NovelToon NovelToon

Belenggu

Mimpi

Suara anjing menggonggong menambah kesan mencekam saat seorang gadis terus berlari dan berlari di tengah gelapnya malam. Deru nafasnya berpadu dengan suara hewan yang saling bersahutan dibalik pepohonan yang rindang.

Kaki tanpa alasnya dipenuhi luka dan darah berpadu dengan tanah dan potongan ranting yang dia injak.

Saat dia berhenti suara gonggongan anjing semakin dekat. Bukan hanya satu tapi tiga anjing pelacak yang terus mengejarnya tanpa ampun.

Gadis itu kembali berlari dan berlari.

Dress putihnya yang nampak kusam dan bercampur darah berayun mengikuti langkah cepatnya hingga kakinya sudah semakin lelah.

Rasa dingin yang menusuk kulitnya tak hilang meski keringat terus mengucur dari tubuhnya.

Gadis itu berjongkok sebab benar-benar tak merasakan lagi kakinya. Kakinya mati rasa,Tubuhnya mulai lemas. Darah di dahinya menetes- netes membuat kepalanya semakin pusing.

Tangannya mengusap dahinya hingga darah berpindah ke telapak tangannya.

Dia kehilangan banyak darah.

Tidak, dia tidak boleh mati. Hidupnya tidak boleh sia- sia. Baru saja berdiri hendak berlari, seekor anjing tiba-tiba melompat ke arahnya, hingga dia terpeleset dan jatuh terguling kedalam jurang.

"Akh!"

...

"Akh!"

Suara teriakan berganti pada seorang gadis yang baru saja bangun dari tidurnya.

Nafasnya tersengal seolah dia baru saja berlari maraton. Keringat di dahi dan seluruh tubuhnya terasa basah membuat pakaiannya lengket.

"Kamu sudah bangun?" suara berat terdengar, hingga gadis itu menoleh.

Seorang pria duduk dengan tenang dan meletakan korannya di meja, lalu berjalan menghampirinya.

"Syukurlah, kau baik- baik saja?" tanyanya dengan menyingkirkan rambutnya yang berantakan.

Gadis itu mengedarkan pandangannya, lalu dahinya mengeryit. "Dimana aku?"

Pria itu masih berdiri dengan tenang, dan mengusap dahi basah gadis itu.

"Di rumah sakit. Kamu pingsan setelah jatuh-"

"Ke jurang?" potongnya.

Pria itu menggeleng. "Kamu jatuh dari tangga, Sayang," ucapnya.

Mendengar kata 'sayang' gadis itu kembali menatap wajah pria di depannya dengan bingung.

"Dari tangga?" Lalu bagaimana dengan mimpinya barusan. Itu nampak nyata. Jantungnya bahkan masih berpacu dengan cepat saking terasa nyatanya kejadian tersebut.

Pria itu tersenyum tipis. "Aku akan panggilkan dokter. Tunggulah." Pria itu menggulir ponselnya, lalu mendekatkan ponsel tersebut ke telinganya.

"Datanglah, dia sudah sadar." Tak berapa lama muncul beberapa dokter dan langsung menghadapnya.

Seorang dokter mendekat dan memeriksa kondisi gadis yang masih kebingungan dengan kondisi sekitarnya itu.

"Nona Valeri sudah membaik, Tuan," ucapnya seraya mundur beberapa langkah.

Pria itu mendudukan dirinya di tepi ranjang lalu mengusap pipi sang gadis. "Kamu sungguh membuatku takut, Sayang."

Gadis itu masih nampak kebingungan lalu mencekal lengan si pria. "Siapa kau? Kenapa aku ada disini?" gadis yang sejak tadi menatap bingung mulai bertanya.

Pria itu menoleh pada dokter yang mengusap wajahnya sebab tiba-tiba berkeringat.

"Apa yang terjadi padanya, Dokter?" dia berucap dingin membuat suasana terasa semakin mencekam.

Dokter tersebut kembali menatap Jessy. "Maafkan, saya, Nona. Apakah anda ingat nama anda?" tanya si dokter.

Gadis itu mengangguk "Aku Valeri."

"Kau tidak mengenal, Tuan Mario?" dokter itu menunjuk pria yang sejak tadi menemaninya.

Gadis itu menggeleng.

Dokter tersebut kembali mengusap wajahnya yang basah, seolah keringat tak kunjung habis disana. "Bolehkah aku bertanya tahun berapa ini?" tanya Dokter lagi."

"2020?" Valeri berucap yakin.

"Ma-afkan saya, Tuan. Sepertinya, Nona Valeri mengalami amnesia parsial."

"Apa itu?" tanya Valeri.

"Ingatan anda berhenti di tahun 2020, itu artinya anda melupakan lima tahun terakhir dalam hidup, anda," jelas dokter.

Valeri tertegun. "Maksudmu ini tahun 2025?" Dokter mengangguk.

"Kau sungguh tak mengingatku?" tanya pria yang ternyata bernama Mario tersebut.

Valeri menoleh dan kembali menggeleng. "Baiklah, kita bicarakan nanti. Kamu harus istirahat." Dia menaikan selimut Valeri lalu mengusap rambutnya dengan lembut.

"Kita bicara diluar dokter." wajah pria itu nampak tenang dengan ekspresi yang tak berlebihan. Hingga semua dokter mengikutinya dan pintu tertutup rapat.

Valeri melihat sekitarnya, dan mencoba mengingat dimana dia berada, namun nihil tak ada bayangan sedikitpun atau kenangan yang dia ingat.

Lalu dia teringat tentang mimpi yang terjadi padanya, dimana dia berlari di kejar tiga anjing yang mengerikan bahkan terjatuh kedalam jurang.

Valeri membuka selimutnya hendak melihat kakinya. Jika dia benar-benar terjatuh ke jurang, akan ada bekas luka ditubuh dan kakinya. Jelas sekali dalam mimpinya dia melihat banyak luka di kakinya.

Selimut terbuka, namun dia tak menemukan luka sama sekali. Apakah itu benar-benar mimpi? Tapi kenapa dia merasa itu nyata?

Lalu dimana tempat itu. Gelap, lembab dan banyak pepohonan. Valeri mengusap dahinya, dimana terdapat luka berbalut perban disana. Kenapa tidak ada ingatan muncul sedikitpun.

Saat Valeri meremas rambutnya, tiba-tiba Mario mencekal lengannya dan menurunkannya dengan lembut. "Kamu sedang apa?" Valeri mengeryit.

Bukan pria ini tadi keluar? Kapan dia kembali? Kenapa Valeri tak mendengar pintu terbuka. Valeri bahkan menatap ke arah pintu yang tertutup, tak ada suara sama sekali. "Berapa lama aku tidak sadar?"

Pria itu tersenyum tipis, dan terlihat tenang. "Tiga hari," ucapnya.

"Hanya jatuh dari tangga, tapi pingsan selama tiga hari?" tanya Valeri dengan heran.

"Kamu harus melihat rumah kita, sayang. Kamu jatuh dari ujung tangga ke bawah, kepalamu bahkan terbentur dan mengeluarkan banyak darah."

Ya, saat dia meraba perban di dahinya, lukanya memang terasa baru, masih perih dan sakit.

"Kau terus memanggilku, Sayang, siapa kau sebenarnya?"

"Aku suamimu?" Valeri mengerutkan keningnya semakin dalam.

Suami? Dia sudah menikah?

"Aku tidak ingat kalau sudah menikah?" Dalam ingatan Valeri dia bahkan baru berusia 18 tahun.

"Seperti kata dokter, kau kehilangan sebagian ingatanmu. Sangat di sesalkan yang kamu lupa justru tentang aku."

Valeri menatap pria di depannya. Sikapnya cukup tenang untuk seorang suami yang istrinya kehilangan ingatannya.

"Jika aku istrimu, mana buktinya?"

Mario tersenyum tipis, sangat tipis bahkan nyaris tak terlihat. "Perlukah aku pulang untuk membawa dokumen pernikahan kita?"

Valeri kembali terdiam. Pandangannya kembali mengedar lalu menatap pada jendela yang menampakan cahaya terik, berbeda dengan mimpinya, jelas Valeri merasakan udara dingin menusuk kulitnya, yang berarti itu sedang musim dingin. Dia berusaha mengingat dan menggali ingatannya, namun yang dia dapati justru kepalanya berdenyut nyeri.

Valeri meremas rambutnya, hingga suara berat Mario kembali terdengar. "Jangan terlalu berpikir keras. Tidurlah. Kita akan segera pulang," ucapnya dengan tegas.

Valeri menurut dan membaringkan tubuhnya. Pria di depannya menyelimutinya dan mengusapi rambutnya dengan penuh kasih sayang seolah dia begitu mencintainya. Namun entah kenapa Valeri justru tak merasakan apapun. Hatinya seperti dingin.

Bukankan jika mereka suami istri harusnya mereka saling mencintai? Apakah kehilangan memori tentang seseorang juga bisa berpengaruh pada perasaan?

Banyak hal yang ingin Valeri tanyakan, namun kepalanya yang terasa berat dan lelah memintanya untuk memejam. Usapan lembut di kepalanya terasa seperti menghipnotis agar dia kembali tertidur.

Matanya mengerjap pelan dan semakin lemah. Sesaat sebelum benar-benar terjatuh ke alam mimpi Valeri kembali mendengar suara berat Mario.

"Tidurlah, nikmati mimpimu!"

Suami?

Entah berapa lama Valeri tertidur. Saat bangun dia melihat matahari pagi menyinari kamar yang dia tempati.

Valeri mengerutkan keningnya saat kini dia tak berada di kamar yang kemarin dia dapati saat bangun. Saat ini dia berada di sebuah kamar yang luas dengan ornamen khas kerajaan yang sering dia lihat di film- film, mulai dari lemari bahkan ranjang yang kini dia tempati.

Valeri mendongak dan menemukan tinggi plafon yang jauh diatasnya dengan lampu kristal yang menggantung indah di tengah ruangan.

Valeri bangun dari ranjang luas yang dia tempati, saking luasnya mungkin bisa menampung lima orang dewasa.

Kapan dia pindah kesana, bukankah seingatnya dia masih berada di rumah sakit?

Valeri menurunkan kaki tanpa alasnya hingga menyentuh lantai marmer yang dingin. "Dimana ini?" jelas saja dia bingung. Dia tak mengenal tempat tersebut.

Matanya kembali berpendar hingga pintu besar di depan sana terbuka menampakan sosok yang dia ketahui sebagai suaminya.

Suami?

Apakah dia benar-benar sudah menikah?

"Kamu sudah bangun?" Mario berjalan mendekat.

"Kenapa aku disini?" seingatnya dia masih di rumah sakit.

"Kamu tidur sangat lelap, sampai susah bangun."

"Maksudmu kau memindahkan aku saat aku tidur?"

"Hm." Pria itu hanya berdehem, lalu berjalan ke arah sebuah pintu yang Valeri kira sebuah kamar mandi. Tanpa rasa malu Mario membuka pakaiannya di depan Valeri yang langsung membalik tubuhnya.

"Apa yang kau lakukan! Kenapa membuka baju sembarangan!" jelas Valeri terkejut dengan yang dilakukan Mario.

Namun Mario menaikan alisnya dan justru berjalan mendekat. "Kenapa?"

"Ti- tidak sopan!"

Mario terkekeh. "Aku membukanya di depan istriku, yang bahkan terbiasa menikmati tubuhku."

Valeri mengerjapkan matanya saat Mario berdiri tegak di depannya. Tubuhnya yang setengah telanjang nampak jelas di matanya, tangan berotot dan dada bidang pria itu muncul di depannya terlihat maskulin dan segar.

"A-aku tidak ingat." wajahnya memerah seperti kepiting rebus.

"Mau mencoba menyentuhnya? Mungkin kau akan ingat?" Mario meraih tangan Valeri lalu meletakannya di perutnya.

Valeri menelan ludahnya kasar, lalu menarik diri saat tubuhnya berdesir hebat, kulitnya merinding dengan bulu romanya yang terasa berdiri.

Valeri mencoba melakukan apa yang Mario katakan dengan mengingat apakah dia pernah merasakan hal tersebut, namun nihil, dia tetap merasa asing dengan perlakuan tersebut.

"Apa kau berbohong?" tanyanya dengan wajah mendongak.

Mario tersenyum tipis, entah kenapa melihat itu Valeri justru merasa sedikit takut. "Kamu ingin mencoba hal lain? Melakukan kegiatan panas misalnya?" tangan besar itu menelusupkan rambut tergerai Valeri ke belakang telinga. Nampak sekali wajah Valeri sangat pucat seolah tak dialiri darah. Tangan besar itu turun ke leher lalu mengusap disana beberapa saat. "Bersiaplah untuk sarapan," ucap Mario, lalu pergi melanjutkan niatnya untuk ke kamar mandi.

Valeri melihat pintu kamar mandi yang tertutup, lalu menyentuh dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Nafasnya seolah baru saja tercekik, lalu di lepaskan, hingga dia butuh banyak udara untuk dia hirup. Padahal Mario bahkan hanya mengusap lehernya. Lalu kenapa dia tak bisa menghindar, dan hanya berdiri dengan kaku, seolah tak memiliki tenaga bahkan hanya untuk mundur satu langkah pun.

Perasan apa ini?

Valeri melihat kembali ke arah pintu kamar mandi, sebelum Mario kembali dia memutuskan untuk keluar kamar.

Saat pintu kamar terbuka, Valeri tak bisa tak ternganga dengan suasana sekitarnya. Rumah ini benar-benar mewah dan besar dengan pilar-pilar besar dan tinggi di beberapa titik yang menjaga kekokohan bangunan.

Tatapan Valeri berpendar dan melihat banyak pintu diantara lorong menuju kamarnya, hingga dia tiba di ujung tangga lalu melihat seberapa tingginya tangga tersebut, tangga melingkar itu berdiri di tengah bangunan dengan tinggi enam meter dari lantai.

Apa ini tangga yang di maksud Mario?

Apakah dia benar-benar jatuh disana?

Baru saja akan melangkah, seseorang di belakang mencekal lengannya.

Valeri menoleh dan menemukan Mario yang sudah berdiri di belakangnya. Lagi- lagi pria ini datang tanpa dia sadari.

"Kamu berjalan tanpa alas kaki?" tanyanya dengan wajah dingin seperti sebelumnya.

Valeri melihat Mario sudah kembali rapi dengan stelan jas formalnya. Cepat sekali pria itu bersiap. Atau apakah dia melamun terlalu lama?

Tanpa di duga Mario berjongkok dan mengulurkan tangannya pada pelayan yang entah sejak kapan ada disana dan siap dengan sandal rumahan yang berbulu dan nampak hangat.

Valeri mengenakan sandal tersebut hingga rasa hangat menjalari telapak kakinya.

"Terimakasih," cicitnya.

Mario bangkit dan mengulurkan tangannya. "Jangan pernah berjalan tanpa alas kaki!" titahnya dengan tegas.

Valeri mengangguk dan menyambut uluran tangan Mario untuk menuruni tangga.

"Apa aku jatuh disini?" tanya Valeri dengan tatapan pada anak tangga satu persatu.

"Hm." hanya deheman, membuat Valeri menoleh, dan kembali melihat wajah datar Mario.

Tiba di meja makan seorang pelayan menarik kursi untuk Mario hingga pria itu duduk. Namun saat Valeri akan pergi menuju kursi tangannya masih tertahan oleh Mario. "Duduk disini!" katanya dengan menepuk pahanya.

Ucapan itu jelas bernada perintah, hingga Valeri mau tak mau menurut, apalagi genggaman tangan Mario yang entah kenapa terasa mengencang seolah dia siap meremukkan tulangnya.

Tidak masalah, bukankah dia suaminya?

Dengan gerakan kaku Valeri mulai mendekat dan duduk di pangkuan Mario. "Ayo suapi aku!" Valeri mendongak dengan wajah sedikit terkejut, dia merasa familiar dengan perkataan itu.

"Ayo suapi aku!"

"Duduk di pangkuanku!”

"Kemarilah!"

"Duduk disini!"

Valeri memejamkan matanya saat bayangan muncul samar- samar. Valeri meremas rambutnya saat merasakan kepalanya berdenyut sakit, bahkan tubuhnya oleng hampir terjatuh. Namun saat dia merasakan seseorang menahan pinggangnya Valeri menegakkan kembali tubuhnya.

Tangan Mario melingkari perutnya dan menyandarkan tubuhnya di dada bidangnya. "Kamu ingat sesuatu?" tanyanya masih dengan intonasi tenang.

Valeri menggeleng.

"Tidak perlu memaksakan diri. Kamu akan ingat jika sudah waktunya." Valeri merasakan usapan tangan basar Mario di rambutnya. "Pengecualian untuk hari ini, aku yang akan menyuapimu," ucapnya lalu mengambil makanan untuk dia sodorkan pada Valeri.

Dengan patuh Valeri membuka mulutnya, dan mulai mengunyah, hingga dia kembali merasakan usapan di kepalanya. "Gadis pintar." Valeri mendongak dan menatap lamat- lamat wajah pria di depannya. Jika adegan samar- samar itu adalah ingatannya di masa lalu, mungkinkah benar pria di depannya adalah suaminya?

"Ada yang ingin aku tanyakan?" ucap Valeri saat Mario meletakan sendoknya, tanda mereka mengakhiri sesi makan berdua dengan sendok dan piring yang sama tentunya.

"Hm. Minum dulu susumu!" Mario menyodorkan segelas susu padanya, hingga lagi- lagi Valeri patuh meminum susu tersebut.

"Dimana orang tuaku?" gerakan Mario terhenti, namun Valeri masih melihat pria itu berwajah tenang.

"Benar, kamu kehilangan ingatan sejak lima tahun terakhir," ucapnya.

"Orang tuamu meninggal dalam ledakan hotel Starlight tiga tahun lalu."

Bagaikan di sambar petir di siang bolong Valeri tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, hingga wajahnya pucat pasi seolah tak teraliri darah.

....

Peringatan! Ini Dark romance, jangan sampai nanti di depan ada yang bilang adegan terlalu kejam, dan bla, bla, bla.

Suka baca tak suka tinggalkan!

Mencari Tahu

Terjadi ledakan di hotel Starlight, New York dan memakan korban sebanyak 58 orang dan puluhan lainnya luka- luka.

Penyebab ledakan tersebut disebabkan bom bunuh diri oleh pasangan suami- istri yang datang untuk menginap di hotel tersebut.

58 korban berhasil di evakuasi dari reruntuhan hotel.

Pengeboman hotel Starlight, terjadi di tahun 2022.

Valeri mengerjapkan matanya saat melihat berita tiga tahun lalu itu di ponselnya. Benarkah orang tuanya meninggal dalam insiden tersebut. Tapi bagaimana bisa? Untuk apa mereka pergi ke hotel itu? Tiga tahun lalu dihari itu bukankah mereka seharusnya merayakan ulang tahun pernikahan? Apakah mereka datang untuk merayakan ulang tahun pernikahan? Tapi dari mana mereka memiliki uang banyak untuk masuk kesana?

Keluarga Valeri bukan keluarga kaya, orang tuanya adalah orang yang hemat bahkan hanya untuk makan di sebuah restoran kecil, lalu untuk apa mereka pergi ke hotel mewah dengan harga fantastis tersebut. Tentu saja Valeri tahu hotel tersebut. Hotel berbintang itu bukan hanya terkenal karena kemewahannya, namun karena yang datang hanya orang- orang kaya dan miliarder dari berbagai negara, mereka membandrol harga fantastis untuk setiap kamar, bahkan menu makanan dalam restoran hotel tersebut. Tentu saja dari yang dia dengar semua sepadan dengan layanan dan kepuasan pengunjung. Tapi, meski orang tuanya dua tahun penuh bekerja tanpa henti, mereka tidak akan mampu masuk kesana sebab saking mahalnya hotel tersebut. Apalagi penghasilan orang tuanya yang hanya sebagai buruh pabrik kecil tentu jauh dari kata cukup. Untuk kuliahnya saja Valeri harus ikut bekerja paruh waktu sebab upah orang tuanya yang tak cukup.

Valeri masih membaca satu persatu artikel yang di terbitkan platform berita online, namun dia jelas tak menemukan nama- nama korban untuk membuktikan orang tuanya turut menjadi korban dalam ledakan besar tersebut. Apakah Mario berbohong? Lalu jika tidak, kemana orang tuanya sekarang?

Setelah Mario pergi, Valeri diam di kamar dan menghabiskan waktunya untuk mencaritahu tentang insiden ledakan di hotel Starlight yang pria itu sebutkan. Namun, hingga matanya lelah dia tetap tak menemukan petunjuk mengenai kedua orang tuanya yang ikut tewas dalam ledakan tersebut. Hingga matanya benar-benar lelah, dan dia pun tertidur.

Mata Valeri terbuka saat mendengar suara gemericik rantai yang beradu dengan lantai terdengar sangat nyaring di antara sunyinya keadaan. Valeri melangkah ke arah sumber suara, hingga dia menemukan sebuah pintu lalu membukanya.

Seorang gadis duduk lemah di sebuah ruangan gelap, kedua tangannya terikat rantai besar lalu di bentangkan di antara kedua sisi dinding.

Gadis itu mendongak saat cahaya memasuki ruangan tersebut lewat sebuah pentilasi kecil yang tersedia. Nampak bibirnya kering bahkan pecah- pecah, deru nafasnya terdengar lemah.

"Siapa kau?" Valeri tak bisa melihat wajah gadis itu, sebab minimnya pencahayaan, juga raut wajahnya yang tertutup rambut panjang yang berantakan. Valeri berjalan mendekat lalu menunduk untuk melihat siapa pemilik raut tersebut, hingga dia semakin dekat dan dekat. Barulah Valeri menghentikan langkahnya saat melihat siapa yang terikat tersebut.

"Kau?" Valeri memundurkan langkahnya saat melihat gadis di depannya memiliki rupa yang sama dengannya.

Meski wajahnya memiliki banyak luka, Valeri jelas masih mengenali wajahnya sendiri. Valeri meraba wajahnya, lalu menoleh pada cermin yang ada di tengah ruangan, lalu menjerit saat wajahnya benar-benar sama. Bukan hanya rupa tapi semuanya sama persis, mulai dan pakaian, bahkan bagian luka yang memang juga ada di wajahnya.

"Lari Valeri ... lari!" teriaknya dengan kencang, hingga Valeri merasakan telinganya berdengung lalu mengeluarkan darah.

"Akh!" Valeri bangun dari tidurnya. Saat menyadari jika dia baru saja bermimpi Valeri menghela nafasnya dalam.

"Lagi- lagi mimpi," ucapnya dengan mengusap dahinya yang basah.

Kenapa dia terus bermimpi buruk? Valeri menurunkan kakinya untuk segera turun. Melihat waktu menunjukkan pukul satu siang, Valeri memutuskan untuk bangun dan membersihkan diri sebelum turun untuk makan siang.

Valeri melihat dirinya di cermin setelah mengenakan pakaiannya, Dress putih selutut melekat di tubuhnya, dan saat melihat dirinya dia jadi mengingat mimpinya yang juga menganakan dress putih. Entah saat berlari di hutan, atau terikat di rantai. Tapi Valeri tak menemukan warna lain saat melihat lemari pakaiannya. semua pakaian perwarna putih, entah itu dress bahkan banyak gaun yang tergantung indah disana.

Valeri meraba wajahnya yang nampak pucat hingga dia meraih bedak untuk memoles sedikit wajahnya dan menyembunyikan lingkaran matanya yang menghitam. Setelah terlihat segar Valeri keluar dari kamar untuk makan siang, sebab beberapa waktu lalu seorang pelayan sudah mengetuk pintu kamarnya untuk segera turun dan makan siang.

Saat menginjakkan kakinya di lantai satu, Valeri melihat beberapa pelayan yang sedang bekerja, mereka memiliki tugas masing-masing mulai dari membersihkan lantai, perabot, bahkan hiasan dinding disana di bersihkan dengan orang berbeda. Saat mereka melihatnya kegiatan berhenti sejenak untuk mengangguk sopan padanya.

Valeri tersenyum, namun justru tak mendapatkan balasan. Semua pelayan itu nampak berwajah datar dan kembali fokus pada bekerja.

"Mari, Nona." seorang pelayan menarik perhatian Valeri kembali.

"Berapa orang yang bekerja disini?" tanya Valeri.

"Sekitar 30 orang, Nona. Tidak termasuk penjaga keamanan di luar sana." Valeri nampak terkejut. Seberapa kaya Mario hingga memperkerjakan banyak pelayan. Tapi, wajar saja mengingat besarnya rumah ini. Tentu satu pelayan mungkin bisa langsung mati karena lelah.

"Kau sendiri? Siapa namamu?"

"Saya, Hilda, Nona. Anda bisa memanggil saya jika membutuhkan sesuatu." Dan wajah Hilda sama seperti pelayan lain. Tak memiliki sikap ramah dan hanya bicara tanpa tersenyum.

"Hm, Hilda setelah makan aku ingin jalan- jalan di luar rumah?"

Hilda nampak tenang dan berkata. "Tuan melarang anda keluar dari rumah, Nona."

Valeri mengerutkan keningnya. "Kenapa?"

"Mungkin beliau masih khawatir dengan kondisi anda." Valeri menghela nafasnya. Mungkin dia terlalu terburu-buru.

"Padahal aku merasa bosan," ucapnya dengan menyuapkan makanan di piringnya yang tentu saja sudah di ambilkan pelayan.

Valeri menyadari jika pelayan- pelayan ini sangat sigap, mereka selalu ada saat Valeri bahkan tidak memakai sandal.

Hanya saat mandi dan di kamar Valeri melakukan semuanya sendiri. Bahkan mungkin jika dia malas mengangkat tangannya mereka akan senang hati menyuapinya.

"Anda bisa meminta izin pada Tuan lebih dulu, Nona."

Valeri menipiskan bibirnya. Meski Mario bilang dia adalah suaminya. Entah kenapa Valeri masih merasa canggung saat berhadapan dengan Mario. Mungkin karena ingatannya tentang pernikahannya hilang.

"Hilda, bolehkah aku bertanya lagi?"

"Saya akan menjawab sebisa saya, Nona."

Valeri meletakan sendoknya lalu mengarahkan tatapannya pada Hilda yang masih setia menundukkan wajahnya.

"Bagaimana sebenarnya hubunganku dengan Mario?"

Hilda menongak. "Maksudku, apakah sebelumnya kami pasangan yang harmonis?" tanya Valeri lagi.

Valeri masih memperhatikan wajah Hilda yang nampak tenang, entah kenapa Valeri merasa di kelilingi wajah- wajah datar, termasuk Mario. Valeri tak mengerti bagaimana sebelumnya dia bertahan dengan suasana itu.

"Saya tidak pantas mengatakannya, Nona."

"Tidak masalah, aku yang bertanya." sungguh Valeri ingin tahu.

"Maafkan saya, Nona. Saya tidak berani."

Valeri berdecak. "Baiklah. Kalau begitu sejak kapan kami menikah?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!