku tak tahu siapa si penelepon misterius itu, tapi aku kenal wajah dan mata kelam itu yang saat ini masih mengalirkan airmata. Yeah, itu mata dan raut wajah saat terakhir Daniel dan gadisku ini berbicara dan bertemu.
Mungkinkah? Benakku lagi-lagi seolah bergemuruh memikirkan mereka.
Setelah cukup tenang dan isak tangisnya mereda, aku lalu mengajaknya shalat untuk menenangkan hati dan pikirannya. Ia begitu khusyu’ dalam ibadahnya, bahkan ketika ia berdzikir kepada Allah. Selang tak beberapa lama setelah mengecup tanganku, aku lalu mengecup keningnya dan menuntunnya ke tempat tidur. Sepertinya ia begitu lelah setelah menangis beberapa saat. Mataku ikut terpejam, saat deru napas lembutnya terdengar dalam dekapan.
Pagi mengintip di sela-sela tirai dinding-dinding kamar kami. Bangunan dinding di tingkat dua memang terbuat dari kaca flanel yang besar dan tebal, yang sengaja di pasang khusus untuk dinding rumah. Jika berada dalam ruangan ini, kami bisa melihat pemandangan kota Jakarta dengan bangunan-bangunan tingginya. Namun, jika berada di luar dan memandang kemari, maka hanya kegelapan yang terlihat dan tak tampak. Beberapa dinding juga di ukir dengan motif indah dan Nesya sangat menyukai itu.
Aku lalu menyibakkan tirai biru yang melapisi tirai putih, kemudian menggesernya sedikit, hingga matahari pagi penuh vitamin D itu menembus ruangan dan menyentuh wajah istriku. Matanya berkerut dalam masih terpejam, ia berusaha menghindari cahaya matahari. Ringisannya terdengar di bibir mungilnya yang msih berwarna merah muda meski tanpa di poles lipstick. Senyuman kembali merekah dan memandang Nesya yang masih membiaskan matanya oleh kilauan cahaya matahari.
"Pagi, Istriku sayang." Sapaku lalu mengecup dan membuatnya berkedip berulang kali ke arahku. Ia tersenyum simpul sembari menggeliat.
"Pagi, Fir .… Fir?" Lirihnya yang enggan terbangun dari tidurnya, lalu terkejut seolah menyadari sesuatu di akhir kata.
Senyuman lebar kini nampak, lalu mendaratkan kecupan di kening gadis manja ini. Ia melirik jam sekilas dan dengan panik memandangku. "Kenapa masih di sini?" Tanyanya bingung.
"Sejak kapan aku tidak bisa berada di kamarku sendiri?"
Gadis itu mendesah, lalu memberengut. "Bukan seperti itu. Tapi maksudku, apa kamu libur hari ini?" tanyanya sembari bangkit dan duduk.
"Tidak juga." Ringanku.
"Lalu?"
"Hanya ingin menjaga istriku," timpalku ringan memandangnya sembari menaikkan bahu.
Gadis itu mendesah. Tapi, senyumnya tak dapat ia sembunyikan dariku. "Aku tidak apa-apa, sungguh. Maaf, atas sikapku semalam yang tiba-tiba,"
Aku mengangkat bahu dengan penuh senyuman ringan. "Tidak masalah. Tapi, oh, ayolah, masa boss tak boleh izin bila istrinya sakit? Stafku saja berlaku seperti itu, masa aku pemilik kantor, tidak?"
"Tapi, Fir—"
"Sudahlah, ayo makan. Aku sudah memasakkan untukmu. Dan, jangan melarangku lagi menemani juga merawat istriku hari ini!" elakku berdalih membantah tidak mau kalah, mengingat ia memiliki keras kepala akut.
"Memang siapa yang sakit? Huh!" Cibirnya memberengut dan membuatku terkekeh.
Nesya lalu makan dengan patuh dalam suapanku, meski raut wajahnya sengaja di pasang dengan tampang kesal dan cemberut, tapi bahkan sedikit pun tak menggangguku. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman dan memasang tampang innocent.
...* * *...
Aku hanya bisa memandang keluar ke arah kota metropolitan ini dari jendela besar kantorku. Memandang dari ketinggian dalam suasana sore. Seperti biasa, jalan begitu tampak sesak dengan kendaraan berlalu lalang.
Aku masih berusaha meredam dan menekan amarah yang sudah sedari tadi bergemuruh dalam benakku. Sejak lelaki tinggi jangkung itu berada dalam ruanganku yang nekat menemui di kantor. Aku kini mengusap wajah dan mendesah berat, terdiam sejenak menatap lekat-lekat keluar jendela yang entah apa kucari di sana, kemudian mendesah berat.
"Apa maumu datang kemari?" tanyaku defensive, mulai berbicara lagi setelah sejenak terdiam, tanpa berbalik memandangnya yang tengah duduk sedari tadi di sofa cokelat dan mungkin masih memandangku.
"Sudah kubilang, aku ingin menemuimu dan meminta maaf—"
"Bukan itu! Apa sebenarnya tujuanmu menemuiku?" desakku menyambar dengan dingin dan terdengar agak membentak sambil menekan setiap kosakata di akhir kalimat.
Dia saat ini terdiam dan seketika membuatku berbalik memandang wajah gusar dan pucatnya.
Anak itu benar-benar berantakan sekali. Dia bukan seperti Daniel yang kukenal dahulu dan terakhir kulihat. Tubuhnya menurun drastis dan berubah sangat jangkung dengan wajah putihnya yang terlihat tirus saat ini. Bahkan, mata sipitnya terlihat cekung dan lingkaran hitam sangat jelas di mata itu.
Entahlah, apa yang telah terjadi dengannya.
"Apa yang kau mau dari Nesya-ku?" selidikku dingin mencoba lagi. Namun, aku sengaja menekan kosakata terakhirku.
Wajahnya terangkat dan memandangku sejenak. Kemudian, "Aku merindukannya, Firhan, aku—"
"Setelah kau mencampakkannya seperti itu?" Bentakku menyela dan memotong ucapannya yang tanpa sadar, nada suaraku naik satu oktaf di indera pendengarku sendiri.
Aku tahu arah pembicaraan ini. Dengusan kasarku terdengar, lalu tersenyum sarkasme ke arahnya setelah ia menunduk. Dan ia tahu, aku tak suka pemikiran tololnya itu.
"Kumohon, Firhan? Terakhir kalinya?" mohonnya lirih yang kini nyaris berbisik. Kedengarannya seperti … bersalah, sedih dan … Putus asa? Benarkah ia begitu? Batinku telah penasaran dan rasa bersalah mulai menjalar di syarafku.
Tapi, aku tidak bisa. Biar bagaimana pun, aku tidak suka dan sangat marah padanya karena telah mencampakkan Nesya seperti itu. Sebagai sahabat Nesya dahulu dan suaminya yang sekarang, aku masih marah dan kecewa pada lelaki itu. Terlebih, saat ingatan di otakku lagi-lagi memutar saat aku melihat keadaan Nesya yang sangat rapuh, frustasi dan … hilang kehidupan.
Oh Tuhan, rasanya aku ingin memukul lelaki bodoh ini! Benakku begitu gemas yang seketika menghela napas berat, dan lagi-lagi menekan keras rasa amarah di dada yang mulai memberontak.
Benar, ia ingin bertemu Nesya-ku, mantan kekasihnya yang telah menjadi istriku. Saat ini, begitu susah payah menekan keras mulutku untuk diam, tak mengeluarkan kata kasar padanya. Lalu, Berbalik lagi memunggungi dengan mata yang enggan memandangnya—benar-benar mengingatkanku pada kejadian terakhir itu setiap melihat wajahnya. Tanganku lalu terangkat dan meremas rambutku dengan frustasi.
Bagaimana dia dengan mudahnya melupakan semuanya dan seenaknya mengambil keputusan seperti itu? Dan kemudian, kini, dengan tampang bodohnya yang seakan-akan tak pernah terjadi, ia memintaku….
Dengusanku terdengar dan tak meneruskan gejolak amarahku yang tengah berkecamuk serta gemuruh di benak saat ini.
Oh, apakah dia penyebab Nesya menjadi syok beberapa hari yang lalu?
Pikiran yang seketika mulai curiga dengan keadaan Nesya yang tetiba saja terlintas, kini mengusikku. Tanpa sadar, tanganku terkepal erat.
"Jangan memperlihatkan wajahmu lagi," suara desisan mengancam yang penuh defensif itu keluar begitu saja tanpa bisa kukontrol.
"Apa?"
Aku bisa mendengar, suara Daniel yang terkejut dan tak menyangka melihat perubahan sikapku. Aku lalu berbalik memandangnya menuding sejenak dengan raut wajah dingin dalam tatapan tajam dan sarkasme. "Pergi dari sini!" Sahutku menekan kosakata sambil memandangnya tajam.
"Fir, kamu salah paham. Kupikir kita bisa bicara—"
"KUBILANG, PERGI DARI SINI, DANIEL!" Bentakku dengan nada meninggi memandangnya tajam. Tanganku benar-benar terkepal erat karena menahan diri.
Daniel menatapku sesaat, seperti mencari sesuatu, lalu mendesah pasrah. "Mungkin bukan saat ini," gumamnya memandangku penuh arti setelah mendesah berat, lalu bergegas dengan enggan, kemudian menyambar jaket jins di sebelahnya yang tergeletak di sofa. Dan, berlalu tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Aku mendesah keras, berbalik dan nyaris meninju jendela kaca di hadapanku ini. Memejamkan mata dan mengatur napasku kembali, berusaha mengontrol kembali diri ini. Dengan kasar, merogoh ponselku di tuksedo dan menekan tombol cepat. Lalu, "Aku perlu bicara, " sahutku kelam kemudiam mematikan telepon.
Pandanganku saat ini menembus dan menjelajah kota metropolis sembari tangan kanan bertumpu pada kaca ini dan tangan satuku lagi, meremas kuat ponsel. Senja mulai terlihat, desah panjang kini menguap di mulut dan hidung.
...* * * *...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!