NovelToon NovelToon

Cerita Kita

Pertama

Dara Atmaja, atau Dara. Begitu ia akrab disapa, memiliki wajah bulat yang manis, dihiasi pipi berisi dan hidung sedikit mancung. Sepasang mata almond yang indah, berpadu sempurna dengan kulit putihnya yang lembut, jauh dari kesan pucat seperti salju. Rambut pendekatan yang hitam legam menambah kecantikan Dara yang memang tak terbantahkan, namun terkadang terhalang oleh satu hal, yaitu tinggi badannya yang hanya sekitar 150 cm, jauh di atas rata-rata teman-temannya.

Usia Dara terbilang masih remaja dan dia juga masih duduk dibangku sekolah menengah, dia baru saja memasuki kelas dua belas. Dara bukan siswi yang terkenal di sekolahnya dan juga bukan seorang jenius dalam bidang akademik maupun non akademik. Ia gadis biasa, namun dengan kepribadian yang unik dan cenderung nyeleneh. Tingkahnya yang seringkali absurd, justru menjadi daya tarik tersendiri, menarik banyak teman dan menciptakan lingkaran pertemanan yang hangat.

Dara lahir di keluarga yang berada. Orang tuanya, para pebisnis sukses dengan perusahaan yang tersebar luas di dalam dan luar negeri. Mereka telah menyediakan segala kemewahan untuk Dara. Namun, di balik gemerlap kekayaan itu, Dara merasakan kesunyian. Sebagai anak tunggal, ia seringkali merasa kesepian di rumah besarnya, ditinggal orang tuanya yang sibuk dengan urusan bisnis. Kemewahan materi tak mampu menggantikan kehangatan keluarga yang utuh.

"Ahh, ternyata masih pagi," mulutnya menguap lebar dengan kedua matanya yang sudah terbuka, tubuhnya mengeliat sambil melihat ke arah jam dinding.

Suasana pagi, di hari libur membuat badan Dara sangat ingin bermalas-malasan seperti manusia pada umumnya.

Namun kali ini sangat berbeda, ia saat ini tidak bisa bermalas-malasan dikarenakan kedua sahabatnya sedang menginap dirumahnya dan mereka sudah membuat rencana untuk lari pagi.

Sudah menjadi tradisi memang mereka menginap di rumah Dara dan Dara lah yang meminta kedua sahabatnya menginap setiap kali hari libur agar dirinya merasa tidak kesepian.

Dara bangun dengan posisi duduk, kedua tangannya menepuk sambil membangunkan sahabatnya, "Woy bangun! Katanya mau lari pagi," ucap Dara membangunkan kedua temannya yang berada di samping kanan dan kirinya.

Mereka masih lelap dalam tidurnya, suara Dara rupanya tidak bisa membangunkan mereka dari tidur panjangnya yang membuat Dara setengah kesal melihat kedua temannya yang katanya ingin lari pagi namun nyatanya mereka sangat sulit untuk dibangunkan.

Muka bantalnya yang terlihat memerah menandakan dia sangat kesal. "Bangun woy! Mau lari pagi ngak sih kalian! Keburu badan gue males ini!"

Suara Dara yang sangat keras serta kedua tanganya yang terus menerus membangunkan mereka sehingga membuat keduanya sangat terusik dalam tidur panjangnya.

Tubuhnya terlihat mengeliat dan mulutnya menguap lebar. "Iya Ra gue udah bangun ini," ucap teman satunya yang di sebelah kiri dengan mata sayunya yang bernama Dela Alexandra biasa disebut Dela.

Sedangkan di sebelah kanan terdapat satu makhluk yang masih setengah sadar. "Gue mau cuci muka dulu, lo bangunin tuh bocah satu yang kaya kebo!" Dara bergegas turun dari tempat tidur menuju ke arah kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.

Kedua tangan Dela membangunkan Sella yang masih saja terlihat malas untuk membuka matanya. "Sell, bangun dong jangan males kita mau lari pagi," namanya Sella Abimana yang biasa dipanggil Sella.

Sella tetap saja menutup matanya tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan bangun membuat Dela kesal dan pada akhirnya dia memutuskan untuk bangun dari tempat tidurnya.

"Terserah lo Sell mau bangun atau enggak! Gue mau lari pagi sambil cari pentol dan gue ngak mau berbagi sama lo!" ucap Dela sedikit berteriak sambil beranjak pergi ke arah kamar mandi.

Mendengar kata makanan yang keluar dari mulut Dela membuat Sella membelalakkan matanya dan terbangun dari tidurnya. "Iya gue bangun!" teriak Sella masih setengah sadar dan bergegas menyusul kedua temanya yang sudah berada di kamar mandi dengan tubuhnya yang terlihat masih sempoyongan.

Beberapa menit kemudian ketiganya sudah keluar dari komplek perumahan menuju ke arah taman yang tidak jauh dari rumah Dara tersebut.

Kedua teman Dara berada di samping kanan dan kirinya karena tubuh mereka yang terlihat sangat tinggi sedangkan Dara seperti adik bagi mereka.

Dela dan Sella keduanya teman baik bagi Dara, mereka sudah bersama sejak pertama kali masuk sekolah menengah. Tampang keduanya pun tidka bisa diragukan lagi, mereka terbilang cantik. Namun kecantikan mereka itu digambarkan dengan wajah yang tegas sedangkan Dara wajahnya terbilang manis sendiri diantara keduanya.

"Eh, kita kan satu kelas lagi nih tempat duduknya juga pastinya beda dong, gue mau sama lo ya Ra gue bosen sama Sella terus," celetuk Dela sambil berjalan kecil.

Menggelengkan kepalanya tanda tak mau. "Ngak mau," jawab Dara dengan singkat sambil memandang ke arah depan jalan.

Wajah Dela berubah masam, sebenarnya ada apa dengan Dara yang tidak mau ditemani duduk satu bangku di kelasnya. "Emangnya lo ngak bosen duduk sendirian terus?"

Dara tersenyum tipis menatap ke arah Dela. "Ngak Del, gue lebih suka sendirian," ucapnya pada Dela.

"Aneh banget tau," ucap Dela melihat tingkah aneh Dara yang tidak mau ditemani.

"Ya udah sih Del lagian mau gimanapun Dara tetap Dara yang menikmati kesendiriannya di rumah maupun di sekolah, lagian ya gue juga sebenarnya bosen sama lo tapi mau gimana lagi gue ngak cocok kalo duduk sama orang lain," sela Sella menatap Dela dengan tampang sedikit mengejek.

Dela berdecih memalingkan wajahnya dari Sella yang menurutnya terlihat menyebalkan. Mereka terus saja berceloteh ria sambil berlari kecil.

Dara melihat kedua temannya hanya bisa tersenyum tipis melihat tingkah mereka yang sudah biasa seperti itu.

Memang dari pertama masuk sekolah menengah Dara tidak mau duduk bersama dengan siswa lain di kelasnya, dia pun tidak pernah mengizinkan siapapun untuk menemani duduk satu bangku dengannya selalu saja memilih duduk sendirian.

Di sepanjang jalan menuju taman terlihat beberapa pedagang di pinggir jalan, terlihat Sella tidak mampu menahan rasa lapar di dalam perutnya.

Kakinya pun berlari melangkah ke arah para pedagang tersebut, namun langkah kakinya terhenti Ketika lengannya ditarik oleh Dela yang membuat Sella seketika menoleh ke arah belakang merasa heran.

"Apaan sih Del, main nahan tangan orang!" ucap Sella dengan wajah kesalnya.

Terlihat wajah Dela yang juga tak kalah kesalnya. "Ini baru setengah lari lo mau jajan! Bukanya sehat malah nambah gendut lo!" ucap Dela yang terdengar sarkas.

Kedua tangan Sella memegangi perutnya, menagan rasa lapar. "Gue laper Del, gue ngak tahan kalo lihat makanan," racaunya, dengan suara yang memelas. Bau wangi jajanan dari pedagang kaki lima di pinggir jalan semakin menambah derita perutnya yang keroncongan.

"Ngak! Sekarang waktunya olahraga ditahan dulu lapernya nanti juga di taman banyak yang jualan, jadi lari dulu biar tubuh lo makin seksi lo mau kalo Dimas berpaling dari lo karena tubuh lo nanti makin lebar mikirin makanan mulu!" Suara Dela terdengar keras, namun di balik itu, Sella menangkap sedikit kekhawatiran. Dela tahu betul betapa Sella sangat mengagumi Dimas, dan betapa pentingnya penampilan bagi Sella.

Mereka berlari, langkah Sella terasa berat. Bayangan es campur durian dan martabak manis berseliweran di kepalanya, menandingi rasa lelah yang mulai menguasai tubuhnya. Dela di sampingnya terus bersemangat, sesekali melemparkan lelucon untuk mengalihkan perhatian Sella dari rasa laparnya.

Sementara Dara melihat interaksi keduanya dari kejauhan sambil berlari kecil, memang teman yang satunya itu tidak bisa melihat makanan yang sangat menggugah selera.

Tak terasa mereka sudah sampai di taman, terlihat taman tersebut sudah ramai pengunjung. Taman yang luas dengan banyaknya pepohonan membuat suasana di taman tersebut terasa sangat sejuk. Di bawah pohon rimbun juga disediakan tempat duduk.

"Del, gue mau beli minum dulu lo mau minum apa?" tanya Dara, napasnya sedikit tersengal-sengal karena kelelahan setelah berlari kecil tadi. Ia melirik ke arah Dela yang tampak lebih tenang, sudah mulai melepaskan jaketnya.

"Ngak, gue aja yang beli takutnya kalo lo yang beli nanti ilang ngak keliatan," ucap Dela dengan sedikit ejekan, tahu sendiri kan di taman itu ramai banyak orang sedangkan tubuh Dara bisa dibilang pendek membuat Dela tak tega melihatnya.

Tangan Dara memukul pelan lengan Dela, wajahnya pun terlihat kesal. Memang sih tubuhnya pasti kalau dikerumunan ngak bakal kelihatan. "Sembarangan aja lo kalo ngomong,"

Tiba-tiba, Sella memegangi perutnya, wajahnya pucat pasi. "Del gue ikut ya mau beli makanan udah laper banget," ucapnya dengan suara lemah, langkah kakinya tampak berat. Kelelahan setelah berolahraga dan aroma makanan yang menggoda membuat perutnya benar-benar berontak.

"Ya udah lo berdua pergi, gue tunggu di bawah pohon itu ya," ucap Dara, tangannya menunjuk sebuah pohon besar yang memiliki akar-akar yang menjulur ke tanah, daun-daunnya yang lebat membuat suasana yang tenang dan nyaman.

Mereka berdua berjalan menuju kios-kios pedagang kaki lima yang berjejer rapi di tepi jalan. Sementara itu, Dara berjalan menuju pohon pilihannya. Ia merebahkan tubuhnya dengan nyaman di atas rumput yang lembut, mengulurkan kaki yang terasa pegal setelah berlari-lari kecil. Hangatnya sinar matahari pagi yang menembus dedaunan, membuatnya merasa rileks dan tenang. Ia memejamkan mata sejenak, menikmati kesejukan dan kedamaian taman yang ramai namun tetap menenangkan.

Begitu asyiknya Dara menikmati suasana, ia sama sekali tidak menyadari kehadiran seseorang yang kini duduk di sampingnya. Hanya ketika ia membuka mata, dan melihat sepasang sepatu kets berwarna putih di dekatnya, barulah ia tersentak. Detak jantungnya sedikit berdegup lebih cepat. Ia belum mengenal orang ini. Siapa gerangan yang duduk diam-diam di sampingnya? Rasa penasaran dan sedikit rasa was-was bercampur aduk dalam hatinya.

Siapa?

Kerutan di dahi Dara semakin dalam, membentuk lekukan tajam yang menggambarkan kebingungan dan keterkejutannya. Sosok asing di hadapannya, seorang lelaki yang sama sekali tak dikenalnya, rasa bingung bercampur heran menjadi satu melihat seseorang yang sangat asing baginya.

Namun, di tengah rasa bingung dan was-was itu, Dara tak bisa memungkiri daya tarik fisik lelaki tersebut. Wajahnya, yang bisa dibilang tampan, memiliki fitur yang menarik perhatian. Mata bulat yang berbinar, hidung mancung yang sempurna, dan bibir atas yang lebih penuh dibandingkan bibir bawah menciptakan kesan sensual yang tak terbantahkan.

Bentuk bibirnya yang unik itu, justru menambah daya pikat wajahnya. Ditambah lagi dengan potongan rambut comma hair yang stylish, keseluruhan penampilannya menciptakan kesan menarik yang tak terduga. Kontras antara ketampanannya yang memikat dan rasa asing yang ditimbulkannya, justru semakin memperkuat penasarannya yang menyelimuti pertemuan tak terduga ini.

Segera ia bangun dari tidurnya dan memposisikan badanya sedikit menjauh dari orang asing itu. "Siapa lo," tanya Dara pada orang tersebut dengan suara yang terdengar tajam.

Lelaki itu tampak tenang, jari-jari tangan yang terlihat kekar masih setia membolak-balik halaman buku yang sedang dipegangnya. Tatapannya terpaku pada baris-baris kata, seakan dunia di sekitarnya lenyap ditelan kedalaman bacaannya. Hanya deheman pelan Dara yang mampu menarik perhatiannya.

Perlahan, lelaki itu menoleh, menutup buku dengan gerakan hati-hati. Pandangannya jatuh pada Dara yang kini tampak lebih waspada, menciptakan jarak di antara mereka. "Oh kamu sudah bangun," sahut lelaki itu, suaranya sedikit lembut, namun terdengar sedikit dingin.

Dara memutar bola matanya malas melihat sosok lelaki asing itu, dengan sikapnya yang tampak acuh dan menyebalkan, menimbulkan rasa tidak suka yang semakin membesar dalam hatinya. "Ya menurut lo," balasan Dara terdengar sinis, mengandung pertanyaan tentang maksud lelaki itu mendekatinya, mengapa dia? Pertanyaan itu berputar-putar dalam benaknya, menimbulkan rasa waspada yang semakin kuat.

Rasa curiga dalam benak Dara kian membuncah mengingat taman ini sangat luas dan entah kenapa lelaki itu mendekati dirinya ketika ia sedang mengistirahatkan badanya yang sudah lelah akibat berlari kecil tadi.

"Aku kira kamu tadi pingsan, makanya aku samperin kamu," ucap lelaki itu seraya tersenyum tipis.

Dalam benak Dara, sedikit merasakan tidak nyaman mendengar panggilan yang terdengar kaku, berbeda dari percakapan sehari-hari yang biasa ia dengar, menimbulkan rasa ketidaknyamanan.

"Eh Sell, itu Dara lagi sama siapa? Kaya akrab banget deh," ucap Dela dari jauh melihat interaksi antara Dara dengan seseorang yang tak dikenalnya.

Mereka baru saja selesai membeli makanan yang ada di pinggir jalan taman itu dan hendak menghampiri ke arah Dara, namun mereka melihat Dara yang tengah berbincang dengan seseorang yang entah itu siapa.

"Ngak tahu Del, baru pernah liat, ayok kesana perut gue udah laper mau makan," ajak Sella yang memang sedari tadi merasakan lapar dan menunjukkan rasa penasarannya sekaligus keinginan kuat untuk segera mengisi perutnya yang keroncongan.

Aroma makanan yang baru saja mereka beli, semakin menguatkan hasratnya untuk segera melahapnya. Lapar, bagi Sella saat ini, adalah prioritas utama yang tak dapat ditawar. Rasa penasarannya terhadap sosok lelaki asing itu, walaupun ada, terkesan tergeser oleh desakan perutnya yang semakin tak tertahankan.

Seketika Dela merasa kesal, ia tak bisa menahan emosinya. Dengan spontan, Dela mencubit lengan Sella, menimbulkan ringisan kesakitan dari Sella.

"Makanan mulu yang lo pikirin," sergah Dela, suaranya terdengar tajam. Tanpa menunggu jawaban Sella, Dela langsung melangkah cepat menuju Dara, rasa penasarannya terhadap orang asing itu mendorong langkah kakinya semakin cepat. Keinginan untuk mengetahui siapa lelaki itu dan apa hubungannya dengan Dara, mengalahkan semua hal lain, termasuk kesalnya terhadap Sella.

Bagaimana tidak penasaran kala Dara begitu akrab dengan orang asing, pasalnya Dara tidak mudah akrab dengan orang asing dan Dara juga mempunyai batasan tertentu dengan orang yang baru saja dikenalnya.

Memang benar, Dara tipe orang yang tidak sombong ataupun jutek, tapi itu berlaku pada orang yang tidak bersikap sok akrab dengannya atau orang yang terlihat tidak menyebalkan di mata Dara.

Sella, dengan meringis menahan sakit di lengannya, menarik napas panjang. Ia kemudian menyusul Dela. Aroma makanan itu, meskipun masih menggoda, kini sedikit terlupakan oleh rasa penasaran yang mulai tumbuh dalam dirinya. Peristiwa yang baru saja terjadi, telah sedikit mengubah prioritasnya. Lapar masih ada, namun rasa penasaran mulai menyamai, bahkan mungkin melampaui.

"Ra, makanan lo," ucap Dela, memberikan pesanan Dara berupa minuman kemasan serta roti strawberry kesukaan Dara.

Kedatangan kedua temannya seakan menjadi sebuah penyelamat bagi Dara yang tengah dilanda kebingungan dan ketidaknyamanan.

"Makasih Del," ucap Dara dengan senyum singkatnya.

Dela menganggukan kepalanya dan memilih duduk di samping Dara. Kini pandangannya tertuju pada lelaki di samping Dara yang terlihat sangat asing. Ia mengamati lelaki itu dari ujung rambut hingga kaki, penampilan yang menarik dengan wajah yang tidak bisa dibilang biasa saja.

"Lo kenapa sih Del, ninggalin gue!" ucap Sella yang terlihat kesal sambil menghentakkan kakinya.

"Lo lelet," jawab Dela dengan singkat tanpa mau memperjelas kembali.

"Siapa tuh Ra?" Dela mencoba bertanya dengan suara lirihnya sambil menyenggol siku Dara.

Dara hanya mengangkat bahunya acuh sambil meminum air kemasan dan memakan roti yang tadi ia pesan.

Sementara lelaki asing itu menatap kedua perempuan yang tiba-tiba muncul dengan pandangan heran, seakan tak mengerti maksud kedatangan mereka.

"Hai ganteng," sapa Sella dengan nada genitnya, sambil mencolek lengan lelaki itu.

Dela dan Dara hanya saling bertukar pandang, sebuah tatapan geli terukir di wajah mereka menyaksikan kelakuan Sella yang tanpa beban dan terkesan urat malunya putus.

Lelaki itu hanya tersenyum tipis, sebuah senyum yang lebih mencerminkan rasa canggung daripada keramahan. Ia memilih bangkit dari duduknya. "Oh ya, aku cabut dulu maaf buat kalau aku buat kamu kaget," ucapnya dengan nada yang terdengar sedikit kaku di telinga Dara.

Namun Dara tidak memperdulikannya, menunjukkan sikap acuh tak acuh. Ia masih menikmati makanan yang ada di tangannya dengan lahap. Seakan lelaki itu tak lebih dari udara yang berlalu begitu saja.

Sella, mencoba menghentikan kepergian lelaki itu. "Loh, kok lo ngak gabung sama kita aja, ini ada makanan banyak loh," ucapnya, suaranya terdengar sedikit memaksa.

"Sell," tegur Dela yang sedikit geram melihat tingkah Sella yang tak ada habisnya.

Lelaki itu berhenti, ragu-ragu. Ia melirik Sella, lalu ke Dela dan Dara yang sama-sama memperhatikannya. Senyum canggungnya masih terpatri di wajahnya. "Terima kasih atas tawarannya," katanya, suaranya masih formal.

"Tapi aku benar-benar harus pergi. Aku ada janji."

Sella mendengus, menarik tangannya dari lengan lelaki itu. "Janji? Janji apa? Sama siapa?" tanyanya, nada suaranya mulai meninggi.

Dela menepuk pelan lengan Sella, mencoba meredakan situasi. "Udah lah, Sell. Dia mau pergi ngak usah ditahan-tahan mulu."

Lelaki itu, tampak lega, mengangguk cepat. Ia kembali mengucapkan permisi, kali ini dengan nada lebih tegas, lalu berlalu pergi dengan langkah cepat.

Ketiga perempuan itu terdiam sejenak, suasana di antara mereka terasa tegang. Dara akhirnya meletakkan makanannya, menatap Dela dan Sella bergantian.

"Gue ngak suka sikap lo tadi, Sell," kata Dara, suaranya datar. "Lo agresif banget."

Sella manyunkan bibirnya, melipat tangan di dada. "Tapi kan dia ganteng, Ra! Sayang kalau dilewatkan begitu saja."

Dela menghela napas. "Ganteng bukan berarti harus dikejar-kejar kaya gitu. Lagian, lihat aja

gimana reaksi Dara sama lelaki asing itu, ngak nyaman banget."

Dara mengangguk setuju. "Gue belum kenal sama dia, terus tiba-tiba dia ngira gue lagi pingsan." ucap Dara menceritakan bagaimana orang asing itu bisa duduk bersama.

Sella, walaupun terlihat sedikit kecewa, akhirnya mengangguk. "Ok, gue ngerti. Lain kali gue akan lebih hati-hati." Ia tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Tapi, gue tetap penasaran, siapa dia sebenarnya?"

Dela dan Dara bertukar pandang, sebuah senyum tipis di bibir mereka. "Cuman orang lewat, Sella," jawab Dela, suaranya terdengar datar, namun di balik ketentangannya tersirat sedikit kelelahan menghadapi spontanitas Sella yang kerap kali memicu situasi rumit. "Ngak perlu dipusingkan." Walaupun berusaha terdengar santai, menunjukkan sedikit kejengkelan yang tertahan. Ia menambahkan, dengan nada lebih lembut, "Lagipula, mencari tahu identitas orang asing yang hanya bertemu sebentar, bukan hal yang penting, bukan?"

Kecewa

Mentari pagi menyelinap di balik tirai jendela, menerobos masuk ke kamar Dara yang masih gelap. Libur panjang telah usai, dan hari ini menandai dimulainya kembali rutinitas sekolah yang terasa begitu berat. Dara masih terlentang di tempat tidurnya, tubuhnya lemas seakan terikat oleh selimut tebal yang membungkusnya.

Seulas keluhan lolos dari bibirnya, "Kenapa ya? Kalau hari libur, bangun pagi kaya ngak ada beban, tapi pas hari produktif tiba, bangun aja terasa berat banget." Ia menggeliat, tubuhnya berputar-putar di atas kasur, seakan mencari posisi yang paling nyaman untuk melanjutkan tidurnya.

Namun, rasa bersalah mulai menggerogoti hatinya. Hari ini adalah hari pertama sekolah setelah liburan yang panjang, dan ia tak bisa terus bermanja-manja dengan kelembutan kasurnya.

Dengan berat hati, Dara akhirnya bangkit. Ia berjalan gontai menuju cermin rias di sudut kamarnya, menatap bayangannya yang masih terlihat kusut dan mengantuk. Tatapannya berubah tegas. Sebuah senyum kecil terukir di bibirnya, "Dara, yok bisa yok! jangan males waktunya sekolah!" Ia mengusap wajahnya, mencoba mengusir sisa-sisa kantuk yang masih membayangi.

Aroma harum masakan pagi memenuhi ruang makan, meja makan yang telah tertata rapi dengan aneka hidangan menggugah selera. Di tengah suasana pagi yang tenang itu, Dara menuruni anak tangga, langkahnya ringan dan anggun.

Ia tampak begitu menawan dalam seragam sekolahnya yang modern dan stylish, blazer abu-abu pendek yang pas di tubuhnya, kemeja putih bersih, dasi merah marun bergaris putih yang menambah sentuhan elegan, dan rok pendek hitam plisket yang memperlihatkan kakinya yang jenjang. Rambutnya yang dipotong bob sebahu dengan poni tipis semakin mempercantik wajahnya yang manis.

"Selamat pagi Mah, Pah," sapa Dara dengan suara riang, suaranya memecah kesunyian pagi yang menyelimuti ruang makan. Namun, kedua orang tuanya tampak asyik bergulat dengan tumpukan berkas di atas meja, tatapan mereka terpaku pada angka-angka dan tulisan yang memenuhi lembaran-lembaran kertas tersebut.

Hanya Ibu yang memberikan balasan singkat, "Pagi, sayang," suaranya terdengar lelah, tatapannya masih tertuju pada berkas-berkas di tangannya, menunjukkan betapa sibuknya pagi ini.

Garpu Dara yang hendak membawa makanan ke mulutnya terhenti. Ia melihat kedua orang tuanya tiba-tiba berdiri, gerakan mereka tergesa-gesa, menunjukkan adanya sesuatu yang mendesak. Tas kerja mereka sudah tergenggam di tangan, jas dan mantel sudah dikenakan. Suasana pagi yang tadinya tenang, kini berubah menjadi sedikit kacau. Aroma masakan yang masih semerbak di udara seakan tak mampu menutupi rasa gelisah yang mulai merasuk hati Dara.

"Mah, Pah, kalian mau ke mana?" Pertanyaannya terdengar sedikit cemas, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya.

"Ada pekerjaan mendadak, sayang," jawab Ibu, suaranya terburu-buru, jari-jarinya masih sibuk merapikan beberapa berkas di atas meja. Ayah hanya mengangguk mengiyakan, wajahnya menunjukkan keseriusan yang tak biasa. Keduanya sama-sama terlihat panik dan tak punya banyak waktu.

"Kalian ngak makan dulu? Temenin aku makan dulu, Mah, Pah," pinta Dara, suaranya sedikit bergetar, menunjukkan harapan agar kedua orang tuanya mau sedikit meluangkan waktu untuknya. Ia menatap kedua orang tuanya dengan mata yang berkaca-kaca, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh.

"Maaf, sayang," Ibu menjawab dengan nada menyesal, suaranya terdengar berat. "Kita benar-benar harus berangkat sekarang. Ada urusan yang sangat penting dan tidak bisa ditunda." Ia mengulurkan tangan untuk mengelus rambut Dara, namun gerakannya terburu-buru, menunjukkan betapa terbatasnya waktu yang mereka miliki.

"Makanlah sendiri dulu, sayang," ujar Ayah, suaranya lembut, berusaha meredam kekecewaan yang tergambar jelas di wajah putrinya. "Malam nanti kita rayakan dengan makan malam spesial, ya?" Janji itu, meskipun tulus, terasa hampa bagi Dara. Ia mengangguk kecil, sendoknya bergerak lamban di atas piring.

Dara memalingkan wajahnya dan melanjutkan makannya.

Dara memalingkan wajahnya dan melanjutkan makannya. "Terserah kalian," jawab Dara, suaranya pelan, namun terdengar sedikit getir. Meskipun kata-kata itu terdengar singkat dan datar, namun tersirat di dalamnya rasa kecewa dan rasa kesepian yang menghimpit hatinya.

Pagi yang seharusnya dipenuhi kebersamaan keluarga, kini terasa sunyi dan sepi. Kehilangan kehadiran orang tuanya di pagi hari, meninggalkan luka kecil yang menggores hatinya. Bukan satu atau dua kali, tapi mereka hampir setiap hari tidak pernah menemani Dara.

Langkah kaki orang tuanya menghilang di balik pintu. Seketika, air mata Dara menetes, membasahi pipinya yang masih polos. Keheningan pagi itu terasa begitu berat, diiringi isak tangis yang pelan namun menyayat hati. Ia merindukan sentuhan hangat, perhatian penuh kasih sayang, dan kebersamaan yang tak tergantikan. Makanannya terasa hambar, sehambar suasana hati yang tengah dilanda kesedihan.

Pagi itu, sisa-sisa air mata masih meninggalkan jejak sembab di kedua mata Dara. Kejadian sebelumnya telah meninggalkan bekas yang mendalam, menghilangkan kilau ceria yang biasanya menghiasi wajahnya. Suasana hatinya kacau, seakan-akan ada badai yang mengamuk di dalam dirinya. Ia berangkat sekolah dalam keadaan yang jauh dari siap, bayangan kesedihan masih membayangi langkah kakinya.

Perasaan yang masih bergejolak membuatnya memilih diantar sopir pribadi. Mengemudikan mobil sendiri, dalam kondisi emosional yang belum stabil, terasa terlalu berisiko. Ia butuh ketenangan, meski tahu ketenangan itu sulit didapat di tengah badai emosi yang menerjang hatinya. Perjalanan menuju sekolah terasa begitu panjang, sepanjang perjalanan menuju penyembuhan luka batin yang masih menganga.

Halaman sekolah terlihat begitu ramai. Ia menarik napas panjang, mencoba menetralkan badai emosi yang masih mengamuk di dalam dirinya sebelum melangkah keluar dari mobil. Dara menetralkan emosinya dengan menarik napasnya dan mengeluarkannya secara perlahan sebelum ia keluar dari mobil.

Di balik kaca spion, bayangan dirinya sendiri terlihat pucat. Ia mengusap lembut jejak air mata yang masih membasahi pipinya, suara lirih namun tegas keluar dari bibirnya, "Ayo, Dara! Lo ngak boleh cengeng! Lo cantik, lo baik, lo luar biasa. Semangat!" Kata-kata itu, sebuah mantra penguat yang ia bisikkan pada dirinya sendiri, sebuah upaya untuk melawan kesedihan dan bangkit kembali. Ia harus kuat, ia harus mampu melewati hari ini, meski beban di hatinya masih terasa begitu berat.

"Dara!" Suara yang memanggil namanya dari belakang membuat Dara tersentak. Baru saja melangkah keluar dari mobil, ia mendapati Sella dan Dela, dua sahabatnya, sudah berdiri di sana, mengapit tubuhnya yang terasa begitu kecil di antara mereka. Kehadiran mereka yang tiba-tiba, memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya suasana hati Dara.

"Dara, lo kalo dipanggil itu nyaut jangan diem," tegur Sella, dengan suara cemprengnya.

Dara hanya menjawab dengan datar, "Berisik lo." Kata-kata itu, walaupun singkat dan dingin, tak mampu menyembunyikan rapuhnya perasaannya.

Sella mengerutkan dahinya. "Lah sensi amat bocah, lo lagi dapet ya?" tanya Sella yang penasaran dengan sikap aneh Dara di pagi yang cerah ini.

Dela, dengan nada bercanda khasnya, menimpali. "Suara lo kaya kenalpot Sell!" Ucapannya, walaupun terdengar seperti ejekan ringan, bertujuan untuk mencairkan suasana tegang yang tercipta di antara mereka. Ia berharap leluconnya dapat sedikit meringankan beban yang tengah dirasakan Dara.

Dara menarik napas dalam-dalam, seakan menghirup kekuatan untuk mengubah suasana hatinya. Seketika, senyum merekah di wajahnya, menggantikan raut wajah sendu sebelumnya. "Sella, gue dari tadi diem karena gue laper pengin makan lo!"

Ia mencoba menyembunyikan kesedihannya dengan candaan, sebuah mekanisme pertahanan diri untuk menghadapi perasaan yang masih menghimpit hatinya. Sella yang mendengar itu memilih melarikan diri, Dara tidak akan membiarkan Sella pergi.

"Sella gue laper pengin makan lo!" teriaknya, mengejar Sella yang terus berlari, suasana tegang tadi kini berubah menjadi kejar-kejaran yang penuh tawa.

Sementara Dela melihat keduanya yang seperti Kucing dan tikus. Perutnya terasa kaku karena tertawa terbahak-bahak melihat tingkah polah mereka yang begitu lucu dan menghibur.

"Akh!" Jeritan Dara yang tiba-tiba membuat Sella menghentikan langkahnya, tubuhnya berbalik cepat menuju sumber suara. Rasa khawatir langsung menyergap hatinya.

Melihat Dara yang sepertinya terjatuh, Dela segera berlari menghampiri. Langkah kaki mereka beradu cepat, didorong oleh rasa cemas yang sama.

Sesampainya di tempat Dara terduduk, keduanya mendapati Dara tengah memegangi kepalanya yang terlihat kesakitan. Sepertinya ada benturan yang cukup keras.

Di samping Dara, seorang laki-laki berdiri dengan raut wajah yang jelas menunjukkan kekhawatiran. Tatapannya tertuju pada Dara, menunjukkan kepedulian yang tulus. Suasana tegang langsung menyelimuti mereka bertiga, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!