NovelToon NovelToon

CEO DINGIN

Bab 1

Hujan mengguyur deras ketika Arlena berdiri di depan gerbang rumahnya, hanya dengan sebuah koper tua dan tubuh yang gemetar. Tak ada yang keluar mencarinya. Tak ada yang menahannya untuk pergi.

"Jangan pernah kembali, Arlena. Kau memalukan!" bentakan sang ibu tadi siang masih terngiang di telinganya.

Dengan mata yang mulai memburam karena air mata, Arlena melangkah menjauh. Dunia terasa terlalu luas dan asing, namun anehnya... ia merasa bebas untuk pertama kalinya.

Arlena masih ingat kejadian sebelum ia di usir oleh keluarganya.

Flashback

“Kalau kau tidak mau menikah dengan Adrian, maka angkat kaki dari rumah ini, Arlena!”

Suara keras ayah menggema di seluruh ruang makan. Ibu duduk di sampingnya dengan wajah tegang, sementara dua kakak laki-lakinya, Ryan dan Dimas, hanya diam, namun jelas menahan amarah.

Arlena menatap mereka satu per satu, merasa seolah menjadi terdakwa dalam persidangan keluarga sendiri. Hatinya mencelos, tapi ia tetap teguh.

"Aku tidak mencintai Adrian. Dia sudah mempermainkan dua perempuan lain, dan kalian tahu itu!" suaranya bergetar, tapi tidak goyah.

“Cinta? Sejak kapan kau punya hak memilih cinta, hah? Kau bahkan hidup dari belas kasihan kami!” seru sang ibu dengan wajah penuh jijik. "Adrian anak orang terpandang. Menikah dengannya satu-satunya cara kau bisa menebus semua pengorbanan keluarga ini!"

"Pengorbanan?" Arlena tertawa getir. “Apa kalian lupa, aku anak kandung kalian juga. Bukan pembantu.”

Plak!

Satu tamparan mendarat keras di pipinya. Ryan berdiri, napasnya memburu.

“Kalau kau tidak mau ikut aturan keluarga ini, keluar. Jangan bawa nama keluarga ini lagi!”

Arlena menatap mereka. Air matanya tumpah. Tapi kali ini bukan karena lemah, melainkan karena kecewa.

Begitu besar luka yang ditorehkan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindungnya.

Dan sekarang kembali ia berjalan hanya dengan satu koper pakaian dan dompet yang nyaris kosong,

Arlena melangkah ke luar rumah saat matahari mulai tenggelam. Tak ada yang mengejarnya. Tak ada yang memanggil namanya.

Angin malam mulai menusuk tulangnya ketika ia sampai di pinggiran kota. Ia duduk di halte kosong, menahan tangis yang tak kunjung reda.

Hingga sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Pintu terbuka.

Seorang pria dengan setelan jas rapi turun, wajahnya serius, tatapannya tajam seperti es musim dingin.

“Kenapa duduk di sini malam-malam begini?” tanyanya dingin.

Arlena hanya menunduk, terlalu lelah untuk menjawab.

Pria itu memperhatikannya sejenak, lalu berkata, “Kalau kau butuh pekerjaan, aku sedang mencari pelayan pribadi. Gaji tinggi. Tempat tinggal disediakan.”

Arlena menoleh, tak percaya dengan tawaran itu. Dunia terlalu kejam padanya hari ini, tapi mungkin… inilah awal dari takdir barunya.

Arlena menatap pria itu. Matanya masih sembab, rambutnya basah dan kusut. Tapi sorot tajam dari pria asing itu membuatnya merasa... aneh. Bukan takut, tapi seperti sedang dihadapkan pada pilihan yang akan mengubah hidupnya selamanya.

"Apa kau serius?" tanyanya pelan.

Pria itu menyilangkan tangan, nada bicaranya tetap dingin. "Aku tidak punya waktu untuk bercanda. Kau butuh tempat, aku butuh seseorang yang bisa kupercayai untuk mengurus hal pribadi."

"Kenapa aku?" Arlena bertanya, mencoba memahami logikanya.

"Karena kau terlihat tidak punya pilihan," jawab pria itu dengan kejujuran yang menusuk. "Dan aku butuh seseorang yang tidak akan berani melawan."

Jawaban itu menusuk harga dirinya, namun juga... menyadarkannya. Ia memang tidak punya siapa-siapa lagi. Dan jika pria ini berniat jahat, setidaknya ia bisa melawan. Ia sudah terbiasa disakiti, tapi ia tidak akan pernah membiarkan dirinya diinjak lagi.

"Apa tugasnya?" tanya Arlena setelah hening beberapa detik.

"Aku akan jelaskan di rumah. Tapi sederhananya, kau akan menjadi asisten pribadi. Urusan rumah, jadwal kerja, dan hal-hal kecil lain yang kubenci untuk urus sendiri."

Arlena mengangguk pelan. “Baik. Aku ikut.”

Pria itu menatapnya sejenak, lalu mengangguk dan membuka pintu mobil.

Tanpa pikir panjang, Arlena masuk ke dalam mobil hangat yang terasa seperti dinding pengaman dari dunia luar yang dingin dan menyakitkan.

Di dalam, ia mencuri-curi pandang. Pria itu tampan. Rahangnya tegas, kulitnya putih bersih, dan mata hitamnya seperti tak menunjukkan emosi apa pun. Ia memancarkan aura kuat... dan sangat dingin.

"Aku Aldric Hartanto," katanya akhirnya. "Mulai sekarang, kau akan tinggal di rumahku. Tapi ingat satu hal."

Arlena menoleh cepat. "Apa?"

"Jangan jatuh cinta padaku."

Jantung Arlena berdetak lebih kencang, tapi ia menjawab dengan senyum sinis.

"Tenang saja. Aku bahkan tidak percaya cinta itu nyata."

Dan di sanalah, takdir mereka dimulai bukan sebagai pasangan yang saling mencinta, tapi sebagai dua orang yang terluka... dan mungkin, bisa saling menyembuhkan.

Aldric menyetir dalam diam. Sesekali ia melirik ke arah Arlena yang duduk di sampingnya. Saat ini tubuh mungil, wajah pucat, dan tangan yang gemetar ringan. Sekilas, ia terlihat tenang. Tapi Aldric tahu ada sesuatu yang salah.

"Lapar?" tanyanya tanpa menoleh.

Arlena mengangguk pelan. "Sedikit."

Ia berbohong.

Sebenarnya, perutnya sudah perih sejak dua hari lalu. Sejak seminggu terakhir, keluarganya hanya memberikan makanan seadanya, kadang sisa, kadang tidak sama sekali. Mereka menyiksanya pelan-pelan secara fisik maupun batin.

Aldric tidak bertanya lebih lanjut. Tapi saat mobil berbelok ke gerbang apartemennya yang mewah, suara napas Arlena berubah.

Tubuhnya bergoyang sedikit. Kepalanya miring. Matanya mulai tertutup.

"Apa kau—" Aldric menoleh, tapi belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tubuh Arlena ambruk ke samping.

“Arlena!”

Aldric menghentikan mobil mendadak dan langsung keluar, membuka pintu penumpang dan menangkap tubuh Arlena sebelum jatuh sepenuhnya. Wajahnya pucat pasi, kulitnya dingin, dan napasnya berat.

Seketika, ekspresi dingin Aldric berubah. Untuk pertama kalinya, ada rasa khawatir di wajahnya.

Dia mengangkat tubuh Arlena dengan hati-hati dan membawanya ke dalam apartemennya yang luas dan steril.

Asistennya, Siska, langsung berlari ketika melihat Aldric masuk sambil menggendong seorang perempuan.

“Pak Aldric, siapa—”

“Panggil dokter sekarang. Cepat!” potong Aldric tajam.

Siska mengangguk dan berlari. Aldric meletakkan Arlena di atas sofa dan menyentuh dahinya. Panas. Tubuhnya kurus, terlalu ringan untuk ukuran wanita seusianya.

Ia mendesis pelan. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu…”

Tak lama kemudian, dokter datang dan memeriksanya. Setelah melakukan pemeriksaan singkat, ia mengangguk pelan.

“Dia kelelahan parah dan kurang gizi. Bisa dibilang, tubuhnya sedang protes karena dipaksa bertahan terlalu lama tanpa asupan yang cukup.”

Aldric mengepalkan tangan. Wajahnya tetap datar, tapi matanya tajam.

“Pastikan dia dapat perawatan terbaik. Dan siapkan makanan ringan, sup atau apapun yang bisa ia cerna perlahan.”

Setelah dokter pergi, Aldric duduk di kursi di samping sofa, memandangi Arlena yang masih tak sadarkan diri.

"Kenapa kau terlihat kuat, tapi tubuhmu begitu rapuh..." gumamnya pelan.

Ia tak tahu siapa sebenarnya gadis ini, dan kenapa dunia begitu kejam padanya.

Tapi satu hal pasti, mulai malam ini, ia tidak akan membiarkannya kelaparan atau terluka lagi.

Bab 2

Suara gemericik air dari kejauhan dan aroma sup hangat yang samar mulai merambat ke dalam kesadaran Arlena.

Kelopak matanya bergerak pelan, sebelum akhirnya terbuka, menyambut cahaya lembut dari langit-langit ruangan yang asing.

Matanya menyapu ruangan luas itu. Dinding putih bersih, lantai marmer, jendela besar dengan tirai semi-transparan yang menari pelan ditiup angin malam. Ini... bukan kamarnya. Bukan juga rumah keluarganya.

Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa berat. Seketika, pintu terbuka. Seorang pria muncul dengan nampan di tangannya.

Tanpa bicara, pria itu menghampiri dan meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur.

“Kau sudah bangun,” ucapnya singkat, lalu duduk di sofa seberang ranjang.

Arlena masih bingung. “Aku... di mana ini?”

“Di apartemenku,” jawab Aldric datar.

“Kau pingsan di mobil. Dokter bilang kau kelelahan dan kekurangan nutrisi.”

Arlena menunduk. Rasa malu menyergapnya. Ia membenci kelemahan ini.

Tapi lebih dari itu, ia merasa telanjur membuka sisi rapuh yang selama ini ia sembunyikan dari dunia.

"Maaf..." bisiknya.

Aldric mengernyit. “Untuk apa?”

“Karena merepotkan. Seharusnya aku kuat.”

Aldric berdiri, menatapnya dari atas. Tatapannya tajam, tapi ada sesuatu di sana… kekhawatiran yang tersembunyi.

“Kau tidak perlu minta maaf karena lelah. Itu bukan kelemahan, Arlena.”

Ia menunjuk ke sup yang mengepul hangat. “Makan. Pelan-pelan saja. Aku tidak butuh pelayan pribadi yang pingsan lagi minggu depan.”

Nada bicaranya tetap dingin, tapi Arlena bisa menangkap nada halus dari perhatian yang tersembunyi.

Ia mengangguk, mengambil sendok perlahan. Hangatnya sup mengalir turun ke tenggorokan, membawa ketenangan yang hampir terlupakan.

Aldric melirik jam tangannya. “Setelah kau pulih, kita akan bicara soal pekerjaanmu. Tapi satu hal dulu—”

Arlena menatapnya, menunggu.

“Mulai sekarang, kau tinggal di sini. Aku akan menyediakan kamar, pakaian, dan semua yang kau butuhkan.”

Matanya menyipit sedikit. “Tapi ingat batasannya. Aku tidak suka orang yang mengganggu rutinitas ku.”

Arlena mengangguk pelan. “Aku tidak akan mengganggumu.”

Aldric berbalik dan berjalan ke arah pintu.

Namun sebelum keluar, ia menoleh sebentar. “Dan kalau kau butuh sesuatu, jangan diam saja. Aku tidak bisa membaca pikiran.”

Pintu tertutup kembali. Hening.

Arlena duduk diam, memandangi semangkuk sup yang mulai dingin.

Ia masih bingung kenapa pria itu menolongnya. Tapi entah mengapa, untuk pertama kalinya setelah sekian lama... ia merasa sedikit aman.

Sendok demi sendok, Arlena menyuapkan sup hangat ke mulutnya. Rasa gurihnya sederhana, tapi hangatnya terasa sampai ke dada.

Tubuhnya mulai sedikit ringan, meski masih lemas. Ia makan perlahan, takut tubuhnya menolak makanan setelah berhari-hari kosong.

Setelah setengah mangkuk habis, ia bersandar di bantal, memandangi nampan dengan pikiran berkelana.

“Siapa dia sebenarnya?” batinnya bergema.

Pria itu… Aldric Hartanto. Ia belum pernah bertemu seseorang sepertinya. Wajahnya keras, tutur katanya dingin, seolah tak mengenal kata empati. Tapi tindakannya… berbeda.

Ia memberinya tempat tidur hangat.

Ia memanggil dokter.

Ia bahkan menyiapkan makanan.

Seseorang yang begitu asing... tapi memperlakukannya lebih manusiawi daripada keluarganya sendiri.

“Kenapa dia baik padaku? Apa dia sedang menjebak ku?”

Arlena menggigit bibir. Ia sudah terlalu sering disakiti untuk percaya begitu saja.

Dunia mengajarkannya bahwa setiap kebaikan pasti ada bayaran tersembunyi.

Tapi tatapan pria itu tadi… bukan tatapan pria licik. Bukan juga pria yang berniat memanfaatkan.

Lebih dari itu, justru tatapan… kesepian.

Arlena menatap keluar jendela. Malam menggantung tenang.

Ia memeluk lututnya, selimut tebal menutupi tubuhnya.

“Apa aku sudah terlalu rusak untuk pantas mendapatkan kebaikan seperti ini?”

Satu tarikan napas panjang, lalu ia berbisik pada dirinya sendiri, pelan:

"Aku akan tetap kuat. Tidak peduli tempat ini sementara atau tidak. Aku akan bekerja… dan membuktikan aku bukan gadis lemah seperti yang mereka kira."

Di luar, angin berhembus lembut. Di dalam, seorang gadis yang selama ini dihancurkan oleh keluarganya... perlahan mulai membangun ulang dirinya sendiri.

Arlena masih berbaring di ranjang empuk ketika suara pintu apartemen terbuka. Ia mendengar langkah kaki masuk — bukan langkah Aldric, lebih cepat, lebih ringan.

Suara laki-laki terdengar dari luar kamar, terdengar santai dan riang.

"Bro! Kau di rumah? Gila, susah banget ngajak lu nongkrong sekarang—"

Pintu kamar terbuka sebelum Arlena sempat bangun dari posisi tidurnya.

Seorang pria berambut cokelat terang dengan setelan kasual berdiri di ambang pintu, alisnya terangkat saat melihat Arlena.

Mata mereka bertemu.

Dia tampan, dengan aura lebih hangat dan terbuka dibanding Aldric. Tapi ekspresinya langsung berubah bingung.

“Eh?” Dia melangkah masuk pelan. “Siapa kamu?”

Arlena langsung panik dan mencoba duduk tegak, meski tubuhnya masih lemas.

“Ma-maaf… aku—”

Belum sempat ia menjelaskan, suara berat dan dingin tiba-tiba membelah keheningan.

“Jangan dekati dia.”

Aldric muncul di balik pintu, berdiri dengan mata tajam yang langsung mengarah ke sahabatnya.

Pria itu menoleh cepat, kaget dengan nada tajam Aldric.

“Whoa, bro, santai. Aku cuma nanya. Dia siapa?”

Aldric melangkah maju, berdiri di antara Arlena dan pria itu, seolah menjadi pelindung.

“Dia bukan urusanmu,” ucapnya tegas. “Dan jangan pernah masuk kamarku tanpa izin.”

Sahabatnya mendongak pelan, memandangi Aldric sejenak sebelum tersenyum geli.

“Wah, ini pertama kalinya gue liat lo kayak begini. Protektif banget.”

Aldric tidak membalas.

Arlena menunduk, merasa tidak enak sudah jadi penyebab ketegangan.

Pria itu akhirnya mengangkat tangan menyerah. “Baiklah, baiklah. Gue cuma mampir sebentar. Nggak akan ganggu. Tapi kapan-kapan, gue mau tahu siapa dia. Karena lo… bukan tipe yang biarin orang asing tidur di tempat lo, apalagi cewek.”

Aldric hanya menghela napas dan melirik ke arah Arlena sekilas.

Begitu sahabatnya pergi, Aldric menutup pintu perlahan. Saat berbalik, tatapan Arlena sudah menunggunya — bingung dan canggung.

Aldric hanya berkata singkat, “Istirahat saja. Kita bicarakan semua ini besok.”

Dan seperti biasanya, ia pergi — menyisakan keheningan dan pertanyaan baru di benak Arlena:

Kenapa dia melindungiku seperti itu…?

Pintu kamar tertutup perlahan, menyisakan ketegangan yang masih menggantung di udara.

Aldric berjalan cepat menyusul sahabatnya yang sudah bersantai di ruang tamu sambil menuang kopi dari pantry.

Ia berhenti di hadapan pria itu dengan ekspresi dingin dan tatapan tajam.

“Lu tahu batas, Raka. Tapi lu lewatin tadi.”

Raka adalah sahabat Aldric sejak kuliah — hanya mengangkat bahu santai.

“Come on, gue nggak ngapa-ngapain. Gue cuma kaget ngelihat ada cewek di kamar lo. Wajar dong gue tanya.”

Aldric menyilangkan tangan. “Dia bukan cewek sembarangan. Dia tinggal di sini karena kondisi darurat. Dia bukan mainan gue, dan bukan urusan lo.”

Nada suaranya tajam. Bukan sekadar peringatan, tapi ancaman dingin yang hanya keluar saat Aldric benar-benar serius.

Raka akhirnya menurunkan gelas kopi dan menatap Aldric lebih serius.

“Oke. Gue minta maaf kalau gue kelewatan. Tapi lo sendiri sadar kan, ini bukan gaya lo. Lo nggak pernah bawa siapa-siapa ke rumah, apalagi cewek asing.”

Aldric diam. Rahangnya mengeras. Ia tahu itu benar. Tapi situasi ini bukan tentang kebiasaan. Ini… tentang nalurinya.

Naluri untuk melindungi seseorang yang bahkan baru ia kenal.

Seseorang yang duduk sendirian di halte, dengan mata penuh luka tapi kepala tetap tegak.

Seseorang yang terlalu kurus karena ditelantarkan oleh orang yang seharusnya mencintainya.

Raka memperhatikan ekspresi sahabatnya. “Lo peduli sama dia?”

Aldric menatapnya tajam. “Dia karyawan baruku.”

“Tapi lo bukan tipe yang peduli karyawan sampe begini, Aldric. Bahkan sekretaris lo aja cuma berani bicara kalau ditanya.”

Aldric tak menjawab.

Raka menghela napas dan mengangkat tangan.

“Fine. Gue ngerti. Gue nggak akan ganggu dia lagi. Tapi hati-hati, bro. Cewek itu bisa jadi titik lemah, bahkan buat orang sedingin lo.”

Aldric membuang napas berat. “Dia bukan titik lemah. Dia cuma... butuh tempat aman. Dan selama dia di sini, dia tanggung jawab gue.”

Raka menatap Aldric lama, lalu tersenyum tipis.

“Kalau begitu, jaga baik-baik.”

Arlena, di balik pintu yang tak tertutup rapat, mendengar sebagian percakapan itu. Tangannya gemetar pelan, dan matanya berkaca-kaca.

“Tanggung jawab, ya…” batinnya lirih.

Ia tak tahu harus bersyukur atau takut. Tapi satu hal pasti kalau Aldric bukan pria biasa.

Dan ia harus berhati-hati menjaga jarak... dari seseorang yang hatinya dingin, tapi perlahan mulai menghangatkannya.

Bab 3

Cahaya matahari pagi menyelinap lewat celah tirai, mengusik kelopak mata Arlena yang perlahan membuka.

Tubuhnya masih sedikit lelah, tapi jauh lebih baik daripada semalam.

Ia menatap langit-langit kamar asing yang sudah mulai terasa sedikit akrab.

Tanpa pikir panjang, Arlena bangkit dari ranjang. Ia merapikan tempat tidurnya dengan rapi, lalu membuka pintu pelan-pelan.

Tak ada suara dari luar. Ia menghela napas, kemudian berjalan menyusuri lorong, melihat sekeliling apartemen yang luas dan modern itu.

Pikiran pertamanya yaitu bersih-bersih rumah. Tapi naluri lamanya muncul.

Ia menemukan sapu di dekat dapur dan mulai membersihkan lantai, merapikan bantal sofa, bahkan menyeka meja makan dengan tisu dapur.

Ia sedang menyapu ketika suara berat memotong keheningan.

“Berhenti.”

Arlena menoleh cepat. Aldric berdiri tak jauh darinya, mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Wajahnya datar, tapi sorot matanya tajam.

“Maaf, aku hanya… ingin membantu,” jawab Arlena gugup.

Aldric berjalan mendekat, tangannya masuk ke dalam saku celana.

“Mulai hari ini, kau akan bekerja di bawah perintahku. Itu berarti, kau hanya bergerak kalau aku memintamu.”

Arlena menunduk. “Maaf. Aku hanya terbiasa bangun pagi dan bekerja.”

Aldric mendesah pelan. Ia lalu meletakkan sebuah kotak putih di atas meja dekatnya.

“Ini seragammu. Mulai besok, kau akan menjalankan tugasmu sebagai pelayan pribadi. Tapi hanya sesuai dengan instruksi dariku, paham?”

Arlena mengangguk cepat. “Ya. Paham.”

Aldric menatapnya sejenak, lalu berbalik pergi. Tapi sebelum benar-benar menghilang di balik lorong, ia berkata tanpa menoleh:

“Kau tidak lagi berada di rumah yang memperlakukanmu seperti budak, Arlena. Jadi, berhenti bersikap seperti satu.”

Arlena terpaku di tempatnya. Matanya membesar, bibirnya sedikit terbuka.

Kata-kata itu… menampar sekaligus menguatkan.

Dia tahu. Dia benar-benar tahu…

Ia memandangi kotak seragam yang ada di meja, lalu memeluknya perlahan.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia diberikan aturan… bukan untuk ditindas, tapi untuk dihargai.

Setelah Arlena kembali ke kamar dan menyimpan seragamnya dengan hati-hati, ia duduk di tepi ranjang, menenangkan diri.

Ia masih belum terbiasa dengan suasana apartemen yang begitu tenang, tanpa teriakan, tanpa perintah kasar, tanpa tekanan.

Tak lama kemudian, suara ketukan ringan terdengar.

“Arlena,” panggil Aldric dari balik pintu.

Ia segera berdiri dan membukakan pintu. Pria itu berdiri dengan kemeja abu gelap dan jaket hitam elegan. Matanya menatap Arlena singkat.

“Kau tidak perlu bekerja hari ini,” ucapnya.

Arlena mengerutkan kening. “Tapi… bukankah tadi pagi—”

Aldric memotong, “Hari ini pengecualian. Ayo ikut aku.”

“Ke mana?”

Aldric hanya melirik sebentar dan melangkah pergi.

“Kau akan tahu.”

Mobil hitam mewah itu meluncur tenang di jalanan kota.

Arlena duduk di kursi penumpang, gugup. Matanya mencuri pandang ke arah Aldric yang mengemudi dengan satu tangan, tenang tapi fokus.

Setelah beberapa menit, mobil berhenti di pelataran sebuah mall mewah. Arlena langsung panik.

“Kenapa kita ke sini?”

“Kau butuh barang-barang pribadi,” jawab Aldric datar sambil melepas sabuk pengaman.

“Pakaian, sepatu, alat mandi, dan sisanya. Aku tidak suka melihat pelayanku memakai pakaian lusuh atau kekecilan.”

Arlena menunduk. “Aku tidak—maksudku, aku tidak butuh banyak…”

“Terlalu sering kau tidak ‘butuh’ hanya karena kau tidak pernah diberi pilihan,” sahut Aldric, tajam namun tenang.

Mereka masuk mall bersama. Mata-mata mulai memperhatikan mereka dimana seorang pria dengan aura dingin dan berkelas, dan seorang wanita sederhana dengan pakaian polos.

Arlena merasa canggung, tapi Aldric tetap berjalan di sampingnya, seolah tak peduli.

“Ambil semua yang kau perlukan,” ucapnya ketika mereka masuk ke toko pakaian wanita.

“Jika ragu, pilih dua.”

Arlena memandang rak pakaian dengan tatapan bingung. Ini terlalu banyak. Terlalu bebas. Terlalu baru.

“Kenapa kau melakukan ini… untukku?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Aldric menatapnya sejenak. “Karena kau berada di bawah tanggung jawabku.”

Dan sebelum Arlena sempat bertanya lagi, pria itu sudah berjalan ke arah kasir, menyuruh pelayan butik untuk mendampingi Arlena memilih.

Ia hanya bisa diam, hatinya penuh rasa yang tak bisa ia jelaskan.

Bingung. Terharu. Takut. Dan… sedikit hangat.

Arlena berdiri canggung di depan cermin ruang ganti. Ia memegang dua gaun sederhana, mencoba memutuskan mana yang terlihat lebih "layak" untuk dibawa pulang.

Salah satu pegawai butik membantu dengan senyuman ramah, tapi dari ujung lorong, suara mengejek mulai terdengar.

"Lucu juga, ada pelayan masuk toko mahal begini. Siapa yang nyasar, ya?"

Arlena menoleh pelan.

Seorang wanita muda berdandan glamor berdiri dengan dua temannya.

Dari cara mereka memandang, Arlena tahu itu bukan sekadar komentar iseng — tapi ejekan yang disengaja.

“Pakaiannya aja masih model tahun lalu, sok-sokan masuk butik mahal. Paling juga cuma nebeng cowok kaya yang lagi kasihan,” lanjut wanita itu sambil tertawa.

Arlena meremas jemari di balik rok yang ia coba. Matanya memerah, tapi ia menahan air mata. Sudah biasa dihina. Sudah kebal, katanya.

Tapi sebelum ia sempat melangkah keluar atau menjawabnya. Tiba-tiba suara berat dan dingin menggelegar dari belakang.

“Siapa yang bilang dia pelayan?”

Wanita itu menoleh dan langsung membatu saat melihat sosok Aldric berdiri di depan pintu butik, tatapannya dingin, penuh ancaman.

“S-siapa Anda?” tanya wanita itu gugup, tapi masih mencoba menjaga sikap.

Aldric tak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya, ia menoleh ke arah manajer butik yang buru-buru menghampiri saat melihat situasi memanas.

“Usir dia,” perintah Aldric datar, menunjuk si wanita.

Manajer itu terkejut. “T-tapi Pak, dia pelanggan tetap—”

“Saya bisa beli seluruh butik ini sekarang dan ubah jadi toko roti jika perlu. Jadi saya ulang lagi, usir mereka sekarang.”

Wanita itu langsung panik. “Tunggu! Aku tidak—aku cuma bercanda! Lagian siapa dia sampai kau bela—”

“Satu kata lagi, dan kau akan ku cekal dari semua properti milikku di kota ini,” tegas Aldric, kini selangkah lebih dekat, tatapannya tak terbantahkan.

Wanita itu pucat. Ia hanya bisa mundur sambil ditarik keluar oleh salah satu staf.

Arlena, yang menyaksikan semuanya dari balik pintu ruang ganti, masih mematung. Jantungnya berdetak cepat. Ia tak tahu harus berkata apa.

Aldric berjalan mendekat dan menatapnya lurus.

“Kalau ada yang meremehkan mu lagi,” ucapnya pelan namun tajam," ingat satu hal kalau mereka juga harus berurusan denganku.”

Arlena menunduk, bibirnya bergetar.

Ia belum pernah... di bela seperti itu.

Dan dari semua orang yang mungkin melakukannya, kenapa justru… pria sedingin dia?

Setelah kejadian di butik, Arlena masih diam selama perjalanan mereka berjalan kaki ke lantai bawah mall, menuju supermarket.

Jantungnya masih belum tenang. Kata-kata Aldric terus terulang di kepalanya:

“Mereka juga harus berurusan denganku.”

Ia menggigit bibirnya pelan. Perasaan yang muncul… campur aduk.

Bahagia, canggung, dan takut semua bercampur jadi satu.

Setibanya di depan pintu masuk supermarket, Aldric berhenti sejenak dan mengambil troli.

Ia menoleh pada Arlena yang berdiri ragu di belakangnya.

“Ambil makanan yang kamu suka,” ucapnya datar namun jelas.

“Buah juga. Susu juga.”

Arlena terkejut. “Aku… tidak perlu, aku bisa makan apa saja.”

Aldric memutar matanya kecil. “Aku tidak bertanya kamu bisa makan apa saja. Aku minta kamu ambil apa yang kamu suka. Sekarang.”

Nada suaranya bukan marah, tapi… tidak bisa dibantah. Arlena perlahan mengangguk dan mulai berjalan di sampingnya.

Awalnya ia hanya mengambil satu kotak biskuit dan sekotak susu kecil.

Tapi saat Aldric melirik isi troli, ia menghela napas.

“Itu saja? Kau pikir aku ajak kau ke sini buat belanja satu hari?”

Arlena langsung panik. “Aku—aku tidak terbiasa…”

Aldric mendorong troli ke arah rak buah. “Pilih. Apel, anggur, mangga—apa pun. Jangan tanya harga. Aku tidak akan bangkrut hanya karena kau suka stroberi.”

Arlena tersenyum kecil tanpa sadar. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya… seseorang menyuruhnya memilih sesuatu untuk dirinya sendiri, tanpa tuntutan, tanpa syarat.

Ia mengambil beberapa buah, susu segar, roti, dan bahkan cokelat batangan kecil.

Setiap kali ia ragu, Aldric hanya menatapnya dengan ekspresi datar seolah berkata lanjutkan saja.

Setelah belanja selesai, mereka berjalan keluar supermarket dengan troli penuh. Arlena masih tidak percaya dengan apa yang terjadi hari ini.

Dan ketika mereka kembali ke mobil, Arlena memberanikan diri bertanya, suaranya pelan.

“Kenapa… kau begitu baik padaku?”

Aldric menutup bagasi dan menjawab tanpa menatapnya, “Karena kau pantas diperlakukan layak. Sesederhana itu.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!