NovelToon NovelToon

Jodohku Tetanggaku

1. Kampung Halaman Mbun

Netra gadis ayu itu menyapu pandang ke jalanan berkelok yang ia lewati. Hamparan tanaman padi dan sayur - sayuran yang berbaris rapi, sungguh memanjakan mata.

Rasa penat yang hinggap pun perlahan sirna bersama angin lembut yang menerpa wajah ayunya.

Aliran sungai jernih dengan batu - batu besar yang berkilauan di timpa sinar matahari pagi juga tak ketinggalan menyapa netra.

Gadis itu tersenyum manakala melihat capung yang nampak riuh beterbangan kesana kemari.

Perlahan, mobil angkutan umum yang ia tumpangi menepi di sebuah gapura besar yang ada di tepi jalan raya. Ya, gapura itu adalah gapura pintu masuk menuju ke desa tempat ibunya di lahirkan.

Laras bersama beberapa penumpang lain segera turun dari mobil angkutan umum yang membawa mereka.

Mobil itu kembali berjalan setelah si kernet menurunkan koper besar milik Laras yang di letakkan di atas mobil.

"Mbak Laras......!!!" Suara yang sedikit asing, namun ia kenali menyapa telinga.

Laras segera menoleh ke sumber suara. Tampak seorang pria remaja melambaikan tangan ke arahnya. Ia tersenyum sumeringah, menyambut sepupunya yang baru saja tiba.

"Loh, kamu sendirian, Man?" Tanya Laras.

"Hehe iya, mbak. Jam segini, orang - orang masih pada sibuk di pabrik, mbak." Jawab Hilman.

"Terus gimana?" Tanya Laras memandangi koper besar dan kardus yang ia bawa.

"Mbak ndak bilang, kalo bawa kopernya sebesar harapan gini." Hilman menggaruk - garuk kepalanya.

"Ya namanya mau pindah, kalau bawa baju sedikit, main dong namanya!" Kekeh Laras.

"Mbak, coba telfon Uti. Minta tolong suruh lek Pur nyusulin. Aku ndak bawa hape." Pinta Hilman.

Laras segera merogoh tote bag yang menggantung di pundaknya. Ia meraih hapenya.

"Yaah, mati, Man. Lowbat nih!" Sesal Laras.

"Aduh piye yo, mbak ? (Aduh gimana ya, Mbak?). Mbak Laras kuat ndak, mangku kopernya?" Tanya Hilman.

"Eh ediaan, abot tenan! (Eh, gila, berat banget!)" Keluh Hilman yang membuat Laras tertawa.

"E..ee.. Itu! Mas! Mas Dimas!" Seru Hilman sambil bertepuk tangan saat melihat tetangganya melintas.

Pengemudi itu menghentikan kendaraannya, kala mendengar ada yang memanggil. Ia menghentikan motornya dan menoleh ke sumber suara.

Dimas segera menghampiri saat mengenali pria yang baru saja memanggilnya dengan lambaian tangan.

"Wah, kebetulan ada mas Dimas!" Hilman sumeringah melihat pria yang bernama Dimas itu menghampirinya.

"Ngopo, Man? (Kenapa, Man?)." Tanya si pengemudi yang membuka kaca helm full facenya.

"Mas arep mulih, to? (Mas mau pulang, kan?)." Tanya Hilman.

"Iyo."

"Iki lho, mas. Mbak ku agi tas teko, ndak weruh nak gawananne uokeh mbanget, jathukno mau aku ngejak lik Pur. Gek aku yo ra nggowo hape e. Arep njaluk tulung iki. (Ini lho, mas. Mbak ku baru saja datang, gak tau kalau bawannya banyak banget. Tau gitu tadi aku ngajak lik Pur. Mana aku ya gak bawa hape. Mau minta tolong ini.)" Cerita Hilman.

"Ayo tak ewangi. (Ayo aku bantu)." Kata Dimas yang mengerti maksud Hilman.

"Tenane iki, mas? Walah matur suwun, mas. (Bener ini, Mas? Walah, terima kasih, Mas.)" Sahut Hilman senang.

"Mbak naik motor sama mas Dimas saja. Barang - barangnya biar tak bawa. Tapi tolong bantu aku ngangkat koper ini ke motor, hehehe." Kata Hilman.

"Ee, iya, Man." Kata Laras yang nampak bingung.

Ia sendiri sungkan karena harus menebeng pada orang lain. Bukan tak mengenal sama sekali, mereka pernah bertemu satu kali saat Laras dan keluarganya berkunjung pada momen idul fitri.

Keluarga Laras sangat jarang berkunjung ke kampung halaman ibunya karena jaraknya yang jauh dan tentunya membutuhkan banyak biaya.

Ayah laras adalah seorang ASN sementara ibunya adalah seorang ibu rumah tangga, sehingga perekonomian mereka bisa di bilang pas - pasan saja. Terlebih, mereka tinggal di kota dengan empat orang anggota keluarga.

Saat Laras hendak membantu Hilman, tanpa ba bi bu, tiba - tiba Dimas mengambil alih koper itu dan meletakkannya di bagian belakang.

Hilman pun kemudian naik ke atas motornya, sementara Dimas masih setia memegangi koper Laras agar tidak jatuh.

"Kotaknya biar aku saja yang bawa, Man." Kata Laras.

"Ndak usah, mbak. Bisa kok aku bawanya, lagian ndak berat juga." Hilman mengambil kotak kardus yang di pegang oleh Laras.

"Gak naik?" Dimas melihat ke arah Laras.

"Eeh, iya." Jawab Laras.

Namun, ia kembali kebingungan saat akan menaiki motor besar itu.

"Astaga, tinggi juga motornya. Gak mungkin mau langsung melangkah!" Batin Laras.

"Susah?" Suara Dimas membuatnya terkejut.

Pria itu mengulurkan tangannya tanpa berucap apa - apa lagi. Hilman yang melihat kecanggungan dua orang di depannya, hanya bisa terkekeh geli.

"Maaf ya, Mas." Kata Laras kemudian memegang tangan Dimas dan naik ke boncengan.

"Aku jalan duluan ya, mas." Pamit Hilman yang di jawab anggukan oleh Dimas.

Dimas pun mengikuti motor yang di kendarai Hilman. Ia terus berada di belakang Hilman untuk memastikan kalau koper yang di bawa Hilman tidak jatuh karena tidak di ikat.

Sepanjang perjalanan, Dimas dan Laras hanya terdiam. Tak ada percakapan atau sekedar basa basi di antara mereka berdua.

Sepuluh menit menempuh perjalanan, mereka akhirnya sampai di halaman rumah nenek Laras.

Laras pun segera turun dari boncengan. Ia memegang bahu Dimas untuk memudahkannya turun.

"Maaf, mas." Lirihnya sebelum memegang bahu pria itu. Namun, Dimas diam saja, tak merespon.

"Ni manusia apa patung sih?." Gerutu Laras.

"Kamu gak bilang to, nduk, kalau bawa koper besar. Duhalah jadi ngerepoti Dimas." Kata nenek Laras yang biasa ia panggil Uti.

Wanita tua itu tergopoh - gopoh keluar dari rumah saat melihat cucunya baru turun dari motor.

Dimas pun turun dari motor dan melepas helmnya. Ia lalu menyalami wanita tua, tetangganya itu.

"Mboten nopo - nopo, ti. (Gak apa - apa, ti). Kebetulan lewat mau pulang." Jawab Dimas dengan sopan dan halus.

"Suwun yo, le. Amit, iki Uti ngerepoti terus. (Terimakasih ya, nak. Maaf ini Uti merepotkan terus.)." Kata Uti.

"Njih, mboten nopo - nopo, ti, ampun sungkan ngoten niku. Kulo wangsul riyin njih, ti. (Iya, gak apa - apa, ti, jangan sungkan seperti itu. Saya pulang dulu ya, ti)." Pamit Dimas.

"Ora melebu ndisik, le. Ngopi opo ngeteh sek. (Gak masuk dulu, le. minum kopi atau minum teh dulu.)" Tawar Uti.

"Mboten usah, ti. Matur suwun, kulo wangsul njih, ti. (Tidak usah, ti. Terima kasih, saya pulang ya, ti)." Tolak Dimas.

"njih, njih, matur suwun, le." Kata Uti.

Ia kemudian melirik dan menyenggol - nyenggol tangan cucunya. Laras yang menoleh karena di senggol Utinya pun mengerutkan kening saat wanita tua itu memberikan kode.

Laras membulatkan bibirnya, saat mengerti maksud dari Utinya itu.

"M-makasih ya, mas." Kata Laras yang hanya di jawab anggukan oleh pria yang sudah berada di atas motornya.

"Assalamualaikum." Kata Dimas sebelum melajukan motornya.

"Waalaikumsalam." Jawab Uti dan Laras serempak.

"Aduh ya Allah, putu (cucu) Uti. Kangen banget, wes sui mbanget ora merene. (Sudah lama sekali gak kesini.)" Uti memeluk Laras dengan erat. Melepaskan rasa rindu pada cucu perempuan satu - satunya yang ia miliki.

Dari empat orang anak dan sembilan orang cucu, hanya Laras lah satu - satunya cucu perempuan. Sama seperti ibu Laras yang menjadi satu - satunya putri Uti dan mendiang Kakungnya.

"Laras juga kangen banget sama Uti. Maaf ya, ti, karena sudah lama tidak mengunjungi Uti." Lirih Laras.

"Iyo, wes ora popo. Uti yo paham, sing penting kowe, ayah, mbun karo adimu waras. (Iya, sudah tidak apa - apa. Uti mengerti, yang penting kamu, ayah, mbun sama adikmu sehat.)" Jawab Uti.

"Lho, mas Dimas mpun wangsul to, ti? (Lho, mas Dimas sudah pulang to, ti?)." Tanya Hilman yang baru muncul.

"Iyo, kuwi. Di kon melebu ra gelem kok. (Iya itu. Di suruh masuk gak mau kok)." Jawab Uti.

"Lha Uti sama mbak Laras gak mau masuk? Tak tutupe iki lawange nak ora gelem melebu. (Aku tutup ini pintunya kalau gak mau masuk)." Goda Hilman.

"Oo bocah kok ra nggenah! Utine malah di kon neng njobo ki piye to! (Oo bocah kok gak jelas! Utinya malah di suruh di luar ni, gimana to!)" Omel Uti sambil berjalan masuk bersama Laras.

2. Tuntutan Menikah

Embun pagi menyapa wajah ayu gadis yang sedang bercengkrama dengan Utinya. Di rumah itu, mereka hanya tinggal berdua saja. Keluarga terdekat mereka adalah anak bungsu Uti yaitu Paklik Sunar, ayah Hilman yang tinggal di desa sebelah.

Pakde Supri, anak tertua Uti tinggal di Kabupaten lain yang membutuhkan waktu tempuh kurang lebih sekitar lima jam dari rumah Uti.

Sementara, Pakde Suyid, anak kedua Uti sama halnya dengan ibu Laras yang tinggal jauh, berbeda provinsi.

Namun, kondisi finansial Pakde Suyid sangatlah baik sehingga ia sering mengunjungi Uti walaupun jarak tempat tinggalnya lebih jauh dari tempat Laras.

Tak hanya itu, pakde Suyid juga selalu menjatah uang belanja untuk Uti dan uang jajan untuk para keponakannya yang masih sekolah. Ia rutin mengirimkannya setiap bulan dengan mentransfernya.

Pakde Suyid jugalah yang memberikan informasi tentang banyaknya lowongan pekerjaan yang akan di buka di wilayah kecamatan tempat Uti tinggal. Ia sendiri mengetahui hal itu dari rekan - rekannya.

"Kapan mulai buka pendaftarannya, nduk?" Tanya Uti. Mereka berdua sedang asyik mengoret rumput di kebun sayuran yang ada di halaman samping.

"Belum tau, Ti. Kata pakde, minggu - minggu ini, tapi nanti di kabari lagi kalau sudah ada link pendaftaran onlinenya." Jawab Laras.

"Mudah - mudahan keterima ya, nduk. Mosok cah pinter koyo ngene angel di terimo kerjo? Kowe ket sd intok beasiswa murid berprestasi terus nganti bar kuliahe. (Masak anak pintar kayak gini susah diterima kerja? Kamu sejak sd dapat beasiswa murid berprestasi terus sampai selesai kuliahnya)." Kata Uti.

"Kalau di sana, bukan lagi persaingan otak dan kemampuan, ti. Tapi duit dan orang dalam." Sahut Laras.

"Berdoa yang banyak, minta kemudahan pada gusti Allah. Gusti Allah mboten sare. Urung ngewehi penggawe ning kono, mungkin amergo luwih okeh mudhorote (Allah tidak tidur. Belum memberi pekerjaan di sana, mungkin karena lebih banyak mudhorotnya.)" Kata Uti menyemangati.

"Iya, ti." Jawab Laras dengan senyuman manisnya. Senyuman yang dihiasi dengan lesung pipi kecil di kedua ujung bibirnya

Laras merasa beruntung memiliki keluarga yang selalu mendukung setiap pilihannya. Jika pilihan itu belum benar pun, mereka akan menasihati tanpa menghakimi.

Dua wanita berbeda generasi itu tampak sangat menikmati waktu kebersamaan mereka yang baru sehari ini.

Tak jauh dari tempat mereka. Tampak sepasang mata mengawasi kegiatan nenek dan cucunya dari balik jendela.

"Kowe ndelok opo, le? Kok ngguya ngguyu dewe?. (Kamu lihat apa, le? Kok senyam senyum sendiri?). Itu sarapannya sudah matang." Kata bu Asih, ibu Dimas.

"Mboten, bu." Jawab Dimas sambil menutup gordyn jendela.

"Opo, sih? (Apa, sih?). Kok pake di tutup gordyn nya?." Bu Asih masih penasaran dan hendak melihat apa yang Dimas lihat.

"Gak ada apa - apa, bu. Ayo kita sarapan, bapak udah nungguin tu." Dimas segera membawa bu Asih keluar dari kamarnya.

Setelah selesai sarapan. Seperti biasa, Dimas yang merupakan anak semata wayang itu bersiap pergi ke tempat usahanya.

Berbekal meminjam modal dari bapaknya yang merupakan pengepul beras yang cukup terkenal di daerahnya, Dimas merintis usaha percetakan.

Ya, percetakan yang berkembang pesat itu, merupakan satu - satunya percetakan yang ada di kecamatan. Pria lulusan design grafis itu juga mampu mengembalikan modal yang ia pinjam dari bapaknya yang bernilai ratusan juta itu hanya dalam tempo dua tahun.

Tak hanya percetakan, iapun merambah dengan menjual ATK di bangunan yang sama dengan percetakannya.

"Le, nanti tolong antarkan beras ke rumah Uti. Kemarin Uti pesan beras." Pinta pak Sugeng.

"Njih, pak." Jawab Dimas.

"Arep enek opo yo, bu. Kok tumben tuku beras rodok okeh?. (Mau ada apa ya, bu. Kok tumben beli beras agak banyak?)." Tanya pak Sugeng pada istrinya.

"Mboh, wingi sedino yo ibu ora ketemu Uti. Wong ibu nggone yuk Lah, ngewangi masak nggawe among - among. (Gak tau, kemarin seharian ya ibu gak ketemu Uti. Oranv ibu tempat yuk Lah, bantuin masak buat among - among *makanan untuk mencurahkan rasa syukur.)" Jawab bu Asih.

"Opo putune wes teko, yo? (Apa cucunya sudah sampai, ya?)." Imbuh bu Asih.

"Woo, opo cah wedok sing lungguh neng lincak wingi sore kae, putune yo?. (Woo, apa anak perempuan yang duduk di lincak kemarin sore itu, cucunya ya?)" Kata pak Sugeng.

"Iyo, berati, pak. (Iya, berarti, pak.)" Sahut bu Asih yakin.

"Assalamualaikum...." Suara seorang wanita terdengar dari pintu samping rumah pak Sugeng.

Pak Sugeng dan bu Asih yang masih berada di ruang makan, tak jauh dari pintu samping rumah pun menjawab salam bersamaan. Bu Asih pun segera menuju ke pintu samping untuk melihat tamu mereka.

"Bu, mau nganter ini, sayuran dari Uti." Ujar Laras sembari menyerahkan keranjang berisi Terong, cabai dan tomat pada wanita di hadapannya.

"Oo ini cucunya Uti yang mau tinggal di sini, ya?." Tanya bu Asih.

"Iya, bu. Nama saya Laras." Laras memperkenalkan diri.

"Walah, Uti pasti seneng ini karena sekarang sudah ada yang nemani di rumah." Kekeh bu Asih yang membuat Laras tersenyum.

"Ayo masuk dulu mbak Laras." Ajak bu Asih.

"Oh, makasih, bu, tapi Laras mau langsung pulang, soalnya di ajak Uti ke pabrik." Jawab Laras.

Uti sendiri memiliki usaha yang masih bertahan sampai saat ini, yaitu kerupuk kulit. Kerupuk kulit dari pabrik milik Uti itu memang sangat terkenal hingga ke kabupaten.

Dari usaha kerupuk kulit yang di bangun bersama kakung dulu itu lah, menjadi salah satu tambahan pendapatan untuk menghidupi dan menyekolahkan anak - anaknya.

Profesi Kakung sebagai guru di desa dulu, tak bisa memenuhi kebutuhan mereka. Sehingga mereka berdua mencari akal untuk menambah pemasukan agar kebutuhan mereka dan anak - anaknya bisa tercukupi.

"Njih, terima kasih ya mbak Laras. Kalau senggang, main - main ke sini lho, mbak." Pesan bu Asih.

"Iya bu, in syaa Allah kapan - kapan Laras main. Laras pamit dulu ya, bu. Assalamualaikum." Pamit Laras.

"Waalaikumsalam." Jawab bu Asih yang tak lama kemudian beranjak masuk.

"Siapa, bu?." Tanya Dimas yang tiba - tiba berada di belakang bu Asih.

"Ih! Kowe iki ngaget - ngageti wae lho, Dim! (Ih! Kamu ini mengagetkan saja loh, Dim!)" Omel bu Asih sambil memukul bahu putranya.

"Ini lho, cucunya Uti nganterin sayuran." Imbuh bu Asih.

"Ooo.." Sahut Dimas yang kemudian memanaskan motornya.

"Cantik lho cucunya Uti. Ramah, sopan lagi." Puji bu Asih yang hanya di tanggapi kedikan bahu oleh putranya.

"Oh iya, Dim. Besok anterin ibu, ya?."

"Kemana?" Tanya Dimas.

"Arisan di rumah bu Neti, temen ibu yang di kecamatan itu lho. Wes do janjian arep nggowo anak (Sudah pada janjian mau bawa anak.)" Kata bu Asih.

"Emoh lah, bu! Aku udu cah cilik kok. (Gak mau lah, bu! Aku bukan anak kecil kok)." Tolak Dimas.

"Ih, wong sing di gowo yo udu cah cilik kok e. Yo cah - cah baraan awakmu, sopo reti enek sing tok taksir. (Ih, orang yang di bawa ya bukan anak kecil kok. Ya anak - anak seumuranmu. Siapa tau ada yang kamu suka.)" Ujar bu Asih yang tak di tanggapi putranya.

"Kowe ki lho, Dim. Mesti ra gelem nak arep ibu kenalke karo anak wedok koncone ibu. Ngopo to sakjane? Ilingo, umurmu wes meh telung puluh taun. Konco - koncomu wae wes do ndue anak. Ibu lho yo pingin nduwe mantu, pingin momong putu. iki, piye arep rabi, wedok sing di jak dolan neng omah wae ra enek. (Kamu ini lho, Dim. Pasti menolak kalau mau ibu kenalkan sama anak perempuan teman ibu. Kenapa sih sebenernya? Inget, umurmu sudah mau tiga puluh tahun. Teman - temanmu saja sudah pada punya anak. Ibu juga pingin punya menantu, pingin mengasuh cucu. Ini, gimana mau nikah, perempuan yang di ajak main ke rumah aja gak ada.)" Cerocos bu Asih.

Hampir setiap hari Dimas mendengar omelan bu Asih yang memintanya untuk segera menikah. Belum lagi jika ibunya itu menjodoh - jodohkannya dengan putri teman - temannya.

"Dimas berangkat dulu, bu. Assalamualaikum." Pamit Dimas yang tak menghiraukan ucapan ibunya.

"Waalaikumsalam. Hiih, bocah kok! Kalau di ajak bahas gitu, pasti kabur." Kesal bu Asih.

"Jarno to bu, cah lanang iki, rabi rodok tuwek yo ra masalah. Dene ki yo bosen lho tok omeli ngono kuwi bendino. Ra melas to? Mengko nak enek sing di tenani lak yo di kenalke. (Biarin to, bu, anak laki ini, menikah agak tua ya gak masalah. Dia itu ya bosen lho, kamu omeli seperti itu tiap hari. Gak kasihan to? Nantu kalau ada yang di seriusin juga di kenalin.)" Kata pak Sugeng.

"Ih, bapak sama anak sama saja!" Gerutu bu Asih pada suaminya.

3. Kerupuk Kulit

Pagi itu, Laras dan Uti berjalan bersama menuju ke pabrik kerupuk kulit milik Uti yang tak jauh dari rumah. Setiap pagi, Uti memang selalu ke pabrik untuk melihat kondisi di sana.

Tampak pekerja pabrik yang sudah beraktifitas. Di sana, memang lebih banyak pegawai laki - laki ketimbang perempuan.

"Walah, bungah yo ti, saiki enek konco neng omah. (Wah, senang ya ti, sekarang ada teman di rumah)."

"Alhamdulillah, Uti wis ra dewekan. Wes ayem pokok e. (Alhamduliah, Uyi sudah gak sendirian. Sudah tenang pokoknya.)"

"Weh, ayu tenan putune Uti. (Weh, cantik sekali cucunya Uti.)"

"Wes tekan to, mbak Laras. Malih ayu saiki, manglingi tenan mergo ra tau mulih. (Sudah sampai to, mbak Laras. Semakin cantik sekarang, bikin pangling karena gak pernah pulang.)"

"Mugo - mugo kerasan neng deso yo, mbak. Nggo ngonconi Uti. (Mudah - mudahan betah di desa ya, mbak. Untuk menemani Uti.)."

Para pegawai yang bekerja di pabrik kerupuk milik Uti, silih berganti menyapa Laras dan Uti. Laras sendiri tampak senang karena kedatangannya di sambut baik di sana.

"Uti tak ndelok gudang sek, nduk. (Uti mau lihat gudang dulu, nduk.)" Kata Uti setelah memeriksa kualitas kulit yang baru datang.

"Laras di sini saja ya, ti." Jawab Laras yang ikut berbaur dengan pegawai yang mengemas kerupuk kulit. Laras yang humble, tampak sangat mudah akrab dengan para pegawai di sana.

"Sudah selesai sekolahnya, mbak?" Tanya salah seorang pegawai.

"Alhamduliah, sudah selesai beberapa bulan lalu, lik." Jawab Laras.

"Berarti bener, mbak Laras kesini mau cari kerja?"

"Iya, soalnya cari kerja di kota sulit." Kekeh Laras.

"Mudah - mudahan cepet dapet kerja ya, mbak."

"Aamiin." Laras mengaminkan dengan sepenuh hati.

"Orang tua mbak Laras gimana kabarnya?"

"Alhamduah, sehat semua." Jawab Laras.

Laras tampak asyik mengobrol, namun tangannya juga tak berhenti memasukkan kerupuk ke dalam kemasan plastik. Sambil sesekali mencicipi kerupuk itu.

"Eee, lho, lho! mbak ini yang kemarin di boncengin mas Dimas ya? Oo, ternyata cucunya Uti. Kirain pacarnya mas Dimas." Tanya seorang gadis muda yang lebih muda dari Laras bernama Nila.

"Eh, bukan kok! Bukan pacarnya. Itu karena bawaan saya banyak, jadi si Hilman kerepotan mau bawa barang - barang saya. Kebetulan mas Dimas lewat, jadi saya di tebengin." Cerita Laras.

"Tumben! Padahal mas Dimas itu anti boncengin cewek, apa lagi anak gadis. Kalo gak bener - bener kepepet." Kata Nila yang membuat Laras mengerutkan dahi.

"Saya kemarin kan kepepet banget." Sahut Laras yang membuat Nila terkekeh.

"Iya juga, ya." Ujar Nila.

"Mulakno dadi bujang tuwek, mergo terlalu milih. (Makanya jadi bujang tua karena terlalu pemilih)." Celetuk yang lain.

"Sakjane ki, okeh wedokan sing seneng karo dene. Wong bocahe yo ngguanteng, sugih pisan. Tapi yo kuwi, cahe menengan opo meneh karo gadis. (Sebenarnya tu, banyak perempuan yang suka sama dia. Orang anaknya ya ganteng, kaya juha. Tapi ya itu, anaknya pendiem apa lagi sama gadis.)"

"Sssttt! Enek sing ngomong nak bocah kui ki mbelok alias ra seneng karo wedok. (Sssstt! Ada yang bilang kalau anak itu tuh belok/gak bener alias gak suka sama perempuan.)" Perghibahan dengan suara semakin lirih itu pun jadi semakin panas.

"Heh! Ojo sembarangan lambemu leh muni. Iso - iso dadi fitnah! (Heh! Jangan sembarangan mulutmu kalau bicara. Bisa - bisa jadi fitnah!)"

Laras hanya bisa menyimak percakapan para pegawai wanita yang di dominasi oleh ibu - ibu itu tanpa berniat untuk mengomentari.

Menurutnya, Dimas tak seburuk itu. Walaupun tak banyak bicara, pria itu baik, sopan dan cukup gentle.

"La, iki terno pesenane bu nyai, nduk. (La, ini antarkan pesanannya bu nyai, nduk.)" Pinta Uti.

"Njih, ti. Namung niki mawon?. (Iya, ti. Hanya ini saja?)" Tanya Nila.

"Ho'oh. Terno langsung neng omahe bu nyai yo. (Iya. Antarkan langsung kerumahnya bu nyai, ya.)."

"Njih, ti." Jawab Nila yang langsung menyiapkan pesanan milik pengasuh pondok pesantren yang berada di desa mereka.

"Mbak Laras, mau ikut gak? Sekalian jalan - jalan, hehehe." Ajak Nila.

"Ti, Laras boleh ikut Nila?" Tanya Laras.

"Yo oleh, ati - ati yo, nduk. Gek ndang mulih, wes awan. Mengko seurunge dzuhur, Uti mulih. Kowe bablas mulih omah wae. (Ya boleh, hati - hati ya, nduk. Cepat pulang, sudah siang. Nanti sebelum dzuhur, Uti pulang. Kamu langsung pulang kerumah saja.)" Pesan Uti pada Laras.

"Iya, ti." Jawab Laras yang kemudian membantu Nila membawa kerupuk - kerupuk pesanan bu nyai.

Mereka berdua mengendarai sepeda motor yang memang di siapkan khusus untuk mengantar pesanan - pesanan kerupuk kulit di sekitar desa.

"Mbak, pegangan, jalannya banyak jeglongan (lubang)." Kata Nila sebelum mereka berangkat.

"Oke, pelan - pelan aja ya, La." Pinta Laras.

"Tenang aja, mbak. Saya ini lulusan teknik bawa sepeda motor di jalan desa." Jawab Nila yang membuat mereka berdua terkekeh.

Laras dan Nila tampak akrab walaupun baru beberapa jam lalu bertemu. Keduanya bahkan sudah seperti orang yang lama bersahabat.

"Mbak Laras sudah main kemana aja?" Tanya Nila.

"Belum kemana - mana. Baru juga sampai kemarin." Jawab Laras.

"Kapan - kapan saya ajak keliling desa deh, mbak. Tapi kalau pas hari minggu, soalnya pabrik kan kerjanya selalu sampai sore." Kekeh Nila.

"Siaap!" Jawab Laras.

Motor yang di kendarai Nila mulai memasuki halaman pondok pesantren. Pondok yang luas ini, di bagi menjadi dua wilayah, yaitu pondok santri putra dan pondok santri putri.

Kedua bagian itu di pisahkan oleh deretan rumah saling berhadapan yang di huni oleh ustadz dan ustadzah yang mengajar di sana.

Berbeda dari rumah lain yang nampak seragam, rumah milik pengasuh ponpes ini memang lebih besar dan tampak mencolok walaupun berada di bagian paling ujung.

"Mbak, ayo turun." Ajak Nila.

Gadis itu tampak merapikan kerudungnya dengan melihat kaca sepion. Ia juga mengelap wajahnya yang sedikit lusuh.

"Bedakan sekalian, La." Goda Laras.

"Hehehe, barangkali ketemu sama Gus Farid, mbak." Gelak Nila.

"Siapa Gus Farid itu?" Tanya Laras.

"Putra bungsunya pak kyai dan bu nyai. Ngguanteng tur adem yen nyawang gus Farid, mbak. (Tampan juga dingin hawanya kalau memandang gus Farid, mbak.)" Kata Nila.

"Dasar genit!" Kekeh Laras sambil meraup wajah Nila.

Dua gadis berhijab itu kemudian berjalan bersama menyusuri deretan rumah yang berjajar dan saling berhadapan seperti membentuk sebuah jalur menuju ke rumah utama.

Beberapa santri dan santriwati tampak juga berlalu lalang di sana. Nila yang sudah biasa datang ke pondok, menyapa beberapa santriwati yang ia kenal. Tak lupa, ia juga memperkenalkan Laras pada mereka.

"Assalamualaikum." Seru Nila.

"Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh." Suara bariton pria menjawab salam Nila.

Pria tinggi yang berparas teduh itu kemudian keluar dari dalam rumah.

"Owalah, Nila. Ummi pesen kerupuk? (Oh, Nila. Ummi pesan kerupuk?)" Tanya pria yang ternyata mengenal Nila.

"Njih, gus Farid. Niki pesenane bu nyai. (Iya, gus. Ini pesanannya bu nyai.)" Jawab Nila sambil memberikan kerupuk yang ia bawa.

"Wis di bayar, urung yo? Mergo ummi ra ngomong nak pesen kerupuk. (Sudah di bayar, belum ya? Karena ummi gak bilang kalau pesan kerupuk.)"

"Ee hehe, kulo mboten ngertos, gus. Namung di dawuhi ngeterake niki kalih Uti. Uti njih mboten ngendiko mpun di bayar nopo dereng. (Hehe, saya gak tau, gus. Cuma di suruh nganter ini sama Uti. Uti juga gak bilang sudah di bayar apa belum)." Jawab Nila.

"Lungguho ndisik wae. Tak telpone ummi sediluk. Iki kerupuk e tak tampani yo. (Masuk dulu saja. Saya telfon ummi sebentar. Ini kerupuknya saya terima ya.)" Kata Farid sambil mempersilahkan tamunya duduk di lincak yang ada di teras.

"Njih, gus." Jawab Nila yang kemudian mengajak Laras duduk di teras. Sementara Farid masuk ke dalam rumahnya dengan membawa dua bungkus besar kerupuk.

"Gimana mbak? Adem kan lihatnya?" Bisik Nila pada Laras.

"Iya juga, sih." Sahut Laras yang cengengesan.

"Tuh kan, apa aku bilang. Walaupun gak seganteng mas Dimas, tapi gus Farid tuh enak dilihat." Kekeh Nila yang hanya di tanggapi senyuman oleh Laras.

Tak lama kemudian, Farid kembali menemui Nila dan Laras.

"Iki la, jare ummi pesen satus ewu. (Ini la, kata ummi pesan seratus ribu.)" Kata Farid sambil memberikan uang pada Nila.

"Njih, matur suwun, gus. (Iya, terima kasih, gus.)"

"Iko sopo, lo? Kok koyone urung tau weruh. (Ini siapa, lo? Kok sepertinya belum pernah lihat.)" Tanya gus Farid sambil melihat Laras.

"Owalah, niki mbak Laras. Putune Uti, sing sakniki ngerencangi Uti ten griyo. (Oh, ini mbak Laras. Cucunya Uti, yang sekarang menemani Uti di rumah.)" Jelas Nila yang di jawab anggukan oleh Farid.

"Yo mpun, gus. Kulo wangsul riyin (Yasudah, gus. Saya pulang dulu). Assalamualaikum." Pamit Nila.

"Njih, monggo, matur suwun. (Iya, silahkan, terima kasih). Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!