Dia berdiri di bawah pohon aprikot putih tua yang bermekaran di cabang-cabangnya. Pemandangan musim semi daratan Jingyuan yang indah nan luas terhampar di bawah puncak gunung hijau yang tinggi.
Pandangan matanya tertuju pada sebuah kuburan tanpa nama yang dibangun di bawah pohon aprikot putih tua tersebut dengan sorot mata dingin dan sendu. Tak ada persembahan atau dupa di depan kuburan itu.
Dia berdiri di sana untuk waktu yang cukup lama. Balutan busana biru tua dengan jubah putih tulang berbulu rubah di tubuhnya berkibar, menerbangkan aura suram yang kian terasa menyedihkan. Tangannya memegang erat sebuah liontin giok berwarna putih tulang yang sudah rapuh.
Dia mengangkat tangannya, seperti hendak menyentuh sesuatu, namun urung ia lakukan. Tangannya masih terulur, dan serpihan kelopak bunga aprikot putih jatuh ke telapak tangannya.
Dia kembali menatap gundukan tanah itu dengan sorot mata yang rumit. Dibandingkan dengan aprikot dan botan, dia lebih suka plum.
“Apakah kematian adalah satu-satunya hal yang kau inginkan?”
Suaranya hampa menerpa udara. Kekosongan itu seketika menjalar ke dalam hatinya, dan suara gemerisik daun tiba-tiba menjadi hening.
Dia masih menatap gundukan tanah itu dengan sorot mata rumitnya yang dalam, seolah-olah semua perasaan dan masa lalu telah terkubur jauh di dalam sana, menyisakan sedikit emosi yang kerap menjadi belenggu di dalam hatinya. Emosi yang hening, yang menenggelamkannya ke dalam jurang gelap tanpa dasar.
“Aku tanya sekali lagi, apakah kematian adalah satu-satunya hal yang kau inginkan?”
Dia tiba-tiba berjongkok di depan gundukan tanah tersebut. Kemudian, tangannya tiba-tiba memukul-mukul gundukan tersebut hingga tanah keringnya berterbangan bersama kelopak aprikot yang menutupi sebagian tanah tersebut.
Setelah itu, dia menggali gundukan tanah tersebut dengan tangan kosong, mencakarnya seperti seekor anjing yang menggali lubang untuk buang air.
“Tidak! Jangan!”
Pemuda jangkung dengan postur tegas di sisi pria itu berteriak ingin dia menghentikan aksinya, namun sia-sia. Dia tahu percuma menghentikan orang itu, karena orang itu sama sekali tidak akan menghiraukannya.
Pemuda itu menyaksikan dengan sorot mata sedih dan pasrah saat tangan orang itu terus menggali ke dalam tanah, menyingkirkan kerikil dan dedaunan kering yang ikut terkubur ke dalamnya.
Setelah menggali sampai kuku jarinya patah dan kulit tangannya lecet, dia akhirnya dapat melihat sesosok tubuh wanita yang terbaring damai di dalam lubang. Tubuh sosok itu sudah mulai membusuk meski wajahnya masih dapat dikenali.
Bibirnya menghitam dan kulit di sekitar lehernya mulai mengendur, meninggalkan jejak hitam seperti bekas memar yang belum hilang.
Pakaian merah marun yang menempel pada tubuh sosok itu compang-camping. Beberapa bagian robek, menampakkan kulit tubuh yang dulu sangat halus sekarang berubah menjadi hitam.
Dia tiba-tiba tertawa kecut. Senyum pahitnya terbit membelah kesunyian yang ditularkan dari gunung yang sepi. Hanya ada suara angin musim semi dan detak jantung dua orang yang terdengar sangat samar.
“Bahkan saat kematian itu tiba pun, kau masih mengenakan pakaian yang sama. Itukah caramu membalasku?”
Pemuda di sampingnya menunduk.
“Dikuburkan dengan sederhana adalah hal yang paling diinginkan Nona Lin. Bahkan jika dia harus mati di istana, dia akan tetap memilih dikubur di pegunungan tanpa nisan yang jauh dari keramaian.”
“Hanya itu yang dia katakan?” Suaranya tercekat dan rendah, tangan di samping tubuhnya gemetar dan dia memejamkan matanya sesaat.
“Hanya itu.”
Tangan tergantung di sisi tubuhnya terkepal dan dia tiba-tiba tertawa. Si pemuda mendongak untuk menyaksikan pria itu seperti orang kesetanan.
“Bahkan meski itu kebencian atau ketidakpuasan, dia tidak mengatakannya?”
“Tidak..”
Dia kembali tertawa. Pegunungan tinggi yang damai itu seketika menjadi sangat suram
“Bahkan kau tidak mau repot-repot menjelaskan apapun. Kau benar-benar ingin mati seperti ini, ya?”
Dia tiba-tiba mengangkat sosok itu keluar dari lubang makam dan menggulingkannya ke tanah di atasnya. Dia melompat keluar dari lubang makam, lalu mengoyak pakaian mayat wanita itu dengan tangannya sendiri.
“Tidak, jangan!”
Si pemuda berlutut untuk memohon. “Yang Mulia, tolong hentikan! Tolong biarkan Nona Lin mendapatkan keinginan terakhirnya!”
“Tanpa izinku, dia tidak akan mendapatkan apapun!”
Si pemuda tidak kuasa melihat mayat adik sepupunya yang sudah mulai membusuk ditelanjangi. Dia berbalik dan mengepalkan tangan untuk menahan sakit dan emosi di dalam hatinya.
Seandainya orang itu bukan orang yang diinginkan adiknya untuk dia lindungi, kepala orang itu sudah ia jadikan nisan dan tubuhnya akan ikut dikuburkan untuk menemani adiknya.
“Lin Muwan, aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan apa yang kau inginkan!”
Dia menggila dan terus mengoyak sisa pakaian si mayat dengan ganas. Jauh di dalam lubuk hatinya, kemarahan dan penyesalan sulit dibedakan.
Seandainya saja dia memilih mempercayainya saat itu, dia tidak akan mendapat akhir seperti ini. Bahkan meski dia harus kehilangan segalanya, dia tidak akan begitu tersiksa seperti ini.
“Kau ingin mati dan dikubur dengan tenang sendirian? Aku tidak akan mengizinkanmu! Lin Muwan, bahkan meski kau sudah mati, aku akan tetap membuatmu membenciku!”
Dia terus mengoyak pakaiannya. Bahkan sampai sisa pakaian di mayat itu habis dan menampilkan tubuh telanjang tanpa nyawa yang sudah mulai membusuk menguarkan bau tidak sedap, dia tidak berhenti.
Pria itu menatap tubuh tersebut dengan sorot mata penuh kesedihan dan kemarahan. Bahkan jika itu pakaian terakhir yang dikenakannya, dia tidak akan membiarkan wanita ini mendapatkannya.
“Lin Muwan, bukankah kau membenciku? Kalau begitu benci saja aku sampai aku mati!”
Seandainya saat itu dia menyadari tindakan dan isyaratnya, seandainya dia tidak menyalahpahaminya, seandainya dia tahu bahwa tusukan di dada yang diberikan oleh wanita itu adalah untuk menyelamatkannya, apakah akhir yang mereka dapatkan akan berbeda?
Apakah wanita ini tidak akan mati dengan kebencian yang bahkan tidak pernah diungkapkan kepadanya?
“Lin Muwan, kau pembohong! Kau wanita berhati dingin!”
Dia kemudian menyiramkan cairan ekstraksi obat ke tubuh mayat wanita itu. Lalu, dia melepas jubah putihnya dan membungkus mayat itu.
Dia mengangkat mayatnya, menggendongnya di dalam pelukan eratnya dan berjalan menuruni undakan batu di puncak gunung hingga ke tempat kuda dan dua orang pemuda lain berada.
Mereka terkejut melihat dia membawa mayat wanita itu tanpa beban di pelukannya.
“….”
Mereka tak kuasa berkata dan menelan kembali kata-katanya sampai ke perut tatkala melihatnya melompat ke atas kuda dan menarik tali kekangnya. Dia berlari dengan kudanya dengan mayat wanita itu di dalam pelukannya.
Dalam pelariannya, angin samar-samar membisikkan kembali kata-kata terakhir yang diucapkan oleh wanita ini kepadanya saat dia menusuk dadanya dengan belati sebelum dia membiarkannya pegi.
Murong Changfeng, hanya ini bantuan terakhir yang dapat aku berikan padamu. Setelah ini, biarkan aku pergi dan jangan mencariku lagi.
Dia menyesal, dia menyesal telah membiarkannya pergi saat itu.
“Hati-hati!”
Suara halus Lin Muwan menggema memenuhi lorong gua yang panjang dan dingin. Meski di atas sana adalah gurun pasir, tetapi udara di bawah sini cukup dingin. Lin Muwan bahkan harus menggosok telapak tangannya berkali-kali meski telapak tangannya sudah dibungkus sarung tangan.
Beberapa orang di depannya memimpin jalan. Di antara sepuluh orang yang ada di gua tersebut, Lin Muwan adalah satu-satunya wanita di antara mereka.
Baru-baru ini mereka mendapat misi. Seorang pencari makam berhasil menemukan komplek pemakaman kuno di gurun pasir yang belum terjamah oleh tim peneliti dan sejarawan negara. Lin Muwan ditugaskan memimpin operasi ini dan harus kembali membawa hasil temuan ke markas.
Dia berpenampilan halus dan tenang. Jangan tertipu dengan wajah cantik dan suara halusnya. Meski dia berpenampilan feminim dan suaranya halus seperti wanita kebanyakan, dia adalah singa betina yang ganas di balik itu.
Selain seorang arkeolog, Lin Muwan juga seorang penembak jitu nomor satu dalam kelas penembak di markas. Kemampuan bela dirinya yang paling bagus. Otaknya sangat cerdas dibandingkan anggota lain.
Selain itu, dia mahir menggunakan banyak senjata. Dia juga menempati posisi teratas sebagai anggota yang prestasinya paling banyak dan pencapaiannya paling tinggi.
Dalam hidupnya, dia hanya mementingkan misi dan solidaritas antar rekan. Di luar itu, dia tidak terlibat hubungan apapun, termasuk hubungan asmara.
Lin Muwan tidak pernah menjalin hubungan dengan pria manapun. Mereka di markas menyebutnya sebagai biksuni palsu, yang menjauhkan diri dari asmara tetapi sangat menggilai ketenaran duniawi.
Lin Muwan terus berjalan menyusuri lorong gua mengikuti rekan-rekannya. Senter di kepala dan peralatan di tas punggung membuat tubuhnya terbiasa mengangkat beban berat. Ini seperti pencarian yang penuh tantangan, karena selain bergelut dengan hawa dingin, dia juga bertarung dengan waktu.
“Ketua Lin, sebelah sini!” seru salah satu rekannya.
Lin Muwan segera menghampiri mereka. Di ujung gua tersebut, terdapat sebuah aula besar berdinding batu yang di dalamnya terdapat banyak harta benda.
Guci emas, porselen ratusan tahun, perhiasan emas dan perak, patung-patung batu tua, dan banyak benda lainnya membuat mata Lin Muwan berbinar.
Tempat ini benar-benar tempat yang penuh dengan harta karun!
“Catat dengan baik! Aku akan menghukum kalian jika ada detail yang terlewat!”
Ketika rekan-rekannya sibuk mencatat temuan harta benda, Lin Muwan tanpa sadar berjalan mengitari aula tersebut dengan langkah pelan.
Tangannya terulur menyentuh relief-relief batu yang diukir di dinding aula. Meski bentuknya tidak terlalu jelas, itu menujukkan bahwa relief-relief ini dibuat untuk mengenang sebuah kisah.
Pada sudut aula, dia menemukan pecahan pembakar dupa yang sudah berdebu. Ketika dia memungutnya, dia menemukan serpihan sisa kelopak bunga yang sudah mengering dan menghitam. Mungkin karena tidak terkena pelapukan, sisa kelopak bunga ini masih utuh.
“Aprikot?”
Lin Muwan tanpa sadar bergumam setelah mencium bau samar dari sisa kelopak bunga tersebut. Penciumannya tidak mungkin salah.
Sisa bunga yang sudah mengering selama ratusan tahun ini adalah aprikot. Tangannya refleks mengambil potongan sisa bunga lainnya.
“Pembangun makam ini benar-benar punya selera unik.”
Selain aprikot, sisa bunga kering lainnya adalah plum dan botan. Di zaman ini, hanya ada sedikit perempuan muda yang menaruh minat pada bunga-bunga seperti ini.
Lin Muwan menyukai aprikot, plum, dan botan, sehingga dia bisa mengenali jenis itu meski sudah menjadi kelopak kering ratusan tahun.
Jika ketiga bunga itu disimpan di sini ratusan tahun lalu, maka apakah mungkin pembangun atau pemilik makam ini adalah seorang wanita?
Lin Muwan membuang sisa bunga kering tersebut ke tanah dan lanjut berkeliling. Pada satu titik, dia menemukan sebuah kotak persegi kecil terkubur di tanah. Entah kenapa dia merasakan sebuah ketertarikan asing yang membuatnya mengambil kotak tersebut dengan tangan kosong.
Dia meniup debunya. Isi kotak kecil tersebut adalah pecahan giok putih yang sudah tidak berbentuk dan sebuah tusuk konde berbentuk phoenix yang terbuat dari emas.
Jika direkonstruksi, kemungkinan pecahan giok itu adalah sebuah liontin yang hancur karena dilempar atau jatuh. Dia tanpa sadar mengambil serpihan giok tersebut dan merasakan keterikatan yang tidak asing.
“Perasaan apa ini? Mengapa aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat?”
Lin Muwan tidak tahu berapa lama dia menatap giok tersebut. Dia tiba-tiba tersadar saat teriakan salah satu rekannya mengejutkannya.
“Ketua Lin, ada sebuah ruangan lagi di sini!”
Lin Muwan segera meletakkan serpihan giok tersebut di tempatnya dan mengantongi kotak tersebut. Dia berlari menghampiri tempat yang disebutkan oleh rekannya.
Di dinding aula, sebuah pintu batu bergeser dengan pahatan berbentuk rangkaian bunga melingkar, memperlihatkan sebuah ruangan sunyi yang menguarkan aura magis.
Lin Muwan tanpa sadar melangkah tanpa menghiraukan peringatan rekan-rekannya. Ruangan itu tidak terlalu besar, tetapi bahkan jauh lebih indah dan megah dari ruang sebelumnya.
Tidak ada benda berharga di ruangan itu kecuali sebuah peti mati batu di tengah ruangan dan beberapa rak berisi pakaian yang sudah lapuk termakan usia. Di atas rak-rak itu terdapat banyak tempat lilin dengan sisa lelehan berserakan di mana-mana.
Aroma dupa samar-samar tercium. Lin Muwan mengernyitkan dahinya. Komplek makam kuno ini sudah berusia ratusan tahun dan terkubur di bawah gurun pasir. Namun, mengapa masih menyisakan aroma seolah-olah makam ini baru dibangun puluhan tahun lalu?
Lin Muwan melangkah mendekati peti mati batu di tengah aula. Peti itu dibuat dengan ukiran yang sangat indah, seolah-olah mayat ratusan tahun di dalamnya adalah orang penting yang sangat berharga bagi seseorang.
Dari ukiran mewahnya dia bisa menebak bahwa si pembangun makam menghabiskan banyak biaya untuk membangun makam dan peti mati.
Ketika dia semakin dekat dengan peti mati, dia tiba-tiba merasakan perasaan sedih yang tiba-tiba saja muncul di hatinya.
Lin Muwan tiba-tiba merasakan kepedihan dan kesunyian yang menyeruak dari peti mati tersebut, membawanya kepada suatu perasaan yang belum pernah ia rasakan.
Komplek makam ini megah, terutama ruangan yang ini, tetapi mengapa Lin Muwan justru merasa sangat kesepian?
Rasanya seolah-olah dia telah terkubur di tempat ini selama ratusan tahun tanpa ada yang tahu. Rasanya seperti jenazah di dalam peti mati batu tersebut ingin dia menemaninya di sini dengan menularkan kesepian yang dirasakannya.
Di depan peti mati batu tersebut terdapat sebuah nisan dari batu. Nisan tersebut terletak di atas sebuah meja kecil yang di sisi kiri dan kananya terdapat tempat dupa dan persembahan.
Tangannya terulur menyentuh batu nisan tersebut, jarinya membersihkan debu yang menumpuk menutupi tulisan di depannya.
Rangkaian tulisan kuno berjejer membentuk sebuah kalimat setelah debu-debunya tersingkir. Lin Muwan seketika mengernyitkan dahi saat dia membaca tulisan di batu nisan tersebut.
Hawa dingin seketika menyeruak, aroma aprikot dan plum yang samar dari serpihan sisa bunga kering tiba-tiba tercium.
Makam istri tercinta, Qing Huanghou (Permaisuri Qing), Lin Muwan. Ditulis pada awal musim semi tahun pertama Jingyuan.
“Lin Muwan?”
Lin Muwan bergumam tanpa sadar. Mengapa tulisan di batu nisan itu malah berisi namanya? Lin Muwan tiba-tiba tertawa canggung.
“Sungguh suatu kebetulan.”
Ternyata, ini adalah makam seorang permaisuri. Tidak heran kompleknya begitu megah dan banyak harta benda jika yang dimakamkan di sini adalah seorang permaisuri dari Era Jingyuan.
Era Jingyuan?
Lin Muwan belum pernah mendengar tentang kerajaan itu sebelumnya. Mungkin saja itu sebuah kerajaan yang belum ditemukan catatannya dalam sejarah. Jika berhasil, itu akan menambah koleksi benda sejarang dari dinasti yang baru tercatat.
Suara gemuruh tiba-tiba terdengar saat hawa dingin semakin menjadi. Lin Muwan melihat dengan bingung ketika komplek makam tersebut tiba-tiba bergetar.
Debu-debu dari atas makam berjatuhan dan tanah bergetar seperti ada gempa bumi. Ruangan terguncang dan benda-benda berjatuhan.
Lin Muwan berusaha melarikan diri, tapi kakinya tidak bisa digerakkan. Sesuatu seperti mengikat kakinya dan memakunya di sini.
Ketika pintu batu yang menyambungkan ruangan ini dengan aula besar tiba-tiba tertutup, getaran di area tersebut semakin hebat.
Apakah dia akan mati terkubur… seperti permaisuri yang dimakamkan di sini?
Lin Muwan hanya tahu bahwa tubuhnya tidak bisa digerakkan. Ketika makam itu runtuh dan bebatuan menimpanya, dia hanya dapat mendengar secara samar suara rekan-rekannya meneriakkan namanya…
Rasa sakit tidak tertahankan memaksa Lin Muwan menemukan kembali kesadarannya yang sempat hilang akibat tertimpa reruntuhan makam kuno.
Lin Muwan perlahan membuka matanya, melihat pemandangan hijau gelap dari dedaunan pohon yang rimbun di atasnya.
Rintik-rintik hujan jatuh mengenai wajahnya, membasahi kelopak matanya. Dia mengedipkannya berkali-kali untuk menyingkirkan tetesan air hujan dari matanya.
Lin Muwan tidak bisa bergerak. Seluruh tubuhnya remuk redam seperti baru dibanting dari atas tebing.
Rasa sakit yang lebih parah berasal dari bahu kanannya. Dari samping matanya, dia melihat sebuah anak panah tertancap di bahu kanannya, merobek kain dan kulitnya.
“Nona… Xiu’er, Xiu’er tidak bisa melindungi nona lagi…”
Suara lemah dari seorang perempuan muda yang ada di samping Lin Muwan berhasil membuatnya sadar bahwa bukan hanya dia sendiri di sini.
Apa yang terjadi? Mengapa dia ada di tengah hutan lebat yang diguyur hujan dalam keadaan terluka? Bukankah tempat terakhir ketika dia harusnya mati adalah makam kuno yang runtuh?
Lin Muwan khawatir tentang suatu hal. Dia memaksakan diri untuk menolehkan kepala ke samping hanya untuk melihat seorang gadis muda dengan tiga panah tertancap di punggungnya jatuh telungkup di dekatnya. Gadis itu mengulurkan tangannya kepada Lin Muwan seperti hendak meraihnya, namun tidak sampai karena dia tidak bertenaga.
Darah dari tubuh gadis itu menggenang bercampur air hujan. Xiu’er, gadis muda di sampingnya sudah tidak bergerak.
Di tengah guyuran hujan, Lin Muwan tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan pada gadis tersebut. Apakah gadis itu baru saja mati?
Lin Muwan memaksakan diri untuk bicara, tapi tenggorokannya sakit hingga suaranya tercekat seperti orang bisu.
Seluruh tubuhnya sakit ketika dia mencoba bergerak. Tusukan anak panah di bahu kanannya menembus pembuluh darah, merobek kulitnya dan menyebarkan rasa sakit yang sangat hebat.
Situasi macam apa ini?
Lin Muwan sangat ingin memahami apa yang terjadi pada dirinya, tetapi dia sama sekali tidak punya tenaga. Seluruh syarafnya seperti terputus dan dia jadi lumpuh.
Tubuhnya berbaring telentang menghadap langit gelap yang terlihat di sela-sela dedaunan, menatap bingung pada tetesan hujan yang terus turun ke wajahnya.
Apakah… ini adalah mimpi sebelum dia mati? Apakah ini adalah mimpi sebelum dia pergi ke akhirat?
Lin Muwan tidak memahaminya. Tiba-tiba dia merasa sangat lelah dan mengantuk. Rasa sakit di bahunya telah membuatnya tersadar selama beberapa waktu, tetapi tenaga yang tersisa di tubuhnya tidak mampu menopang kesadarannya.
Dia khawatir jika tertidur, dia tidak akan bangun lagi, namun, dia benar-benar tidak bisa menahannya. Meski dia mencoba menahan kelopak matanya yang berat, dia tidak dapat bertahan.
Kepalanya tiba-tiba sakit luar biasa. Kumpulan memori acak yang tidak dikenal bermunculan seperti sebuah potongan puzzle.
Lin Muwan seperti melihat dirinya sendiri dalam versi lain, dengan kehidupan yang sangat jauh berbeda dari kehidupan yang dijalaninya selama ini.
Apa ini? Mengapa rasanya seperti potongan ingatan milik seseorang?
Dia tidak mampu menahan rasa sakit dari luka di tubuh dan kepalanya. Dia tidak sadarkan diri.
Lin Muwan kembali terbangun saat suara langkah kaki perlahan mendekat ke tempatnya berada. Bau amis dari darah yang bercampur dengan air hujan menyeruak. Genangan air campuran tersebut membasahi tubuh Lin Muwan dan Xiu’er yang sudah kaku dan dingin.
Suara-suara itu kian mendekat. Lin Muwan menatap langit yang sudah gelap. Hujan sudah berhenti, tapi tubuhnya masih belum bisa digerakkan.
Saat suara-suara itu semakin mendekat, dia memejamkan matanya lagi. Satu-satunya hal yang ingin dia lakukan saat ini hanyalah pura-pura tidak sadarkan diri untuk mengetahui situasi macam apa yang sedang dialaminya.
“Itu selir Pangeran Kesembilan! Kita menemukannya!”
Titik-titik cahaya terang seperti obor melayang-layang di depan mata Lin Muwan. Beberapa orang datang menghampiri tempat tersebut sambil membawa obor.
Kening mereka berkerut tatkala melihat Lin Muwan tidak sadarkan diri dengan panah tertancap di bahu kanan dan berbaring di samping mayat seorang gadis muda.
“Apakah dia masih hidup?”
“Ya. Apakah kita akan membawanya kembali?”
“Dia akan mati jika kita meninggalkannya di sini.”
“Tapi, bagaimana dengan Nona Sheng?”
“Kau mau mati? Bahkan jika Nona Lin adalah budak dalam status selir, jika dia mati, dia harus mati dengan izin Pangeran Kesembilan. Kita harus membawanya kembali sebelum Pangeran Keempat menemukannya.”
Kemudian, Lin Muwan merasa tubuhnya diangkat dan diletakkan di punggung kuda. Tubuhnya terombang-ambing saat kuda tersebut membawanya menjauhi tempat awal dia sadar bersama sekelompok orang.
Rasa sakit kembali menderanya saat anak panah yang tertancap di bahunya terlepas akibat guncangan dan darah menyembur keluar. Tidak ada yang menyadarinya sama sekali.
Lin Muwan dibawa ke sebuah tenda besar yang suhunya lebih hangat daripada udara di luar. Dia dibaringkan di atas tempat tidur, dan orang-orang itu baru sadar bahwa bahunya mengeluarkan banyak sekali darah. Seseorang memanggil tabib, dan pria paruh baya yang sudah tampak repot datang untuk mengobatinya.
Lin Muwan membiarkan tabib itu mengobati luka di bahunya sampai selesai. Selama periode itu, dia mendengarkan dengan saksama setiap percakapan yang ada di sekitarnya. Lamat-lamat dia perlahan mengerti bahwa dia telah menyebrang ke sebuah dunia di dimensi lain setelah kematiannya.
Rupanya benar, jiwanya melayang memasuki seseorang di dunia lain. Dia sepertinya memasuki tubuh seorang selir pangeran yang tidak disayangi.
Jika tidak, mana mungkin dia akan terbaring di tengah hutan dengan anak panah di bahu. Gadis muda bernama Xiu’er yang tadi mati di sampingnya adalah pelayannya.
Tidak mungkin juga dia akan mendapatkan ingatan acak yang tidak jelas yang membuat kepalanya sangat sakit sampai pingsan. Ini tidak masuk akal, tapi itulah kenyataannya.
Saat tabib itu selesai mengobati dan membalut lukanya, Lin Muwan membuka matanya. Si tabib terkejut dan hendak berteriak memberitahu, tetapi Lin Muwan menggelengkan kepalanya dengan lemah. Dia terbata-bata berucap, “Air…”
“Air! Bawakan air minum kemari!” si tabib berteriak.
Seorang wanita muda berpakaian pelayan datang dengan poci dan gelas. Si tabib membantu Lin Muwan minum dengan perlahan. Tenggorokan kering Lin Muwan sekarang tidak terasa sakit lagi.
Pintu kain penutup tenda tiba-tiba tersingkap. Sesosok pria berpakaian satin hitam datang sambil menggendong seorang wanita yang tidak sadarkan diri di pelukannya.
Pria itu berparas tampan dan bertubuh tinggi kekar. Rahangnya tegas, alis matanya sehitam tinta. Matanya membentuk cakram yang menawan, tatapannya tajam dan mendominasi.
Wanita di pelukannya tampak mungil. Dia punya wajah cantik yang mulus meski ada beberapa goresan di pipinya. Mereka basah kuyup.
Untung saja tubuh si wanita ditutupi oleh jubah si pria hingga bagian tubuh di balik baju basahnya tidak terlihat.
“Cepat periksa dia!”
Suara si pria berat dan marah, tapi jauh di dalamnya, Lin Muwan dapat merasakan kekhawatiran yang sangat besar. Dia memerhatikan si pria tampan itu dengan tatapan lemahnya.
Siapa dia? Siapa gadis yang dibawanya kembali dengan khawatir itu?
“Nona Sheng hanya terkejut. Pangeran Kesembilan, dia akan baik-baik saja setelah beristirahat. Sebaliknya, selir Anda, dia terluka sangat parah.”
Si tabib menoleh untuk melihat Lin Muwan. Pria yang dipanggil Pangeran Kesembilan oleh si tabib juga menoleh.
Ketika pria itu tanpa sengaja bertemu tatap dengannya, Lin Muwan merasakan seluruh tubuhnya menggigil. Tatapan pria itu… dingin dan dipenuhi kebencian.
“Seharusnya biarkan saja dia mati.”
Jantung Lin Muwan seketika seperti meledak begitu suara berat pria itu mengucapkan setiap katanya dengan dingin. Tatapan dingin penuh kebencian itu menusuk ke dalam ulu hati Lin Muwan.
Selama ini, selama dia hidup sebagai perampok makam paling hebat, ini pertama kalinya dia ditatap seperti itu oleh seorang pria!
Ada rasa tidak terima dalam dirinya yang pemberontak. Siapa pria itu hingga berani menentukan hidup dan matinya?
Lin Muwan meneriakinya bajingan, tetapi suaranya tidak dapat didengar dan hanya tatapan kemarahan yang dia tunjukkan pada pria itu.
Si pria tertawa mengejek. “Setelah memancing Sheng Jiayin ke tengah hutan, kau juga pura-pura terluka agar mendapat simpati?”
Lin Muwan mengepalkan tangannya dengan lemah.
“Lin Muwan, jika kau berani mencelakainya lagi, aku akan memotong tangan dan kakimu!”
Si pria kasar nan dingin itu kemudian berbalik pergi sambil membawa si wanita bernama Sheng Jiayin di pelukannya.
Lin Muwan meredam amarah di hatinya, meredam rasa sakit di tubuhnya sambil memejamkan matanya. Tunggu sampai dia pulih, dia akan membalas perlakuan tidak menyenangkan itu dengan tangannya sendiri!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!