Suara decak air yang terinjak dari laju seorang gadis menjadi seperti requiem untuk gadis tersebut nyaris setiap malam selama bertahun-tahun. Dengan tudung jaket lembab serta tas ransel anti air di punggung, gadis itu berlari membelah malam yang dingin.
Gema teriakan beberapa orang terdengar di belakang sana, mengejar sang gadis yang telah beberapa meter jauhnya dari mereka di depan. Namun perlahan menghilang, hingga hanya terdengar suara hujan ketika gadis itu mengambil jalan pintas melewati gang di antara dua bangunan tinggi menuju ke sisi lain dari kota yang ia singgahi ini.
Rosetta berhenti di dalam gang kecil tersebut, menyandarkan diri pada dinding untuk mengambil napas setelah berlari cukup lama. Ia meneduhkan dirinya di sana dari rintik hujan yang telah membasahi kota sejak sore tadi.
"Akhirnya aku bisa pulang," ucap gadis itu seraya mengusap air matanya dengan lengan jaket lembab sang gadis.
Ia menatap memory chip di telapak tangannya, hasil kebodohan dirinya bertahun-tahun lalu kini berhasil ia dapatkan. Virus buatan dirinya yang telah menghancurkan keluarga juga diri Rosetta karena termakan ucapan penuh jebakan dari orang yang menjadi kekasihnya dulu, Elijah Blackwood.
Setelah berhasil mengembalikan lagi kekuasaan Lorenzo yang sempat jatuh ke tangan keluarga lain karena kesalahan yang dilakukan oleh Rosetta, kini gadis itu mendapatkan jejak terakhir dari virus buatannya yang bahkan telah dipakai salah satu sindikat untuk memasuki banyak sistem terlarang. Dengan ini Rosetta bisa kembali pulang. Ia bisa menghadapai ayah, ibu,dan kakak-kakaknya untuk meminta maaf atas dosa-dosa yang Rosetta lakukan di masa lalu.
Ah, gadis itu benar-benar merindukan kedua orang tuanya. Sudah tujuh tahun sejak terakhir ia melihat paras ayah dan ibu yang begitu ia cintai itu.
Setelah apa yang Rosetta lakukan, ia tidak lagi punya muka untuk muncul di depan mereka semua, terutama ketika ia mendapati karena ulahnya, seluruh keluarganya harus kehilangan anggota keluarga tertua, sang kakek.
Ferdinan, sang kakek yang seharusnya menjalani operasi saat itu harus menunda hal tersebut demi menemukan Rosetta yang ditahan oleh kekasih gadis itu. Tergabung dalam sebuah sindikat berbahaya, kekasih Rosetta saat itu memaksa sang gadis membuat sebuah virus komputer mematikan, dimana mereka dapat menggunakan virus tersebut untuk menyusup sebuah sistem pemerintahan dan mencuri datanya tanpa tertangkap. Jika Rosetta tidak melakukannya, maka Elijah yang saat itu telah memegang kekuasaan Lorenzo sepenuhnya akan menghabisi keluarga sang gadis tanpa tersisa. Rosetta yang terus ditekan hingga nyaris kehilangan kewarasannya saat itu, mau tidak mau membuat virus tersebut.
Bersama ayah sang gadis, Rion Lorenzo, Ferdinan mencari dan menyelamatkan Rosetta dari Elijah dan kelompok sindikat pria itu. Namun sayang, dua hari setelah berhasil membawa pulang Rosetta, Ferdinan justru dilarikan ke rumah sakit karena mengalami muntah darah serius.
Dan ketika di rumah sakit, Rosetta dan keluarga harus menerima kenyataan kalau mereka telah kehilangan sosok Ferdinan selamanya akibat keterlambatan penanganan pada kanker lambung yang diderita oleh Ferdinan. Jika saja beberapa hari lalu Ferdinan menjalani operasi pengangkatan kanker tersebut, kemungkinan kalau sang kakek akan dapat selamat dan hidup lebih lama.
Saat itulah, Rosetta sadar betapa banyak dosa yang ia lakukan kepada keluarganya. Setelah membuat kekuasaan Lorenzo jatuh ke tangan keluarga Blackwood, membuat virus komputer untuk para sindikat kriminal, dan sekarang karena Rosetta, seluruh keluarga kehilangan sosok Ferdinan selamanya.
Setelah pemakaman, Rosetta yang tidak lagi punya muka untuk melihat keluarganya, menanggalkan nama Lorenzo dan mulai mencari cara mengembalikan kekuasaan Lorenzo ke tangan Rion, sang ayah.
Bertahun-tahun gadis itu membayar dosanya seorang diri, memerbaiki setiap kesalahannya. Berkelana ke setiap kota dan tempat di Amerika untuk mengumpulkan para pemegang virus buatan Rosetta bernama Ice Death untuk menghentikan pencurian cyber yang dilakukan oleh para sindikat berbahaya.
Hingga kini, Chicago menjadi tempat terakhir yang Rosetta datangi sebagai kota yang membeli virus Ice Death. Setelah ini, Rosetta akan pulang ke San Fransisco, ke tempat keluarganya. Ia akan bersujud meminta maaf kepada mereka semua atas apa yang Rosetta lakukan karena kenaifan dirinya.
"Kau pikir kau bisa lari, Rose?"
Air muka Rosetta berubah sinis ketika ia mendengar suara yang amat ia kenal. Suara dari orang yang begitu ia benci, hingga jika gadis itu tenggelam dalam neraka sekali pun, ia akan menarik orang tersebut untuk ikut dengannya.
Pria berambut pirang berjalan mendekati Rosetta dari arah gadis itu datang. Di belakangnya ada sekumpulan orang-orang bertubuh besar dengan tampang preman, menjaga jalan melarikan diri sang gadis. Begitu pula dari sisi lain, orang-orang milik pria itu telah menutup jalan. Mengurung Rosetta dalam gang sempit yang lembab.
"Elijah," desis Rosetta ketika tahu kalau pria yang pernah menjadi kekasihnya itu ada di tempat ini.
"Kau kira aku akan membiarkanmu menang? Kau mungkin bisa mengembalikan kekuasaan keluargamu dua tahun lalu, tapi untuk Ice Death, aku tidak akan menyerahkannya begitu saja. Dengan Ice Death aku bisa menghasilkan uang dan kekuasaan melebihi Lorenzo. Perusahaan besar yang menggunakan AI bahkan pemerintahan begitu menginginkan virus buatanmu itu. Tidak akan kubiarkan kau membawa mati ladang uangku begitu saja, Rose," kat Elijah dengan sorot mata penuh ambisi yang justru tampak seperti psikopat di mata Rosetta.
"Dan tidak akan kubiarkan kau memiliki Ice Death. Kau akan menimbulkan perang antar negara karena virus ini. Kau mencuri data tidak hanya dari dalam pemerintahan untuk pemerintahan lainnya, kau juga mencuri data orang-orang, memanipulasinya, dan memeras mereka hingga menjual belikan manusia seperti binatang. Kau dan sindikat gilamu itu akan menghancurkan dunia dan kemanusiaan," Rosetta berkata dengan tatapan penuh jijik dan amarah kepada Elijah.
"Rose, kau masih sama naifnya seperti dulu. Di dunia ini uang berkuasa, dan yang berkuasa akan menang. Mereka akan dapat mengontrol apa pun termasuk orang-orang di bawah mereka. Bukankah itu terdengar hebat, dengan kuasa seperti itu sama saja kau seperti Tuhan. Dan kau ingin aku menyerah akan hal itu, tentu saja tidak, Rose. Ice Death adalah milikku dan selamanya akan menjadi milikku," kata Elijah yang kini menodongkan pistol ke hadapan Rosetta.
Rosetta tersenyum seraya melemparkan memory chip ke wajah pria itu dan berkata, "Kau kalah, Elijah. Ice Death telah dipegang oleh orang lain. Orang yang akan menghancurkanmu dan seluruh sindikatmu. Yang ada di tanganku hanyalah tiruan tidak berguna. Dengan kau yang mengejarku sekarang, artinya kau telah gagal mendapatkan Ice Death. Saat ini orang tersebut sedang menghancurkan semua jejak Ice Death dan juga membeberkan tentang sindikatmu ke FBI. Kau seharusnya mengejar 'Panther' bukan 'Rose', Bastard."
Mendengar hal itu, wajah Elijah memerah karena murka. "Dasar wanita sialan!"
Dengan cepat Rosetta memutar tubuh dan melayangkan tendangannya ke arah para pria di belakang gadis itu. Menjatuhkan mereka satu per satu untuk membuka jalan agar Rosetta dapat melarikan diri. Tugasnya telah selesai di sini, selebihnya tinggal sang 'Panther' yang membereskan masalah Ice Death. Rosetta harus berterima kasih dengan orang tersebut, karena mau menggunakan kekuasaan dan uangnya membantu Rosetta menyelesaikan masalah terakhirnya ini. Akhirnya Rosetta bisa kembali ke keluarganya. Ia tidak sabar untuk dapat bertemu ayah, ibu, kakak-kakaknya, serta bibi dan pamannya.
DOR!
Suara letusan senjata api menggema dalam gang kecil tersebut, membuat semua orang terdiam tidak terkecuali Rosetta.
Namun bersamaan dengan itu, suara sirine mobil polisi terdengar. Tidak hanya satu tapi beberapa. Itu adalah tanda bagi Rosetta kalau 'Panther' telah datang untuk meringkus semua yang ada di sini. Memberitahu sang gadis kalau perannya sebagai umpan telah selesai, begitu juga perjalanannya selama tujuh tahun.
Tapi gadis itu kini tersungkur jatuh di permukaan paving yang keras dan dingin ketika para pria termasuk Elijah berlarian dengan panik meninggalkan gang tersebut. Tahu kalau mereka akan dikepung dan ditangkap.
Rosetta kini tergeletak memandang langit malam, merasakan jarum-jarum hujan jatuh di wajah dan tubuhnya yang telah basah. Bau anyir beringsut masuk ke penciuman sang gadis, bersamaan dengan berubahnya genangan air di bawah tubuh gadis itu menjadi merah pekat.
"Mom? Dad? Aku ... merindukan kalian. Aku ingin ... bertemu kalian sekali saja. Lucas? Rod? Aku ... ingin pulang," ucap Rosetta dalam tangis gadis itu. "Maaf. Maafkan ... aku. Aku sungguh ... ingin pulang," imbuhnya yang nyaris tidak terdengar.
Rasa sakit menarik paksa Rosetta ke alam bawah sadar walau gadis itu tak mau. Biji besi dari pistol milik Elijah kini menancap dalam di organ vital gadis itu. Bahkan untuk bernapas saja tidak lagi bisa gadis itu lakukan.
Perlahan sinar hidup sang gadis menghilang, menyisakan warna pucat dalam wajah tirus yang kini mendingin di bawah tetesan hujan. Berbagai suara yang sekarang menggema tidak lagi terdengar oleh gadis itu, bahkan dekapan hangat seseorang dalam raungan penyesalan tak mampu sampai di dengar oleh sang gadis yang telah lelap dalam tidur abadi.
Telinga Rosetta mendengar sayup-sayup suara, hilang timbul seperti suara televisi yang dinyala dan matikan. Perlahan suara-suara yang sebelumnya terdengar seperti dengungan samar kini mulai jelas. Ada suara yang begitu ia rindukan tertangkap telinganya. Suara yang bahkan selama bertahun-tahun Rosetta ingin dengar walau hanya di dalam mimpi.
"Rose?"
Begitu nama gadis itu dipanggil dengan lembut, netra Rosetta terbuka, memerlihatkan kristal biru dari iris sang gadis. Beberapa kali mata itu tertutup kembali karena menangkap sinar yang terlalu pekat, kemudian kembali membuka untuk menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke dalam netra sang gadis.
"Babe?! Rose sudah sadar!"
"Benarkah? Oh, akhirnya kau membuka matamu juga, Little Princess."
Dua suara yang begitu Rosetta rindukan membuat gadis itu menjatuhkan air mata secara spontan begitu suara-suara itu tertangkap telinganya. Rasa rindu yang memuncak membuat Rosetta bersyukur dapat mendengar suara itu lagi, bahkan jika ini adalah ilusi yang dibuat oleh alam bawah sadarnya setelah kematian. Rosetta tidak masalah.
"Mom? Dad?" ucap Rosetta dengan suara parau di sela-sela tangisnya. Mencoba menggapai dua orang tersebut dengan tangan sang gadis, ingin sekali menyentuh mereka.
"Oh Rose, Mommy dan Daddy di sini. Kami tidak pergi kemana-mana," ucap sang ibu seraya memeluk putrinya dalam dekapan.
"Daddy di sini, Princess. Kau benar-benar membuatku takut karena tidak membuka matamu cukup lama," ucap sang ayah yang mengecup kening sang putri dalam dekapan ibunya.
Mendengar hal tersebut, Rosetta kembali menutup matanya seolah ia ditarik kembali ke alam tidur yang masih membuai. Jejak air mata terlihat jelas di wajah gadis itu, dimana Rosetta belum sadar dimana dirinya berada saat ini. Ia tahu kalau ini adalah mimpi yang selalu Rosetta inginkan setiap malam sebagai harapan kalau ia dapat kembali dalam dekapan orang tuanya. Setidaknya ia berpikir kalau kematian tidak seburuk yang Rosetta pikirkan.
Sang ibu terus mendekap Rosetta kecil dalam pelukannya, mengayunkan sedikit tubuhnya agar membuat lelap tidur sang putri tercinta semakin dalam. Menepuk-nepuk lembut punggung Rosetta dan mencium keningnya penuh afeksi sayang.
Gadis itu semakin nyenyak jatuh dalam tidur ketika sang ayah mengelus lembut kepalanya, memberikan rasa aman dan nyaman untuk Rosetta. Menenggelamkan sang gadis dalam mimpi yang diinginkannya.
Sampai mimpi indah yang Rosetta idam-idamkan itu tidak juga berakhir, membuat sang gadis kebingungan setengah mati ketika ia kembali membuka mata setelah lelap dalam tidur. Dimana ia mendapati dirinya mengecil. Tangan kurusnya berubah mungil. Suara soprannya berubah lebih tipis dan nyaring. Terlebih tubuh tinggi gadis itu kini kurang lebih hanya berkisar seratus sepuluh sentimeter saja.
"Hah?! A-apa yang terjadi?" ucapnya penuh kebingungan, terkejut ketika lagi-lagi mendengar suaranya. "Ini ... mimpi, kan?" imbuhnya.
Rosetta terdiam, berbaring di atas ranjang rumah sakit. Memberitahu kalau gadis itu menjadi pasien dalam ruangan rumah sakit yang terlihat lebih lawas dibandingkan yang ia ingat. Otaknya benar-benar tidak dapat memikirkan apa pun untuk sesaat. Ia yakin kalau dirinya telah meninggal di gang sempit Chicago yang basah dan dingin, lalu bagaimana ia bisa berbaring di rumah sakit tapi dalam bentuk dirinya yang kecil dan lemah.
Gadis itu bangkit duduk ketika mendengar suara pintu terbuka. Matanya melebar ketika ia mendapati ibunya, Lili Lorenzo berjalan ke arah Rosetta. Terlihat begitu muda dari terakhir kali ia ingat.
"Mom?" panggil Rosetta untuk mengonfirmasi.
"Yes, Sweetheart?" jawab Lili. "Maaf, Mommy harus bicara dengan dokter tentang keadaanmu tadi. Bagaimana keadaanmu?"
Rosetta terus menatap ibunya seperti orang bodoh. Ia memegang wajah sang ibu dan terkejut kalau terasa hangat di telapak tangan gadis itu. Memberitahu dengan pasti kalau ini semua nyata.
"Ada apa? Apa ada yang sakit?" tanya Lili lembut.
"Mom? Sekarang berapa usiaku?" tanya Rosetta, hal pertama yang harus ia cari tahu.
"Kau tujuh tahun. Baru dua bulan lalu kau ulang tahun. Apa ada yang tidak beres dengan ingatanmu?" Lili tampak khawatir sekarang.
"Tidak. Aku baik-baik saja," ucap Rosetta pelan.
Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah aku kembali ke masa lalu? Tapi ini terlalu nyata untuk dibilang mimpi. Jika aku tujuh tahun sekarang, artinya aku kembali dua puluh tahun setelah semua kekacauan yang kubuat. Apa Tuhan memberikanku kesempatan kedua untuk memperbaiki semua kesalahanku? Tuhan mengabulkan doaku untuk dapat melihat keluargaku lagi? pikir Rosetta dengan segala kemungkinan yang ia hadapi sekarang.
Pintu ruangan kembali terbuka, menampakkan satu demi satu orang-orang yang amat Rosetta kenal dan ingin temui. Namun semua wajah itu terlihat begitu muda, sehingga Rosetta yakin kalau ia tidak bermimpi. Semua ini nyata, ia kembali ke masa lalu. Tuhan memberikannya kesempatan kedua agar Rosetta dapat kembali bersama keluarganya.
"Rose?!"
Rosetta tersenyum saat ia melihat bagian dirinya yang lain kini berlari kecil ke arah sang gadis. Kembaran Rosetta, Roderick Lorenzo, memberikan senyum lembut yang sempat menghilang dalam ingatan Rosetta ketika kakek mereka meninggal.
"Rod?!" Dengan antuasias Rosetta memeluk kembarannya itu ketika Roderick memanjat naik ke atas tempat tidur dengan bantuan Lili.
"Aku tidak diberi pelukan juga?" tanya Lucas yang berdiri di samping tempat tidur, tersenyum indah ketika melihat kedua adiknya.
"Lucas?!" Rosetta merentangkan kedua tangannya untuk memeluk sang kakak. Ia benar-benar terlihat bahagia hingga lupa akan usia sesungguhnya saat melihat anggota keluarganya satu per satu seperti ini.
"Jangan sakit lagi. Kau benar-benar membuatku khawatir, Rose," ucap Lucas membalas pelukan sang adik. Lega karena akhirnya Rosetta bangun juga dari tidur panjangnya akibat demam tinggi selama berhari-hari.
"Bumblebee?"
Ah, panggilan itu. Rasanya lama sekali setelah terakhir kali ada yang memanggil Rosetta dengan panggilan itu, panggilan yang bahkan menjadi code name gadis itu di dunia cyber.
"Arthur?!" Lagi-lagi Rosetta antusias ketika melihat kakak sepupunya.
"Apa yang kukatakan untuk tidak hujan-hujanan kemarin, huh? Kalau kau tidak mendengarkanku lagi nanti, akan kuikat kau di tiang," kata Arthur seraya memegang kepala Rosetta dengan gemas. Pria ini berusia tujuh belas tahun dengan tinggi tubuh yang telah mencapai seratus tujuh puluh sembilan sentimeter, membuatnya benar-benar seperti model idaman para perempuan.
"Jahatnya," protes Rosetta.
Namun Arthur justru mengelus kepala adiknya itu, senang karena akhirnya dapat melihat Rosetta dengan segala keceriaannya setelah hampir tiga hari tidak sadarkan diri.
"Kemana yang lain?" tanya Rosetta ketika ia tidak melihat Arabella dan Aretha yang merupakan sepupu perempuannya, adik-adik dari Arthur. Bianca dan Dante pun belum terlihat selaku paman dan bibi Rosetta, padahal ia begitu ingin melihat mereka semua.
"Mom sedang menjemput Arabella dari studio bersama Aretha, mereka akan ke sini nanti," jawab Arthur.
Rosetta melihat ke arah pintu, berharap kalau ada satu orang lagi yang akan datang.
"Mencari siapa?" tanya Lucas saat mendapati sang adik menunggu seseorang datang.
"Daddy kemana?" tanya Rosetta.
"Ah, ayahmu sedang ada urusan di kantor. Dia ada pertemuan dengan seseorang yang penting hari ini. Tenang saja begitu ayahmu selesai dia akan segera ke sini," jawab Lili.
"Pertemuan dengan siapa?" tanya Rosetta.
"Teman ayahmu. Dia pernah main ke rumah tahun lalu. Paman Jammy, ingat?" jawab Lili.
Jammy? pikir Rosetta. Mencoba mengingat sang empunya nama tersebut, dikarenakan ingatan Rosetta sekarang tumpang tindih dengan ingatan gadis itu dua puluh tahun kemudian.
"Paman James Blackwood. Bukankah kau main dengan anak Paman James juga tahun kemarin, siapa namanya, ya," Lili mencoba mengingat nama anak dari kenalan suaminya itu.
"Elijah," sebut Rosetta dengan wajah memucat.
"Ah, benar. Elijah. Kau masih mengingatnya, pintar sekali," puji Lili.
Tentu saja Rosetta mengingatnya, bagaimana mungkin ia lupa. Rasanya baru beberapa jam lalu ia melihat wajah pria yang menghancurkan hidupnya sampai gadis itu menemui ajal di tangan pria tersebut. Tapi Rosetta tidak mengingat kalau ia telah mengenal Elijah sejak kecil seperti ini. Ia pikir kalau pertemuan pertamanya adalah ketika ia masuk ke sekolah menengah atas.
Padahal Rosetta baru saja merasa bahagia karena diberi kesempatan kedua oleh Tuhan kembali ke keluarganya. Tapi kenapa justru nama yang tidak ingin ia dengar, mengikuti kemana pun gadis itu berada.
Apa yang harus Rosetta lakukan sekarang? Ia tidak ingin kekacauan dalam ingatannya di masa depan kembali terulang. Tidak. Ia tidak ingin itu terjadi. Rosetta tidak ingin lagi terpisah dari keluarga yang dicintainya ini. Ia ... harus melakukan sesuatu, tapi apa?
Semua orang di ruangan saat ini menatap bingung gadis kecil yang menangis dengan kencang di atas tempat tidur. Mereka tidak tahu harus melakukan apa untuk menenangkan gadis kecil tersebut.
"Daddy?! I wanna Daddy?!" seru Rosetta dalam tangis kencangnya.
"Rose, Daddy sedang bekerja. Nanti kalau sudah selesai Daddy akan datang," bujuk Rode dengan nada lembut, duduk di depan sang adik seraya berusaha menenangkan adiknya tersebut.
"Tidak mau, Rose mau Daddy sekarang! Rose mau bertemu Daddy!" serunya lagi tanpa menghentikan tangisnya.
Lili sendiri bingung bagaimana cara menenangkan anak bungsunya ini, tidak pernah ia melihat Rosetta tantrum seperti ini walau gadis kecilnya tidak pernah diam.
"Mom, bagaimana kalau menelepon Dad dan memintanya ke sini sekarang. Aku takut kalau Rose menangis lebih lama dia akan kembali sakit, padahal dia baru saja sembuh," saran Lucas yang tidak tega melihat adik kecilnya menangis sesenggukan minta agar bertemu ayahnya.
Melihat putrinya bertingkah rewel tidak seperti biasanya, membuat Lili mengikuti ucapan dari Lucas. Ia sendiri tidak mengerti kenapa tiba-tia Rosetta menjadi tantrum seperti ini. Apakah mungkin karena efek dari gadis kecil itu sakit sehingga membuatnya bertingkah manja?
"Tolong jaga adik kalian sebentar, ya," pint Lili kepada anak-anaknya, lalu bicara dengan Arthur. "Aku telepon pamanmu dulu sebentar."
"Biar mereka aku yang jaga," kata Arthur.
Lili keluar dari ruangan dan menelepon suaminya. Walau sebenarnya tidak ingin mengganggu, tapi melihat keadaan Rosetta yang terus menangis membuat Lili mau tidak mau memberitahu Rion.
"Ada apa, Love?" tanya Rion dari seberang telepon.
"Apa kau sedang sibuk saat ini?" tanya Lili.
"Aku sedang bicara dengan James dan beberapa klien yang dibawa olehnya. Memang ada apa?" tanya Rion lembut, tidak ingin terdengar kalau ia merasa terganggu karena sang istri menelepon.
"Apa kau bisa ke rumah sakit sekarang? Rosetta sejak tadi menangis tidak berhenti ingin bertemu denganmu," beritahu Lili.
"Apa dia sakit lagi?" tanya Rion yang langsung terdengar khawatir.
"Aku tidak yakin. Tadi dia baik-baik saja, lalu tiba-tiba menanyakanmu. Saat diberitahu kalau kau sedang bekerja, dia justru menangis sampai sekarang dan merengek ingin bertemu denganmu," jawab Lili.
"Aku akan segera ke rumah sakit. Mungkin dia rewel karena efek dari sakit parah kemarin," kata Rion.
"Oke. Aku akan menunggumu," ucap Lili sebelum ia mengakhiri panggilan.
Lili kembali masuk ke dalam ruangan, melihat Arthur, Lucas, dan Roderick berusaha menenangkan Rosetta yang masih menangis.
"Daddy," ucap Rosetta yang entah sudah berapa banyak memanggil sang ayah.
"Sayang, Daddy akan datang sebentar lagi. Daddy sudah dalam perjalanan, jadi jangan menangis lagi, ya. Kau bisa kembali demam nanti. Lihatlah matamu sudah bengkak seperti itu," kata Lili seraya mengangkat anak gadisnya tersebut dan menggendongnya. Ia mengelus punggung gadis itu agar Rosetta berhenti menangis.
"Daddy sungguh sedang ke sini?" tanya Rosetta dalam sisa-sisa tangisnya.
"Benar. Jadi jangan menangis lagi. Lihat, kau membuat kakak-kakakmu khawatir karena menangis terlalu lama seperti itu," beritahu Lili seraya mengarahkan pandangan Rosetta ke Arthur, Lucas, dan Roderick yang menatap Rosetta cemas.
Arthur berjalan mendekati Lili seraya membuka bungkus permen, lalu menyuapkan perman tersebut ke mulut Rosetta dan berkata, "Makanlah, ini akan membuatmu lebih baik."
Rosetta menerima permen pemberian Arthur, menikmati bola manis kecil itu dalam mulutnya. Ia sebenarnya merasa sedikit bersalah karena bersikap menyebalkan dan keras kepala seperti tadi. Tapi tidak ada cara yang dapat ia pikirkan untuk saat ini selain tantrum seperti anak bermasalah agar ayahnya tidak melakukan pertemuan dengan para pihak Blackwood. Karena ancaman terbesar hilangnya kuasa Lorenzo adalah berawal dari kerjasama yang dijalin bersama orang-orang itu.
Lili menatap anak gadisnya yang mulai tenang. Terus mengelus punggung gadis kecil itu ketika mendapati Rosetta menyandarkan tubuh sepenuhnya sang gadis ke Lili. Mungkin benar kalau sikap putrinya hari ini yang tidak biasa adalah karena efek dari demam tinggi kemarin. Bukankah anak kecil selalu bersikap manja dan rewel ketika mereka sakit.
"Rose, baik-baik saja?" tanya Roderick yang sejak tadi masih menatap adik kembarnya penuh kekhawatiran.
Mendengar anak satunya tersebut, Lili langsung duduk di pinggiran tempat tidur untuk menunjukkan Rosetta ke arah Roderick. Ia paham kalau bagaimana pun Rosetta dan Roderick adalah anak kembar, yang mana kalau satu merasa tidak baik-baik saja, maka yang satunya pun bisa merasakannya.
"Kau sakit lagi?" Roderick berdiri dengan lututnya di atas tempat tidur, beringsut mendekati sang ibu untuk melihat adiknya. Bocah kecil itu menyentuh dahi Rosetta, ingin merasakan apakah tubuh adiknya itu panas seperti beberapa hari lalu.
"Rose, sakit lagi?" Lucas pun menggeser dirinya untuk melihat adik perempuannya itu. Mendengar kalau kemungkinan adiknya kembali sakit, ia benar-benar tidak senang.
"Daddy," ucap Rosetta yang sebenarnya tidak sabar untuk melihat ayahnya. Karena jika benar ayahnya datang ke rumah sakit ini, artinya pertemuannya dengan pria Blackwood dan juga antek-anteknya tersebut tidak jadi.
"Ayahmu akan segera datang, Bumblebee. Kenapa kau sangat ingin bertemu dengan ayahmu tiba-tiba?" tanya Arthur seraya mengelus kepala Rosetta.
"Aku mimpi kemarin kalau Daddy bersama orang jahat. Dia pura-pura baik sama Daddy dan Mommy, padahal dia jahat," jawab Rosetta, berusaha terdengar seperti jawaban anak-anak pada umumnya.
"Rose, ayahmu orang yang tidak akan mudah dijahati oleh orang. Ayahmu itu hebat dan luar biasa, jadi kau tidak perlu khawatir," kata Arthur, terdengar ada nada kagum dalam setiap ucapannya terhadap sosok Rion yang memang sudah menjadi panutan untuk remaja satu ini, terutama setelah ia melihat bagaimana ayah Rosetta dan Dante yang merupakan ayah Arthur itu menyelamatkan mereka dulu.
"Tapi orang jahat ini tidak terlihat jahat. Dia pintar pura-pura, tahu-tahu mengambil semua uang Daddy dan Mommy," kata Rosetta, tidak berbohong karena itu adalah hal yang paling melekat dalam ingatan Rosetta ketika dewasa.
"Mommy akan beritahu Daddy nanti tentang mimpimu. Daddy pasti akan mengusir orang jahat itu. Memang seperti apa orang jahat di mimpi Rose?" Lili berusaha untuk mengikuti alur pembicaraan sang anak.
"Pirang bermata biru," kata Rosetta, ingat dengan jelas paras ayah dan anak yang menghancurkan hidup Rosetta dan keluarganya.
"Aku dong," ucap Arthur.
Rosetta melihat ke arah Arthur ketika mendengar hal itu. Lupa kalau kakak sepupunya ini juga memiliki rambut pirang dan mata biru yang menarik perhatian.
"Kalau orang jahat di mimpiku seperti pangeran. Kalau Arthur itu seperti singa tua jelek," ucap Rosetta meledek sang kakak.
Arthur tersenyum penuh arti mendengar ucapan dari Rosetta dan berkata, "Aunty, boleh aku telan putrimu?"
"Silahkan," sahut Lili yang justru langsung memberikan Rosetta kepada Arthur dengan senyum senang.
"Mommy, kau pengkhianat!" seru Rosetta, protes karena ibunya memberikan dirinya begitu saja dengan mudah kepada Arthur. "Kenapa kau memberikanku kepada singa tua jelek ini!"
Arthur menggendong Rosetta dengan senyum tak biasanya.
"Berhenti tersenyum seperti itu. Kau lebih mengerikan dibandingkan badut. Terima saja kalau kau memang mirip dengan singa tua dibandingkan pangeran," celetuk Rosetta.
"Arthur, bagaimana kalau kau mengunyahnya dulu sebelum menelannya," ucap Lucas dengan senyum lembut.
"Ah, benar juga. Selamat makan," ucap Arthur seraya membuka mulut seolah ingin menelan Rosetta.
"Agh! Menjauh dariku!" seru Rosetta seraya menahan wajah Arthur agar tidak mendekat.
Yang lain tertawa melihat tingkah Arthur dan Rosetta yang memang sejak kecil selalu seperti kucing dan anjing. Tapi herannya jika salah satu dari mereka tidak saling melihat, mereka selalu saling mencari satu sama lain.
"Rose?"
Suara familiar terdengar bersamaan dengan pintu ruangan yang terbuka. Sosok Rion muncul dari balik pintu dan masuk ke dalam ruangan dengan wajah khawatir setelah mendengar kabar tentang putrinya.
"Daddy?!" panggil Rosetta antusias. Senang karena ayahnya sungguh datang, yang artinya tidak ada pertemuan terjadi antara sang ayah dengan orang-orang brengsek itu.
Rion yang melihat sang putri langsung menghampirinya, mengambil Rosetta yang diserahkan oleh Arthur dan menggendong gadis kecil kesayangannya itu dalam dekapannya.
"Daddy." Rosetta memeluk sang ayah erat. Bergelayut manja dalam gendongan Rion, tidak menyangka kalau ayahnya benar-benar akan langsung datang begitu tahu kalau Rosetta begitu ingin bertemu dengannya.
"Daddy dengar tadi kau menangis dan terus mencari Daddy. Ada apa? Kenapa putri kesayanganku ini kenapa sampai menangis lama?" tanya Rion, walau ia bisa melihat kalau mata gadis kecilnya ini masih tampak bengkak karena bekas menangis.
"Rose kangen Daddy. Rose ingin bersama Daddy," jawab Rosetta jujur walau itu menjadi bagian dari rencananya untuk menghentikan pertemuan dengan biang kehancuran keluarga sang gadis ke depannya.
"Daddy juga kangen denganmu," ucap Rion yang memeluk lebih erat putrinya.
"Rion? Apa putrimu baik-baik saja?" Suara asing terdengar dari arah pintu, membuat semua orang melihat ke arah yang sama.
Netra biru Rosetta melebar ketika ia melihat sosok tak asing untuknya. Sosok yang tidak akan ia lupakan walau gadis itu tidur sekali pun.
"Oh, James, masuklah. Putriku baik-baik saja, sepertinya haya rewel karena sedang sakit," ucap Rion ramah.
Dan saat itulah amarah terlihat jelas ketika Rosetta dapat melihat satu lagi sosok kecil di samping pria bernama James ini. Sosok yang ingin sekali ia cabik tubuhnya setelah apa yang sosok itu perbuat, atau mungkin jika sekarang 'apa yang akan sosok itu lakukan nanti'.
"Elijah, masuklah. Mereka semua ada di sini. Sapa dengan baik mereka," ucap James seraya mengarahkan bocah pirang dengan eskpresi sok lugu.
Ah, ingin sekali Rosetta menghancurkan wajah bocah berambut pirang itu sekarang. Kebencian Rosetta terhadap Elijah terlalu besar, tidak peduli jika pria itu masih bocah. Karena tetap saja bocah itu akan menjadi setan di masa depan, terutama dengan orang tua yang sama brengseknya.
Mendekati saudara-saudara Rosetta? Tidak akan gadis itu biarkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!