Pagi ini sama seperti biasanya, Nadira Elvarani terbangun sepuluh menit sebelum alarm di kamarnya berbunyi. Tubuhnya seolah memiliki alarm bawaan yang selalu membangunkannya pada waktu yang sama setiap hari.
Namun, ada yang berbeda saat ia membuka mata. Seorang lelaki terbaring di sampingnya—Rakha Mahendra, anak bos sekaligus CEO Mahendra Digital, salah satu anak perusahaan Mahendra Grup.
Nadira dan Rakha tidak memiliki hubungan apa pun selain sebagai karyawan dan anak bos. Tapi entah bagaimana, lelaki itu kini berada di kamarnya.
Ia buru-buru memeriksa pakaiannya sendiri. Semuanya masih lengkap. Ia mengenakan setelan baju tidur panjang bermotif beruang. Namun, kehadiran Rakha di sisinya tetap saja membuatnya waswas.
"Apa yang terjadi tadi malam? Kenapa Rakha ada di sini?" gumamnya pelan, menatap lelaki itu yang masih terlelap di sisi kanan ranjangnya.
Saat Nadira masih larut dalam kebingungan dan kewaspadaan atas kehadiran Rakha di kamarnya, detik berikutnya lelaki itu membuka mata dan tersenyum manis ke arahnya.
“Selamat pagi,” ucap Rakha ringan, seolah tidak memedulikan ekspresi terkejut Nadira.
Nadira langsung tersentak dari lamunannya. Ia tidak membalas sapaan itu, melainkan langsung bertanya dengan nada datar.
“Apa yang Anda lakukan di kamar saya?” tanyanya to the point.
Ia adalah wanita yang akan menikah sebulan lagi. Sangat tidak etis jika saat ini ada lelaki lain di kamarnya—terlebih lagi, lelaki itu malah tersenyum santai seolah kehadirannya bukan masalah besar.
Rakha kembali tersenyum. “Apa yang saya lakukan?” Ia mengulang pertanyaan itu sambil mengubah posisinya menjadi duduk.
“Coba ingat-ingat apa yang sudah kita lakukan sampai saya bisa ada di sini sekarang,” katanya enteng, masih dengan nada santai yang membuat jantung Nadira makin tidak karuan.
“Apa maksud Anda?” Nadira refleks menutupi bagian depan tubuhnya dengan kedua tangan ketika mata Rakha menatapnya dengan nakal.
“Kita tidak melakukan apa-apa, kan?” tanyanya memastikan, nada suaranya penuh kecemasan.
Ia tidak ingat apa yang terjadi tadi malam. Yang ia ingat hanyalah mereka bertemu klien dan sempat minum bersama.
Rakha tertawa pelan. “Kenapa ditutupi? Saya sudah melihat semuanya tadi malam.”
Mata Nadira membelalak. Ia tidak ingat apa pun—dan tidak percaya jika sampai melakukan hal yang tidak seharusnya. Ia tidak mungkin tidur dengan berondong—anak bosnya sendiri.
“Jangan bercanda, Rakha!” ucap Nadira dengan nada tinggi, marah karena merasa diperdaya.
“Saya tidak bercanda.” Rakha menatap Nadira dengan ekspresi serius, seolah ingin meyakinkan bahwa apa yang ia katakan benar adanya.
Namun, Nadira tetap tidak percaya. Ia masih mengenakan pakaian lengkap, begitu pula Rakha. Tidak ada bukti bahwa sesuatu telah terjadi di antara mereka—selain fakta bahwa Rakha ada di kamarnya.
“Apa kamu tidak ingat? Tadi malam, kamu duduk di pangkuan saya… dan mencium saya dengan penuh nafsu,” ujar Rakha datar, tanpa sedikit pun nada bercanda di wajahnya.
Nadira terdiam. Sebuah ingatan yang terasa asing, namun nyata, melintas begitu saja—bibir mereka bersentuhan, tangan Rakha mengelus punggungnya, dan sesekali menekan tengkuknya untuk memperdalam ciuman mereka. Yang lebih mengejutkan, dalam bayangan itu, ia memang duduk di pangkuan Rakha.
“Tidak mungkin...” bisiknya tidak percaya. Ia menggeleng keras, lalu memukuli kepalanya sendiri, berusaha menepis ingatan itu. Ia tidak mungkin mengkhianati Galendra, calon suaminya. Tidak mungkin.
Rakha dengan sigap menangkap kedua tangan Nadira yang hendak kembali memukul kepalanya sendiri.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya tajam, nada suaranya menunjukkan ketidaksukaan karena melihat Nadira menyakiti dirinya sendiri.
"Kamu sebegitu menyesalnya sampai harus melukai dirimu sendiri hanya karena melakukannya dengan saya?" ucap Rakha, matanya memancarkan amarah yang ditahan.
Nadira mengangkat wajahnya, menatap Rakha tepat di mata. Ia tidak menyangka Rakha akan melontarkan pertanyaan seperti itu. Tentu saja ia menyesal—apa pun yang terjadi di antara mereka semalam, itu tidak seharusnya terjadi. Yang mereka lakukan adalah sebuah kesalahan.
“Bapak masih bertanya?” tanyanya dengan nada penuh ketidakpercayaan.
Nadira memang memanggil Rakha dengan sebutan “Bapak”, meskipun lelaki itu lima tahun lebih muda darinya. Sebutan itu digunakan demi menjaga formalitas hubungan kerja mereka.
“Bulan depan saya akan menikah! Apa yang akan suami saya pikirkan tentang saya nanti?” teriaknya, emosinya meledak tepat di depan wajah Rakha.
Rakha memejamkan matanya sejenak—bukan karena menyesali apa yang telah terjadi di antara mereka, melainkan karena amarah yang mengendap. Ia kesal saat Nadira kembali membicarakan pernikahannya.
Ia tahu, semua ini salah. Ia tahu, ia telah melampaui batas—menaruh sesuatu dalam minuman Nadira, menciptakan malam yang seharusnya tidak pernah terjadi. Tapi itulah caranya… caranya agar Nadira tidak jadi menikah.
“Jangan bahas itu di depan saya,” ucap Rakha dengan suara yang dalam, memperingatkan. Ada nyeri yang menyesak di dadanya setiap kali mengingat bahwa perempuan di hadapannya akan bersanding dengan lelaki lain bulan depan.
Nadira tidak menggubris peringatan itu. Ia menepis tangan Rakha yang masih menggenggamnya.
“Saya mohon, pergi dari apartemen saya,” pintanya pelan namun tegas.
Ia ingin mendorong tubuh Rakha, menyuruhnya keluar dari tempatnya, tapi keberaniannya belum cukup. Bagaimanapun juga, Rakha adalah anak bosnya, calon pewaris Mahendra Grup. Ia tidak bisa sembarangan bersikap, meskipun kenyataannya—Rakha yang lebih dulu bertindak kurang ajar padanya.
“Nadira—” Rakha tampak keberatan, ingin menyanggah, namun Nadira menyelanya lebih dulu.
“Saya mohon, Pak,” ucapnya lagi, kali ini dengan suara yang nyaris berbisik.
Rakha menghela napas panjang. Ia ingin menolak pergi, tapi jika ia memaksakan kehendaknya sekarang, Nadira pasti akan semakin marah—mungkin bahkan akan membencinya. Maka, untuk saat ini, ia memilih mengalah.
Lagipula, dalam pikirannya, Nadira sudah menjadi miliknya sepenuhnya. Malam tadi, mereka telah melewati batas. Nadira mungkin belum mengingatnya sepenuhnya, tapi Rakha tahu persis—mereka tidak hanya saling mencium. Ia telah merenggut keperawanannya.
“Oke, saya pergi,” ucap Rakha dengan nada berat.
Namun, ia belum langsung melangkah pergi. Tangan kanannya perlahan menyentuh pipi Nadira, menyapu perlahan seolah ingin menenangkan perempuan itu.
“Tapi kamu harus janji, jangan sakiti diri kamu sendiri setelah saya pergi,” pintanya pelan, nyaris seperti bisikan.
Nadira menepis tangannya tanpa berkata apa-apa. Bahkan ia tidak menatap wajah Rakha barang sedikit pun.
“Tolong pergi sekarang,” pinta Nadira sekali lagi. Suaranya pelan namun tegas, tanpa sedikit pun keberanian untuk menatap wajah Rakha—wajah yang kini terasa begitu asing dan menyakitkan. Lelaki itu telah menghancurkan masa depan yang dengan susah payah coba ia bangun.
Rakha akhirnya bangkit dari ranjang, meninggalkan tempat yang menjadi saksi bisu atas apa yang telah terjadi antara mereka malam itu.
Begitu langkah Rakha benar-benar menjauh dan pintu tertutup rapat, Nadira memeluk lututnya di atas ranjang. Tangisnya pecah, air matanya jatuh tanpa suara.
Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan isak.
“Aku seharusnya bisa menjaga diri sampai hari pernikahanku dengan Galendra...” bisiknya getir. Tapi kini, semuanya telah berubah. Ia merasa kotor. Rusak.
“Bodoh, Nadira!” hardiknya pada diri sendiri, lalu memukuli kepalanya berulang kali sebagai bentuk pelampiasan atas penyesalan yang menggerogoti dirinya.
Nadira menatap bayangan dirinya di cermin. Keadaannya saat ini sungguh tidak baik—mata sembap, rambut masih basah dan kusut. Ia telah mengguyur seluruh tubuhnya dengan air, mandi menggunakan sabun, tetapi rasa kotor itu belum juga hilang.
"Kamu milik saya, Nadira."
Nadira memejamkan mata saat suara itu kembali terngiang di telinganya. Ia telah mengingat hampir segalanya—bahwa dirinya tidak hanya duduk di pangkuan Rakha dan berciuman dengannya. Mereka telah melakukan sesuatu yang jauh lebih dari itu.
Ia kemudian berbalik, menatap ke arah ranjang dengan sorot mata kosong. Di sana ada darahnya—jejak yang menjelaskan bahwa dirinya telah kehilangan keperawanan karena Rakha.
"Seharusnya aku menjaga jarak dari Rakha sejak dulu," gumamnya, menyesal karena telah membiarkan dirinya terlalu dekat dengan lelaki itu.
Ting!
Suara notifikasi pesan masuk mengalihkan perhatiannya. Perlahan, dengan tubuh yang seakan kehilangan semangat untuk hidup, ia melangkah menuju meja nakas tempatnya menyimpan ponsel.
Sesampainya di sana, ia mengambil ponsel tersebut. Satu pesan baru telah masuk—dari Galendra, calon suaminya.
Galen 🤍:
Nanti siang aku ke kantor kamu ya, kita makan siang bareng.
Nadira menatap layar ponsel itu lama, tanpa membalas. Ia tidak yakin akan pergi ke kantor hari ini. Ia pun tidak yakin apakah dirinya masih pantas untuk tetap bersama Galendra, ataupun melanjutkan rencana pernikahan mereka.
Ting!
Pesan lainnya muncul. Kali ini bukan dari Galendra, melainkan dari Mahendra, bosnya. Nadira membaca pesan itu tanpa lebih dulu membalas pesan dari Galendra.
Pak Mahendra:
Orang yang akan menggantikan kamu akan masuk hari ini. Tolong ajari dia sampai siap agar bisa menggantikanmu setelah kamu keluar nanti.
Pesan itu seakan mendorongnya untuk tetap masuk kerja. Ia memang berniat mengundurkan diri dari pekerjaannya setelah menikah, dan orang baru yang dimaksud adalah pengganti yang akan mengambil alih seluruh tugasnya.
Rencananya, ia ingin menjadi istri sepenuhnya bagi Galendra—melayani dan menyiapkan segala keperluan Galendra setelah mereka menikah nanti. Namun kini, ia merasa dirinya tidak lagi pantas untuk itu.
Nadira menghela napas panjang, lalu membalas kedua pesan itu satu per satu. Hanya satu kata yang ia ketik sebagai jawaban: iya. Setelah itu, ia mulai bersiap untuk pergi ke kantor.
“Kamu harus bisa menghadapi ini semua,” itulah yang bisa Nadira katakan kepada dirinya saat ini.
***
Mobil Mazda 2 berwarna Air Stream Blue milik Nadira berhenti di parkiran DevaSpace HQ, gedung pusat Mahendra Grup. Sebelum turun, Nadira bercermin pada spion mobilnya, memastikan matanya tidak terlalu sembap dan mencurigakan di mata rekan-rekannya di kantor.
“Seharusnya tidak akan ada yang sadar aku habis menangis,” gumamnya setelah memastikan matanya tidak terlalu merah atau sembap.
Ia telah mengompres matanya dengan es batu sebelum berangkat ke kantor. Ia memang tidak suka jika orang-orang mulai bertanya, “Ada apa?” atau “Kamu baik-baik saja?”
“Oke, Nadira. Kamu harus profesional. Sekarang kamu ada di kantor,” ucapnya pada diri sendiri, sebelum akhirnya turun dari mobil.
Namun, seakan semesta sengaja mengujinya—juga sikap profesionalnya—mobil yang sudah sangat familiar terparkir di dekat mobilnya. Mobil Rakha.
Nadira ingin sekali berlari dari sana sebelum Rakha keluar dari mobil, tetapi sayangnya, lelaki itu lebih dulu keluar... dan bahkan menyapanya.
“Selamat pagi, Nadira.”
Kata-kata yang sama seperti pagi tadi menyapanya kembali, membuat Nadira yang sudah bersiap pergi, terpaksa menghentikan langkah.
Nadira berbalik, berpura-pura tersenyum dan bersikap ramah. Ia membalas sapaan itu, “Pagi, Pak,” ucapnya singkat.
Awalnya, ia hanya berniat membalas sapaan itu sebagai bentuk profesionalitas di area kantor, lalu segera pergi setelahnya. Namun, Rakha menghentikannya—menahan pergelangan tangannya dengan lembut.
“Jangan menghindar. Saya tidak suka,” ucap Rakha sambil menarik pelan tangan Nadira agar berbalik menghadapnya.
“Soal tadi malam… saya akan bertanggung jawab,” lanjutnya, seakan ingin menambah beban dalam hidup Nadira.
Nadira menatap Rakha tajam. Ia tidak menyangka, anak remaja yang dulu pernah meringis saat ia membantunya mengobati luka, kini justru menjadi orang yang memberinya luka dan penghinaan yang begitu besar.
“Tidak perlu,” ucap Nadira dingin, lalu menepis tangan Rakha yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Ia tidak membutuhkan tanggung jawab Rakha, karena lelaki yang ingin ia nikahi sampai detik ini hanyalah Galendra.
“Jangan mengungkit soal tadi malam. Anggap saja itu tidak pernah terjadi,” ucap Nadira sebelum melangkah pergi, meninggalkan Rakha.
Ia ingin melupakan semuanya—bahwa dirinya telah kehilangan kehormatan karena Rakha. Dan jika memungkinkan, ia tetap ingin menjalani hidup sebagai istri dan ibu dari anak-anak Galendra.
Rakha mengepalkan tangan, menatap punggung Nadira yang semakin menjauh. Ia bertindak sejauh ini bukan untuk dilupakan. Ia ingin Nadira membatalkan pernikahannya, dan itulah yang akan terjadi.
“Kamu pikir saya akan menyerah begitu saja? Tidak akan!” gumamnya dengan wajah penuh emosi.
***
Di lantai 15 DevaSpace HQ, lantai tempat para eksekutif Mahendra Grup bekerja, Rakha sengaja berpura-pura pergi ke ruang ayahnya hanya untuk melihat Nadira, yang ruangannya berada tepat di sampingnya.
Namun, Nadira tidak ada di tempat. Padahal, Rakha jelas-jelas melihat Nadira lebih dulu menuju lantai atas.
"Ke mana dia?" gumamnya.
Saat ia hendak berjalan ke ruang ayahnya, matanya menangkap sosok Nadira di ruangan lain, bersama seorang lelaki yang tidak dikenalnya.
"Siapa dia? Karyawan baru?" tanyanya dalam hati, sambil memperhatikan interaksi antara Nadira dan lelaki itu—seseorang yang baru ia lihat hari ini.
Nadira dan lelaki itu tampak sangat akrab, seperti dua orang yang sudah saling mengenal lama dan baru saja dipertemukan kembali. Dan Rakha tidak menyukai itu.
Dengan perlahan namun pasti, Rakha melangkah menuju ruangan itu, lalu masuk begitu saja tanpa permisi. Ia adalah calon pewaris perusahaan, merasa berhak memasuki ruangan mana pun tanpa harus meminta izin. Terlebih lagi, ruangan itu kini dihuni oleh lelaki yang berani bersikap terlalu dekat dengan wanitanya.
“Sedang membahas apa? Sepertinya seru sekali,” ucap Rakha sambil berjalan mendekat ke arah Nadira dan lelaki yang ia yakini sebagai karyawan baru.
Nadira dan lelaki itu sontak menoleh dengan gerakan cepat. Keduanya tampak terkejut oleh kehadiran Rakha, terutama Nadira.
“Selamat pagi, Pak Rakha. Saya sedang menjelaskan kepada karyawan yang akan menggantikan saya mengenai hal-hal yang perlu dikerjakannya,” jawab Nadira dengan nada profesional. Ia berusaha tetap tenang, meski sebenarnya merasa terganggu dengan sikap Rakha kali ini.
Saat Nadira hendak memperkenalkan Rakha kepada karyawan baru, begitu pula sebaliknya, Rakha lebih dulu menyelanya dan meminta Nadira mengikutinya.
"Ada yang perlu saya bicarakan dengan kamu, Nadira. Tolong ikuti saya," ucap Rakha tanpa menunjukkan ketertarikan sedikit pun terhadap karyawan baru tersebut.
Dalam hati, Nadira ingin sekali memaki Rakha, tetapi ia berusaha menahannya.
Nadira mengikuti Rakha masuk ke dalam ruang pribadinya—ruangan dengan meja bertuliskan Nadira Elvarani, Koordinator Khusus CEO. Ia tidak berniat memulai percakapan, hanya menunggu apa yang sebenarnya ingin Rakha bicarakan.
Rakha melangkah menuju meja kerja Nadira, lalu menarik kursi tempat Nadira biasa bekerja dari belakang.
"Apa kamu lupa bagaimana usahamu sampai bisa duduk di sini?" tanya Rakha kepada Nadira yang berdiri agak jauh darinya.
"Rakha, ayolah," Nadira kelepasan menyebut nama Rakha tanpa embel-embel “Bapak” karena lelaki itu kembali menanyakan hal yang sama seperti tiga bulan lalu.
Keputusan untuk berhenti bekerja telah Nadira ambil sejak jauh hari—tiga bulan yang lalu, dan Rakha mengetahuinya. Ia seharusnya tidak menanyakan hal itu sekarang.
"Jangan terlalu dekat dengan karyawan baru itu," ucap Rakha tanpa terlalu memedulikan Nadira yang tampak lelah menghadapinya.
Ia tahu betapa keras dan tangguhnya Nadira selama bekerja di perusahaan keluarganya. Permintaannya kali ini—untuk tidak terlalu dekat dengan karyawan baru—seharusnya bukan sesuatu yang sulit bagi Nadira. Ia pikir Nadira akan dengan mudah mengiyakannya.
"Saya tidak suka milik saya terlalu dekat dengan laki-laki lain," tambahnya.
Nadira menghela napas dengan gusar. Ia bukan milik siapa pun—terlebih lagi bukan milik Rakha. Ia hanya seorang perempuan yang berencana menikah dan menjadi milik Galendra dalam satu bulan ke depan.
"Pak Rakha—"
"Panggil saya Rakha saat kita berdua. Saya tidak suka dipanggil dengan embel-embel 'Bapak'," potong Rakha, menyela dan mengoreksi.
Ia lebih suka saat Nadira memanggilnya hanya dengan namanya, tanpa tambahan formalitas apa pun.
"Saya rasa permintaan saya tadi tidak memberatkanmu, jadi lakukan sesuai yang saya katakan," ujar Rakha, berniat melangkah mendekati Nadira setelah mengatakan itu. Namun, tanpa sengaja, matanya menangkap sesuatu di meja kerja Nadira—sebungkus pil kontrasepsi.
Satu sudut bibirnya terangkat tipis. Ia tahu Nadira telah mengingat segalanya—apa yang terjadi di antara mereka. Tapi ia tidak mengerti mengapa Nadira membeli pil itu.
Nadira, yang menyadari arah pandangan Rakha, spontan melangkah cepat dan meraih pil itu, menyelipkannya ke dalam tas dengan gerakan tergesa. Ia memang membelinya pagi tadi, sebelum berangkat ke kantor. Hanya untuk berjaga-jaga. Ia tidak ingin ada kemungkinan apa pun—terutama jika itu menyangkut benih Rakha dalam tubuhnya.
"Kenapa kamu panik?" tanya Rakha seraya menahan tangan Nadira. Tatapannya menajam. "Kamu sadar, kan? Kamu tahu saya tidak akan suka kamu meminum itu?"
"Rakha..." ucap Nadira lirih. Suaranya nyaris tidak terdengar, seolah takut jika percakapan mereka bocor ke luar ruangan—terutama ke telinga ayah Rakha.
Ia tahu, satu kesalahpahaman saja bisa meruntuhkan kepercayaan yang telah dibangunnya bertahun-tahun. Ia tidak ingin dianggap sebagai perempuan yang menggoda putra atasan. Meskipun belum tentu akan terjadi, namun ketakutan itu nyata—dan mengakar kuat dalam dirinya.
"Saya akan menikah... Saya membeli ini untuk menutup segala kemungkinan," ucapnya pelan, berharap Rakha menangkap maksud yang tidak mampu ia ungkapkan lebih gamblang.
Namun Rakha tidak peduli dengan penjelasan itu. Tanpa banyak bicara, ia merebut paksa pil kontrasepsi dari tas Nadira. Gerakannya cepat, nyaris tidak memberi kesempatan Nadira untuk menahan.
Lalu tanpa sepatah kata pun, ia melangkah keluar ruangan, membawa pil itu bersamanya. Hanya dengan cara seperti itu, Nadira takkan bisa memintanya kembali.
Nadira menatap punggung Rakha nanar. Ia ingin mengejar, ingin mengambil kembali sesuatu yang bukan hak Rakha—tapi langkahnya tertahan ketika sosok Tuan Mahendra muncul dari koridor.
Ayah Rakha berdiri tegak di ambang lorong, dan keberadaannya membekukan tubuh Nadira. Ia tidak bisa bergerak ke mana pun.
"Sebenarnya, apa tujuan kamu melakukan semua ini, Rakha..." gumam Nadira dalam hati. Dari balik kaca ruangan, ia hanya bisa menyaksikan Rakha dan ayahnya berbincang di depan sana—tanpa bisa mendengar sepatah kata pun.
Tuan Mahendra menyadari ada yang tidak beres antara putranya dan tangan kanannya. Ia bisa melihat dengan jelas—kemarahan yang tersembunyi di wajah Rakha, dan keputusasaan yang tak mampu Nadira sembunyikan.
"Sedang apa kamu di sini, Rakha?" tanyanya tenang. Karena seharusnya Rakha tidak berada di depan ruangan Nadira, melainkan di ujung kiri koridor, di ruang kerjanya sendiri.
"Tidak ada. Hanya membahas pekerjaan dengan Nadira," jawab Rakha, berbohong tanpa ragu. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya baru saja mengambil paksa pil kontrasepsi dari tas Nadira—berusaha melindungi kemungkinan tumbuhnya benihnya sendiri, calon pewaris Mahendra Group.
Tuan Mahendra mengangguk singkat. Meski tidak sepenuhnya yakin, ia tidak menunjukkan keraguan. Sebagai ayah, ia tahu perasaan Rakha terhadap Nadira, tapi memilih tidak mencampuri sejauh ini.
"Kalau begitu, sebaiknya kamu kembali ke ruanganmu dan selesaikan pekerjaanmu," ucapnya sebelum berbalik dan masuk ke dalam ruangannya sendiri.
Rakha mengembuskan napas lega. Setidaknya, ayahnya tidak bertanya lebih jauh. Ia meremas pil kontrasepsi dalam genggaman, lalu sempat melirik sekilas ke ruangan Nadira sebelum melangkah pergi, menuruti instruksi ayahnya.
***
Jam istirahat, Rakha berniat mengajak Nadira makan siang bersama. Ia tidak peduli pada hal besar yang telah terjadi di antara mereka dan tetap menginginkan perempuan yang dianggapnya miliknya itu berada di sisinya. Namun ternyata, Nadira sudah tidak ada di ruangannya. Ia terlambat.
"Ke mana Nadira? Apa dia belum sarapan sampai terburu-buru pergi makan siang?" gumamnya sambil melirik arlojinya. Baru satu menit berlalu sejak jam istirahat dimulai, tetapi Nadira sudah tidak ada di tempatnya.
Rakha tidak banyak berpikir. Mungkin memang benar Nadira belum sempat sarapan dan terburu-buru pergi makan siang karena itu. Ia tahu betul kebiasaan buruk Nadira yang tidak pernah hilang sampai sekarang—terlalu memikirkan pekerjaan hingga sering kali lupa sarapan.
"Setelah ini pasti perutnya sakit," gumamnya lagi, lalu melangkah menuju lift untuk turun ke lantai bawah dan mencari Nadira di tempat biasa ia makan.
Namun, saat tiba di lantai bawah, Rakha justru mendapati Nadira masuk ke dalam mobil seorang lelaki yang sangat dikenalnya—Galendra Wiranegara, calon suami Nadira. Ternyata, Nadira terburu-buru bukan karena belum makan, melainkan karena tidak ingin lelaki itu menunggu terlalu lama.
"Sial!" umpatnya pelan, menatap mobil yang membawa Nadira pergi.
"Rupanya kamu masih belum mengerti apa yang saya inginkan." Tangan Rakha terkepal kuat saat mengucapkan kalimat itu.
Ia mengira semua yang telah dilakukannya cukup untuk membuat Nadira memahami maksudnya. Namun, sepertinya Nadira belum cukup peka, dan kini ia harus melakukan sesuatu agar semuanya menjadi jelas bagi Nadira.
“Kalian tidak akan jadi menikah jika benih itu tumbuh di perutmu, bukan?” Rakha tersenyum miring menatap ke arah tempat terakhir Nadira berada, lalu berjalan keluar dari area kantor.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!