Panggung festival musik selalu menjadi tempat favorit bagi Ganesha. Sebab di sana, meski hanya sekejap saja, dia bisa merasa disayangi oleh Tenggara.
Bagaimana cara Tenggara menatapnya ketika mereka sedang berada di atas panggung selalu berbeda. Seolah ada sisi lain di dalam diri lelaki itu yang akhirnya bersedia muncul, sudi membagikan sedikit saja kasih sayang kepada Ganesha yang selama ini telah jatuh cinta sendirian.
Terhitung sudah hampir tiga tahun Ganesha bergabung ke dalam Zaloria, band yang didirikan oleh Tenggara ketika dunia sedang tidak baik-baik saja. Pandemi covid yang melanda pada awal tahun 2020 telah merenggut banyak sekali korban jiwa. Air mata kehilangan tumpah ruah, kesedihan dapat dengan mudah ditemukan di mana-mana.
Di tengah keputusasaan itu, Tenggara datang menawarkan sebuah kesempatan. Untuk menjadi penghibur bagi jiwa-jiwa kesepian yang ditinggal mati oleh para kesayangan.
Awalnya, Zaloria hanya aktif di sosial media karena adanya pembatasan aktivitas terkait pandemi yang masih berlangsung. Tenggara secara khusus membuatkan akun di berbagai platform, yang kemudian digunakan sebagai tempat untuk mengunggah video-video menyanyi mereka yang dahulu kebanyakan hanya membawakan ulang lagu-lagu hits milik musisi dalam maupun luar negeri yang namanya telah dikenal luas.
Sampai kemudian, di suatu sore yang berhujan, Tenggara berhasil menulis sebuah lagu kemudian merilisnya di kanal YouTube Zaloria. Tidak ada yang menyangka bahwa lagu ciptaannya itu yang pada akhirnya membawa nama Zaloria semakin besar. Sebab hanya dalam 24 jam setelah dirilis, video itu telah berhasil masuk ke top 3 trending, bahkan bertahan selama hampir dua minggu penuh.
Perlahan-lahan, popularitas Zaloria semakin besar. Pengikut mereka di sosial media naik pesat. Yang awalnya hanya ratusan, kini lebih dari tujuh juta. Ketika pandemi covid mulai mereda dan festival musik mulai banyak digelar, Zaloria juga turut andil menjadi pengisi acara yang paling dinantikan.
Besarnya nama Zaloria bukan hanya menjadi berkah, tetapi juga sekaligus menjadi sedikit kabar baik bagi Ganesha. Karena sejak mereka mulai aktif mengisi panggung festival musik, ia merasakan perubahan sikap Tenggara yang cukup signifikan.
Tidak. Tenggara bukannya selalu bersikap jahat kepadanya. Sembilan tahun saling mengenal, Tenggara adalah seorang teman yang baik secara keseluruhan. Hanya saja, sikap lelaki itu benar-benar berubah menjadi jauh lebih manis ketika mereka sedang pentas. Tatapan matanya, caranya berkomunikasi, semuanya. Ganesha seolah menemukan angin segar di tengah sekaratnya ia dalam mencintai seorang diri.
"Sore ini, ayo kita bersenang-senang."
"Yaaaa!!!"
"Sedang mendung. Kalau turun hujan, kita menari bersama, ya. Saling bergandeng tangan, saling menjaga agar tetap aman. Bagaimana? Setuju?"
"Yaaaa!!!"
Dan cara Tenggara memperlakukan para penggemar selalu berhasil membuat Ganesha semakin tenggelam dalam kubangan cinta tak berdasar. Senyum hangat yang menyebar, sorot mata penuh binar, suara lembut yang serupa lullaby itu selalu mampu membawa Ganesha kembali ke titik awal, ketika ia pertama kali jatuh cinta pada lelaki itu, sembilan tahun lalu.
Riuh suara penonton mulai memudar. Bukan karena mereka memang telah berhenti berteriak, melainkan Ganesha yang telah kembali tersihir oleh sosok Tenggara yang tidak pernah tidak terlihat menarik di matanya. Gerak bibir lelaki itu telah membuat Ganesha candu, ia bisa menghabiskan waktu seharian hanya untuk diam memperhatikan bagaimana bibir-bibir merah merekah itu memuntahkan kalimat-kalimat positif menenangkan hati.
Sudah sembilan tahun, dan Ganesha masih yakin bahwa Tenggara adalah pemeran utama di dalam kisah cintanya yang... semoga saja berakhir bahagia.
...°°°°°°°°°°...
"Good job, Esha." Sebuah tepukan mendarat di kepala Ganesha ketika gadis itu tengah menyesap americano miliknya. Ia sedikit mendongak, meskipun sudah tahu siapa dalang di baliknya.
Tenggara berdiri persis di depannya, menunduk dengan segaris senyum yang dikulum. Binar matanya masih secerah biasanya, meski kini, sudah tak sedalam ketika mereka masih menjalani peran sebagai penghibur di atas panggung.
"Di luar masih hujan?" usai meletakkan cup americano ke atas meja, ia bertanya demikian. Tadi, hanya beberapa saat setelah mereka selesai membawakan lagu terakhir, hujan betulan turun. Untung saja mereka sudah pamit undur diri dan sampai di backstage tepat waktu sebelum titik-titik air jatuh membasahi bumi. Karena kalau telat sedikit saja, ia harus merelakan dirinya basah hanya untuk membuat fans mereka senang.
Selain terkenal gentle dan sweet, Tenggara Naratama juga dikenal sebagai musisi dengan fanservis paling top sejagad raya. Apa pun yang fans inginkan, lelaki itu akan berusaha untuk mewujudkannya. Termasuk betulan menari di bawah hujan, meski sudah tahu sehabis itu Ganesha akan menggigil kedinginan dan terserang demam.
"Demi fans yang udah bantu Zaloria jadi sebesar ini, Sha." Itu yang Tenggara selalu katakan ketika Ganesha bertanya mengapa mereka harus melakukan banyak sekali hal, yang terkadang tidak benar-benar mereka inginkan.
Sekali dua kali, masih terasa wajar. Tetapi lama-kelamaan, Ganesha merasa mereka sudah bukan lagi memberikan fanservis. Mereka justru tampak seperti budak yang harus bergerak sesuai dengan apa yang dimau oleh majikan mereka. Lama-kelamaan, dia juga menjadi muak.
"Masih gerimis dikit."
Ganesha mengangguk, lalu mengeluarkan ponsel model lawas miliknya dari dalam saku jaket yang dia kenakan. "Enam hari ke depan kita nggak ada jadwal, kan?" tanyanya, "Gue mau liburan ke Bandung, ngademin pikiran."
"Ke Bandung sama siapa?"
Tanpa menoleh, Ganesha menjawab, "Sendiri. Gue wonder woman, kalau lo lupa."
Suara kekehan terdengar samar, lalu tak lama setelahnya Ganesha menemukan Tenggara sudah duduk persis di depannya. Jarak yang cukup dekat membuat lutut mereka saling bersinggungan. Sementara dalam keadaan begitu, Ganesha justru semakin menundukkan kepala, enggan beradu tatap dengan Tenggara karena itu hanya akan membuatnya seperti sedang melakukan aksi bunuh diri yang berakhir tragis.
"Kenapa perginya nggak sama gue aja?"
Jangan bercanda! Namun sebagai gantinya, Ganesha hanya meloloskan kekehan ringan. Sebab dia tahu betul, Tenggara tidak serius.
Menemaninya berlibur ke Bandung? Lelaki itu bahkan tidak pernah mengantar jemput dirinya hanya karena rumah mereka berlawanan arah. Akan menyenangkan jika Tenggara serius dengan ucapannya, tetapi karena Ganesha tahu itu hanya bualan belaka, maka dia tidak banyak menaruh harapan.
"Gue serius. Ayo kita pergi berdua," ujar lelaki itu lagi.
Kali ini, Ganesha mendengus. Ia lantas meninggalkan ponselnya di atas pangkuan, mendongakkan kepala sambil merapal doa agar ia mampu menghadapi sorot mata Tenggara yang terlampau tenang dan diam-diam menghanyutkan.
"Dalam rangka apa tiba-tiba lo kepikiran buat pergi berdua sama gue, Kak?" tanyanya. Karena sungguh, dia penasaran. Rencana apa lagi yang sedang disusun oleh lelaki itu di dalam kepalanya saat ini?
"Dalam rangka menyenangkan fans. 'Tenggara dan Ganesha liburan berdua ke Bandung, kencan?' narasi kayak gitu bakal muncul jadi headline, bayangin segimana happy fans kita nanti."
Dan dengan begitu saja, Ganesha mendecih. Fans, fans, dan fans. Selalu hanya ada fans di dalam kepala Tenggara, tidak ada yang lainnya.
"Skip. Gue mau liburan dengan tenang, buat nyenengin diri gue sendiri, bukan orang lain." Ganesha menolak mentah-mentah. Gadis itu kemudian bangkit setelah menggenggam kembali ponselnya. Tak lupa menyambar cup americano yang masih setengah penuh sebelum ngeloyor meninggalkan Tenggara di tempat lelaki itu duduk.
"Fans mulu yang ada di otak lo. Sesekali mikirin perasaan gue juga dong, anjing." Gerutunya. Tak peduli bahkan jika staf perempuan yang barusan berpapasan dengannya bisa mendengar gerutuan kasar yang dia keluarkan.
"Argggghhhh!!! Tenggara sialan!" Dan sayang seribu sayang, dia hanya bisa meneriakkan itu di dalam kepalanya.
Karena mau bagaimana pun, Tenggara masih jadi main character yang tidak bisa begitu saja dia gantikan dengan yang lain, tak peduli seberapa kesal dan frustrasinya ia terhadap kelakuan lelaki itu.
Bersambung...
Arrived home safely?
Pesan template itu hanya Ganesha baca sekilas sebelum akhirnya ia melemparkan ponselnya ke atas kasur tanpa satu balasan pun diberikan untuk si pengirim pesan.
Tidak penting. Toh, yang ingin Tenggara pastikan bukan benar-benar apakah dirinya tiba di rumah tanpa sedikit pun lecet di tubuhnya karena lelaki itu benar-benar peduli. Yang Ganesha tahu, Tenggara hanya bersikap begitu karena tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya dan memengaruhi performa band mereka.
Ganesha baru menyadari soal itu akhir-akhir ini, berkat ocehan mulut pedas Kafka Soe Pratama—sahabat karib yang membantunya tetap waras di tengah kegilaannya mencintai Tenggara nyaris tanpa logika.
Awalnya, sih, dia kecewa. Tapi lama-kelamaan kebal juga. Biarkan saja. Pikirnya, selagi masih ada sedikit saja perhatian yang Tenggara berikan—meskipun hanya sebatas bentuk kepedulian terhadap partner kerja—Ganesha sudah cukup bersyukur. Akhir-akhir ini dia merasa, seharusnya tidak terlalu banyak menuntut.
Meskipun di luar hujan masih turun begitu deras, nyatanya suhu udara tidak serta-merta berubah menjadi dingin. Sebaliknya, Ganesha merasa gerah. Peluh menetes membasahi seluruh wajahnya. Beberapa membuat kaus yang ia kenakan basah. Sangat tidak nyaman.
Sekarang baru pukul delapan. Belum terlalu malam untuk mengguyur tubuhnya yang lengket dengan air dingin dari shower. Maka tanpa berpikir lebih banyak, ia berjalan menuju kamar mandi di dalam kamarnya.
Dinginnya ubin kamar mandi membuat Ganesha sedikit terjingkat. Kemudian, ketika ia mencoba menyalakan keran di wastafel, niatnya untuk mandi menggunakan air dingin seketika urung. Suhu airnya sangat tidak manusiawi—bahkan mungkin bisa membuatnya mati beku jika tetap nekat.
Memutar keran shower sambil menyesuaikan suhu, pikiran Ganesha kembali melanglang buana. Tak tentu arah. Kadang ia terlempar jauh ke masa lalu, terkadang pula sibuk menerka-nerka masa depan. Hingga tibalah ia pada satu momen yang terjadi jauh sekali di masa lalu.
Tepatnya, sembilan tahun lalu—ketika umurnya 13 tahun dan dia masih duduk di bangku kelas 1 SMP.
Kala itu, musim ujian kenaikan kelas telah tiba. Bukan hanya diimbau untuk lebih rajin belajar dan mengurangi intensitas bermain-main, anak-anak juga diingatkan untuk menjaga kesehatan. Dilarang main hujan-hujanan (karena saat itu musim penghujan), dilarang bergadang, dilarang bermain gadget terlalu lama, dan dilarang telat makan.
Pokoknya, ada banyak sekali larangan yang diberikan. Tujuannya jelas: agar mereka bisa menghadapi ujian dengan kondisi tubuh dan pikiran yang prima.
Termasuk ke dalam golongan anak-anak yang mendapatkan larangan ketat tersebut, Ganesha ternyata sedikit lebih bandel dibanding kawan-kawannya yang lain.
Alih-alih tidur tepat waktu setelah selesai belajar pukul sembilan malam, ia malah menyalakan komputer, menonton serial drama Korea yang kala itu sedang hits di kalangan remaja tanggung seperti dirinya. Ia melakukannya hingga pukul dua dini hari—selama enam hari berturut-turut.
Sudah kurang tidur, dia juga melakukan kebandelan lain yang membuat kondisi tubuhnya seketika drop. Hanya sehari sebelum ujian dimulai, dia sengaja bermain hujan-hujanan. Alhasil, malamnya dia demam dan keesokan harinya langsung terserang flu.
Demam, kepala pusing, hidung mampet. Rasa-rasanya Ganesha ingin bolos sekolah saja pagi itu. Tetapi jelas tidak bisa karena itu adalah hari pertama ujian. Tidak masuk sama artinya dengan membiarkan kesempatan untuk mendapatkan nilai tinggi menjadi berkurang, dan dia tidak ingin itu terjadi.
Akhirnya, pagi itu, dengan kondisi tubuh yang tidak keruan, Ganesha tetap berangkat sekolah untuk mengikuti ujian.
Sayangnya, dia melupakan satu hal. Sistem di sekolahnya menerapkan pembagian ruang ujian secara acak. Murid-murid dari kelas 1 akan dipasangkan dengan murid-murid dari kelas 2. Sementara murid kelas 3 tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti ujian karena mereka sudah lebih dulu menuntaskan ujian nasional.
Pagi itu, sambil berusaha keras agar ingusnya tidak mengalir deras, Ganesha menarik kursi di samping seorang murid kelas 2 yang sudah lebih dulu duduk di sana. Murid laki-laki itu tampak biasa saja mendapati kehadirannya. Bahkan ketika dia bersin-bersin hanya sesaat setelah bokongnya mendarat di kursi kayu yang keras, Ganesha sama sekali tidak melihat murid laki-laki itu terlihat terusik.
Setengah jam berjalan, intensitas bersin yang terjadi semakin sering. Ganesha jadi harus berkali-kali menyeka hidungnya yang meler menggunakan tisu yang sudah basah. Agak menjijikkan, tapi dia tidak mungkin merogoh terlalu banyak tisu dan membuat kolong mejanya penuh dengan sampah.
“Nih.”
Lalu tiba-tiba saja, ketika Ganesha sedang serius mengerjakan soal, murid laki-laki yang notabene adalah kakak kelasnya itu menyodorkan beberapa tablet vitamin ke hadapannya.
Ganesha menoleh, menatap penuh heran pada sosok kakak kelasnya yang semula hanya diam seribu bahasa itu. Hendak bertanya, namun sudah keduluan ketika cowok itu kembali bersuara,
“Vitamin ini adalah andalan gue kalau lagi terserang flu. Nyokap gue selalu bilang kalau obatnya flu itu adalah istirahat yang cukup, minum air putih yang banyak, sama konsumsi vitamin. Buat lo aja, gue masih ada stok banyak di tas. Nyokap selalu pastiin gue bawa vitamin itu ke mana-mana.”
Kemudian, waktu serasa berhenti sejenak.
Ganesha menemukan segala hal di sekitarnya berhenti bergerak. Teman-temannya yang rusuh mencari contekan, guru pengawas yang menatap nyalang dari depan kelas, bahkan jam dinding yang semula berdetak sangat keras pun seketika membeku.
Satu-satunya yang masih terlihat sama di mata Ganesha hanya sosok kakak kelas baik hati yang sudah kembali sibuk mengerjakan soal itu.
Lalu, di titik itu, Ganesha—si remaja tanggung yang masih buta soal dunia—untuk pertama kalinya berani mengaku bahwa, sepertinya dia telah jatuh hati pada kakak kelasnya sendiri. Pada obrolan pertama, hanya karena beberapa tablet vitamin yang diberikan secara cuma-cuma.
Dan yah, itu adalah awal mula dari seorang Ganesha Mirella jatuh cinta kepada Tenggara Naratama. Interaksi mereka hari itu melahirkan interaksi-interaksi lain yang lambat laun terasa semakin intens.
Sesekali, mereka akan pergi nongkrong di kafe depan sekolah. Sesekali, mereka akan pergi nonton ke bioskop—meski tidak hanya berdua. Sesekali, mereka akan menghabiskan malam untuk saling bertukar suara melalui sambungan telepon, setelah mereka selesai belajar.
Bisa dibilang, hubungan mereka berjalan baik. Bahkan setelah Tenggara lulus dan bersekolah di SMA yang jauh, mereka tetap rutin berkabar. Sesekali juga masih sering hangout bersama teman-teman Tenggara yang lain.
Sampai sekarang pun, sebenarnya hubungan mereka juga masih baik-baik saja. Hanya perasaan Ganesha saja yang mulai tumbuh semakin gila sehingga ia sering kali secara tidak sadar menuntut Tenggara untuk memahami perasaannya.
“Ah, cinta pertama tai kucing, lah. Emang lo nggak pernah dengar orang bilang kalau cinta pertama itu kebanyakan nggak akan berhasil?”
Yang barusan adalah suara Kafka. Dikatakan enam bulan lalu ketika cowok itu menasihati Ganesha untuk menghentikan cinta bertepuk sebelah tangan miliknya dan mulai membuka hati untuk laki-laki lain di sekitarnya.
Tapi lihat saja sekarang. Jangankan membuka hati, satu-satunya yang bisa terlihat jelas di mata Ganesha ya tetap saja hanya Tenggara.
“Iya, iya. Gue emang tolol. Puas-puasin deh lo ngatain gue tolol, gue nggak akan protes.”
Ganesha bermonolog seraya menatap ke arah cermin di depan wastafel. Di sana, seolah-olah muncul wajah garang Kafka. Bibirnya yang tebal merah merona sedang berkomat-kamit, mengatainya tolol secara terus-menerus.
Tak ingin pikirannya semakin berlarian tidak keruan, Ganesha mengakhiri semuanya di sana.
Kaus dan celana ia tanggalkan setelah memastikan suhu air dari shower sudah pas dengan yang dia mau. Lalu, ia berjalan perlahan menuju kucuran air, memasrahkan tubuhnya yang polos pada titik-titik air yang jatuh.
Bersambung...
"Ya jangan mau, lah, tolol."
Ganesha mendengus keras-keras saat tolol kembali dijadikan panggilan untuk dirinya. Pelakunya sudah jelas adalah Kafka. Tidak pernah ada manusia tidak sopan di muka bumi ini yang akan memanggilnya tolol selain cowok berbadan kekar itu.
"Dia mohon-mohon, gue mana bisa nolak?"
"Alah, alasan. Emang susah kalau udah bucin! Otaknya nggak dipake, sialan banget!"
Desahan panjang lolos dari belah bibir Ganesha. Memejamkan mata, ia berusaha untuk tidak balik menyerang Kafka karena sudah kadung berjanji tidak akan protes ketika sedang dimarahi oleh lelaki itu.
Perdebatan kali ini lagi-lagi disebabkan oleh Tenggara. Yah, memangnya siapa lagi yang bisa membuatnya dikatai tolol kalau bukan lelaki itu?
Masalahnya kali ini bermula ketika Ganesha meminta izin kepada Kafka untuk absen dari pertemuan rutin di kafe yang lelaki itu kelola. Biasanya, mereka dan satu kawan mereka yang lain akan berkumpul setiap satu minggu sekali di sana, sekadar ngobrol-ngobrol dan bertukar cerita.
Absennya Ganesha untuk pertama kalinya dalam sejarah jelas menimbulkan tanda tanya, sehingga Kafka kemudian menyelidik, apa sekiranya yang membuat Ganesha si bucin tolol itu tidak bisa datang ke pertemuan mereka?
Dan jawaban yang Ganesha berikan sudah serupa ultimatum untuk dimulainya perang ketiga.
Ganesha menjawab sejujurnya, bahwa dia harus menemani Tenggara pergi ke luar kota untuk menjenguk ibunya. Jaraknya dari Jakarta cukup jauh, hampir 12 jam bolak-balik sehingga Tenggara membutuhkan seorang teman untuk gantian menyetir. Sebagai si bucin tolol, Ganesha tidak bisa menolak ketika lelaki itu mengajaknya. Tentu saja.
Kesediaan Ganesha yang terlalu gampang itulah yang akhirnya menyulut kemarahan Kafka. Menurut lelaki itu, Ganesha terlalu lembek sehingga Tenggara tidak henti-hentinya bersikap seenaknya.
"Sekelas playboy busuk kayak dia mah temennya pasti banyak, Sha. Aneh banget kalau dia alasan nggak bisa ngajakin yang lain selain lo!" gerutu Kafka lagi setelah ada jeda yang cukup lama.
Ganesha menarik napas dalam-dalam, membuka kembali matanya untuk sekadar mengamati hamparan langit buram tanpa bintang. "Masalahnya, tempatnya lumayan jauh. Temen-temen dia juga mostly adalah orang-orang sibuk. Lo kan juga tahu sendiri di antara kenalan dia, cuma gue yang nggak punya banyak hal buat dilakuin setiap hari. Selain manggung, gue cuma gegoleran di rumah, kan? Kadang-kadang ngerecokin lo di kafe, sih, tapi kan nggak sering. Jadi, ya--"
"Basi, lah. Percuma juga sih gue ngomong sama bucin tolol kayak lo, nggak bakal didenger. Udah lah, terserah lo aja. Kalau ada apa-apa, lo jangan nangis-nangis ke gue ataupun Selena, ya. Lo makan deh tuh si Tenggara!"
"Kaf--"
Tutt... Tutt... Tutt...
Sambungan telepon telah diputus secara sepihak oleh Kafka, dan Ganesha tidak bisa berbuat apa-apa selain menghela napas pasrah. Ponsel tak berdosa yang telah menjadi saksi bisu betapa ia dikatai tolol dengan begitu brutal oleh Kafka malam ini diletakkan di atas nakas, lalu dia kembali melayangkan pandangan ke luar jendela.
Bermenit-menit, yang Ganesha lakukan hanya diam memandang langit malam yang gelap. Hingga kemudian, dia lelah sendiri dan memutuskan untuk menarik gorden hingga akses pandangannya terhadap dunia luar seketika terputus. Ia kemudian merebahkan dirinya di kasur, langsung memejamkan mata meski tahu tidak akan mudah baginya untuk tidur.
"Tidur, bestie, mencintai dalam diam juga butuh energi." Bisiknya, kepada diri sendiri.
......................
Ada yang pernah bilang, kematian adalah sebuah bentuk perpisahan yang paling menyakitkan. Sebab katanya, tak peduli sebanyak apa pun kita menangis karena merindukan sosoknya, ia tidak akan pernah bisa kembali datang untuk memeluk rindu kita yang menyesakkan. Pada akhirnya, kita hanya bisa meratap. Meraba bayang-bayangnya yang mulai pudar dari dalam ingatan, seiring dengan berlalunya waktu.
Ganesha sendiri belum pernah merasakan seperti apa merindukan seseorang yang telah mati. Sebab satu-satunya perpisahan yang pernah dia alami hanya ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai saat usianya genap 17 tahun dan keduanya memulai hidup masing-masing tanpa sudi menoleh ke belakang sekali lagi, membiarkan putri mereka hidup seorang diri.
Semuanya terasa sulit di awal, namun sebagaimana hidup harus terus berjalan, Ganesha mulai terbiasa tanpa kehadiran kedua orang tua di sisinya. Ia terbiasa sendirian, menjadi wonder woman setidaknya untuk dirinya sendiri.
Kendati demikian, Ganesha rasa ia bisa mengerti mengapa Tenggara kini terlihat begitu rapuh di depan rumah sang ibu. Karena jika Papa ataupun Mama meninggal suatu hari nanti, dia juga pasti tetap akan merasakan kesedihan yang serupa. Bahkan mungkin, dirinya akan jatuh lebih parah daripada apa yang ia saksikan hari ini.
Di bawah temaram senja yang hangat, Ganesha menyaksikan betapa Tenggara telah sepenuhnya menanggalkan image sebagai laki-laki tangguh dan ceria. Di depan matanya, lelaki itu menangis tersedu-sedu, tersendat-sendat mengucapkan rangkaian kalimat rindu tak berbalas. Telapak tangannya bergerak naik turun, mengusap epitaf berukir nama sang ibunda.
Beberapa kelopak bunga Kamboja berwarna putih dengan semburat kekuningan jatuh ke atas pusara. Seperti sebuah jawaban tak langsung atas air mata yang Tenggara tumpahkan untuk mendiang ibunya.
Sementara di tempatnya berdiri, Ganesha tak berani mengambil sikap apa pun. Ia ingin mendekat, sekadar memberikan tepukan di bahu lelaki itu untuk menyuarakan bahwa masih ada dia di sini untuk berbagai kesedihan.
Namun, Ganesha tidak melakukannya. Sebab tiba-tiba saja, ia menjadi sedikit tahu diri. Ia bukan siapa-siapa untuk Tenggara. Tidak ada hak untuk menyentuh lelaki itu seenaknya.
Melihat tangis Tenggara yang tak kunjung reda meski sudah lewat beberapa menit, Ganesha memilih menarik diri. Dia berjalan menghampiri mobil Tenggara yang diparkir persis di depan pintu masuk area pemakaman, memutuskan bersandar di kap mobil sambil menunggu lelaki itu selesai dengan kesedihannya.
Untuk beberapa lama, Ganesha masih betah melayangkan pandangan ke tempat di mana Tenggara berada. Merekam segala hal yang tampak di depan matanya, lantas menyimpannya di satu bagian kepala yang dia buat khusus hanya untuk Tenggara.
Sampai kemudian, ponselnya berdenting nyaring, memecah konsentrasi.
Ganesha merogoh saku jaket, mengeluarkan ponsel dengan case warna biru muda itu untuk memeriksa siapa gerangan yang mengiriminya pesan.
Dan ternyata, itu adalah Kafka.
Udah mau malam, buruan ajakin Tenggara masuk ke mobil. Udaranya juga makin dingin, nanti lo sakit.
Sudut bibir Ganesha terangkat perlahan. Hatinya yang semula terasa ngilu melihat betapa sedihnya tangis Tenggara juga perlahan menghangat. Di dunia ini, selain dirinya sendiri dan abangnya, Kafka adalah orang lain yang sangat bisa dia andalkan.
Tentu Ganesha tidak akan lupa betapa Kafka mengatainya tolol semalam. Berteriak lantang mengatakan tidak akan peduli pada apa pun yang terjadi padanya selama perjalanan bersama Tenggara. Tetapi nyatanya, lelaki itu tidak benar-benar menutup mata dan telinga.
Pagi tadi, sebelum Ganesha berangkat, Kafka sudah lebih dulu meminta dikirimkan live location agar dia bisa mengekor di belakang mobil Tenggara. Sekadar berjaga, takut kalau-kalau Tenggara yang dia juluki playboy busuk akan membuat sahabatnya menangis lagi.
Alih-alih membalas pesan Kafka, Ganesha malah mendial nomor lelaki itu.
"Ngapain malah telepon?!" Suara Kafka yang sengak menyambut cepat.
"Lo parkir di mana? Gue nggak lihat ada mobil lo di sekitar area makam?" tanya Ganesha. Ia mengitarkan pandangan, lalu kembali tersenyum saat menemukan satu unit mobil SUV berwarna silver terparkir jauh di seberang jalan. "Oh, di sana rupanya."
"Masih kelihatan? Berarti kurang jauh gue parkirnya. Repot kalau si playboy busuk itu tahu gue ngintilin di belakang."
"Udah jauh, kok. Lagian, Kak Aga nggak akan ngenalin mobil lo. Dia nggak seperhatian itu."
"Udah tahu gitu masih aja lo bucinin, kan emang tolol."
Ganesha hanya terkekeh pelan, enggan menanggapi omelan Kafka yang topiknya tidak pernah berubah dari hari ke hari.
"Tutup teleponnya, si playboy busuk udah jalan ke arah lo tuh."
Seketika itu juga, Ganesha kembali menoleh ke arah dalam area pemakan. Benar yang dikatakan Kafka, Tenggara memang sedang berjalan ke arahnya dengan langkah yang diseret. Punggung tegapnya tampak jatuh, wajahnya pun masih terlihat sendu.
"Nanti gue telepon lagi. Jagain Selena, jangan dijahatin," pesannya, hanya untuk membuat Kafka memekik heboh di seberang sana.
Katanya, "Gue bukan Tenggara yang hobinya bikin nangis anak gadis orang!" lantas telepon ditutup detik itu juga.
Ganesha sudah tidak menghiraukan lagi perihal telepon yang ditutup tiba-tiba. Sebab kini, dia benar-benar fokus hanya pada Tenggara. Keinginannya untuk memeluk lelaki itu semakin besar saat sosoknya semakin dekat, terus mendekat hingga nyaris tidak ada lagi yang namanya jarak aman seperti yang biasa mereka terapkan.
"Kak Aga udah sele--" Ucapan Ganesha terputus, meninggalkan bibirnya setengah terbuka dengan lidah yang kelu tatkala tiba-tiba saja tubuhnya ditarik ke dalam pelukan Tenggara.
"Izinin gue peluk lo sebentar, ya, Sha. Gue bener-bener butuh," bisik lelaki itu, terasa begitu dekat dengan telinga Ganesha.
Tak mengiyakan, namun tak juga punya daya untuk menolak. Akhirnya, Ganesha hanya pasrah membiarkan tubuhnya didekap erat oleh Tenggara. Sembilan tahun, dan ini adalah kali pertama lelaki itu memeluknya.
Tapi, entah pertanda apa, hujan tiba-tiba saja turun ketika tubuh Ganesha masih didekap erat oleh Tenggara. Titik-titik air jatuh tanpa permisi, perlahan membasahi tubuh dua anak manusia yang isi kepalanya sedang berkeliaran mencari tempat aman.
Dan anehnya lagi, mereka sama sekali tidak beranjak. Seolah hujan yang turun bukanlah apa-apa. Seolah badai sekalipun tidak akan bisa memisahkan, kecuali memang mereka yang ingin menyudahi pelukan tersebut.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!