NovelToon NovelToon

Dari Modernitas Menjadi Pahlawan Kerajaan

Bab 1 Kematian yang Membawa Kehidupan

Langit kota saat itu berwarna kelabu, mendung menggantung berat di atas atap-atap gedung pencakar langit. Udara terasa sesak dan berdebu, seperti menahan tangis yang tak kunjung jatuh.

Di antara deru kendaraan dan hiruk-pikuk manusia yang terburu-buru, berdirilah seorang perempuan muda di trotoar yang ramai.

Namanya Mila Pradita, usia 24 tahun. Seorang gadis modern, pekerja kantoran biasa, tak terlalu cantik, tapi juga tak biasa. Ia punya otak yang cemerlang, rasa ingin tahu yang besar, dan keberanian yang jarang ditunjukkan. Namun, hari ini, sorot matanya sayu, pundaknya lunglai, dan wajahnya seperti kehilangan warna.

Tangannya menggenggam erat selembar hasil laboratorium—kertas putih yang menjadi vonis bagi hidupnya.

"Stadium empat. Sel kanker telah menyebar ke hati dan paru-paru. Harapan hidup kurang dari tiga bulan."

Mata Mila menatap hasil itu kosong. Ia telah menjalani berbulan-bulan gejala aneh, sakit yang tak dijelaskan dokter umum, penurunan berat badan, dan kelelahan yang tak masuk akal. Dan sekarang… jawaban itu datang. Secepat itu. Semengerikan itu.

Ia tertawa kecil, pahit. “Ternyata aku nggak cuma overthinking ya... ternyata benar-benar sakit.”

Langkah kakinya membawanya menuju trotoar jembatan penyeberangan. Kendaraan berlalu-lalang di bawahnya, membentuk arus lampu dan suara yang memekakkan telinga. Tapi di kepala Mila hanya ada sunyi.

Dalam hati kecilnya, dia bukan takut mati. Yang lebih menyakitkan adalah hidup yang tidak pernah benar-benar dia nikmati. Sejak kecil Mila adalah gadis yang pendiam, menyendiri, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tua dan tekanan pekerjaan. Ia pernah mencintai—dan dikhianati. Pernah bermimpi besar—dan dijatuhkan realita.

Dan kini, ketika semuanya sudah terlambat, hanya satu keinginan yang tersisa “Andai aku bisa hidup sekali lagi. Tapi dengan kesempatan berbeda. Bukan di dunia ini.” ujar Mila dalam hati.

Langkahnya terus menyusuri jembatan penyeberangan. Hujan mulai turun rintik-rintik. Saat itulah, ia mendengar suara jeritan seseorang.

“Awas! Mobil!!”

BRAKKKK!!

Suara tabrakan keras menggema. Dalam hitungan detik, dunia Mila menjadi putih. Tubuhnya terlempar ke udara, lalu jatuh menghantam aspal dengan keras. Darah mengalir dari pelipis dan dadanya. Tapi anehnya… tidak ada rasa sakit.

Tubuhnya ringan. Sangat ringan. Seperti… melayang.

“Apakah ini kematian?” pikirnya,

Tapi bukannya gelap, sebuah cahaya terang membutakan penglihatannya. Dan dalam detik berikutnya, semua berubah.

---

Langit Berbeda, Wajah Berbeda

Suara angin berbisik pelan. Suara air mengalir dari kolam batu. Aroma bunga melati memenuhi udara. Mila mengerjap perlahan. Kelopak matanya terasa berat, tapi tubuhnya tak terasa terluka. Ia berada di atas kasur empuk, berselimut kain halus dengan bordiran naga dan burung phoenix.

Ruangan itu asing. Langit-langit kayu, lentera kuno, dan dinding bercat merah keemasan menghiasi sekelilingnya.

Ia bangkit perlahan. Pandangannya kabur, tapi cukup jelas untuk melihat cermin perunggu di sebelah tempat tidur. Dan yang ia lihat membuat napasnya tercekat.

Itu bukan dirinya.

Wajah dalam cermin itu milik seorang gadis muda dengan rambut panjang digelung ke atas, mengenakan hiasan kepala sederhana dari batu giok. Kulitnya pucat, pipinya sedikit cekung, dan matanya sendu. Tapi yang paling mengejutkan—itu bukan wajah Mila.

Pintu mendadak terbuka. Seorang wanita tua masuk sambil membawa nampan air hangat.

“Selir Qianru! Syukurlah Anda sadar!”

“Siapa?” gumam Mila.

“Selir… Anda sempat demam selama dua hari. Kami semua sangat khawatir. Hampir saja kami menyampaikan pada Kepala Istana kalau Anda...” ujar pelayanan tua itu terhenti.

Mila masih linglung. “Selir… Qianru?”

Wanita itu mengangguk. “Ya, Anda adalah Selir Qianru, penghuni Paviliun Anggrek. Ingatkah Anda?”

Mila memejamkan mata. Otaknya masih menyusun ulang potongan-potongan informasi.

"Jadi aku tidak mati? Atau… aku mati, dan sekarang… terbangun di tubuh orang lain? " tanya Mila dalam hati

Seketika, muncul kilasan-kilasan aneh dalam benaknya. Kenangan yang bukan miliknya. Gadis yang pendiam, duduk termenung di taman istana. Tangisan malam hari. Hinaan dari selir lain. Kaisar yang tak pernah menoleh padanya. Nama-nama asing, wajah-wajah yang belum pernah ia lihat.

Qianru.

Itulah nama tubuh ini. Seorang selir rendahan. Tak punya pengaruh, tak punya keluarga kuat. Seorang “boneka” yang ditempatkan di istana hanya untuk dipermainkan oleh politik dan intrik.

Mila menatap jari-jarinya sendiri. Ini benar-benar nyata. Ia hidup kembali—tapi di dunia lain. Dalam tubuh orang lain.

“Baiklah…” katanya perlahan, dengan senyum tipis.

“Kalau hidup memberiku kesempatan kedua... akan kutunjukkan bahwa aku bukan boneka siapa pun.” ujar Mila pelan yang mulai menerima nasib barunya.

...----------------...

Tiga hari telah berlalu sejak Mila terbangun di dunia asing ini. Ia masih mencoba menyesuaikan diri dengan tubuh baru, bahasa baru, dan kehidupan yang serba berbeda dari dunia modern yang ia kenal. Tapi Mila bukan tipe orang yang berlama-lama tenggelam dalam keterkejutan.

Setiap malam, saat semua pelayan sudah tidur, ia duduk di tepi ranjang dan mencatat dalam pikirannya segala hal yang ia pelajari hari itu, nama-nama tokoh penting, struktur istana, jalur logistik dapur, hingga hierarki para selir.

“Kerajaan ini… disebut Cine, dipimpin oleh Kaisar Xuanlie. Ia muda, karismatik, dan katanya cerdas—tapi juga sangat berhati-hati karena dikelilingi banyak musuh. Permaisurinya, Ning, dari klan Ning yang sangat berpengaruh di dalam pemerintahan.” gumam Mila pelan

Mila menggumam sendiri sambil menatap langit malam dari jendela. “Dan aku… adalah Selir Qianru. Tidak punya latar belakang bangsawan, tidak disukai siapa pun, bahkan dayang-dayangku terlihat lebih patuh pada selir lain ketimbang padaku.”

Ia menghela napas. Dalam kenangan samar tubuh ini, Qianru hidup seperti bayangan. Tidak berani bicara, takut melawan, dan menjadi sasaran empuk penghinaan.

Dan Mila tidak bisa hidup seperti itu.

Maka hari keempat, saat seorang pelayan muda menumpahkan teh panas ke gaunnya dengan sengaja, Mila tidak lagi diam.

“Kau pikir aku buta, ya?” ucap Mila dengan tajam, membuat semua yang ada di ruangan terdiam.

Pelayan itu membeku. “A-aku… tidak sengaja…”

Mila bangkit berdiri. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya tajam. "Jatuhkan nampan itu satu kali lagi, dan kau bisa merasakan bagaimana rasanya air mendidih di atas kulitmu sendiri."

Pelayan itu pucat. Ia langsung berlutut, gemetar. Dayang tua yang selama ini mengurus Qianru hanya bisa menatap sang selir muda dengan kaget. Tak pernah sebelumnya Qianru bicara sekeras itu.

"Jangan salahkan aku kalau besok pagi kau ditemukan membersihkan kandang kuda," tambah Mila.

"Sekarang pergi, dan bersihkan noda ini dengan tanganmu sendiri. Jangan gunakan kain lap." ujar Mila lagi yang sekarang di panggil Qianru

Dengan tangan gemetar, si pelayan membersihkan noda teh di pakaian Qianru menggunakan tangannya. Air panas itu masih menggenang. Tapi ia tidak berani melawan.

Mila duduk kembali, menyeka gaunnya perlahan.

“Lemah itu pilihan. Tapi aku tidak memilih itu,” batin Qianru

Bersambung

Bab 2 Pertemuan

Malam itu, Mila menyelinap keluar dari Paviliun Anggrek. Ia mengendap melalui jalur kecil menuju taman belakang istana, tempat yang menurut ingatannya sering sepi dari pengawasan.

Di sinilah Qianru biasa menangis. Namun malam ini, tempat itu tidak kosong. Karena ada seseorang sedang berdiri di bawah pohon plum, menatap langit.

Pria muda dengan jubah hitam berbordir emas. Rambut panjangnya terikat rapi, dan wajahnya memancarkan aura dingin dan misterius. Cahaya rembulan menyoroti siluetnya.

Qianru refleks mundur, tapi ranting kering di bawah kakinya patah.

KREK....

Pria itu menoleh. Tatapan matanya tajam seperti pedang.

“Siapa di sana?” seru pria itu dingin

Qianru gugup. Ia tidak tahu siapa pria ini, tapi jelas dia bukan pelayan biasa. Suaranya berwibawa, penuh otoritas.

“Aku hanya… tidak bisa tidur.” jawab Qianru jujur namun penuh kehati-hatian.

Pria itu melangkah mendekat. Dalam cahaya rembulan, wajahnya terlihat jelas. Tampan. Tegas. Tapi bukan tampan manis, melainkan dingin dan tidak bisa didekati.

“Aku tidak tahu selir mana yang berani berkeliaran malam-malam tanpa izin. Tapi aku tidak buta.” Ia memicingkan mata.

“Kau Selir Qianru, bukan?” tanya pria itu

Qianru terdiam.

"Tak disangka, selir yang katanya seperti hantu istana, sekarang berani menyelinap keluar malam-malam," gumamnya, kini terdengar agak penasaran.

Qianru menatap pria itu tanpa gentar. “Karena hantu tidak punya rasa takut. Tapi manusia yang pernah mati… akan tahu bahwa hidup itu tidak layak dijalani dengan merangkak.”

Pria itu terdiam. Sorot matanya berubah. Ada sedikit ketertarikan. Entah karena jawabannya, atau keberanian Qianru berbicara blak-blakan.

“Menarik,” katanya.

“Kau tidak seperti laporan yang beredar.” ujar pria itu

“Dan siapa kau?” tanya Qianru penasaran.

Pria itu hanya tersenyum samar. “Aku? Seseorang yang terlalu sering dikhianati untuk percaya siapa pun. Tapi mungkin malam ini… aku akan membuat pengecualian.”

Sebelum Qianru sempat bertanya lebih jauh, pria itu menghilang begitu saja dalam gelap.

Dan barulah beberapa saat kemudian, saat dayang tua panik mencarinya dan membawa Qianru kembali ke paviliun, Qianru tahu siapa yang baru saja ia temui.

Kaisar Xuanlie.

...----------------...

Keesokan harinya, kabar tentang pertemuan diam-diam Selir Qianru dengan Kaisar menyebar bagai api menyambar jerami. Walau tidak ada yang melihat langsung, entah bagaimana, rumor itu muncul di koridor istana dalam waktu singkat.

“Katanya Selir Qianru berbicara langsung dengan Yang Mulia di taman belakang…” ujar salah satu pelayan bergosip

“Mana mungkin! Qianru? Yang tak pernah dipanggil ke ruang tidur Kaisar sekalipun?” ujar yang lainya

“Sshh! Jangan sebut nama beliau sembarangan! Siapa tahu sekarang dia sedang naik daun!” ujar salah satu pelayan yang baru datang. Lalu mereka semua terdiam

Di balik pintu, Qianru mendengar semuanya. Tapi alih-alih panik atau khawatir, ia justru tersenyum tipis. Ia tahu betul, dalam istana ini, kekuatan bukan ditentukan oleh darah, melainkan oleh persepsi. Dan hari itu, persepsi tentang dirinya telah berubah.

Sore itu, ia meminta dayang tua kepercayaannya—Nenek Zhao—untuk mencarikan kain terbaik dan menyulap paviliunnya menjadi tempat yang lebih hidup. Bunga plum diganti dengan anggrek wangi, tirai-tirai kumal diganti dengan kain sutra putih. Ia bahkan meminta satu meja belajar, lengkap dengan tinta dan kuas kaligrafi.

“Untuk apa semua ini, Selir?” tanya Nenek Zhao.

“Aku akan membaca dan mencatat, belajar tentang kerajaan ini, politiknya, sejarahnya, bahkan silsilah keluarga Permaisuri.” Qianru memutar kuas di jari-jarinya.

“Jika mereka bermain di papan catur, maka aku harus tahu di mana bidak-bidaknya.” jelas Qianru

“Tapi… bukankah Anda hanya seorang selir biasa?” ujar Nenek Zhao hati hati

Qianru menatap tajam. “Itu dulu. Tapi sekarang, aku Qianru. Aku hidup kembali dengan tujuan.”

Dan itu membuat Nenek Zhao terdiam lalu pergi mengerjakan semua yang di ingin kan oleh selir Qianru

---

Seminggu kemudian, sebuah undangan tiba dari istana utama, yang berisi :

Selir Qianru diundang menghadiri jamuan kecil bersama Kaisar dan beberapa pejabat.

Sontak, semua dayang di Paviliun Anggrek geger. Mereka belum pernah melihat Qianru diundang dalam acara resmi. Bahkan, mereka sempat mengira itu salah kirim.

Namun Qianru hanya menatap undangan itu dengan tenang.

Ia mengenakan pakaian selir berwarna biru gelap, dengan bordiran awan emas. Rambutnya digelung elegan, dihiasi hiasan sederhana dari batu safir—bukan yang paling mewah, tapi cukup mencolok untuk menunjukkan perubahan.

( sumber gambar dari pinterest)

Ketika ia masuk ke aula, semua mata menoleh. Memandang Qianru tanpa berkedip.

Beberapa pejabat berbisik, sebagian selir lain menatap dengan sinis.

Tapi Qianru tidak gentar. Ia berjalan tegak, wajahnya tenang, bibirnya tersenyum tipis. Ia duduk di tempatnya sesuai pangkat, tak terlalu dekat dengan Kaisar, tapi cukup terlihat dari sudut pandang beliau.

Dan ketika Kaisar Xuanlie memasuki ruangan, matanya langsung tertuju pada satu titik.

Qianru.

Mereka hanya saling bertukar tatapan sebentar. Tapi itu cukup untuk membuat detak jantung banyak orang bertambah cepat.

Selama jamuan, pembicaraan mengarah pada masalah kelaparan di provinsi barat. Para pejabat mulai bersuara, tapi tak ada solusi konkret. Dan saat suasana mulai stagnan, suara jernih terdengar dari sisi para selir.

“Yang Mulia, bolehkah hamba ikut bicara?” tanya Qianru lembut tapi tegas

Semua terdiam. Seorang selir—yang bahkan tak punya gelar bangsawan—berani buka suara dalam forum resmi?

Kaisar menatapnya, tertarik. “Silakan.”

Qianru bangkit perlahan. “Menurut hamba, masalah utama bukan pada distribusi makanan, tapi pada pejabat lokal yang memanipulasi laporan panen. Jika Yang Mulia mengizinkan, hamba bisa menyusun daftar pejabat yang memiliki kaitan dengan klan Ning dan mencocokkannya dengan data bencana alam selama tiga tahun terakhir.”

Pejabat tinggi mendelik. “Apa maksudmu menuduh klan Ning?”

Qianru tersenyum sopan. “ Saya tidak menuduh. saya hanya menawarkan fakta untuk diperiksa. Jika ternyata tidak ada hubungannya, tentu saja saya akan meminta maaf.”

Kaisar menyipitkan mata, lalu tertawa ringan. “Menarik. Selir Qianru, kau benar-benar telah berubah.”

“Karena hamba sadar, hidup hanya sekali… meski itu adalah hidup kedua.” jawab Qianru

---

Perjamuan sudah usai. Malam itu, Mila berdiri di balkon, menatap bintang-bintang yang bertabur di langit istana Cine. Angin malam menyapu wajahnya, membawa wangi bunga dan suara kecapi dari paviliun lain.

Ia tahu, jalan di depannya tidak akan mudah. Ia telah menantang klan Permaisuri. Telah menunjukkan dirinya di hadapan pejabat tinggi. Dan lebih dari itu—telah memancing rasa ingin tahu Kaisar.

Tapi justru itu yang ia cari.

“Jika aku diberi hidup kedua… maka aku akan menjadikannya milikku. Aku bukan lagi Mila yang lama. Bukan juga Qianru yang lemah. Aku akan menjadi—”

Ia menggenggam kain bajunya erat.

“Pemain utama dalam istana ini.” ucap Qianru pada dirinya sendiri.

Bersambung

Bab 3 Istana yang Penuh Jerat

Langkah Mila terasa mantap saat ia berjalan melewati lorong batu istana Cine.

Dinding-dinding tinggi dengan ukiran naga dan awan seolah menjadi saksi bahwa dirinya bukan lagi Selir Qianru yang dulu.

Qianru telah muncul di hadapan Kaisar, berbicara di forum resmi, dan berani menyebut nama klan Ning dengan lugas—sesuatu yang bahkan pejabat tinggi pun ragu melakukannya.

Namun, istana bukan tempat bagi mereka yang cepat puas. Qianru tahu betul, satu gerakan yang salah dapat membuatnya kehilangan kepala, bukan hanya status.

Sejak malam jamuan itu, Qianru menerima banyak "perhatian." Bukan hanya dari Kaisar, melainkan dari para selir lain yang merasa terusik, juga dari orang-orang yang terikat dengan Permaisuri.

Pagi itu, saat tengah menikmati sarapan bubur manis di taman belakang paviliunnya, Qianru kedatangan tamu.

Selir Hua, wanita dari keluarga bangsawan tingkat menengah, memasuki taman dengan senyum yang tampaknya manis, namun penuh racun.

"Saudari Qianru," sapa Selir Hua lembut.

"Kukira aku harus datang langsung setelah mendengar kabar luar biasa itu. Kau… benar-benar telah berubah." ujar Selir Hua

Qianru meletakkan cangkir tehnya, tersenyum tipis. "Semua orang berubah, Selir Hua. Bahkan musim berganti. Tapi kadang, hanya mereka yang peka yang menyadarinya."

Selir Hua menahan senyum. Ia duduk tanpa diundang.

"Aku hanya khawatir. Menyebut nama Klan Ning di depan umum… itu tindakan berani. Tapi berani kadang bisa disamakan dengan nekat." ujar Selir Hua

Qianru menatap lurus ke arah Selir Hua. "Dan terlalu hati-hati bisa berakhir sebagai pengecut."

Tegangan pun terasa. Namun Qianru sudah terbiasa dengan konfrontasi halus ala istana. Dunia modern mengajarkannya menghadapi bos toksik dan rekan kerja munafik. Ini tak jauh berbeda.

Selir Hua akhirnya berdiri, tertawa kecil. "Semoga kita bisa tetap bersahabat, ya?"

"Kalau aku harus memilih antara bersahabat atau bertahan hidup, aku lebih memilih yang kedua," sahut Qianru

Setelah selir Hua pergi, Qianru berdiri dan menatap ke arah gerbang kecil taman.

"Musuh pertamaku sudah mulai mengintai. Baiklah. Permainan sudah dimulai."ujar Qianru pelan

---

Beberapa hari kemudian, saat malam turun dan langit Cine berselimut kabut tipis, Qianru menyelinap keluar dari paviliun dengan pakaian pelayan. Ia bergerak cepat melalui jalur bawah tanah yang ia temukan di perpustakaan tua istana. Jalur itu dulunya digunakan sebagai jalur pelarian pada masa perang saudara. Tidak banyak yang tahu keberadaannya.

Di ujung lorong, sebuah ruangan kecil terbuka. Di dalamnya, seorang pria berjubah abu-abu menunggunya.

Jenderal Rui. Kepala pasukan bayangan yang setia pada Kaisar, namun tidak terikat dengan istana resmi.

"Selir Qianru," sapa pria itu, nada suaranya datar.

"Atau seharusnya kupanggil Mila?" ujar Jenderal Rui

Mila menegang. "Kau tahu siapa aku?"

Jendral Rui mengangguk. "Kami tahu kau bukan wanita biasa. Dalam waktu seminggu, kau mengubah status sosialmu, mendekati Kaisar, dan menyerang klan Permaisuri secara tidak langsung. Itu bukan tindakan selir yang tak punya pendidikan."

Mila duduk di depan pria itu. "Lalu? Apa maksudmu memanggilku ke sini?"

"Kaisar ingin tahu, siapa kau sebenarnya. Dan lebih penting lagi, apakah kau bisa dipercaya." jawab Jenderal Rui

Mila atau Qianru tersenyum dingin. "Kalau aku musuh, aku tidak akan repot-repot bicara di jamuan malam itu. Aku akan diam, mengumpulkan kekuatan, lalu menyerang saat semua lengah."

Rui menatap tajam. "Dan jika kau sekutu?"

"Kalau aku sekutu, aku akan memberikan informasi yang bisa menyelamatkan nyawa Kaisar." jawab Qianru

Ia mengeluarkan sebuah gulungan kertas dari balik pakaiannya.

"Ini... adalah daftar pengiriman beras dari wilayah barat. Tiga dari lima gudang mencatat lebih dari 30% beras hilang dalam perjalanan. Tapi jika ditelusuri, beras itu justru sampai di pasar gelap Kota Xi." jelas Qianru

Jendral Rui membukanya dan memeriksa gulungan yang di berikan oleh Qianru.

"Ini… laporan yang tak pernah sampai ke tangan Kaisar. Siapa yang memberimu ini?" tanya Jenderal Rui penasaran

"Pelayan dapur. Mereka tidak tahu apa yang mereka pegang. Tapi aku bisa membacanya." jawab Qianru

Jendral Rui mengangguk lambat.

"Aku akan menyampaikannya pada Kaisar." ujar Jenderal Rui

Saat Qianru hendak pergi, Rui menahan langkahnya. "Apa tujuanmu sebenarnya, Mila?"

Mila berbalik. Matanya tajam. "Aku ingin bertahan hidup. Dan jika memungkinkan… menghancurkan semua yang menjadikan istana ini tempat kejam bagi wanita tak berdaya."

---

Perang Diam-Diam Dimulai

Hari-hari berikutnya, istana berubah. Mila, atau Qianru, kini tidak lagi dipandang sebagai selir pinggiran. Para dayang mulai lebih patuh. Para selir lain mulai berhati-hati.

Namun Permaisuri tidak tinggal diam.

Suatu malam, seorang pelayan baru membawa teh malam ke paviliun Qianru, Qianru menatap gadis itu sebentar, lalu berkata, "Letakkan tehnya, lalu keluar."

Pelayan itu menurut. Tapi Qianru tidak menyentuh teh itu.

Beberapa menit kemudian, seekor burung pipit dari luar masuk dan mematuk permukaan teh itu.

Burung itu mati seketika.

"Racun," gumam Qianru, Ia memandang ke luar. "Permainan ini benar-benar sudah dimulai."

Namun, alih-alih takut, Qianru justru memanggil Nenek Zhao.

"Tolong sebarkan desas-desus bahwa aku jatuh sakit setelah minum teh. Biarkan mereka pikir rencananya berhasil."

"Mengapa?" tanya Nenek Zhao

"Karena taktik musuh harus dibiarkan tumbuh… agar mudah ditebang akarnya." jawab Qianru santai

keesokan harinya berita tentang sakitnya Qianru pun nyebar, musuh pun menjadi senang dan menganggap mereka telah berhasil.

Tanpa mereka tau sebenarnya itu adalah jebakan yang akan menunjukkan siapa mereka.

Beberapa hari kemudian, Qianru 'sembuh' dan muncul di hadapan Kaisar saat upacara kecil.

Kaisar menatapnya lama. “Kau tidak takut? Setelah percobaan pembunuhan itu?” tanya kaisar penasaran wali hanya menampilkan wajah kakunya.

Qianru tersenyum. “Yang Mulia, jika hamba takut, hamba tidak akan hidup hingga saat ini.”

Kaisar memandangnya, lalu mengangguk pelan.

“Qianru. Mulai hari ini, aku akan memanggilmu untuk mendampingiku di ruang kerja. Bukan sebagai selir… tapi sebagai penasehat pribadi.” ujar kaisar dengan titahnya dan itu membuat seluruh istana terkejut.

Banyak yang mulai tidak tenang dan juga semakin membenci Qianru.

Awalnya mereka sangat bahagia melihat sakitnya Qianru, tapi saat hari ini mereka dapat melihat Qianru berada di acara upacara kecil ini, mereka seakan melihat malaikat maut yang siap menghancurkan mereka.

Banyak bangsawan dan pejabat lainya yang tidak setuju, karena bagi mereka Qianru hanya seorang selir—tanpa latar bangsawan, tanpa kekuatan—diangkat menjadi penasehat pribadi Kaisar, apa pantas? Pikir mereka

Di saat itulah, Qianru tahu bahwa langkah pertamanya telah berhasil. Tapi langkah berikutnya… akan jauh lebih berbahaya. Dan itu akan jadi pertarungan besar antara dirinya dengan para penghianat istana.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!