Api masih berkobar saat seorang wanita dengan gaun menyapu tanah warna merah darah, rambut terurai panjang, dan matanya yang ditutup kain warna merah darah itu berjalan menyusuri lorong istana. Setiap ia melangkah, api semakin berkobar seolah itu dari dirinya.
Dia berhenti di depan seorang bangsawan tua yang terbakar. Sisi bibir kanannya terangkat, tak lama kemudian dia tertawa puas—semakin mengobarkan api di sekitarnya.
"Inilah yang tidak aku sukai dari kalian, manusia berhati tamak yang menginginkan keabadian."
Wanita itu mengangkat tangannya, lalu batu api keluar dari sana. "Apa kau pikir batu api ini bisa menjadi milikmu? Lihat dengan mata kepalamu, apa batu ini bisa menjadi milikmu atau tidak?"
Wanita itu memasukkan batu api ke tubuh pria tua tersebut. Tak lama kemudian pria tersebut berteriak kesakitan saat tubuhnya terbakar oleh batu api yang ada di dalam tubuhnya.
"Rasakan sendiri akibat dari ketamakanmu! Batu api yang kalian inginkan selama ini tidak akan pernah menjadi milik kalian!"
"Seraphyne!" teriak seorang pria yang berdiri tidak jauh di belakangnya.
Wanita yang dipanggil Seraphyne itu membalikkan badan. Di hadapannya berdiri pria dengan jubah hitam pekat, sorot matanya tajam tapi di sekeliling pria tersebut terdapat air.
"Ah, pemilik batu air?"
"Hentikan semua ini, Seraphyne!"
Seraphyne terkekeh kecil. "Berhenti? Apa kau pikir aku yang memulai semua ini?!"
Pria itu mendekat, dia mengeluarkan batu bercahaya biru yang merupakan batu air. Dalam sekejap api padam oleh batu air tersebut.
"Manusia memang selalu seperti ini, Seraphyne. Mereka menginginkan kekuasaan dan keabadian, sampai mati pun mereka akan selalu seperti itu. Bukankah kau juga seperti itu dulu?"
"Veyron!" kedua tangan Seraphyne terkepal, raut wajahnya berubah penuh amarah.
"Kau tahu apa tentang aku? Aku tidak seperti mereka yang menginginkan kekuasaan dan keabadian!"
Veyron tersenyum sinis. "Memohon untuk memiliki batu api demi menghidupkan kembali orang yang mati itu sudah termasuk keserakahan, Seraphyne!" ucapnya yang membuat Seraphyne terdiam. "Kau awalnya juga manusia biasa sama seperti mereka yang habis kau bakar. Tapi lihatlah sekarang, kau menjadi abadi sebagai pemilik batu api!"
Kepala Seraphyne tertunduk. "Seandainya kau tahu, aku tidak pernah meminta keabadian. Dia juga tidak memberikan apa yang aku mau, lalu dunia menjadikanku iblis karena dia!"
"Ada yang dinamakan penerimaan takdir. Saat itu kau seharusnya menerima kekasihmu mati dan menunggu sampai reinkarnasi selanjutnya. Bukankah kau juga egois?"
Seraphyne tersenyum sinis sambil terkekeh kecil. "Kau tidak akan pernah mengerti rasanya mati dalam keadaan tidak adil, Veyron. Kau juga tidak akan mengerti bagaimana hidup tanpa keadilan, selalu dijadikan sasaran, dijadikan tumbal kekuasaan, hidup seperti itu sama seperti menyelam tanpa menemukan permukaan. Aku hanya ingin memberikan sedikit keadilan untuknya, ingin menyuarakan penderitaannya selama ini. Lalu, dimana letak keegoisanku?"
Veyron menghembuskan napas kasar, tidak lagi beradu argumen dengan wanita di hadapannya. Karena dia sendiri tahu apa yang diterima Seraphyne setelah keinginannya tidak terwujud. Luka yang tak akan pernah sembuh dan dendam yang tidak tahu dia tujukan untuk siapa. Dia menyaksikan satu persatu orang yang dicintainya mati, menyaksikan bagaimana orang yang menghancurkannya hidup bergelimang harta, itu saja sudah sangat membuatnya menderita.
"Suatu hari nanti kau pasti akan bertemu dia kembali. Saat itu tiba, dia tidak akan mengenalmu sebagai orang yang bersimpuh di hadapan batu api purba demi menghidupkannya kembali dengan menukar nyawamu. Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Veyron yang membuat Seraphyne tersenyum penuh kepiluan.
"Veyron, saat aku bersimpuh di hadapan batu api purba, apa kau tahu isi pikiranku?" Seraphyne menatap Veyron. "Aku tidak berharap dia mengingatku sebagai orang yang dia cintai, tapi aku hanya ingin melihat dia hidup dengan menerima keadilan, penuh kehangatan, dan penuh cinta dari orang-orang di sekitarnya. Jika aku harus membayar itu dengan nyawa, aku selalu bersedia."
"Sungguh cinta yang bodoh!" sarkas Veyron. "Perbaiki saja sikapmu, Seraphyne. Jangan sampai kisah lama terulang kembali."
Setelah mengatakan itu Veyron menghilang dari sana, meninggalkan Seraphyne sendirian yang masih bergelut dengan pikirannya.
...****************...
Angin malam menari di antara reruntuhan istana yang terbakar. Api tak lagi menjilat langit, tapi hangatnya masih tersisa, mengendap di dinding-dinding retak seperti rahasia yang enggan mati.
Di tengah halaman istana yang sunyi, ia berdiri—Seraphyne.
Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai, berkilau merah saat terkena pantulan cahaya dari batu kecil menyala di telapak tangannya. Batu itu tak pernah dingin, tak pernah padam. Dan ia, perempuan yang telah hidup dua ratus tahun lamanya, tak pernah benar-benar tidur.
Suara langkah menghentak tanah kering. Seorang pria muda berlutut di hadapannya, lututnya gemetar, napasnya memburu.
"Aku... mohon... tolong selamatkan putriku."
Seraphyne menunduk perlahan. Matanya tertutup kain merah, bukan karena ia buta, tapi karena ia memilih untuk tidak melihat wajah-wajah yang akan mati.
"Apa keinginanmu?" suaranya tenang, nyaris seperti bisikan api di bara yang sekarat.
"Kesembuhan. Dia hanya anak-anak. Tak ada yang pantas mati di usia tujuh tahun." suara pria itu pecah. Air mata jatuh, mencium tanah yang terlalu dingin untuk belas kasihan.
Seraphyne mengulurkan tangannya. Batu Api bersinar terang, menyala merah darah. "Kau tahu harganya?"
Pria itu mengangguk, tanpa ragu. "Ambillah nyawaku. Selama dia hidup."
Seraphyne tidak berkata apa-apa. Batu itu menyala semakin terang, lalu meredup. Saat itu juga, tubuh pria itu terhempas ke tanah—tak bernyawa.
Jauh di kejauhan, seorang gadis kecil yang sebelumnya sekarat... membuka matanya.
Dan Seraphyne kembali sendiri. Angin membawa bau kematian, tapi ia sudah terbiasa. Setiap permohonan adalah sisa luka baru yang tak pernah sembuh. Ia adalah penjaga keajaiban yang tak diminta.
Angin gunung berdesir perlahan, membawa aroma asap dari istana yang terbakar di kejauhan. Di tebing terpencil yang menghadap lembah luas, seorang wanita berdiri diam mengenakan jubah merah darah yang berkibar melawan langit senja. Matanya tertutup kain merah, bukan karena buta, melainkan karena ia memilih untuk tidak melihat dunia yang terus berubah sementara dirinya tetap abadi—terikat pada kutukan batu api.
Seraphyne, sang pemilik batu, telah hidup lebih dari dua abad. Waktu tak lagi menggores kulitnya, namun luka di dalam hatinya tetap membusuk, tak pernah sembuh sejak malam itu—malam ketika rajanya, satu-satunya lelaki yang pernah ia cintai, meregang nyawa di medan perang karena pengkhianatan.
Ia telah memohon. Bersimpuh di hadapan api purba yang menyala dari batu sihir tertua di dunia. Batu itu mampu mengabulkan keinginan siapa pun... dengan satu syarat, nyawa sebagai ganti.
Namun batu itu tidak menukar nyawa rajanya dengan nyawanya sendiri. Ia justru memilih Seraphyne sebagai penjaga abadi—sang pemilik. Ia tak mati. Ia tetap hidup, menyaksikan dunia yang terus berputar tanpa keadilan.
Kini, dua ratus tahun telah berlalu. Kerajaan telah runtuh, silsilahnya lenyap, dan hanya nama batu api yang tetap ditakuti dan diburu.
Sore itu, Seraphyne turun ke perkampungan militer di kaki pegunungan, menyamar sebagai penyembuh keliling yang matanya tertutup kain putih. Dia juga merubah jubahnya menjadi warna putih dengan rambut yang biasa ia uraikan tapi kini disanggulnya. Orang-orang memanggilnya 'Sang penyembuh buta dari Utara'. Hal itu selalu dia lakukan setiap tanggal 16, sebagai pengingat bahwa di tanggal itu dia pernah kehilangan segalanya. Ia turun bersama Ramord—gagak hitam yang bisa berubah wujud menjadi manusia. Dia mendapatkan Ramord saat ia terpilih menjadi pemilik batu api.
"Tuanku..."
Seraphyne berhenti saat Ramord memanggilnya. Meskipun matanya tertutup kain putih, tapi Ramord dapat merasakan tajamnya tatapan dari tuannya.
"Maaf... Puan Ephyra..."
"Ada apa?" tanya Seraphyne sambil melanjutkan langkahnya.
"Sampai kapan kita akan melakukan hal ini? Bukankah kau juga merenggut nyawa orang yang menginginkan hal mustahil, tapi kenapa kau juga menyembuhkan orang lain?"
Seraphyne menghembuskan napas kasar. "Kita sudah melakukan ini selama 200 tahun dan kau masih belum mengerti juga, Ramord?" pria di belakangnya hanya menggelengkan kepala.
"Orang yang aku renggut nyawanya adalah orang berhati tamak, mereka serakah, rela mengorbankan hal yang berharga di hidup mereka demi kehidupan yang abadi. Sedangkan orang yang aku sembuhkan adalah orang yang memiliki hati lembut, mereka adalah korban dari yang berhati tamak." jelas Seraphyne yang membuat Ramord menganggukkan kepalanya.
"Aku paham. Jika seperti itu, bukankah sebenarnya kau tidak jahat? Kenapa di mata manusia kau dianggap iblis?"
"Karena aku memiliki batu api."
Ramord tidak lagi menyahut. Dia memilih diam dan mengikuti tuannya sampai ke perkampungan militer.
Seraphyne tak berniat menemukan siapa pun. Tapi takdir selalu memiliki jalannya sendiri. Langkahnya terhenti ketika pandangannya bertabrakan dengan seorang lelaki muda yang memancarkan aura kuat dan ketegasan alami. Rambutnya gelap, matanya teduh, dan senyumnya—senyum yang dulu hanya milik rajanya.
“Panglima Alvaren,” bisik seorang prajurit saat lelaki itu berjalan melewatinya.
Seraphyne menggenggam lengan jubahnya erat. Darahnya berdesir. Napasnya tercekat.
Itu dia.
Bahkan setelah dua abad, jiwanya tak berubah. Raja yang ia cintai telah kembali—namun bukan sebagai raja, bukan sebagai suaminya. Ia bahkan tak mengenalinya.
Seraphyne membeku. Dunia seolah berhenti berputar saat Alvaren melintas tak jauh dari tempatnya berdiri. Sorot matanya yang dulu mengandung kelembutan kini memancarkan keyakinan seorang pemimpin muda. Suara langkahnya tegas, penuh wibawa. Tapi tidak ada kilasan pengakuan di wajahnya. Tidak ada keraguan atau pertanyaan yang menunjukkan ia mengenal wanita yang memandangnya penuh luka dan rindu.
Ia benar-benar tidak mengingatnya.
“Penyembuh dari Utara?” tanya seorang perwira yang membawanya ke kemah pusat. “Panglima ingin semua pasukan mendapatkan pemeriksaan sebelum bergerak ke timur. Kudengar Anda berpengalaman.”
"Tentu saja. Puan Ephyra merupakan penyembuh yang sangat berpengalaman. Orang yang kritis berbulan-bulan saja bisa sembuh berkat Puan Ephyra." jelas Ramord dengan bangganya.
Seraphyne menarik ujung baju Ramord. "Hentikan, kau terlalu berlebihan." bisiknya tapi Ramord mendengar itu sebagai ancaman. Dia langsung diam dan memundurkan langkahnya.
"Aku bisa membantu."
Langkahnya mengarah pada takdir yang tak pernah bisa ia tolak. Takdir yang dulu ia perjuangkan dengan darah dan air mata, yang kini memaksanya menghadapi bayangan masa lalu dalam wujud lelaki yang sama sekali tak lagi mengenalnya.
Di dalam tenda utama, Alvaren berdiri memandangi peta strategi. Wajahnya serius, tapi tak kehilangan kehangatan yang dulu membuat seluruh rakyat mencintai rajanya. Beberapa prajurit berdiri tegak, menunggu perintah.
Mata mereka bertemu. Dan sekali lagi, tak ada yang terjadi.
“Terima kasih telah datang, Penyembuh,” katanya ramah. “Pasukan kami kelelahan. Kehadiranmu sangat berarti.”
Suara itu. Nada itu. Itu adalah suaranya. Tapi tidak disertai ingatan.
Seraphyne membungkuk pelan. “Aku hanya menjalankan tugasku.”
Ia tidak menangis. Ia tidak mengamuk. Ia hanya diam—karena kutukannya adalah menyaksikan orang yang ia cintai hidup lagi… tanpa mengenalnya. Dan lebih menyakitkan dari kematian adalah dilupakan.
Malam itu, saat api unggun berkobar dan para prajurit tertidur, Seraphyne berdiri sendiri di pinggiran perkemahan, menatap ke arah bintang yang pernah menjadi saksi janji mereka berdua.
Ia berbisik ke langit, “Jika kau tidak mengenalku sebagai ratumu, setidaknya biarkan aku melindungimu kali ini… sebagai siapa pun aku di matamu.”
Dan di dalam dirinya, batu api yang tersembunyi di jantung bumi berdenyut pelan, menyadari bahwa permainan lama baru saja dimulai kembali.
"Puan," Ramord berjalan mendekati Seraphyne yang masih menatap langit. "Pria itu dia, kan?"
Terdengar helaan napas Seraphyne. "Maksudku, kau tampak terkejut tadi. Aku tidak pernah melihatmu seperti itu, Puan Ephyra." lanjut Ramord yang membuat Seraphyne langsung menatapnya.
"Apa kau tahu, Ramord? Aku tidak pernah meminta takdir yang seperti ini. Tapi setelah aku tersadar, ini adalah kutukan. Melihat orang yang aku cintai sama sekali tidak mengenaliku." ucap Seraphyne yang terdengar penuh kepiluan.
"Apa yang dikatakan Veyron benar. Hal ini pasti akan terjadi," Seraphyne kembali menatap langit. "Apa aku harus menerima takdir dan kutukan seperti ini, Ramord?"
"Aku akan kembali ke batu api purba dan meminta jawaban di sana, aku.."
"Ramord," Seraphyne menatap Ramord. "Dia tetap akan diam."
Ramord menghela napas. Benar. Dia pernah menemani Seraphyne ke batu api purba untuk meminta jawaban. Sampai 100 hari mereka disana tapi sama sekali tidak ada jawaban.
"Biarkan saja. Aku ingin melihat bagaimana dia memperlakukanku kali ini."
Pagi itu Seraphyne dan Ramord kembali ke pegunungan utara. Sepanjang perjalanan Ramord cemas melihat Seraphyne yang berjalan dengan lesu. Wanita itu terlalu banyak mengobati orang kemarin, energinya habis terkuras.
"Apa energi tuanku habis karena terlalu banyak mengobati orang kemarin?" tanya Ramord hati-hati takut membuat Seraphyne marah.
"Batu api ini akan sangat menyakitiku saat aku terlalu banyak menggunakannya untuk melakukan penyembuhan." ucap Seraphyne pelan sambil meremas dadanya yang terasa sakit.
Ia berhenti berjalan dengan badan sedikit bungkuk. "Kau.. pulanglah lebih dulu. Beri tahu orang rumah untuk mengisi kolam dengan air dingin. Aku akan menyusul,"
"Tapi.."
"Jangan membantahku, Ramord!"
Tanpa berkata lagi, Ramord langsung berubah menjadi burung gagak hitam dan terbang menuju Desa Narethor—rumah Seraphyne sebenarnya dimana dia dikenal sebagai penyembuh. Orang-orang desa sangat menghormatinya karena menyembuhkan semua penyakit, baik yang ringan maupun yang berat sekalipun. Mereka mengagungkan nama Ephyra—sang penyembuh buta dari utara tanpa mereka ketahui yang sebenarnya bahwa wanita itu adalah Seraphyne—sang pemilik batu api.
Seraphyne jarang menghabiskan waktu di rumahnya. Sesekali ia pulang jika berada di istana api miliknya sangat melelahkan.
Seraphyne berpegangan ke pohon besar di sampingnya. Kali ini batu api di dalam tubuhnya seolah akan membakar dirinya. Tubuhnya juga sudah basah oleh keringat.
Tapi dia tidak boleh kalah. Bagaimanapun dia yang punya kendali atas batu api tersebut, dia tidak boleh kalah.
"Arghhh.." Seraphyne meringis kesakitan saat ia mencoba melangkah tapi kakinya melemah. Dia benar-benar kehabisan tenaga.
"Bukankah aku sudah memperingatkanmu untuk tidak menggunakan batu api terlalu sering, Seraphyne?"
Seraphyne terduduk di atas tanah sambil bersandar pada pohon besar. Suara itu menggema di sekitarnya. Suara yang sama—yang menjawabnya saat bersimpuh di depan batu api purba.
"Batu api itu bisa membakarmu, apa kau tidak mengerti?"
Seraphyne terkekeh kecil. "Ambil saja batu api ini. Kenapa kau memberikan batu api ini untukku jika aku tidak bisa menggunakannya?!"
"Kau memang ditakdirkan sebagai pemilik batu api, Seraphyne. Tapi apa yang menjadi milikmu tidak bisa kau gunakan sesuka hatimu, atau kau sendiri akan terbakar oleh batu api itu."
Seraphyne semakin meringis kesakitan. Keringat bercucuran ke tanah.
"Semakin sering kau menggunakan batu api untuk menyelamatkan orang lain, maka batu api itu akan semakin memanas di tubuhmu."
"Lalu, apa kau akan diam saja melihat orang-orang terluka akibat keserakahan?! Bahkan kau sendiri saja tidak bisa berlaku adil!"
"Biarkan hukum alam bekerja sesuai dengan jalannya. Kau tidak perlu mengorbankan dirimu sendiri, Seraphyne."
Kedua tangan Seraphyne terkepal. Itulah yang dia dengar ketika meminta nyawanya di tukar dengan rajanya.
"Aku tidak peduli jika aku akan hancur karena batu api ini. Jika kau tidak bisa memberikan keadilan untuk mereka, maka aku akan tetap menjadi penyembuh untuk orang-orang!"
"Kau sungguh keras kepala, Seraphyne." Veyron tiba-tiba muncul di hadapan Seraphyne yang masih tidak bertenaga.
Veyron berjalan mendekati Seraphyne. "Bukankah rasanya sangat menyakitkan?"
"Diamlah, aku tidak ingin berdebat dengan mu hari ini." Seraphyne berusaha untuk berdiri sambil berpegangan pada pohon.
"Baiklah. Aku hanya ingin menyampaikan pesan dari dia. Saat bulan purnama nanti, semua pemilik batu kehidupan akan di kumpulkan di Thalos untuk membahas beberapa agenda. Aku sengaja memberitahumu lebih awal sebelum ingatanku terhapus." ucap Veyron yang membuat Seraphyne tersenyum meremehkan.
"Kau tahu jika aku tidak pernah datang ke pertemuan, Veyron. Tidak perlu repot memberitahuku."
"Pertemuan kali ini akan membahas batu yang telah lama dimusnahkan." ucap Veyron sambil menatap Seraphyne. "Batu yang pernah kau inginkan," lanjutnya yang membuat Seraphyne menelan salivanya.
"Aku harap kau akan datang, Seraphyne. Kau sendiri tahu jika Thalos tidak akan bisa di buka tanpa kekuatan 6 pemilik batu." setelah mengatakan hal itu Veyron menghilang begitu saja.
Seraphyne bergelut dengan pikirannya. Untuk apa membahas batu yang telah lama di musnahkan? Tapi setelah tersadar, ia segera menuju rumahnya dengan tenaga yang tersisa.
“Ephyra!” Rae berlari kecil menyambut, bola matanya membulat melihat sosok perempuan yang nyaris roboh. “Kau berdarah?”
Ephyra memaksakan senyum. “Tidak, Rae... hanya lelah.”
Rae—gadis kecil yatim piatu yang pernah Ephyra selamatkan dari wabah dua tahun lalu—kini tinggal bersamanya, menganggap Ephyra sebagai ibu, guru, sekaligus rumah. Ia masih kecil, tapi hatinya penuh empati, dan tangannya cekatan membantu di rumah maupun saat meracik obat.
Tak lama, Mareen muncul dari dapur, membawa air dingin dan kain lembap. Wajahnya cemas namun tegar, seperti biasa. Mareen adalah wanita paruh baya yang memilih tinggal bersama Ephyra setelah rumah dan keluarganya hancur dalam peperangan lima tahun lalu. Ia tak pernah bertanya siapa Ephyra sebenarnya—ia hanya tahu bahwa hidupnya diselamatkan, dan itu cukup.
“Kau tak harus menyembuhkan semua orang di utara ini,” gumam Mareen sambil menekan kain lembap ke leher Ephyra. “Bahkan para dewi pun butuh istirahat.”
Ephyra menatap kosong api kecil di tungku. Tangannya—biasanya cekatan meracik ramuan—kini gemetar hebat saat menggenggam cangkir air dari Mareen.
Ramord keluar dari dapur. "Kolam sudah terisi dengan air dingin."
"Cepat, bantu Ephyra."
Mereka membawa Seraphyne ke kolam pemandian di belakang rumah. Kolam itu sudah diisi dengan air dingin dan terdapat banyak es balok mengapung di permukaannya. Mereka memasukkan Seraphyne ke dalam kolam dengan wajah tak tega. Tapi itu adalah satu-satunya cara untuk meredakan panas api di tubuh Seraphyne.
“Berapa banyak hari ini?” tanya Mareen lirih.
“Tiga puluh dua,” jawab Ephyra nyaris tak bersuara. “Dan satu anak... memanggilku ‘ibu’ sebelum tertidur.”
Keheningan menyelubungi belakang rumah. Hanya suara angin dan detak jantung Ephyra yang terdengar dalam pikirannya. Ia kelelahan. Bukan hanya tubuh, tetapi juga jiwanya.
Narathor masih ramai di luar sana—pasar belum sepi, tawa anak-anak masih terdengar di kejauhan. Mereka mengenalnya sebagai penyembuh murah hati, bukan pemilik Batu Api yang dikutuk kekal. Mereka tak tahu bahwa tangan yang menyembuhkan hari ini, pernah membakar pasukan musuh berabad lalu demi seorang raja yang tak pernah bisa ia selamatkan. Tangan yang menyembuhkan itu juga merenggut nyawa orang yang menginginkan kekuasaan dan keabadian. Mereka tak pernah tahu dan Seraphyne hal itu akan selalu terkubur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!