NovelToon NovelToon

High School Iyuna

Hari pertama

"Ting nong²" — suara lonceng sekolah bergema nyaring, menggetarkan tiap jengkal koridor panjang yang tadinya diliputi ketenangan pagi. Gema dentingnya memantul di antara dinding-dinding putih sekolah, menandai dimulainya hari baru yang penuh harapan dan juga kegelisahan.

Hari ini adalah hari penerimaan siswa baru. Di sepanjang lorong-lorong, suara langkah kaki bercampur bisik-bisik antusias terdengar dari berbagai arah. Para guru berdiri di depan kelas masing-masing, menyambut para siswa dengan senyum ramah. Petugas OSIS lalu-lalang, membagikan selebaran dan mengarahkan siswa yang tampak kebingungan.

Elite School All Things — sebuah sekolah bergengsi yang terletak di kota Surabaya (fiksi) — bukan hanya dikenal di dalam negeri, tapi juga menarik perhatian calon siswa dari luar negeri. Keunggulan sistem pendidikannya, kemegahan fasilitasnya, dan reputasi para alumninya menjadikannya magnet bagi banyak anak muda berbakat yang ingin meniti masa depan gemilang.

Di antara kerumunan wajah baru yang bersemangat, seorang gadis berjalan pelan menyusuri koridor utama. Langkahnya tenang, tidak tergesa, seolah tidak tergoyahkan oleh suasana ramai di sekelilingnya. Sepatu hitamnya menginjak lantai marmer dengan ritme lambat namun pasti, menciptakan suara ketukan halus yang nyaris tak terdengar di tengah keramaian. Ia mengenakan seragam rapi, dasi terikat dengan presisi, rok jatuh sempurna di atas lututnya.

Gadis itu adalah Iyuna. Ia melangkah menyusuri lorong dengan kepala sedikit tertunduk, membiarkan helaian rambut hitam panjangnya tergerai bebas di punggung. Rambutnya bergerak lembut mengikuti gerakan tubuhnya, menari di udara seperti bayangan yang tak bisa dilepaskan. Wajahnya cantik, namun dingin — dengan tatapan kosong namun tajam, seperti mata yang telah melihat terlalu banyak dalam waktu yang terlalu singkat.

Ia terus melangkah, tangannya sesekali merapikan kerah bajunya yang tertiup angin dari jendela koridor. Saat berpapasan dengan sekelompok siswa lain, ia hanya menoleh sekilas, kemudian kembali menatap lurus ke depan. Ia tidak menyapa, tidak tersenyum. Diam.

Dari balik pikirannya yang sunyi, kenangan pahit masa kecilnya sesekali muncul, menggerus ketenangan batinnya. Sejak kecil, Iyuna sudah berpisah dari kedua orang tuanya. Mereka menjualnya karena tak mampu lagi menghidupi dirinya. Ia dijual kepada seorang pria asing, yang kemudian menjadi kepala yayasan sekolah dasar tempat ia mengenyam pendidikan — dan juga tempat penderitaannya dimulai. Siksaan, kekerasan, dan tekanan psikologis menjadi makanan hariannya, membentuk dinding kokoh yang kini melingkupi jiwanya.

Selama masa SD hingga SMP, Iyuna belajar untuk bertahan, memendam semua luka dalam diam. Ia mengunci dirinya dalam keheningan, tak pernah mengeluh, tak pernah memberontak secara terang-terangan. Tapi di dalam hatinya, keinginan untuk bebas terus tumbuh. Dan akhirnya, ia kabur. Ia mencari tempat di mana ia bisa bernapas tanpa ketakutan.

Kini, ia berada di bawah asuhan kepala yayasan Elite School All Things — seorang wanita yang ternyata merupakan bawahan dari ayah angkatnya yang kejam. Meskipun hubungan itu mengkhawatirkannya, namun untuk pertama kalinya, Iyuna merasa seperti memiliki harapan baru, secercah cahaya di ujung lorong yang panjang dan gelap.

Langkahnya perlahan terhenti ketika ia tiba di depan ruang kelas bertanda “F”. Ia mendesah pelan, menarik napas panjang dan dalam, lalu menghembuskannya perlahan seolah ingin mengusir keraguan. Ia menggenggam pegangan pintu kelas, mendorongnya dengan ringan hingga terbuka. Pintu bergeser perlahan, mengeluarkan bunyi seret halus.

Matanya menyapu seluruh ruangan. Siswa-siswa lain sudah duduk di tempat masing-masing, sibuk berbicara, tertawa, dan saling mengenal satu sama lain. Suasana ramai, namun tidak gaduh. Beberapa siswa melirik ke arahnya, namun segera mengalihkan pandangan mereka saat melihat ekspresi datar yang menghiasi wajah Iyuna.

Ia melangkah masuk, menyeret langkahnya pelan-pelan ke bangku kosong di dekat jendela. Tangannya memindahkan tas dari bahu dan meletakkannya di atas meja, sedikit menghempaskannya tanpa tenaga. Ia lalu menarik kursi dengan gerakan hati-hati, duduk perlahan, dan menyesuaikan posisi duduknya. Satu kakinya bersilang, dan tangannya terlipat di pangkuan. Pandangannya langsung terarah ke luar jendela.

Langit tampak biru cerah, dihiasi gumpalan awan putih yang bergerak perlahan. Iyuna memandangi langit dengan tatapan kosong, membiarkan pikirannya melayang jauh. Ia memutar-mutar ujung rambutnya secara refleks, lalu menghentikannya. Suara-suara di sekelilingnya seakan menjadi gema yang jauh, tak mampu menyentuh dinding batinnya.

Tiba-tiba, langkah kaki ringan terdengar mendekatinya dari samping. Seorang gadis dengan rambut coklat sebahu berjalan ke arahnya dengan penuh semangat, senyum cerah menghiasi wajahnya.

"Ha-hai! Namaku Fyona. Kau?" ucap gadis itu riang.

Iyuna hanya menoleh sedikit, tak beranjak dari posisinya. Ia tetap menatap keluar jendela, hanya menggerakkan bibirnya pelan, "Iyuna, Iyuna Marge," jawabnya datar, suaranya tenang seperti air yang mengalir.

Fyona tersenyum makin lebar, "Salam kenal yah," ucapnya sambil melambaikan tangan. Ia lalu menoleh cepat ke belakang saat seseorang memanggilnya. "Ya?" balasnya, sambil melangkah menjauh.

Iyuna sempat menatapnya sekilas, mengamati gerak-gerik cerianya. Ia menyipitkan mata sedikit, lalu mengalihkan pandangannya ke arah sebelah. Di sana, seorang anak laki-laki menatapnya dari jauh, dengan tatapan yang tampak ragu dan penasaran.

"ada apa?" tanya Iyuna, memiringkan kepalanya ringan ke kanan, alisnya naik sedikit seolah menantang.

"E-eh, ng-ngga ada!" jawab anak laki-laki itu cepat-cepat. Ia menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, lalu memalingkan wajah sambil menunduk. Pipinya memerah.

Iyuna hanya menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas kecil, menoleh kembali ke arah jendela. Ia menumpangkan dagunya ke tangannya yang bersandar di meja, membiarkan pikirannya kembali hanyut dalam lamunan.

Tak lama, suara pintu kelas terbuka dan seorang wanita dewasa masuk. Rheina-Sensei, guru wali kelas mereka, berdiri di depan kelas dengan senyum ramah dan clipboard di tangan. Ia mengatur suara kelas, memanggil siswa satu per satu untuk memperkenalkan diri.

Ketika giliran Iyuna tiba, Rheina-Sensei menunjuk ke arahnya dengan pulpen, "kamu! Sekarang giliranmu."

Iyuna bangkit perlahan dari kursinya. Gerakannya anggun, meski terlihat berat. Ia berdiri tegak, membenarkan posisi rok seragamnya dengan tangan kiri, lalu berkata dengan suara datar namun tegas, "Namaku Iyuna Marge."

Ia lalu duduk kembali dengan tenang, merapikan posisi duduknya dan kembali menyilangkan kaki.

Beberapa siswa tampak heran dengan perkenalan yang singkat itu. Salah satu siswa laki-laki di belakang bergumam dengan kening berkerut, "gitu doang?"

Bu Rheina terdiam sejenak, matanya menatap Iyuna dengan ekspresi canggung, lalu berdeham, "Ba-baiklah, Ekhm," katanya, mencoba mengalihkan suasana.

"Untuk hari ini, kelas hanya diisi dengan perkenalan. Begitu juga beberapa hari ke depan! Jadi, sudah untuk hari ini yah," lanjut Bu Rheina, menyilangkan jarinya di depan dada sambil tersenyum lebar ke seluruh kelas.

"Baikk!" seru siswa-siswa lainnya, penuh semangat, membalas dengan suara kompak dan sorakan kecil.

Iyuna hanya mengamati semuanya dari tempat duduknya, tubuhnya tetap diam, namun mata tajamnya merekam semuanya — dalam diam, ia memulai kisahnya di tempat baru ini.

Rakha-Senpai

Sepulang sekolah, Iyuna menjatuhkan tubuhnya dengan lelah ke ranjang, membiarkan seluruh beban tubuhnya terserap empuknya kasur. Ia saat ini ada di kamar asrama nya, merasakan keheningan yang menenangkan.

Ia menutup matanya perlahan hingga tertidur, napasnya yang semula cepat kini mulai teratur. Setelah beberapa jam ia akhirnua terbangun, ia meregangkan tubuhnya yang masih memakai seragam sekolah, kedua tangannya terentang lebar, "Nghh~"

Lalu bangkit dari ranjang, mengusap matanya yang masih terasa berat. Ia menatap jendela dan mendapati hari sudah malam, cahaya lampu jalan menyinari halaman sekolah. Ia menoleh ke arah jam dinding dan terlihat sudah pukul 07:20 PM, jarum jam menunjukkan waktu dengan jelas.

Ia segera melepas pakaiannya, membuka kancing seragamnya satu per satu, dan bersiap mandi, menyambar handuk yang tergantung di belakang pintu.

Karena bosan setelah mandi, rambutnya masih sedikit basah dan menempel di lehernya, ia memutuskan untuk keluar dari asramanya dan mencari udara segar. Ia turun dari tangga asramanya dengan pakaian kasual, kaki jenjangnya melangkah ringan menuruni anak tangga, dan berjalan jalan sejenak.

Ia berhenti sejenak di depan mesin vending minuman, merogoh sakunya mencari koin, dan membeli soda, jemarinya menekan tombol dengan cepat.

"glek³~" Ia meminum soda itu, tenggorokannya bergerak naik turun menikmati sensasi dingin dan menyegarkan dari minuman bersoda tersebut.

Setelah berjalan beberapa langkah, kaki jenjangnya melangkah tanpa tujuan pasti, ia mendengar suara dari sebuah lorong, telinganya menangkap suara bentakan.

"Enyahlah! Kau tidak akan pernah mampu!" Ucap seorang laki laki dengan kasar, laki laki itu mendorong seorang gadis di dekatnya, tangannya mendorong bahu gadis itu dengan kuat.

Gadis yang didorongnya berambut panjang dan berwarna putih, tubuhnya terhuyung ke belakang. "dia kan..., kalau tidak salah, namanya Lucy" Gumam Iyuna, ia saat ini mengintip dari balik tiang listrik, jari-jarinya mencengkeram permukaan tiang yang dingin.

"Kak! Aku akan berusaha! Aku pasti bisa mendapat kelas A di ujian nantinya!" Balas Lucy, matanya berkaca-kaca menahan air mata.

"Halah" Bentak Laki laki itu, ia kemudian maju lalu meraih lengan Lucy, mencengkeramnya dengan kuat, "Kau tau? Ini semua karena kau tidak bisa meninggalkan kebiasaanmu sebagai seseorang yang tidak berguna" Ucap lelaki itu dingin, matanya menyipit tajam.

Iyuna tampak menikmati drama ini sembari meminum sodanya, kaleng dingin itu menempel di bibirnya, sampai sampai ia menyenggol barang disampingnya hingga terjatuh, "gedebuk".

Pandangan keduanya seketika teralihkan ke Iyuna yang duduk terjatuh, roknya sedikit terangkat. Lelaki itu kemudian mendekat ke arah Iyuna dengan langkah berat, suara sepatu menggema di lorong, "apa yang kau lakukan disini?" Ucap lelaki itu kasar, dagunya terangkat angkuh.

"E-enghh~" Iyuna berusaha berdiri, tangannya bertumpu pada lantai yang dingin.

"Iyuna?" Ucap Lucy setelah melihat Iyuna berdiri, matanya membelalak kaget.

"tak kusangka, ada yang mengingat namaku" Monolog Iyuna saat mendengar Lucy, alisnya terangkat sedikit terkejut.

Lelaki itu kemudian mencengkeram lengan Iyuna dengan kasar, jemarinya menekan kuat hingga meninggalkan bekas kemerahan, "kak!?" Panggil Lucy, berusaha menenangkan kakaknya, tangannya terulur menggapai udara kosong.

Lelaki itu kemudian mendorong tangan serta tubuh Iyuna hingga menatap dinding lorong sehingga membuat Iyuna terjepit, punggungnya membentur dinding.

"jadi kau yang bernama Iyuna?" Ucap Lelaki itu, tubuhnya menghimpit Iyuna, napasnya terasa hangat menerpa wajah Iyuna, membuat Iyuna tidak dapat bergerak, terperangkap di antara dinding dan tubuh atletis lelaki itu.

"Ya" Respon Iyuna datar, ia melemahkan tubuhnya agar tak terasa sakit, bahunya melemas.

Lelaki itu mendekatkan wajahnya lagi ke Iyuna, hidungnya hampir bersentuhan dengan hidung Iyuna, "kudengar ada siswi dengan nilai rata² 50 di ujian masuk".

"lalu?" Tanya Iyuna, matanya menatap lurus nan datar.

"Tidak hanya itu, ada siswi dengan nilai 50 di semua mata pelajarannya"

"—dan siswi itu bernama Iyuna Marge. Itu dirimu kan?" Ucap Lelaki itu, jemarinya menelusuri pipi Iyuna.

"Ya" Jawab Iyuna, napasnya tenang.

"Kau sengaja melakukan itu?" Tanya Lelaki itu, alisnya mengerut penasaran.

"Tidak, itu hanya kebetulan. Kebetulan yang menyakitkan" Jawab Iyuna, bibirnya sedikit melengkung ke bawah.

Lucy hanya menatap mereka dengan heran, jari-jarinya memainkan ujung sweaternya, "A-Apa?" Gumamnya.

Lelaki itu mendesak Iyuna dengan dengkulnya, dan semakin menaikkan dengkulnya di selangkangan Iyuna, membuat Iyuna sedikit terangkat. "Kau tau? Kau membuatku penasaran dengan kemampuanmu..., dan aku yakin kau berbohong—"

Iyuna hanya menatapnya tanpa merespon, napasnya tertahan. Lalu lelaki itu memegang dagu Iyuna dan menariknya ke atas, jari-jarinya yang kuat mengangkat wajah Iyuna. "dan ya, aku tertarik padamu" Ucapnya, senyum miring menghiasi wajahnya.

Iyuna hanya terdiam, matanya menatap lelaki itu tanpa ekspresi, "Sayangnya, aku tidak" Ucapnya, suaranya dingin membekukan udara di sekitar.

Lelaki itu melepaskan dagu Iyuna, jarinya menyusuri leher Iyuna sebelum benar-benar terlepas, "Hngh" ia menyeringai. "jadi, aku ditolak yah..." Ucapnya.

Ia kemudian mundur dan melepaskan tubuh Iyuna, langkahnya perlahan menjauh, "Baiklah kalau begitu, anggap percakapan tadi tidak ada yah..." Ucapnya, ia lalu berjalan keluar lorong, punggungnya yang lebar menghilang di kegelapan.

Iyuna menghampiri Lucy yang terduduk di tanah lalu mengulurkan tangannya, telapak tangannya terbuka menunggu, "Eh? E-eum.., terima kasih" Ucap Lucy, ia lalu menerima uluran tangan dan bangkit, tubuhnya yang mungil terangkat dengan mudah.

"Iyuna" Panggil Lucy, tangannya menarik ujung baju Iyuna.

"Hm?" Respon Iyuna, ia berjalan keluar lorong, langkahnya ringan.

Lucy dengan cepat menyusul Iyuna, kakinya berlari kecil menyejajarkan langkah, "apa benar kau mendapat nilai 50 di semua ujianmu?" Tanyanya penasaran, matanya membulat ingin tahu.

"Tidak, itu hanya bualan Kakakmu saja" Elak Iyuna, yang jelas ia berbohong kpd Lucy, matanya tidak berani menatap langsung.

"He? Benarkah?" Ucap Lucy, ia tampak kecewa, bahunya sedikit merosot.

"Oh iya, maafkan Kakakku yah" Ucap Lucy, tangannya memainkan ujung rambutnya.

"Iya" Ucap Iyuna, mengangguk singkat.

"Kau tau? Kakakku adalah orang yang baik, ia hanya kecewa dan marah kepadaku karena aku mendapat kelas F" Ucap Lucy, suaranya melembut penuh pembelaan.

"Hm" Respon Iyuna, matanya menatap jalanan di depan.

"Dia adalah ketua Osis yang bijaksana, semua orang menyukai dan mengaguminya. Namun, aku sebagai adiknya malah tidak bisa membanggakannya. Oleh sebab itu dia marah" Sambung Lucy, jemarinya saling bertaut gugup.

"Oh iya, aku yakin kamu belum tau namanya ya?" Tanya Lucy, kepalanya dimiringkan menatap Iyuna.

Iyuna hanya mengangguk, gerakan kepalanya nyaris tak terlihat, "Namanya adalah kak Rakha, ia dari kelas 12A. Dan merupakan siswa unggulan loh. Apa kau yakin ingin melewatkan kesempatan tadi?" Tanya Lucy, ia berusaha menggoda Iyuna, menyenggol bahu Iyuna dengan sikunya.

"kesempatan?" Tanya Iyuna, melirik ke Lucy Sembari berjalan, alisnya terangkat heran.

"Iya! Kakakku bilang dia tertarik padamu loh! Padahal mah Kakakku ngga mungkin bakalan tertarik sama sembarangan cewe" Jawab Lucy, tangannya bergerak-gerak mengikuti ucapannya.

"Palingan dia cuman membual dan mengancam" Ucap Iyuna, bahunya terangkat sedikit tak peduli, mereka pun akhirnya sampai di Asrama sekolah mereka, bangunan megah menjulang di hadapan.

"Ka-kayanya ngga gitu deh" Gumam Lucy, bibirnya mengerucut ragu.

"Kalau begitu, sampai jumpa besok" Ucap Iyuna sembari melambaikan tangan dan berbelok ke arah lain, rambutnya yang hitam bergoyang lembut mengikuti gerakannya.

"E-eh? Ba-baiklah" Respon Lucy, ia membalas lambaian tangan Iyuna, matanya mengikuti sosok Iyuna yang perlahan menjauh.

Ujian

Keesokan harinya.

"Nngh~" Iyuna meregang di kasurnya, merentangkan kedua tangannya lebar-lebar sementara selimutnya tersingkap ke samping. Ia tampak baru bangun tidur, matanya masih setengah terpejam melawan cahaya pagi yang menyusup melalui celah tirai. Ia menatap ke arah jam, jarum pendeknya menunjukkan pukul 05:55 AM. Kelas dimulai jam 7. Dan hari ini adalah hari kedua sekolah SMA Iyuna.

Iyuna segera bangkit dari ranjangnya dengan gerakan cepat, menginjak lantai yang dingin dengan kaki telanjangnya, seolah tak terjadi apa apa di hari sebelumnya. Ia lalu mengangkat baju tidurnya melewati kepalanya dalam satu gerakan mulus, menyisakan kulitnya yang pucat terpapar udara dingin, dan menurunkan celananya dengan satu tarikan, bersiap untuk mandi.

Setelah mandi, tetesan air masih menempel di ujung rambutnya yang basah, ia memakai seragam sekolahnya yang berwarna putih dengan rok pendek berwarna hitam kebiruan. Jemarinya dengan cekatan mengancingkan kemejanya satu per satu dari bawah ke atas. Lalu melangkah keluar dari kamar Asramanya, menutup pintu dengan suara 'klik' pelan.

Sedangkan di sisi lain, "Dimana dia yah?" Gumam Lucy, mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke tanah dengan gelisah, saat ini dia sedang berdiri di depan gerbang Asrama. Tampak menunggu seseorang, matanya terus menyapu area sekitar dengan harapan.

"Ayo, kau menunggu siapa?" Ucap Fyona di samping Lucy, memiringkan kepalanya dengan penasaran.

"Aku-aku sedang menunggu Iyuna," Jawab Lucy, tangannya memainkan ujung rambutnya dengan gerakan melingkar.

Fyona tertawa kecil, matanya berkilat jahil, "Kau ingin berteman dengannya lah tu..." Godanya, menyenggol bahu Lucy dengan sikunya.

"I-iya, tapi kayanya dia adalah tipe yang sulit diajak berbicara," Ucap Lucy menunduk, menghela napas panjang sambil menatap ujung sepatunya.

Fyona memegang bahu Lucy, jemarinya memberikan tekanan menenangkan, "Lucy yang saat SMP bisa berteman dengan semua orang disekolah tidak akan mungkin gagal kan?" Ucap Fyona menenangkan Lucy, bibirnya tersenyum menyemangati.

Lucy menunduk sejenak, kemudian mengangkat wajahnya dengan senyum lebar, "Ya!" Semangatnya kembali, matanya berbinar penuh tekad.

Iyuna muncul dari gerbang, berjalan perlahan dengan pandangan lurus ke depan tanpa menatap sekitar, sepatunya bergesekan dengan kerikil halaman. "Nah, itu dia!" Ucap Lucy semangat, menunjuk ke arah Iyuna yang sedang berjalan, jari telunjuknya teracung tinggi.

"Iyuna!" Panggil Lucy sembari melambaikan tangannya dengan antusias dan berlari ke arah Iyuna, rambutnya yang putih berkibar ditiup angin.

Iyuna menoleh kebelakang sejenak, matanya menyipit sedikit, ia mencoba membalas dengan lambaian kecil, hampir tidak terlihat.

Fyona menyusul mereka dari belakang, kakinya bergerak cepat, napasnya sedikit terengah, "He-hey, tunggu aku!" Panggilnya, tangannya melambai-lambai berusaha menarik perhatian.

Mereka berdua pun berjalan bersama disamping Iyuna, menyesuaikan langkah mereka dengan tempo Iyuna yang tenang dan teratur.

Selama berjalan, mereka berusaha mengajak Iyuna mengobrol, bertukar pandangan penuh arti. "Hei Iyuna, apa kau sudah memaafkan Kakakku?" Ucap Lucy, mencondongkan tubuhnya sedikit untuk melihat ekspresi Iyuna.

"Kakakmu?" Elak Iyuna, alisnya terangkat sedikit, berpura pura lupa.

"Iya!" Ucap Lucy, mengangguk dengan semangat.

"Memangnya ada apa Iyuna dengan Rakha-Senpai?" Sahut Fyona, matanya membelalak penasaran.

Lucy lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Fyona, jemarinya menyelipkan rambut ke belakang telinga, "Kemarin malam....." Ia membisikkan semua kejadian itu kepada Fyona, tangannya bergerak-gerak mengilustrasikan ceritanya.

Iyuna hanya menatap mereka sejenak dari sudut matanya, lalu berjalan dengan langkah mantap seolah tak terjadi apa apa, tangan kanannya mengeratkan pegangan pada tali tasnya.

"Hee? Benarkah?" Ucap Fyona heboh, mulutnya terbuka lebar, matanya membulat tidak percaya.

Fyona lalu melirik Iyuna dengan tatapan menyelidik, dan mendekatinya, bahunya bersentuhan dengan bahu Iyuna. "Benarkah itu?" Goda Fyona, senyum jahil terlukis di wajahnya.

Iyuna hanya melirik Fyona sekilas, matanya yang datar bertemu dengan mata Fyona yang berbinar. "Tidak, itu tidak benar," Elaknya, kepalanya menggeleng samar.

"Hee? Tapi aku melihatnya sendiri kemarin.." Sahut Lucy, tangannya terangkat menekankan pernyataannya.

"Tidak, kau tidak melihatnya," Elak Iyuna, melangkah semakin cepat.

"Ha³, kau lucu Iyuna!" Ucap Fyona, tertawa kecil sambil menepuk punggung Iyuna.

"Oh iya, apa tidurmu nyenyak kemarin malam?" Tanya Fyona, memiringkan kepalanya mendekati wajah Iyuna.

"Apa maksudmu?" Tanya Iyuna, matanya tetap menatap lurus ke depan.

"He? Ba-bagaimana bisa?" Respon Fyona terkejut, tangannya menutup mulutnya dramatis.

"Apa maksudmu?" Tanya Iyuna jutek, bibirnya merapat membentuk garis tipis.

"Kau tau kan? Kalau aku ada di posisimu—" Fyona menarik napas panjang, matanya menerawang.

"—aku tidak akan bisa tidur karena terus memikirkannya!" Ucap Fyona semangat, kepalanya berbunga-bunga membayangkan Rakha, pipinya merona merah.

"Belum lagi, kau kemarin sampai di-anu olehnya kan?" Goda Fyona, menyikut pelan lengan Iyuna.

"Di-anu?" Tanya Iyuna datar, alisnya sedikit terangkat.

"Kau tau kan? Seperti seorang pangeran yang menghimpit sang putri diantara dirinya dan tembok," Ucap Fyona, tangannya membentuk gestur seolah mendorong sesuatu ke dinding.

"Aku tidak mengerti. Apa untungnya?" Tanya Iyuna, melangkah melewati genangan air kecil di jalan.

"Y-ya..." Jawab Fyona, ia mengetukkan jari ke dagunya, sedang berpikir.

Lucy menghela napas, uap tipis keluar dari mulutnya di udara pagi yang sejuk, lalu membisikkan sesuatu ke Fyona, bibirnya nyaris menyentuh telinga Fyona. "Iyuna itu gadis yang polos, akan sulit jika kau ingin berbicara dengannya," Bisiknya.

"Be-begitu yah.." Respon Fyona kaget, matanya membesar.

Iyuna hanya terus berjalan dengan irama yang konstan sembari melirik mereka sesekali dari sudut matanya yang tajam.

Setelah berjalan hampir 30 menit, kaki mereka mulai terasa pegal dan hangat. Mereka akhirnya sampai di gerbang sekolah, bangunan megah menjulang di hadapan mereka. Mereka masuk ke kelas 10F, melangkah melewati koridor yang ramai dengan siswa-siswi.

Iyuna berjalan ke mejanya dengan langkah ringan tanpa melihat ke sekitar, tasnya ia letakkan di samping meja dengan hati-hati. Sedangkan di sampingnya, Eid sedang membaca buku, jemarinya dengan cekatan membalik halaman yang sudah menguning. "Selamat pagi, e..., Eid?" Sapa Iyuna datar, menarik kursinya.

Menyadari itu, tubuh Eid menegang seketika, matanya membelalak kaget. "E-e-eh? I-iya, selamat pagi," Balas Eid, jemarinya gemetar sedikit menggenggam ujung buku.

Tak lama kemudian, guru mereka masuk, langkah kakinya yang tegas menggema di lantai kelas. "Selamat pagi anak-anak," Sapa Bu Rheine dengan semangat, senyumnya merekah lebar.

"Selamat pagi bu," ucap seisi kelas, suara mereka bersahutan tidak serempak.

"Hari ini adalah hari kedua kalian masuk ke kelas 10F. Bagaimana? Apa kalian sudah saling mengenal satu sama lain? Apa kalian sudah hafal rute sekolah ini?" Tanya Bu Rheine.

Dan yap, beberapa siswa menjawab sudah dengan anggukan, dan beberapa lainnya menjawab belum, menggelengkan kepala mereka perlahan.

"Baiklah, ibu ada satu pesan yang harus ibu sampaikan untuk kalian," Ucap Ibu Rheine, raut wajahnya berubah serius.

"Pesan apa itu sensei?" Tanya Lucy, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, jemarinya terentang.

"Karena masuknya siswa tahun ini dianggap terlalu mudah, maka akan diadakan ujian," Ucap Bu Rheine, nadanya serius, matanya menatap tajam ke seluruh ruangan.

"Ujian?" Gumam Arga, tangannya mengepal di atas meja.

"Ujian dimana ini akan menentukan masa depan kalian di sekolah ini—" Bu Rheine berjalan perlahan di depan kelas, sepatu hak tingginya berketuk di lantai.

"—dan kalau kalian mendapat nilai dibawah 50—" Ucap Bu Rheine serius, tangannya menggambar garis di udara.

"Apa yang akan terjadi sensei?" Tanya Lucy, matanya melebar penuh kekhawatiran.

"Kalian akan di dropout!" Tegas Bu Rheine, tangannya menghantam meja dengan suara keras.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!