NovelToon NovelToon

The Painters : Colour Wars

Ledakan Di Bengkel

Rahmad Ajie mengangkat kepala, menatap bagian bawah kap mesin yang terbuka lebar. Sinar matahari pagi menyelinap lewat jendela bengkel yang besar, memantulkan kilau logam dan cat yang belum kering. Di tangannya, sebuah amplas sudah mulai aus setelah berjam-jam dipakai menghaluskan bodi mobil yang baru selesai dicat.

“Setengah jam lagi, ini bisa selesai,” gumamnya pelan, matanya fokus pada lekukan bodi yang mulai mulus sempurna.

Di sekelilingnya, bunyi ketukan palu, suara obeng, dan mesin las memenuhi udara. Bengkel itu seperti sarang kehidupan, penuh aktivitas dan tawa dari para mekanik yang sudah seperti keluarga. Tapi Ajie? Dia lebih suka menyendiri, menyelesaikan pekerjaannya dengan tenang dan tanpa banyak bicara.

“Ajie, lihat! Mobilnya sudah kelihatan kayak baru lagi, bro!” teriak seorang rekan dari ujung bengkel.

Ajie hanya mengangguk kecil, tanpa melepas konsentrasinya.

Dia tahu, pekerjaan ini bukan cuma soal mesin dan cat. Setiap goresan, setiap lapisan warna yang dia poles, adalah bagian dari karya seni yang dia banggakan. Tapi juga beban, karena hidupnya gak pernah semulus cat yang dia poles.

Dia menatap jam tangan di pergelangan. Waktu istirahat hampir tiba. Momen yang dia tunggu untuk melepas penat. Tapi pagi itu berbeda.

Ketika dia melangkah ke ruang penyimpanan cat, bau kimia dan cat yang kuat langsung menyeruak. Di sana, beberapa kaleng cat berjejer—ada yang sudah terbuka, sebagian lagi disegel rapat.

“Pak Rahmad, tolong periksa tabung baru itu. Ada eksperimen baru dari supplier,” suara bos bengkel terdengar dari balik pintu kaca.

Ajie mendekat, memeriksa tabung cat dengan label yang agak mencurigakan: “Radioactive Paint Prototype.” Wajahnya berubah sedikit waspada.

Dia tahu, cat ini bukan cat biasa. Eksperimen ilegal yang katanya bisa membuat warna lebih hidup dan tahan lama. Tapi juga berbahaya.

Seketika, alarm kecil berbunyi nyaring di sudut ruangan. Suara ledakan kecil mengguncang bangunan. Ajie terhuyung mundur, debu dan asap mengepul di udara.

“Api! Cepat keluar!” teriak seseorang.

Instingnya langsung bereaksi. Dia berlari ke sumber ledakan, di mana tabung cat besar meledak, menyemburkan cairan berwarna-warni dan asap pekat yang berkilau seperti pelangi beracun.

Tubuhnya tersiram cat aneh itu. Tubuhnya bergetar, mata berkedip-kedip, dan dunia di sekelilingnya berputar.

Ajie terjatuh ke lantai, napas terengah-engah, dan detik-detik itu seperti melambat. Sesuatu dalam dirinya berubah—bukan hanya fisik, tapi sesuatu yang jauh lebih dalam.

Suara obeng yang jatuh ke lantai logam menggema di seluruh bengkel. Udara dipenuhi bau tajam thinner dan sisa asap las. Rahmad Ajie duduk di pojok ruang cat, napasnya berat, tangan kirinya masih gemetar. Di sekelilingnya, serpihan kaca dan logam berserakan. Ledakan tadi bukan cuma menghancurkan ruang kerja—itu seperti membuka gerbang ke dunia lain.

Ajie menyeka wajahnya yang penuh keringat dan noda cat. Jantungnya berdetak tak karuan. "Apa yang barusan terjadi...?" pikirnya. Pandangannya mengarah ke tangannya sendiri. Kulitnya berkilau aneh, seperti dilapisi lapisan tipis cat mengilap yang menyatu dengan pori-porinya.

Lampu utama bengkel berkedip, menciptakan bayangan panjang di dinding. Beberapa rekan kerjanya terdengar berteriak dari ruangan lain, namun Ajie tidak menjawab. Dia masih diam di tempat, mencerna semuanya. Di depan matanya, tabung-tabung cat radioaktif eksperimental kini hancur berkeping-keping. Warna-warna menyala masih meluap dari lantai, seolah punya nyawa sendiri.

"Gila... ini bukan cat biasa... Ini hidup," gumamnya lirih.

Tangannya bergetar saat mencoba berdiri. Tapi bukan rasa sakit yang ia rasakan—justru hangat. Energi. Sesuatu yang aneh berdenyut di dalam dirinya. Seakan-akan tubuhnya sekarang menjadi reservoir dari semua warna yang tumpah tadi.

Ajie melangkah perlahan, menjejakkan kaki di genangan warna. Cat di lantai menyebar seperti kabut ringan ke tubuhnya, menyatu tanpa bekas. Nafasnya terhenti sesaat. Ada sesuatu yang sangat salah… atau sangat luar biasa.

“Ajie! Lo nggak apa-apa?!”

Suara Ferry, kepala tim body paint, terdengar panik. Ia mendekat cepat, terhuyung karena lantai licin.

Ajie hanya mengangguk pelan. “Gue… gue nggak tahu,” jawabnya, suara parau.

Ferry menariknya menjauh dari lokasi ledakan. "Astagfirullah… Ini bukan kecelakaan biasa. Lo liat catnya? Nyala semua, Ji. Lo tadi kena langsung?!"

Ajie tak menjawab. Matanya menatap lantai yang perlahan kehilangan warnanya—seolah semua energi telah diserap tubuhnya.

“Gue harus ke klinik…” ucap Ferry, sambil menyalakan HT. “Panggil ambulans. Ajie kena paparan langsung.”

Tapi Ajie menarik lengan Ferry. “Jangan. Jangan bawa siapa-siapa ke sini dulu. Ini bukan cuma zat kimia biasa. Ini… bisa bahaya kalau kena orang lain.”

Ferry terdiam. Menatap Ajie dengan bingung. "Lo kenapa ngomong kayak gitu, Ji? Emangnya lo siapa sekarang?"

Ajie pun tak tahu. Tapi di dalam hatinya, sesuatu telah berubah. Suasana bengkel kini sunyi. Listrik padam. Hanya cahaya darurat berkelap-kelip merah yang menyinari ruang cat yang porak poranda. Di tengah kehancuran itu, Rahmad Ajie berdiri, tubuhnya berpendar samar, seperti kanvas hidup yang baru saja dilukis ulang oleh takdir.

 

Ajie akhirnya kembali ke ruang ganti, menatap pantulan dirinya di cermin kecil yang terpasang di locker. Bajunya compang-camping, kulitnya tak terlihat luka, tapi bersinar aneh dalam gelap. Ia menyentuh dada, lalu membuka jaketnya perlahan. Di bawah kulitnya, urat-urat kecil berwarna-warni tampak berdenyut.

“Gue… kenapa jadi kayak gini?” gumamnya pelan.

Lalu pikirannya melayang ke masa kecil. Ayahnya yang selalu memaksanya jadi 'orang normal'. “Gak usah aneh-aneh, Ji. Hidup tuh gak tentang warna. Tentang kerja keras.”

Ajie mengepalkan tangan. "Sekarang gue penuh warna, Yah. Tapi bukan warna yang lo mau."

Di luar, suara sirene ambulans mulai terdengar mendekat. Tapi Ajie tahu, ini bukan akhir dari kejadian hari ini.

Ledakan Dalam Diri

Ajie berjalan cepat di trotoar, masih setengah gemetar. Tangannya kotor, bajunya berbau bahan kimia dan asap, tapi ia tak peduli. Pikirannya kosong, hanya ada satu hal yang berputar-putar: Apa yang barusan terjadi?

Jakarta sore itu ramai seperti biasa—klakson mobil bersautan, pengamen menepi di lampu merah, dan udara penuh debu dari proyek pembangunan. Tapi di dalam diri Ajie, ada sesuatu yang jauh lebih bising dari semuanya: suara ledakan itu, teriakan orang-orang, dan… rasa panas aneh yang menjalar dari punggung ke ujung jari.

Langkahnya goyah. Ia menyentuh dinding toko di samping jalan, mencoba bernapas tenang.

Tapi dadanya justru makin berat.

Tangannya… lengket?

Ajie melihat ke telapak tangan. Cairan kental merah mengalir dari pori-porinya. Warnanya mencolok—merah menyala, seperti cat semprot.

“Astaga…” gumamnya. Ia mencoba menyeka, tapi justru makin deras. Tangannya kini seperti kuas hidup yang bocor di tengah jalan.

Lalu…

Boom!

Sebuah suara ledakan kecil muncul dari tangannya. Trotoar di depannya terbakar, aspalnya meleleh. Orang-orang berteriak. Seorang pengendara motor jatuh terguling, seorang anak kecil menjerit di pinggir jalan sambil memeluk ibunya.

“Apa-apaan itu?!”

“Dia meledakkan jalanan!”

“LARI!”

Ajie mundur beberapa langkah, napasnya memburu. Keringat dingin membasahi punggung. Ia melihat sekeliling—mata-mata penuh kengerian memandangnya. Tak ada yang mendekat. Semua memilih menjauh. Menghindar.

Ia merasa seperti monster.

Tangannya kini berubah warna—biru. Seperti air laut.

“Jangan lagi…” bisiknya.

Tapi telat.

Begitu dia menyentuh tiang lampu, es membeku di sekitarnya. Logam beku, kaca berembun, dan udara langsung berubah dingin menggigit. Orang-orang yang lewat menggigil, beberapa terpeleset di aspal yang kini licin membeku.

Ajie menatap tangannya seolah itu tangan orang lain.

“Ini… bukan aku…”

Ia menunduk, menggenggam kedua tangan dan mencoba menarik napas dalam.

Tenang, Ajie… Tenang. Kau cuma capek. Ini semua halu.

Tapi pikirannya kacau.

Dan tubuhnya? Semakin tak terkendali.

Kini, warna kuning menyala di lengan kanannya. Urat-uratnya bersinar terang seperti lampu neon. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan tubuhnya… bergerak.

“W—woooa—!”

Ajie terpental ke depan dengan kecepatan gila. Seperti roket hidup. Ia menabrak sepeda motor, melompati trotoar, lalu menghantam papan reklame. Tubuhnya terpental kembali, menabrak halte.

Pecahan kaca dan suara alarm mengiringi tubuhnya yang tergeletak di jalan.

Orang-orang sudah berhamburan. Polisi mulai muncul di ujung jalan, tapi mereka bingung—siapa musuhnya? Siapa penyebab kekacauan ini?

Ajie berdiri tertatih.

Orang-orang mulai memegang ponsel, merekamnya. Merekam "makhluk aneh" dengan cat warna-warni yang bocor dari tubuhnya, yang bergerak seperti peluru dan menyebabkan kekacauan.

Ia menatap tangan kirinya. Sekarang berubah jadi hijau. Bukan sembarang hijau—hijau terang seperti neon, dan entah bagaimana… hangat.

“Ajie! CEPAT!” suara seseorang terdengar dari belakangnya—seorang ojek online yang sempat kenal di bengkel. Tapi Ajie tak menjawab.

Tiba-tiba, dari tangannya yang hijau, muncul gelembung seperti tameng, lalu mengembang besar seperti perisai tembus pandang. Ajie refleks mengangkatnya.

BRAKK!

Sebuah mobil kehilangan kendali dan meluncur ke arahnya.

Tameng itu menahan tabrakan. Mobilnya terpental mundur, peot, tapi Ajie… tetap berdiri.

Kini semua mata tertuju padanya.

“Dia… dia bukan manusia!” teriak seseorang.

“Dia punya kekuatan! Dia monster!”

Ajie memejamkan mata.

Kenapa ini terjadi padaku?

Kenapa sekarang?

Kenapa… aku?

Ia berbalik dan mulai berlari, meski kakinya gemetar. Tapi bahkan langkahnya pun tak lagi normal. Tiap kali telapak kakinya menyentuh tanah, jejak cat muncul. Warna-warna berbaur seperti lukisan basah yang menguap ke udara.

Jalanan di belakangnya jadi lautan warna. Hijau, biru, merah—dan kini… hitam.

Begitu warna hitam menyelimuti tangannya, suara di sekelilingnya menghilang. Lampu-lampu padam. Suara klakson lenyap. Dunia jadi senyap.

Ajie menoleh.

Bayangannya… hilang. Bahkan ia sendiri hampir tak bisa melihat tangannya. Warna hitam itu menyerap cahaya. Menyerap segalanya.

Ia mulai ketakutan sendiri.

“Aku harus… pulang.”

 

Di stasiun kereta, ia menyusup masuk lewat belakang. Untung jaketnya cukup panjang untuk menutupi sebagian besar tangannya yang terus berganti warna. Ia duduk di pojok gerbong, jauh dari penumpang lain.

Napasnya masih berat.

Tiba-tiba, suara dari speaker menyebutkan stasiun berikutnya.

Ajie tak mendengar jelas. Ia sibuk menahan gejolak dalam tubuhnya.

Pikirannya bercampur aduk—antara logika, rasa takut, dan kenangan masa lalu.

Wajah ayahnya terbayang. Dingin. Datar. Penuh kekecewaan.

Ibunya… samar, tapi hangat.

Lalu suara dentuman lagi. Dentuman yang tadi. Dentuman yang mengubah segalanya.

Ajie memejamkan mata.

Dalam gelap matanya, ia melihat semburat warna-warni menyala dari tubuhnya. Setiap warna menyimpan rasa—amarah, ketakutan, kekuatan, harapan, kehancuran.

Ia buka mata lagi. Pandangannya buram. Air mata menetes.

“Gue… bukan pahlawan,” bisiknya.

“Gue bahkan… gak tahu gue masih manusia atau bukan.”

Gerbong kosong.

Tak ada yang berani duduk dekat dia. Bahkan penjaga pun menatap curiga dari ujung gerbong.

Ajie menyandarkan kepala ke jendela. Tubuhnya mulai tenang, tapi pikirannya makin kacau.

Dalam hatinya, rasa frustrasi tumbuh. Rasa marah pada dunia, pada dirinya sendiri. Ia ingin menjerit, tapi tak bisa. Ia hanya bisa diam, dengan cat yang menetes pelan dari ujung jarinya ke lantai gerbong.

Warna ungu mulai muncul. Perlahan, menyelimuti seluruh tubuhnya.

Ungu… campuran semua warna.

Ungu… sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.

Tapi satu hal ia tahu:

Hidupnya gak akan pernah sama lagi.

Dan dunia… baru saja mendapatkan sesuatu yang belum siap mereka hadapi.

Kereta tiba di stasiun terakhir.

Ajie melangkah keluar, tapi tubuhnya goyah. Kakinya terasa berat, dan dadanya sesak. Ia masuk ke gang sempit dekat rumah kontrakan—gelap, sepi, hanya suara kipas angin dari warung ujung jalan.

Lalu, dari tubuhnya, cat warna ungu pekat mulai menetes ke lantai.

Tapi kali ini… cat itu hidup.

Cat itu merambat. Menyebar sendiri ke tembok. Muncul pola-pola aneh seperti saraf atau jaringan otot. Lalu...

Sebuah suara pelan muncul dari balik dinding:

“Kami melihatmu…”

Ajie membeku.

Dinding di hadapannya… berdenyut.

Cat ungu itu membentuk sesuatu. Mata. Banyak mata. Semua menatap ke arah Ajie.

Ia mundur satu langkah. Lalu dua. Napasnya makin berat.

Dan di langit malam, muncul satu suara lain, nyaris seperti bisikan…

“War-na per-ta-ma…”

Ajie langsung lari.

Tapi cat itu terus menetes di jejak langkahnya—seolah tubuhnya bukan cuma bocor.

Tapi sedang dipanggil oleh sesuatu yang jauh lebih besar.

Warna Pertama

Langkah Ajie makin berat. Nafasnya kasar, bercampur debu dan udara malam yang dingin. Sepatu kerjanya yang sudah bolong tergelincir di aspal basah, tapi dia nggak peduli. Di belakang sana, suara-suara itu masih mengiang.

“Kami melihatmu…”

Dia nggak tahu itu halusinasi atau kenyataan. Tapi tubuhnya... tubuhnya jelas bereaksi.

Cat ungu itu—apa pun itu—masih terus merembes dari pori-porinya. Bukan darah, bukan keringat. Tapi cairan kental yang bersinar seperti tinta neon. Dan saat ia melangkah, cairan itu ikut. Menetes. Meninggalkan jejak.

"Apa yang terjadi sama gue...?" gumamnya, suara lirih penuh ketakutan.

 

Kontrakan kecilnya di pinggiran Pasar Rebo akhirnya terlihat. Sebuah bangunan sempit dua lantai dengan dinding hijau pudar, cat yang mengelupas, dan kipas angin rusak di jendela. Lampu depan berkedip seperti disko murahan. Ajie masuk cepat, langsung mengunci pintu dan merapatkan semua gorden.

Napak tilas langkahnya... jelas. Bekas cat masih berpendar samar di lantai teras.

Dia masuk ke kamar, melempar tas, menjatuhkan tubuhnya ke kasur tipis yang digelar di lantai. Kamarnya kecil—cuma cukup untuk kasur, lemari kayu tua, dan meja kerja penuh perkakas bekas.

Ajie menggigil. Bukan karena dingin. Tapi takut. Panik. Mual. Tangannya gemetar saat dia mencoba menarik napas dalam.

Tapi napas itu malah membuatnya batuk keras. Dari mulutnya, semburan kecil cat merah keluar.

“Apa—”

Ia berdiri mendadak, melangkah ke cermin kecil di dinding.

Wajahnya—eh, tubuhnya—terlihat seperti habis jatuh ke drum cat. Leher dan tangannya dipenuhi garis-garis warna. Ungu, merah, hijau... seperti pembuluh darah yang berubah jadi pelangi aneh. Tapi yang paling menonjol... warna merah menyala di dadanya. Seperti coretan api.

Dan saat ia menatap warna itu… udara di sekitarnya terasa panas.

Ia menatap tangannya. Fokus.

“Kalau ini kayak di film… mungkin gue bisa—”

"FWOOOSHH!"

Tangannya menyala.

Cat merah meledak dari telapak tangannya, bukan terbakar, tapi seperti tinta cair yang panas—menguap, menggetarkan udara, melelehkan ujung meja yang tak sengaja terkena semburan.

Ajie langsung melompat mundur.

"INI GILA!" teriaknya.

Dia panik. Muter-muter di kamar. Kepalanya pening. Tapi di tengah kekacauan itu, sesuatu mulai nyambung.

Cat merah \= panas. Ledakan.

Yang tadi siang? Yang di bengkel?

Cat kuning. Kilat. Seperti listrik. Dia ingat tubuhnya mengalirkan energi sebelum ledakan.

Dan tadi saat dia lari… cat ungu. Muncul begitu aja, lalu ada suara-suara itu. Seolah cat itu hidup. Menyadari sesuatu.

Ajie duduk di lantai, memegangi kepala.

“Jadi gue... apaan? Superhero? Monster? Korban limbah?” gumamnya lirih.

Hening. Hanya suara kipas tua di atap yang berderit pelan.

Lalu, dia berdiri. Pelan-pelan. Wajahnya masih bingung, tapi tatapannya mulai berubah.

“Kalau ini emang kekuatan... gue harus ngerti cara ngendaliinnya.”

 

Dua jam berikutnya, Ajie berubah jadi ilmuwan amatir. Dia ambil semua kaleng bekas, plat logam, dan kayu dari gudang belakang kontrakan. Bikin target dummy. Pakai jaket motor tua buat pelindung dada. Dan dia mulai… bereksperimen.

Cat merah: Meledak, tapi arahannya bisa dikendalikan lewat fokus dan pernapasan.

Cat kuning: Listrik. Menyetrum. Tapi terlalu berisiko dipakai di dekat benda elektronik.

Cat ungu: Masih misteri. Muncul sendiri, dan seolah hidup. Tapi bisa menciptakan pola.

Cat hijau: Baru muncul saat dia panik tadi, waktu hampir ketabrak motor. Sekilas seperti… perlambatan. Dunia melambat. Atau dia yang jadi lebih cepat?

Ajie mencatat semuanya di kertas lusuh dengan spidol merah.

Lalu ia berhenti.

Memandang ke dinding kamar yang penuh coretan warna.

Wajahnya masih ragu. Tapi ada api kecil yang mulai tumbuh di matanya.

“Gue nggak tahu ini dari mana... Tapi gue juga bukan orang biasa lagi.”

Ia menghela napas panjang. Menatap langit-langit kontrakan yang retak.

Lalu, suara langkah kaki terdengar dari luar. Seperti... seseorang berhenti di depan kontrakannya.

Ajie diam. Jantungnya berdetak cepat.

Seseorang mengetuk pintu.

Tok. Tok. Tok.

Dia berdiri pelan. Mendekat. Menempelkan telinga ke pintu kayu tipis.

Sunyi.

Lalu suara berat, datar, terdengar dari luar:

"Ajie... kamu bukan satu-satunya yang berubah."

Ajie membeku. Matanya membelalak.

Suara itu... bukan suara manusia biasa.

Dan dia tahu satu hal pasti: malam ini belum selesai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!