NovelToon NovelToon

Celeste & Para Dewa

Mimpi

“... Gelombang telah berubah. Namun badai belum datang. Biarkan badai itu datang… Maka para Dewa akan kembali ke semesta.”

**

Caela bermimpi lagi.

Sejak kecil hingga hari ini, ia tak pernah absen bermimpi, atau melihat gambaran—peperangan, kerusakan, suara penderitaan orang-orang, tangisan, jeritan, dan ketakutan di sebuah tempat yang tak pernah ia tahu. Semua itu bisa dia rasakan jelas, dan juga suara yang selalu datang di benaknya berulang-ulang.

Seperti biasa, bantalnya basah karena keringat di pagi hari akibat mimpi itu, ia lalu segera duduk dan memejamkan matanya yang berwarna biru laut sejenak dan menghela napas. Rambut sebahunya yang berwarna putih sedikit menutupi wajahnya.

“Kamu bermimpi lagi?” tanya seorang perempuan bermata merah tua, berambut panjang berwarna hitam, dan sedikit keriput sudah mulai menghiasi wajahnya. Perempuan itu menghampiri Caela, sambil membawakan roti dan juga minuman di meja sebelahnya.

“Bibi Rieva…” Caela mengangguk ke arah Rieva lalu menggeser tubuhnya ke ujung tempat tidur, mencoba mendekat ke arah meja untuk mengambil minum dengan perlahan.

Rieva hanya tersenyum kecil melihatnya, dia pun bersimpuh ke arah Caela. “Tak perlu khawatir, itu hanya mimpi.” kata Rieva.

Caela hanya terdiam, dia lalu menenggak air di dalam gelas dan melihat ke arah Rieva. Caela terdiam sejenak. Rieva selalu bersikap sopan dan juga baik hati di depannya. Kadang Caela juga sering tenggelam dalam ketajaman mata Rieva yang mempunyai warna merah pekat yang tak dimiliki orang di desa ini dan tak pernah dia lihat sebelumnya.

“Kamu sedang berpikir apa sekarang?” tanya Rieva sambil sedikit tersenyum.

“Tidak,” Caela tersenyum kecil, “aku masih suka berpikir, kenapa Bibi Rieva baik sekali padaku.”

Rieva tertawa kecil, “Ya ampun, kamu masih memikirkan itu?”

Caela mengangguk sambil tersenyum kecil, “Iya, begitulah…”

Rieva hanya terkekeh, “Sudah makan dulu saja, setelah itu kita bisa berlatih sihir atau baca buku lagi kalau kau mau,” katanya.

“Baik… Tapi jujur, rambutmu sudah agak jadi cokelat sekarang.” kata Caela sedikit tersenyum.

Rieva mengangkat alisnya dan melihat beberapa helai rambutnya, dia mencari-cari warna rambut yang mulai berubah menjadi cokelat. Dia sedikit terkejut lalu tersenyum, “Aku rasa, aku terlalu banyak di bawah sinar matahari belakangan ini,” katanya.

Caela hanya tertawa kecil bersama Rieva, setelah itu Caela lanjut makan dan Rieva pergi dari hadapannya. Caela kemudian makan roti dan kembali berpikir. Sejak Caela kecil, ia tinggal bersama dengan Rieva di desa Tevira ini. Desa yang dikelilingi oleh pasir dan hanya memiliki sedikit rumah penduduk yang beralaskan kayu. Anginnya pun sering kencang dan terik matahari tidak perlu ditanyakan seperti apa menyengatnya.

Seluruh penduduk di sini memiliki kulit kecokelatan, tapi Rieva dan Caela yang hanya memiliki kulit putih bersih. Rieva tak pernah bercerita asal muasalnya walaupun Caela berusaha bertanya dan dia hanya bercerita bahwa Caela ditemukan oleh Rieva dan penduduk desa dalam keadaan pingsan di sini. Sejak saat itu, Rieva mengajarkan Caela membaca dan beberapa dasar ilmu sihir, juga menceritakan banyak sejarah ajaran tentang Dewa.

Setelah hanyut dalam pikirannya sejenak, Caela mengangkat alisnya, dia mendengar ada suara keramaian di luar. Dia pun perlahan berdiri dan berjalan ke arah luar rumahnya. Pintu rumah yang hanya dilapisi oleh kain, dan dia pun langsung membuka kain tersebut untuk melihat ke arah luar.

Di bagian tengah desa ternyata banyak orang mengerubungi seorang pria bernama Valia, dia adalah salah satu mantan penghuni desa ini. Namun hari ini dia datang lagi dengan berpakaian rapi seperti seorang pendeta. Penasaran akan hal tersebut, Caela perlahan menghampirinya di antara kerumunan.

“Lord Valia, sungguh berkah dari para Dewa… Kau kini menjadi salah seorang Host,” sahut salah seorang penduduk desa tersebut.

“Tentu saja, ini bukan perkara mudah, banyak sekali tantangan yang harus dilewati untuk bisa mendapatkan kekuatan Dewa itu.” balas Valia dengan bangga.

“Dewa apa yang kau miliki, Tuan?” tanya seorang anak sambil tersenyum.

“Dewa Api, Agi.” kata Valia.

“Tak perlu diragukan lagi, kau juga pandai mengeluarkan sihir, tentu saja para Dewa menyukaimu,” sahut seorang Elder di desa sambil tersenyum puas.

Caela kemudian mendekat mencoba menerobos keramaian sambil mendekati Valia.

“Bagaimana caranya kau memanggil Dewa itu?” tanya Caela dengan blak-blakan.

“Panggil aku Lord Valia,” balas Caela sambil melihat ke arahnya.

“Aku sedang bertanya satu hal padamu,” kata Caela membalas tatapan matanya dengan dingin.

Valia terdiam sejenak dan mendengus, dia lalu mengeluarkan sebuah kristal berbentuk liontin berwarna merah dari dalam bajunya,

“Dengan kristal ini, Dewa Agi bersemayam di dalam sini, dan dia hanya bisa dipanggil olehku, para Hosts.” katanya dengan bangga kembali.

Caela mengambil liontin kristal itu dari tangan Valia dengan cepat dan mengamati dengan saksama seperti mengobservasi benda tersebut. Jadi benar, kalau para Dewa itu meminjamkan kekuatannya bersemayam di dalam kristal? Selang beberapa detik, Caela terkejut karena bayangan soal mimpi yang setiap malam semakin intens itu kembali terlihat jelas dan nyata. Mata biru langitnya berubah seketika menjadi putih, teriakan kesengsaran jelas terdengar, lalu ada suara terakhir yang paling jelas lewat ke telinganya.

“Kemarilah, Yang Terpilih…”

Kejadian itu terjadi dengan cepat membuat Valia kesal, dan para penduduk kaget melihat Caela karena diniliai perilakunya tidak sopan. Dia tiba-tiba kembali tersadar dan tak sengaja menjatuhkan kristal itu ke bawah pasir dan matanya kembali merah dan berkeringat.

“Hei, hei! Hati-hati dengan kristal itu!” Valia berteriak menegur Caela.

Tanpa basa-basi, Caela langsung meninggalkan keramaian dan kembali jalan ke rumah. Melihat hal itu Valia kesal dengan perilaku Caela, dan mengambil kembali kristal yang jatuh itu.

“Cih, sopan sekali bocah itu.” Valia menggerutu.

***

Kenyataan

Konon, ada ajaran lama yang kini sudah menjadi mitos kuno yang tabu. Hosts adalah wadah Dewa yang berupa manusia, namun karena manusia itu penuh dengan dosa—mereka berakhir dengan serakah dan tidak bijak pada kekuatan Dewa, sehingga mereka dikutuk. 

Kini, hiduplah ajaran baru yang lebih bijak, Dewa meminjamkan kekuatannya melalui kristal, yang menjadi wadah hidup baru para Dewa. Kristal itu adalah benda suci yang jatuh dari langit, dan hanya orang yang terpilih oleh Dewa yang bisa menggunakan kristal ini dan melewati ritual di setiap kuil para Dewa.

Ajaran baru mengajarkan keseimbangan enam elemen, sementara ajaran lama mempercayai adanya delapan elemen. Tercatat kini, sudah ada lima Kuil Dewa yang diketahui lokasinya dan dijaga oleh penduduk dengan bijak: air, angin, api, tanah, dan es.  

**

Caela menutup buku sejarahnya tersebut. Di tengah tumpukan buku dan juga, gulungan mantra itu dia bertanya pada Rieva.

“Bibi Rieva, katamu aku sudah cukup pandai dengan sihir, kan?” tanyanya.

“Ya, itu benar,” Rieva membalas.

“Aku… ingin jadi Host,” kata Caela dengan nada datar.

Rieva terdiam sejenak dengan pernyataan Caela barusan dan ikut menutup bukunya. Dia menyilangkan tangannya dan menatap mata Caela dengan serius sambil tersenyum.

“Kenapa tiba-tiba? Memang apa yang kamu ketahui soal Hosts sejauh ini?”

“Dia bisa memanggil kekuatan Dewa.”

“Lalu?”

“Dia orang yang dihormati dan suci, bertanggung jawab menjaga kekuatan Dewa,”

Rieva mengangguk sedikit.

“Dia juga… orang yang dekat dengan Dewa.”

Rieva mengangguk lagi dan bertanya sambil tersenyum, “Kau menginginkan semua kemewahan itu?”

“Bukan begitu…”

“Lalu, kenapa?”


“Aku… Ingin tahu lebih banyak soal Dewa.”

“Mengapa?” nada Rieva lebih serius kali ini.

“Tadi siang… Saat aku coba pegang kristal Dewa milik Valia… Aku melihat lagi mimpi itu. Aku juga dengar lagi suara yang sama dan juga… Ada suara yang berbeda kali ini…”

Rieva terdiam menyimak serius pernyataan Caela.

“Mereka… Para Dewa… Seperti memanggilku… ” Caela menjawab sedikit grogi dengan tatapan mata Rieva.

Rieva terdiam sejenak dan mengangkat alis, seperti sedikit terkejut, namun dia  tersenyum kecil, dan menyandarkan tubuhnya pada kursinya. “Hmm… Begitu kah?” tanya nya dengan nada penasaran.

Caela mengangguk kecil dia agak sedikit ragu menceritakan hal ini kepada Rieva.

“Hmm… Mungkin ini sudah saatnya…” Rieva tersenyum lagi dan mencondongkan tubuhnya kembali ke arah Caela. “Caela, apakah kamu siap dengan kenyataan yang akan kuberitahu kali ini?”

Caela mengangguk pelan, agak takut tapi penasaran dengan apa yang ingin dikatakan Rieva. “Kenyataan? Kenyataan seperti apa Bibi Rieva?”

Rieva tersenyum lagi, kali ini dia menghela nafas sedikit seperti ingin menyiapkan kata-kata yang tepat. 

“Seorang Hosts yang asli, bukan menjadikan Dewa sebagai alat untuk berperang, memiliki status, memiliki kekuatan lebih, atau pun itu… Seorang Hosts yang asli itu, hanya lah wadah bagi para Dewa…”

Caela mengangguk pelan, dia setuju, lalu dia menunggu Rieva berkata selanjutnya.

“.... Membiarkan Dewa tinggal di dalam kristal itu… Justru bagian dari dosa manusia.” lanjut Rieva.

Caela mengangkat alisnya terkejut, “A-Apa maksudmu?”

Pandangan Rieva lebih serius kali ini dan dia mengulurkan tangannya dan menaruh di dada Caela. 

“Jika kamu ingin menjadi Host, jangan biarkan Dewa tinggal di dalam kristal… Para Dewa seharusnya hidup dalam diri ‘wadah’ yang berwujud manusia… Karena itu lah Hosts yang sesungguhnya…”

Caela melebarkan matanya, tak percaya dengan apa yang telah dikatakan Rieva. Seketika bulu kuduknya ikut merinding dan juga bayangan soal mimpinya yang semakin intens dan jelas teringat lagi dalam ingatannya.

***

Wadah Dewa

Caela masih tidak percaya dengan perkataan Rieva, bagaimana mungkin dia bisa mengatakan hal tersebut? Sebuah mitos ajaran lama yang selalu dia dengar dari para Scholar dan Elder di sini—mitos tabu yang tidak boleh dipercaya, dan terkutuk.

Hosts yang asli itu berwujud manusia tapi hingga saat ini, semua Scholar menganggap itu ajaran sesat. Hosts menjadi wadah para Dewa hanya dengan kristal, benda suci langka yang datang dari langit. Dan setiap Hosts bisa membuat ritual masing-masing hanya dengan satu Dewa, tidak lebih. 

“Bukan kah, selama ini itu hanya mitos menurut Elder dan para Scholar? Mengapa kau katakan itu sebuah dosa? Bibi Rieva… Jangan sampai ini terdengar oleh yang lain… Atau kau bisa…” ucap Caela kebingungan dan mulai merasa resah, takut bahwa Rieva adalah seorang dari kelompok murtad.

Bibi Rieva tertawa kecil, “Aku tahu. Aku kira, sudah saatnya aku berbicara kebenaran. Justru mitos, ajaran lama itu adalah kebenarannya.”

Caela terdiam sejenak dan menelan ludahnya. Dia melihat sekeliling takut ada orang yang mendengar cerita Rieva, karena jika ada penduduk desa di sini mendengarnya, Rieva bisa dianggap sebagai seseorang yang murtad bagi para Dewa dan bisa dihukum mati. Kemudian Rieva lanjut bercerita lagi.

“Kenyataannya, memang ada desa para Hosts, sang wadah para Dewa yang berwujud manusia. Ada delapan wadah Dewa berwujud manusia yang selama ini dilindungi di sebuah kota kecil oleh para guardian yang disebut Stargazer. Mereka adalah para penyihir dan juga cendekiawan yang bertugas untuk melindungi para Hosts. Namun ternyata, ada di antara para Stargazer merasa ada kesenjangan antara mereka, dan mereka tidak setuju dengan ajaran tersebut…” kata Rieva.

Caela tercengang dengan cerita ajaran lama tersebut. Stargazer? Tak pernah hingga detik ini dia mendengar tentang hal itu. Dari mana Rieva tahu hal tersebut? 

“Mengapa para Stargazer tidak percaya dengan Hosts?” tanya Caela.

“Karena para Hosts percaya, mereka harus mengembalikan Dewa ke Semesta,” Rieva menjawab.

“Mengembalikan Dewa ke semesta…?” Sebuah kalimat yang sangat familier didengar oleh Caela.

Rieva mengangguk lalu melanjutkan ceritanya, “Para Stargazer, tidak setuju mengembalikan Dewa ke semesta, menurut mereka itu sama saja dengan melenyapkan kekuatan Dewa dan membuat ketidakstabilan di Bumi. Akhirnya, para Stargazer melakukan sebuah revolusi. Mereka membunuh para Hosts asli, dan membuat konsep Hosts baru dengan menjadikan sebuah kristal wadah Dewa yang baru.” kata Rieva.

“Mereka membunuh para Hosts asli…?” Caela masih tercengang tidak percaya dengan cerita Rieva.


“Ya, Hosts yang asli, wadah para Dewa yang kini sudah tidak ada jejaknya.”

Caela mengulang kata Rieva dengan suara kecil dan merasakan ketegangan yang tidak dapat bisa ia mengerti. 

“Aku tidak percaya…” kata Caela masih ragu, dengan perkataan Rieva.

Rieva mengangguk, “Tidak apa itu wajar, tapi kalau kau ingin mencari kebenarannya dengan mencoba menjadi Host, aku bisa bantu sedikit,” kata Rieva tersenyum kecil.

Caela masih tercengang. Di momen terdiam sejenak, ada seorang penduduk desa yang datang membawakan mereka kabar bahwa nanti akan ada pesta perpisahan malam untuk Lord Valia yang akan kembali ke negerinya, Sunfall tempat Kuil Dewa Api berada. Setelah orang itu pergi, Caela melihat ke arah Rieva kembali.

“Aku… Akan dan tetap mau menjadi Host, Bibi Rieva,” kata Caela tanpa ragu.

Rieva tersenyum, “Baiklah, aku akan membantumu. Tapi kamu tahu kan apa konsekuensi mu saat ingin menjadi Host?”

Caela mengangguk pelan, ia tahu konsekuensi menjadi Hosts adalah bisa menjadi kehilangan nyawa akibat serangan dan kutukan dari Dewa. Sudah banyak sekali orang yang sebetulnya ingin menjadi Hosts namun kehilangan nyawanya saat ritual berjalan. Tapi Caela tidak gentar, dia mau cari kebenaran dari semua ini.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!