Aaron meletakkan tablet di bangku sebelah dengan agak kasar, bersamaan halnya dengan helaan nafasnya yang terdengar berat. Ia melihat ke arah bangku pengemudi, di mana sekretarisnya, Samuel, fokus ke jalan. Samuel tampak tidak menyadari apa yang baru saja ia lakukan.
Pandangannya kemudian beralih keluar jendela, melihat sekelebat bayang orang-orang di pinggir jalan—anak kecil, kemudian beberapa pedagang kaki lima. Hari sudah menjelang malam, namun keramaian di sana tampak begitu ceria.
“Direktur, kita sudah sampai,” ujar Samuel kemudian.
Aaron seolah baru terbangun dari lamunan panjang. Ia mengerjapkan matanya sekali, melihat sekitar. Mobil ternyata sudah berhenti di tepi jalan, di depan sebuah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan angkuh.
Aaron mengambil tas kerjanya di sebelah, turun dari mobil lewat pintu yang dibukakan Samuel untuknya. “Terima kasih,” ucapnya kemudian.
Samuel lantas membungkuk hormat, “Terima kasih, Direktur,” balasnya. Ia kemudian menambahkan, “Selamat malam.”
Aaron hanya mengangguk kecil, lalu berjalan memasuki gedung dengan langkah tenang. Orang-orang memandangnya di lobi, menatapnya kagum juga segan. Beberapa petugas yang ia lewati bahkan membungkuk hormat.
Begitu berada di depan lift yang dikhususkan untuknya, pintu tersebut langsung terbuka tanpa membuatnya harus menunggu lama. Aaron masuk ke dalam. Sebelum pintu benar-benar tertutup, ia masih bisa melihat orang-orang yang tampak fokus padanya, penasaran pada dirinya.
Begitu lift tertutup, helaan nafas panjang keluar dari bibirnya. Ia melonggarkan dasi yang mencekik lehernya dengan gerakan sedikit kasar, kemudian memandangi pantulan dirinya di dalam lift. Alisnya sedikit mengernyit; ia tampak tidak suka melihat bayangan dirinya di sana, namun merasa tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubahnya.
Tiba di lantai teratas, pintu kembali terbuka.
Aaron melangkah keluar dari lift, berhenti di depan pintu ganda besar, dan menempelkan ibu jarinya pada perangkat keamanan di depan pintu untuk bisa masuk ke dalam.
Hening dan sunyi. Itulah yang ia dapati setelah memasuki pintu. Keheningan yang biasa—bahkan hampa—namun justru membuatnya merasa nyaman. Ia meletakkan tasnya di sofa ruang tamu, melepas jam tangan di pergelangan tangannya—jam tangan yang harganya bisa membeli puluhan rumah sederhana—dan melemparkannya begitu saja di atas meja. Ia kemudian menjatuhkan diri di atas sofa, benar-benar membenamkan punggungnya pada kenyamanan bantalan sofa di sana. Helaan nafas lelah kembali lolos dari bibirnya. Ia menatap ke atas, melihat lampu gantung hias di atasnya—tampak mengkilap, mahal, namun entah kenapa terasa rapuh.
Mungkinkah aku terlihat seperti itu?
Matanya terpejam perlahan, lelah dan juga mengantuk. Sebentar saja. Hanya sebentar.
Ia terlelap dalam hitungan detik. Waktu terus berjalan menit demi menit menjadi beberapa jam yang sudah terlewati. Malam semakin sunyi, suara detik jam semakin terdengar jelas dalam keheningan penthouse. Tak lama kemudian, hujan turun membasahi Ibu Kota Massachusetts, semakin deras lalu diikuti dengan kilatan petir di langit malam.
Namun bukan hal itu yang membangunkan Aaron dari tidurnya, melainkan suara getaran ponselnya yang terus-menerus bergetar di atas meja.
Aaron mengambil ponselnya, mengangkatnya tanpa melihat nama pemanggil. Sambil menunggu suara di seberang sana, Aaron, dengan pandangan yang masih kabur, melihat jam dinding. Pukul tiga dini hari.
“Aaron...”
Aaron tertegun. Nafasnya terhenti di dada mendengar suara ibunya, terdengar lirih dan tercekat.
“Aaron,” panggilnya lagi, kali ini disertai isakan tangis.
Aaron segera berdiri, rasa kantuknya lenyap seketika. “Ada apa, Ibu?” tanyanya khawatir, terdengar sedikit mendesak. Ia benar-benar ingin tahu apa yang sedang terjadi sampai membuat suara ibunya terdengar seperti itu.
“Benjamin...” isaknya lagi, begitu berat rasanya bagi ibunya menyebutkan nama kakaknya itu. “Benjamin, Aaron, di-dia... ugh,” tangis ibunya pecah.
Aaron semakin diserang cemas dan rasa penasaran. Selain suara tangis ibunya, samar-samar ia mendengar banyaknya suara orang lain di sana—bisikan panik, langkah kaki tergesa. Entah apa yang terjadi, yang jelas kediaman orang tuanya saat ini sedang kacau, dan itu pasti karena kakaknya. Lagi.
Apalagi sekarang?!
Aaron dengan cepat mengambil mantel dan kunci mobil kemudian bergegas keluar penthousenya.
Sepanjang perjalanan, hujan badai pada malam itu entah kenapa terasa lebih kuat dari biasanya. Aaron berusaha memfokuskan dirinya, sampai panggilan kembali masuk padanya. Ibunya menelpon lagi. Aaron dengan cepat mengangkat panggilan itu.
“Aaron, kau di mana, Nak?” Kali ini, ayahnya yang berbicara. Suaranya terdengar begitu lelah, putus asa.
“Sedang dalam perjalanan ke sana,” kata Aaron cepat. “Apa yang sedang terjadi, Yah?” Aaron tak sabaran. Rasanya begitu lama waktu tempuh ke sana untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Tak ada jawaban dari sang ayah. Hanya keheningan di ujung telepon.
“Ayah? Semua baik-baik saja, kan?” Aaron semakin menambah kecepatannya.
Ayahnya masih tidak menjawab, hanya terdengar suara helaan pasrah dari telepon. Aaron yang mendengarnya hanya bisa mengeraskan rahang, antara kesal dan khawatir yang memuncak. Apa? Apa yang terjadi?!
Aaron ingin sekali mengumpat saat itu juga.
“...Dia meninggal,” kata ayahnya. Suaranya datar, hampa.
Aaron merasakan dunianya berhenti. Huh?
“Benjamin, kakakmu meninggal dunia, Aaron.”
Dalam sepersekian detik, cengkeraman Aaron pada kemudi mengendur. Fokusnya hilang sepenuhnya. Ia tidak sadar mobilnya oleng. Terdengar decitan ban yang nyaris tak ia dengar. Mobilnya menabrak bangku kayu di depan sebuah toko dengan keras, ban-ban mencicit memekakkan telinga saat Aaron secara naluriah membanting setir, hampir menabrak toko itu sendiri.
Namun bukan hantaman itu yang membuatnya terpaku. Melainkan kata-kata ayahnya. Ia mendengarnya, tapi otaknya menolak untuk memproses.
“Aaron! Kau baik-baik saja?!” Ayahnya memanggil khawatir, suaranya terdengar tinggi, panik. “Aaron!”
Aaron masih terpaku. Menatap kosong ke depan, ke arah malam yang gelap dan hujan yang menderu. Nafasnya... ia kesulitan bernafas. Paru-parunya terasa kosong, tenggorokannya tercekat.
“Aaron!”
"Dia depresi karena obat-obatan yang dikonsumsinya," bisik seseorang, suaranya tertahan namun terdengar jelas di telinga Aaron.
"Malang sekali, meskipun begitu bukankah dia seperti aib bagi keluarganya?" sahut suara lain, bernada menghakimi.
"Ya, dia sangat berbeda dengan adiknya. Adiknya bekerja di sebuah perusahaan besar."
"Yang kudengar, dia sekarang sudah menjadi Direktur diperusahaannya. Seorang CFO."
"Meskipun kematian kakaknya disayangkan, tapi bukankah ini juga... baik untuknya?"
Bisik-bisik itu mengalir di antara para pelayat, tak jauh dari peti kayu tempat jasad Benjamin dibaringkan. Suara-suara itu menusuk Aaron seperti jarum es.
Aaron mengepalkan kedua tangannya, buku-buku jarinya memutih. Lingkar hitam di bawah matanya terlihat jelas di bawah cahaya redup. Kepalanya menunduk, matanya terpaku pada lantai dingin. Sudah berjam-jam ia duduk di sana, masih tak percaya akan kematian kakaknya. Di sisi lain, ayahnya, Charles, sejak tadi terdiam lemas, sementara ibunya, Eva, baru saja pingsan untuk kedua kalinya setelah terlalu lama menangis tanpa henti.
Hanya Aaron yang, meskipun juga merasa sama terpukulnya dengan kedua orang tuanya, masih harus disibukkan dengan jalannya upacara pemakaman. Ia masih harus bergerak ke sana kemari, memastikan semuanya kondusif, menyambut para tamu yang datang. Tamu yang sebagian besar hanya hadir sebagai bentuk formalitas, datang untuk dilihat dan memberi ucapan basa-basi. Tamu yang lebih tertarik untuk menatap wajahnya—wajah Direktur sukses—ketimbang melirik jenazah kakaknya di dalam peti mati.
Mungkin, yang benar-benar bersedih saat ini hanyalah dirinya sendiri dan kedua orang tuanya. Bahkan orang-orang yang selalu bersama Benjamin semasa hidupnya, orang-orang yang dianggap sebagai teman, tidak menunjukkan batang hidung di pemakaman ini. Entah ke mana mereka lenyap saat Benjamin paling membutuhkan mereka, bahkan di saat terakhirnya.
"Istirahatlah," kata ayahnya, Charles, yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya dan menepuk bahunya lembut. "Aku akan berjaga di sini."
Aaron menatap wajah ayahnya sejenak. Charles menghela napas pelan, berusaha tersenyum padanya. Mengangguk, seolah memberi izin Aaron untuk melepaskan bebannya sejenak.
Aaron melihat sekeliling. Para tamu undangan memang sudah mulai pergi, meninggalkan tempat dengan langkah terburu-buru menjauhi aura kematian, hanya menyisakan beberapa orang yang masih bertahan.
"Tidak apa-apa, Yah," tolak Aaron, suaranya serak. "Sebentar lagi Kakak akan dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku akan menunggu sampai saat itu."
Charles menghela napas panjang, tidak mengatakan apa-apa lagi. Melihat raut wajah Aaron, tampaknya putranya itu bersikeras untuk tidak meninggalkan sisi kakaknya sama sekali.
"Kakakmu... banyak menyulitkanmu semasa dia hidup," ucap Charles, suaranya terdengar berat, duduk di samping Aaron dengan mata menatap kosong ke lantai. "Bahkan sekarang, sampai akhir dia juga melakukan hal yang sama padamu. Pada keluarga kita. Dia... dia meninggal dunia dengan kehendaknya sendiri."
Aaron hanya memandang wajah ayahnya dari samping. Meskipun apa yang dikatakan ayahnya terdengar kasar dan penuh kepahitan, Aaron tahu, bukan itulah yang menjadi maksud dari perkataannya. Ada kesedihan yang dalam dan rasa tak berdaya di balik setiap kata yang terucap.
"Seperti aku," ucap Aaron kemudian, suaranya nyaris berbisik, "dia juga merasa lelah. Dia tidak menginginkan kehidupan yang seperti ini, tapi segala sesuatunya tidak berjalan seperti apa yang dia mau."
"Aku... aku tidak bisa mengatakan bahwa dia tidak menyulitkanku dalam banyak hal. Dia selalu mencoba melakukan apapun semaunya, tidak peduli dengan apa yang terjadi di belakangnya. Pada orang lain." Aaron menelan ludah, berusaha menahan gelombang emosi.
"Namun aku tidak membencinya." Tanpa sadar, air mata menetes dari mata Aaron, jatuh mengenai lantai dingin seperti tetesan air hujan. "Aku tidak membencinya, tidak pernah." Dadanya terasa sesak, seperti ditekan beban yang tak terlihat.
Charles menatap putranya sendu, melihat bahu yang kokoh itu bergetar. Ini kali pertama setelah puluhan tahun Charles melihat Aaron meneteskan air mata, terhadap saudara laki-lakinya yang tak memiliki hubungan baik dengannya selama ini.
Sorot mata Charles tanpa sadar menangkap sosok wanita yang berdiri tak jauh dari sana. Wanita itu menatap ke arah mereka, atau mungkin lebih tepatnya ke arah Aaron yang sedang tertunduk, bahunya berguncang menahan isakan.
Begitu menyadari Charles melihat ke arahnya, raut wajah wanita itu memasang ekspresi terkejut. Ia lantas berbalik pergi dengan cepat, seolah menyembunyikan diri dari pandangan.
Pemakaman berlangsung, melewati nyanyian duka, doa-doa yang khusyuk, dan ucapan turut berduka cita dari mereka yang tersisa. Perlahan, orang-orang mulai meninggalkan area pemakaman, menyisakan Aaron dan kedua orang tuanya di bawah langit yang mulai berubah kelabu.
Aaron merasakan tetesan air dingin di bahunya. Ia sedikit mendongak ke atas, menyadari sepertinya hujan mulai turun lagi sore itu, gerimis halus yang terasa perih. Kemudian ia melihat ibunya yang masih duduk bersimpuh di sebelah makam kakaknya. Wanita itu sudah tidak menangis hebat lagi, matanya kering seolah tak ada lagi air mata yang tersisa. Namun sorot matanya yang kosong, wajahnya yang pucat dan lelah, serta gerakannya yang rapuh mengungkapkan bahwa kesedihannya semakin mendalam, melampaui air mata.
"Eva, ayo, ini saatnya pulang," tutur Charles lembut, memegang kedua bahu istrinya.
Eva menggeleng lesu, menolak lirih. "Tidak," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "Bagaimana bisa aku meninggalkan putraku... putraku di tempat ini, Charles?"
Charles merasa semakin remuk mendengar istrinya mengatakan hal itu, hatinya teriris. Namun bagaimanapun, ia tetap harus membawa istrinya pulang sekarang, menjauh dari dingin dan hujan yang mulai membasahi. "Hujan sudah mulai turun, Sayang. Kita akan mengunjunginya lagi besok, ya?"
"Hujan?" Eva tampak baru tersadar.
"Hm, ayo pulang."
"Berikan aku payung!" seru Eva tiba-tiba, bangkit dengan cepat. Namun karena terlalu lama bersimpuh, langkahnya tidak seimbang hingga membuatnya akan jatuh jika saja Aaron tidak dengan sigap menangkap lengan ibunya.
"Aaron... kau di sini, Nak?" tanya Eva, matanya yang lebar menatap Aaron, sedikit kosong namun penuh harapan yang putus asa, "Kau tidak akan meninggalkan Ibu juga, kan?"
Aaron menghela napas pelan, memandang wajah ibunya lamat-lamat. Bibirnya terbuka, hendak berbicara, menenangkan ibunya, namun sebelum ia sempat mengatakan apa pun, suara seorang wanita menginterupsi mereka.
Disaat Aaron menoleh, melihat ke arah suara itu, ia mendapati seorang wanita berdiri disana. Mata hijaunya masih basah oleh air mata, meskipun rambut coklatnya sedikit berantakan oleh gerimis dan angin sore, kecantikan di wajahnya tak tertutupi.
Siapa dia? Batin Aaron. Terlihat begitu asing di antara orang-orang yang mereka kenal di pemakaman ini.
"Saya..." Suaranya tercekat, kesulitan berbicara karena menahan tangis. "Saya Claire," ucapnya, memperkenalkan diri, "Claire Hayes."
"Acara pemakamannya baru saja selesai, Nona Hayes," imbuh Aaron, suaranya formal namun sopan. "Terima kasih sudah datang. Hari sudah mulai hujan, lebih baik Anda kembali sekarang."
Namun Claire tak beranjak sedikitpun dari sana. Ia menatap satu per satu wajah ketiga orang di depannya—Aaron, Charles, Eva—bibirnya digigit pelan, tampak ragu, namun ada tekad di matanya. "Saya..." Ia menundukkan kepala, suaranya lirih namun jelas, "Saya adalah kekasihnya Benjamin."
Aaron sedikit melebarkan mata, rasa terkejut menjalari dirinya. Benjamin? Kakaknya yang selalu bermasalah, yang hidupnya berantakan karena narkoba, yang mati bunuh diri... memiliki kekasih? Seorang wanita seperti Claire? Wanita yang datang ke pemakamannya, menangis untuknya hingga membuat penampilannya terlihat kacau oleh duka, wanita yang sepertinya benar-benar mencintainya?
Sebuah ironi pahit. Benjamin—dia, yang gagal dalam banyak hal, yang menghancurkan dirinya sendiri—setidaknya berhasil menemukan seseorang yang begitu mencintainya hingga akhir. Bagaimana bisa dia meninggalkan wanita seperti ini?
Namun kalimat berikutnya yang keluar dari bibir wanita itu membuat dunia Aaron kembali terasa terbalik.
Claire memegang perutnya. Tatapannya beralih dari wajah Aaron ke makam Benjamin, lalu kembali lagi pada mereka. "Saya... saya sedang mengandung anak Benjamin."
Hari ini, wanita itu—Claire—akan datang ke rumah mereka secara resmi. Begitulah waktu yang sudah mereka tentukan ketika terakhir kali bertemu di pemakaman. Namun Aaron masih berada di kamarnya, sudah mengenakan kemeja putih, dasi, dengan bawahan navy. Bersiap untuk berangkat ke tempat kerja.
Aaron tahu, ia harus menemui wanita itu, setidaknya untuk membicarakan perihal darah daging kakaknya. Tapi di satu sisi, ia merasa harus menghindari percakapan itu. Setidaknya tidak dengan kehadiran kedua orang tuanya.
Mengambil jas navy yang tergeletak di atas tempat tidur, Aaron melangkah keluar dari pintu kamarnya. Ia harus pergi sebelum wanita itu tiba di kediaman orang tuanya.
Namun langkahnya terhenti tak jauh dari pintu utama begitu melihat pelayan rumah membukakan pintu untuk seseorang. Hanya melihat dari rambut coklatnya saja, Aaron langsung tahu siapa yang ada di sana.
Ketika pelayan hendak memberi jalan, saat itulah Aaron bertatap muka dengannya. Manik hijau Claire tampak sedikit membesar begitu melihatnya, namun detik berikutnya berubah menjadi sorot mata sendu. Ia menundukkan kepala, sedikit membungkuk memberi salam pada Aaron.
"Aaron," panggil Charles. Kedua orang tuanya ternyata sudah berdiri tak jauh darinya, entah kenapa dia tidak menyadari kehadiran mereka. "Kau akan pergi ke mana, Nak?" tanya ayahnya, menyadari cara berpakaian formal Aaron.
"Aku—" Aaron melirik ke arah Claire yang berdiri di dekat pintu, kemudian berganti menatap kedua orang tuanya. "—harus datang ke kantor hari ini."
"Tidak," ujar Charles, suaranya pelan tapi tegas. "Kau telah diberi cuti seminggu. Jadi tetaplah di sini untuk sementara waktu." Charles melanjutkan, "Jika memang sangat mendesak, maka datanglah nanti, setelah pembicaraan kita selesai." Sorot matanya seolah menolak untuk dibantah.
Sementara ibunya, Eva, menatapnya sedih, memohon dengan mata agar dirinya tinggal sebentar.
Aaron menghela nafasnya. Keinginannya untuk melarikan diri terasa sia-sia. Ia memutuskan untuk tinggal.
"Kemari, Nak," Eva memanggil Claire, mengisyaratkan untuk datang mengikuti ke mana mereka pergi.
Claire, dengan langkah ragu, mengikuti Eva dan Charles menuju ruang keluarga. Saat jarak mereka sudah hampir sejajar, Claire menatap Aaron. Matanya gelisah, seakan ada satu hal yang ingin ia katakan saat itu juga. Namun Aaron hanya bergeming, memasang wajah tanpa ekspresi, seolah membangun tembok.
Setibanya di ruang keluarga, tak ada yang bersuara. Hanya gerakan pelan teratur dari pelayan rumah yang menyajikan kopi, teh, dan sepiring camilan di atas meja. Setelah pelayan itu pergi, keheningan yang menekan masih mengudara di antara mereka. Aaron bisa mendengar detak jam dinding yang terasa mengganggu.
"Nona Hayes," Charles buka bicara, suaranya terdengar dingin, kontras dengan kehangatan yang biasa ia tunjukkan pada Eva atau Aaron.
Claire, yang namanya disebutkan, mendongak memandang pria itu. Wajah Charles tampak lelah namun tatapannya tajam. "Apa kau yakin, anak yang sedang kau kandung adalah milik Benjamin?"
Disaat nama Benjamin disebut, Eva kembali terisak, suaranya lirih, "Putraku..."
Claire meremat rok di atas pangkuannya dengan kedua tangan. Pertanyaan itu wajar, bahkan ia sudah menduganya, namun tetap saja terasa seperti pukulan dingin di ulu hati. Aaron menyadari gelagat wanita itu.
"Iya," kata Claire, suaranya tercekat. "Benjamin adalah yang pertama bagi saya."
Pertama. Aaron langsung memahami maksud dari kata itu. Sebuah pengakuan yang sederhana namun sarat makna.
"Hanya dia yang saya punya," lanjutnya. Suaranya kemudian menjadi lebih lirih, penuh kesedihan, "Sampai... sampai saat dia meninggal dunia."
Eva, kembali meneteskan air mata, isakannya terdengar lagi. Charles merangkul istrinya, mengelus bahunya, matanya tidak lepas dari Claire, seolah menimbang setiap kata wanita itu.
Aaron melihat pemandangan itu, hanya bisa menghela napas berat. Entah Claire sengaja atau tidak, tapi wanita itu selalu mengatakan hal-hal yang tampaknya dirancang untuk memancing emosi ibunya, mengingatkan semua orang pada Benjamin yang sudah tiada.
Setelah beberapa saat, Charles kembali berbicara, suaranya kini beralih ke topik utama. "Benjamin banyak melakukan hal di luar aturan sejak lama." Ia berhenti, seolah mencari kata yang tepat. "Bahkan kematiannya... dia mengambil hak Tuhan atas nyawanya sendiri."
"Dan sekarang," mata Charles tertuju pada Aaron, tatapannya penuh tuntutan, "karena apa yang telah dia lakukan di masa lalu, ada konsekuensi yang melibatkan darah dagingnya... darah daging kita."
Pandangannya beralih pada Claire, lalu kembali ke Aaron. "Anak ini tidak bersalah. Dia tidak pantas dicap sebagai anak yang lahir di luar nikah. Itu akan menghancurkan masa depannya."
Charles menghela napas. "Aaron," ucapnya, nadanya melembut tapi sarat permohonan yang berat. "Sekali lagi, untuk yang terakhir kalinya... tolong, perbaiki kesalahan kakakmu."
Matanya menatap Aaron lurus. "Menikahlah dengan Nona Hayes."
Bak sambaran petir di siang bolong. Aaron membeku di tempat. Pikirannya terasa kosong, namun di saat yang sama ia bisa mendengar sesuatu meledak—seperti beling pecah—jauh di dalam benaknya. Rasa tidak percaya menjalari setiap sarafnya.
Claire juga sama terkejutnya, ia mendadak panik, menatap Charles lalu beralih pada Aaron dengan tatapan gelisah yang mencari jawaban.
"Bagaimana menurutmu, Nona Hayes?" tanya Charles, mengalihkan pandangannya pada Claire.
Claire meneguk ludah. "Sa-saya..." Suaranya begitu pelan, nyaris tak terdengar, sarat keraguan dan ketakutan.
"Aku bahkan tidak mengenalnya," gumam Aaron dengan nada getir, lebih kepada dirinya sendiri daripada orang tuanya.
Ia lalu mendongak, melihat wajah ayahnya. Bagaimana bisa kalian mengatakan itu padaku?! pikirnya, kemarahan membuncah di dadanya.
"Ini demi nama baik keluarga kita, Aaron," terang Charles, suaranya kembali tegas, seolah argumen itu sudah final.
Eva menimpali dengan lirih, matanya memohon. "Aaron, sayang... bagaimana nasib anak ini nantinya kalau lahir tanpa ayah? Tanpa nama keluarga?"
Aaron menggeleng pelan, tak percaya bahwa ibunya juga turut mendukung perkataan ayahnya. "Tidak..." gumam Aaron, suaranya nyaris tak terdengar, lebih kepada penolakan dalam hati.
"Aaron—" Charles memulai lagi.
"Ini gila!" Aaron membentak, suaranya terdengar begitu keras, bergema dalam ruangan yang sebelumnya hening.
Claire yang duduk di hadapannya sedikit terperanjak kaget, kedua bahunya menegang, matanya melebar.
"Hanya kau yang bisa melakukan ini, Aaron," ujar Eva, suaranya putus asa, seolah meletakkan seluruh harapan di pundak Aaron.
"Kau harus bertanggung jawab, Aaron!" tegas Charles, suaranya begitu penuh otoritas, menuntut kepatuhan.
"Kenapa harus aku?!" sergah Aaron, sama sekali tak mau kalah, suaranya malah semakin tinggi, beradu dengan suara ayahnya. "Bukan aku yang melakukannya! Ini tidak ada hubungannya denganku! Kalian tidak bisa memaksaku!" Napasnya memburu, dadanya naik-turun menahan amarah.
Charles terdiam, melihat bagaimana kilatan amarah terdapat di mata Aaron dan mendengar cara bicaranya yang kasar kepada orang tuanya sendiri—sesuatu yang jarang sekali Aaron lakukan. "Apa kau membenci saudaramu, Aaron?" Suaranya berubah pelan, menusuk, menargetkan inti permasalahannya.
"Demi Tuhan aku tidak membencinya!" tampik Aaron, amarahnya bercampur kepedihan. "Aku tidak membencinya, bahkan sampai detik ini," kemudian suaranya berubah pelan, sarat kepahitan. "Tapi aku juga tidak membenci diriku sendiri, Ayah."
Matanya kini menatap Charles dan Eva bergantian, tatapannya menyakitkan. "Aku... bahkan sudah sampai sejauh ini. Di usiaku yang seperti ini. Haruskah aku masih mengabdikan hidupku pada kesalahan saudaraku? Bahkan setelah dia sudah tidak ada di sini?"
Kedua tangan Aaron terkepal kuat di sisi tubuhnya. Rasa perih di matanya, akibat menahan air mata atau amarah, sangat mengganggunya, menambah kejengkelannya.
Kenapa Benjamin dibiarkan hidup sesuai keinginannya? Kenapa Benjamin bebas menentukan pilihannya, bahkan jika itu menghancurkan dirinya? Kenapa Benjamin tidak dituntut dalam banyak hal seperti dirinya? Dan kenapa, kenapa Benjamin bahkan sampai akhir hidupnya masih bisa merebut simpati kedua orang tuanya, bahkan menciptakan masalah besar yang kini dilimpahkan padanya?
Semuanya… semua yang terjadi bahkan sampai detik ini, semua itu karena Benjamin anak emas di dalam keluarganya. Anak yang bahkan hanya duduk di meja belajarnya semasa kecil sudah menjadi suatu kebanggaan besar bagi kedua orang tuanya. Sesuatu yang luar biasa.
Bukan seperti dirinya, Aaron Silvan, yang melakukan banyak hal—prestasi, tanggung jawab, kesuksesan—sebagai sesuatu yang sudah seharusnya. Sesuatu yang biasa, yang sudah sepatutnya ia lakukan, dan tidak pernah terasa sehebat pencapaian kecil Benjamin di mata mereka.
Aku hanya ingin... tenang. Keinginan sederhana itu terasa seperti kemewahan yang mustahil diraih.
"Saya... saya mengerti jika hal ini sangat memberatkan," celetuk Claire, suaranya terdengar pelan, nyaris rapuh, memecah keheningan tegang setelah ledakan emosi Aaron. "Saya juga tidak mengharapkan hal seperti ini, tapi..." Kepalanya semakin ditundukkan dalam, menyembunyikan wajahnya. "...Saya tidak punya keluarga lain yang bisa membantu."
Eva beranjak dari duduknya, segera duduk di sebelah Claire, menggenggam kedua tangannya lembut, penuh dengan kasih sayang, dengan empati yang tulus.
Claire, yang tangannya dipegang, melihat Eva menatapnya dengan lembut, membuat matanya mulai berkaca-kaca lagi. Ia terisak, bahunya gemetar. Eva merangkulnya, memeluknya, menenangkannya seperti putrinya sendiri. Matanya kemudian beralih pada Aaron, ekspresinya sendiri—patah hati, lelah, dan sarat keputusasaan yang mendalam.
"Aaron," bisiknya, suaranya lemah, namun membawa beban yang sangat berat. "Demi ibu, Nak."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!