NovelToon NovelToon

TANTE VIVIANNA

Bab 1

“Kalau kamu butuh apa pun, kamu bisa hubungi saya.” Tante Vivianna menyerahkan ponselku yang sudah dimasukkan nomornya.

Aku tak mengerti…

Dia tidak ada hubungan darah denganku, dia hanya seseorang yang dicurigai sebagai selingkuhan ayahku, tapi akhirnya bukti-bukti yang ada mengatakan sebaliknya. Dia tak terlibat. Hanya karena kecantikannya, status jandanya, dan gaya hidupnya yang glamor, ia dicemburui banyak wanita termasuk ibuku.

“I promised to your Dad, if something happens, saya akan take care kamu.” logatnya campuran Indonesia Inggris. Tapi wajahnya ini… aku baru kali ini menjumpai wanita dengan paras seunik ini.

Dia tinggi, pinggangnya ramping, dadanya membusung seakan sedari kecil diajarkan cara duduk tegak disangga kayu di punggungnya. Dan wajahnya ini, antara chinese tapi ke arab-arab-an. Yang jelas sangat mencolok diantara kami yang pribumi ini

“Kita masih saudara jauh. kalau dirunut ya kamu itu masih keponakan saya jatuhnya.” kata Tante Vivianna lagi.

Kalau kupikir-pikir, disebut keponakan pun ya masih jauh juga hubungan kekerabatannya. Ayahku memiliki adik, kusebut saja Si Om, Dan si Om ini memiliki sepupu. Tante Vivianna ini adalah istri dari si sepupu itu. Namun suaminya sudah meninggal dan Tante akhirnya mengambil alih semua bisnis usaha suaminya sampai sebesar sekarang. Karena hubungan kekeluargaan yang baik, dulu Tante Vivianna dan ayahku pernah berbisnis bersama, mereka bekerjasama untuk pengadaan barang. Dan ibuku cemburu karena mereka sering Dinas keluar negeri untuk melobi berhari-hari bahkan bisa sebulan lebih keliling dunia.

Bisa dibilang, Tante Vivianna bahkan lebih mengenal ayahku dibanding ibuku.

Setelah tuduhan itu, Tante Vivianna kabarnya memutus semua kontrak dengan ayahku, dan membayar dendanya, dan akhirnya dia menghilang.

Dia baru muncul lagi hari ini.

Di Hari pemakaman ayah dan ibuku.

Yang bunuh diri karena bangkrut.

Aku mungkin juga akan menyusul mereka kalau saja aku makan sate itu. Kala itu CCTV di rumahku juga aktif, semua bukti forensik valid.

Kalau mereka berdua bunuh diri, meminum Arsenik.

Lalu mereka membubuhkan arsenik juga di sate di meja makan, agar termakan olehku saat aku pulang sekolah.

Waktu itu, Kalau Bahar tidak menelpon ku mengajakku nongkrong makan somay di depan warung madura sambil ngomongin rencana kami camping di Pangrango, mungkin aku sudah makan sate itu.

Saat ini aku bahkan dalam keadaan shock.

Bahar masih terisak-isak di sebelahku, dia juga shock.

Sudah dua hari kami terbengong-bengong tak mampu ngapa-ngapain.

Kami berdua menemukan orang tuaku tidur berdampingan di atas kasur mereka dalam keadaan sudah memucat.

tangannya belum berhenti gemetar.

Aku sendiri seperti tak mampu menggerakkan tubuhku. Lemas sekali rasanya. Rasanya aku sangat lumpuh. Tak kuasa menggerakkan tubuhku. Aku tak percaya semua ini terjadi.

Padahal…

Padahal ibu masih tersenyum padaku saat aku pamit berangkat sekolah di pagi harinya.

Aku sudah bilang padanya kalau aku akan ambil kuliah di Semarang saja, sesuai dengan penerimaan PTN dari SNBT. Untuk biaya Kos aku akan sambil bekerja. Orang tua Bahar bersedia merekrutku sebagai penjaga kasir di minimarket franschise mereka di Semarang.

Ayahku bahkan memelukku sambil mengelus kepalaku, “Jangan merepotkan orang lain ya Den. Ayah dan ibumu saja yang kau merepotkan karena kamu kan tanggung jawab kami.”

“Justru sekarang, seharusnya aku sudah bisa merawat Ayah dan Ibu.” sahutku menanggapi ucapannya. Aku anak tunggalnya, satu-satunya pula. Dan aku mengerti mereka dalam keadaan Bangkrut. Aku akan sedikit-sedikit meningkatkan taraf hidup keluargaku. Mungkin tak akan sampai menyamai kedudukan ayahku dulu, tapi setidaknya walaupun sedikit, aku akan berusaha mencukupi kebutuhan mereka.

Kalau kata Agamaku, Berbuat Baiklah ke kedua Orang Tuamu.

Bukan ‘bahagiakan’.

Karena kita semua tahu, banyak manusia yang memiliki watak sulit dibahagiakan. Banyak manusia yang serakah dan ingin lebih padahal yang mereka butuhkan sudah terpenuhi.

Jadi aku ingin berbuat baik sebanyak-banyaknya ke kedua orang tuaku.

Dan urusan cari pacar… belum ada di kamusku.

Kasihan pacarku nanti tak dapat perhatian karena waktuku akan tersita untuk bekerja dan untuk kedua ortuku.

Kini… mereka sudah tiada.

impianku musnah dalam sekejab.

Dan Tante Vivianna ini muncul dengan mobil mewahnya, gaun hitam-hitam dengan sepatu hak tinggi yang mentereng, rambut megar-megar dan bibir semerah apel. Menatap keranda jenazah ayah ibuku dengan sinis, lalu menghampiriku.

Memberikan nomornya padaku.

Kepergian Tante Vivianna sontak membuat heboh semua saudaraku.

“Untuk apa dia datang? Dasar pelakor!!”

“Yah setidaknya kalau datang tuh doa yang bagus, maaf-maafan, lah ini malah petantang-petenteng. Sudah Dennis, tak usah kau pedulikan dia! Bawa sial tuh perempuan.”

“Terasa nggak, sejak dia pergi, keluarga Doni tuh kayak ketimpa musibah terus. Kayaknya Vivianna ngirim dukun deh karena sakit hati.”

dan banyak omongan lain.

Doni ayahku, memang kerap bertengkar dengan ibuku masalah Tante Vivianna ini. Aku sih tidak tahu duduk perkaranya, tapi ibuku memang selalu sensitif kalau ada yang berkaitan dengan Tante Vivianna. Bahkan melihat bekas kontrak kerja saat ayahku masih menjalin kerjasama bisnis saja Ibuku bisa ngamuk.

Kalau melihat ig atau Tiktok yang konten kreatornya mirip dengan Tante Vivianna, ibuku suka julid sambil bilang “Nih mirip banget sama ani-ani mu! Tak usah kau bela dia, udah jelas kalian sering sehotel bareng kok!’

Dan ayahku hanya berbisik di dekat telingaku, “Kan duit hasil bisnis juga dinikmati ibumu, kalau tidak berbisnis dengan Vivianna mana mungkin rumah sebesar ini kebeli.” gumam ayahku sambil tetap mengetik.

Dari situ aku tahu, mereka ini menjalin hubungan profesional. Dan justru Tante Vivianna membantu ayahku.

karena kuakui, ayahku ini… sebenarnya kurang jujur dalam bisnisnya. Ia cenderung ceroboh menjalin kontrak, mau saja ditipu mafia dengan iming-iming investasi bodong, senantiasa memakai fasilitas perusahaan untuk tujuan pribadi seperti beli mobil dan properti. Tante Vivianna mungkin tahu tapi karena hubungan saudara jadi ia membiarkan.

Setelah memakamkan ayah ibuku, Bahar mendekatiku sambil bilang : “Kutemani kau saja ya? Aku menginap.”

Aku menatapnya sambil menggeleng, “Justru… aku yang ingin menginap di rumahmu.”

“Ini rumahmu, bodoh. Masa kau takut.” ia mengeplak kepalaku.

“Aku tidak sehebat itu.” aku menoleh ke arah kamar orang tuaku yang masih dihalangi garis polisi.

Bahkan meja makanku masih diberi garis kuning, tempat sate itu masih tersaji di atas sana. Beberapa polisi masih mondar mandir di sekitarku, mereka mengawasi gerak gerikku sambil mengumpulkan dokumentasi. Walau pun kematian ayah ibuku sudah ditetapkan sebagai kasus penghilangan nyawa secara sendiri.

Entah bagaimana awalnya, kurasa aku terbayang posisi ayah ibuku saat mereka kutemukan.

Dan seketika, aku seperti sesak nafas.

Aku sudah memerintah otakku untuk ‘ayo bernafas, ayo sabar, tenang, semua akan berlalu, badai kan biasanya berhenti’ tapi tubuhku tetap kaku.

Malah sekarang gemetaran karena aku tak bisa bernafas.

Rasanya pandanganku mulai buram.

Gerakanku tak terkendali.

Aku tahu, aku kejang, tapi tak bisa kukendalikan.

Tubuhku seperti tidak menurut ke perintahku.

Aku mendengar suara teriakan, memanggil namaku.

Suara banyak orang.

Ya Tuhan… jangan sekarang.

Aku masih muda, masih banyak yang ingin kulakukan.

Aku pasti akan mati sebentar lagi kan?

Dan saat itu, di pandanganku yang sudah mulai tidak fokus, sosok itu datang.

Dia berpakaian casual, dress putih dengan jaket coklat. Rambutnya yang dicat coklat tergerai lembut di bahunya.

Bibirnya… Seperti tampilan tadi pagi, merah merona. Dan mata tegasnya memandangku dengan tajam.

Parfum…

Parfum wangi mawar.

Mulai menyelimuti tubuhku.

“Tenang Dennis… ada saya sekarang.” Bisiknya di telingaku.

Aku memejamkan mataku.

Tante Vivianna di dekatku.

Keharuman tubuhnya menghipnotisku untuk mengalihkan pikiranku dari suramnya hari-hariku seminggu ini.

Ada dia sekarang…

Aku aman.

Bab 2

Kuharap aku berada di tempat ini dengan orang lain.

Memandang wajah ibuku yang khawatir, atau ayahku yang prihatin.

Tapi tidak...

Bukan mereka yang kutemui.

Bukan mereka yang ku pandang, bukan mereka yang menungguku sadar.

Aku rasanya ingin kembali ke alam mimpi, saat mereka masih ada.

Aku melihat sosok itu di depanku, sosok yang seumur hidup tak pernah kulihat tapi selalu jadi bahan pertengkaran orang tuaku.

Tante Vivianna dengan rambut coklatnya yang indah.

Dia duduk dengan anggun di kursi sebelah ranjangku.

Dari selang infus yang jarumnya menghujam punggung tangan, aku tahu aku dimana.

“Katanya kamu terserang pseudoseizure. Depresi bisa menjadi pemicu kejang. Besok kita ke unit gangguan jiwa.” Katanya.

“Tidak usah, tante.” Aku mencoba duduk.

Pusing sekali kepalaku.

“Ini serangan pertama kamu?”

“Iya.”

“Dan kita tahu penyebabnya apa.” Bukan pertanyaan tapi pernyataan.

“Bukan kali ini saya depresi, tapi baru kali ini saya kejang.”

“Dokter takutnya kamu sempat menegak sesuatu yang mengandung Arsenik yang dibubuhkan orang tuamu. Kamu makan atau minum di rumah nggak?”

“Iya lah Tante... kejadian itu kan seminggu yang lalu, bahkan jasadnya baru bisa dimakamkan kemarin lusa. Ya saya pasti makan minum di rumah itu.”

“Polisi nggak protes kamu berkegiatan di sana?”

“Mungkin karena dari awal mereka tahu kalau ini kasus bundir. Malamnya saya menginap di rumah Pak RT,  saya belum bisa tidur di rumah.” Kataku.

“Bagaimana dengan besok? Penyelidikan sudah ditutup.”

Aku deg-degan.

Iya ya... besok aku kayaknya menginap saja di rumah Bahar. Ya tapi mana mungkin terus-terusan menginap di rumah Pak RT? Menginap di rumah Bahar saja aku nggak enak kalau lebih dari 3 hari. Tapi menginjakkan kaki di teras rumah saja hatiku rasanya campur aduk nggak karuan!

Aku bingung.

Tante Vivianna pun berdiri dan mendekatiku. Wangi parfumnya langsung menyerang hidungku.

“Kamu takut?” tanyanya.

Aku mengangguk sedikit. Malu juga mengakui kalau aku takut. Tapi apa boleh buat, aku berbohong pun dari tingkahku pasti mudah tertebak.

“Bukan takut setan kan?” tanyanya lagi.

“Takut semuanya. Takut nggak sengaja minum racun juga, takut teringat saat-saat terakhir saya melihat mereka, juga takut hal-hal yang tak bisa saya jelaskan.”

“Kamu perlu takut, memang.”

Aku pun menatapnya, ku angkat wajahku. Kenapa dia bilang begitu?

“Kamu perlu pindah dari sana. Jangan bawa apa pun kecuali benda yang kamu bawa saat terakhir kamu bermain.”

Mendengar kalimatnya, aku seketika berpikir, kdarimana dia tahu aku waktu kejadian itu baru saja pulang main? Nongkrong bersam aBahar makan somay? Apa dia tahu dari polisi?

“Bagaimana dengan data-data penting? Perhiasan peninggalan?” tanyaku

“Akan saya urus, setelah saya memastikan tidak ada satupun benda terpapar racun di sana, setelahnya saya akan masukan ke safe deposit box, kamu yang akan pegang kuncinya.” katanya tegas.

“Kapan Tante akan urus?”

“Malam ini. Beberapa 'orang saya' sedang di rumah kamu, mengumpulkan benda penting milik kamu.” katanya.

Orang saya? Orang-orangnya? Karyawan atau bagaimana? Dan bagaimana mereka bisa masuk ke dalam rumahku di saat polisi mondar-mandir di sana? Area itu tidak boleh dimasuki oleh orang yang tidak berkepentingan. Yang kutahu selama ini yang boleh masuk hanya Pak RT dan Bahar karena dia saksi.

“Komputer dan semacamnya-“

“Tinggalkan.” ia memotong kalimatku.

“Kenapa?” aku agak sewot.

“Saya tidak ingin ambil risiko.” Kata Tante Vivianna.

Ia mengangkat tangannya dan mengusap rambut yang menutupi dahiku. “Kami akan ambil SSD atau NVME kamu, itu saja bagian yang bisa kamu miliki dari komputer kamu.”

“Risiko apa yang akan terjadi?” tanyaku masih penasaran.

“Orang tuamu meninggalkan banyak hutang, Dennis. Ada 2 miliar sendiri, dari berbagai orang, pinjol dan Bank. Setelah ini pasti akan ada banyak yang datang ke sana menagihnya. Saya tidak ingin kamu berada di sana saat mereka datang. Pun, saya tidak ingin ada satu pun keluarga yang tahu dimana kamu berada sekarang. Karena orang tua kamu juga berhutang ke sebagian besar keluarga kamu.”

Tanganku gemetaran lagi.

Dua miliar Ya Tuhanku... untuk apa uang sebanyak itu selama ini?!

“Apakah... apakah mereka juga berhutang ke Tante?”

“Sebaliknya Dennis. Saya menawarkan diri ke Doni untuk membantu melunasi semuanya, tapi ibu kamu malah maki-maki saya. Menuduh saya pela cur dan sebagainya. Kemunculan saya malah membuat masalah. Padahal waktu itu hutangnya masih 1 miliaran. Kelihatannya karena bunga dan nambah-nambah terus ya meledak jadi 2 miliar.”

Dan satu hal yang mengganggu pikiranku adalah...

“Kenapa Tante menawarkan diri untuk membantu ayah saya?” karena menurutku, tidak mungkin ada orang baik tanpa pamrih di dunia ini.

“Karena Doni banyak membantu saya di saat saya ditinggalkan suami saya.” Katanya. “Saya hampir masuk rumah sakit jiwa, dan Doni selalu memberi semangat. Sampai saya akhirnya bangkit dan mulai membesarkan perusahaan suami saya, saya tawarkan kerjasama dengan Doni. Dan saat itu masalah isu perselingkuhan malah muncul.”

Aku menarik nafas panjang.

Ibuku memang memiliki emosi yang agak labil, tapi di luar itu dia ibu dan istri yang baik. Bisa dibilang, dia lebih mencintai ayah dibanding diriku yang anak kandung satu-satunya.

“Saya merasa bersalah atas keretakan rumah tangga Doni. Dan kala itu, saat saya dimaki-maki ibu kamu, sebagai ganti bantuan dana, saya berjanji ke Doni akan take care kamu seandainya sesuatu terjadi.”

Seakan wanita ini sudah tahu akan ada hal yang menimpa ibu dan ayahku.

“Tante... bisa tidak melacak siapa orang terakhir yang menelepon ayah saya mengenai hutang?” tanyaku.

Menurutku, Ayah dan Ibuku tak akan sampai berbuat nekat bunuh diri kalau hanya hutang 2 miliar. Ayah bisa mengajukan kepailitan ke pengadilan. Paling buruk, aset kami disita Bank untuk melunasi semuanya. Harga rumahku yang besar itu aku yakin lebih dari dua miliar kalau dilihat dari NJOPnya yang 4,5 juta pertahun.

Yang kuyakini, ada salah satu pihak yang mengintimidasi atau pun mengancam ayah ibuku sampai mereka nekat bundir.

“Lalu apa, Dennis? Kamu mau apa? Kamu bisa apa?!” ada emosi yang tertanam di nada suaranya. Ia setengah mengancamku, tapi ia terlihat khawatir juga padaku.

Kenapa dia jadi marah-marah padaku? Harusnya dia menenangkanku.

Seperti ada yang sedang ia tutup-tutupi dari kasus ini. Hal yang aku tidak tahu.

“Karena saya berhak.” Jawabku.

Menurutku, aku yang paling memiliki hak untuk tahu semuanya. Usiaku hampir 18 tahun, bukan usia anak-anak walau pun tak bisa dianggap dewasa sepenuhnya. Dan orang tuaku baru saja tiada. Dua-duanya. Aku anak laki-laki, aku masih bisa mengusahakan sesuatu untuk mereka.

Tante Vivianna menatapku dengan gusar.

“Saya butuh waktu untuk mengungkapkan semuanya padamu.” Katanya.

“Waktu?” aku bertanya balik karena merasa aneh. Sungguh sulit dipercaya... dia yang tidak memiliki hubungan darah denganku malah bilang begitu? Apakah wanita ini bisa membedakan antara hak dan kewajiban seorang manusia?

“Saya bisa menuduh tante memiliki keterlibatan dengan semua ini kalau tante tidak bilang yang sebenarnya.”

PLAKK!!

Tangannya melayang ke pipiku.

Perih dan pedas... tapi tak berarti apa-apa bagiku.

Di mataku, sosok di depanku ini adalah manusia yang ringkih kalau dilihat dari ukuran tubuhnya.  Aku memang dalam keadaan tak berdaya, terbaring di ranjang rumah sakit setelah terserang kejang karena depresi, tapi kalau massa otot, ukuran tubuh, jelas kami tak sebanding.

“Kenapa marah? Tante terlibat?” pancingku. Aku kesal sekali sekarang. Lalu aku teringat satu hal. Dia bisa masuk rumahku, di saat banyak polisi berseliweran.

Ini tragedi bundir, kenapa penyelidikan bisa sampai seminggu lebih? Seakan mereka sedang mencari tersangka. Kalau mereka sedang mencari tersangka, jadi harus ada saksi-saksi yang ditanya.

Dan Tante ini, mungkin salah satu saksi.

Kenapa dia bisa jadi saksi?

Jadi dia tidak benar-benar menghilang kan? Dia masih menjalin hubungan dengan ayahku?

“Tante, saya tidak ingin mencari musuh.” Aku mencoba bersabar. “Tapi saya harap tante bilang ke saya semua yang tante ketahui. Pahit-pahitnya akan saya telan. Daripada saya menuduh Tante yang bukan-bukan, memfitnah Tante, lebih baik bicara saja.”

“Ini tidak sesederhana yang kamu bayangkan, Dennis.” Ia mendesis dengan suara pelan.

Lalu dia pun menarik nafas panjang.

“Siang ini, saya usahakan kamu sudah boleh pulang. Saya juga akan mengurus pengacara untuk hak asuh kamu. Bulan depan usia kamu 18 tahun, kamu sudah boleh hidup sendiri tanpa harus ada perwalian. Saya akan beri kamu pilihan. Kamu tinggal dengan saya tapi kamu harus menutup diri dari akses keluarga kamu, atau kamu silakan tinggal di rumah orang tua kamu.”

Dan Tante Vivianna pun mengambil tas mewahnya, lalu pergi dari kamarku dengan langkah yang agak ditekan ke lantai. Terlihat wajahnya sama kesalnya denganku.

Bab 3

Besoknya, Dokter melakukan kunjungan ke kamarku. Sudah deg-degan saja jantungku ini, bagaimana dengan pembayaran sewa kamar? Apakah orang tuaku membayar BPJS tepat waktu? Dan apakah kamar sebagus ini termasuk ke dalam kelas BPJS di RS ini? Kalau dilihat dari bentukannya sih ini ruangan VIP ya, apalagi aku di sini hanya sendirian, hanya ada space untuk 1 bed, dan sisanya sofa-sofa kulit.

Dokter bilang kondisiku sudah stabil, namun dia akan meresepkan beberapa obat. Intinya aku sudah boleh pulang hari ini.

Siang itu, aku bingung mau minta tolong siapa. Jadi aku hubungi saja Pakdeku yang berdomisili di Jakarta Timur. Kupilih yang jarak rumahnya paling dekat denganku saja

Pakde dan Bude datang.

“Dennis sudah boleh pulang? Kapan masuknya? Kok kamu nggak bilang-bilang Pakde?! Paling tidak hubungi di Grup Keluarga kan bisa, Den!” Pakdeku tampak khawatir terhadapku.

Aku lega.

Kalau begini caranya aku sebenarnya tak perlu bergantung ke Tante Vivianna kan?! Lagian dia orang lain. Masih banyak saudara-saudaraku yang kandung.

Jadi kami berbincang-bincang sesaat, Budeku bercerita mengenai obrolannya terakhir dengan ibuku, dan tak menyangka hal seperti ini bisa terjadi. Padahal semua seharusnya bisa dibicarakan. Hal-hal semacam itu yang membuatku merasa dekat dengan mereka.

Terus terang saja, sebagai anak laki-laki dan satu-satunya, aku jarang berinteraksi dengan saudara-saudaraku. Aku lebih sering bermain dengan Bahar, atau menjalani berbagai ekstrakulikuler. Saat lebaran pun aku lebih memilih untuk naik gunung bersama Bahar. Aku bahkan tak ingat nama sepupu-sepupuku.

Hal ini terjadi karena entah bagaimana Ayah selalu menghindar kalau ada kumpul keluarga. Ibuku juga agak sewot kalau ada acara keluarga besar pun itu dari pihaknya sendiri. Paling banter kalau ada kondangan, mereka berdua yang nongol, itu pun hanya sekejab.

Selesai aku menjelaskan mengenai penyakitku, aku pun kepikiran untuk mencari tempat tinggal.

“Pakde, kalau boleh, aku ingin menginap beberapa waktu di rumah pakde. Sampai hatiku tenang.” Aku pun bilang begini.

Pakde dan Budeku malah saling tatap.

Aku pun langsung diliputi perasaan tak enak.

Kenapa mereka saling lirik?

Kesannya mereka tak ingin aku ada.

“Dennis, ini Pakde bicarakan sekarang saja, karena memang kebutuhan mendesak.” Begini obrolan pembuka dari Pakde.

Astaga... debar jantungku makin tak karuan.

Pikiranku langsung tertuju ke pembicaraanku dengan Tante Vivianna kemarin.

“Kamu sudah dewasa, Pakde rasa kamu sudah mengerti.”

Aku hanya bisa diam menatapnya, menunggu kalimat selanjutnya.

“Ayah dan Ibumu memiliki hutang kepada kami. Jumlahnya banyak, ratusan juta. Demi kelangsungan hidupmu, lebih baik kamu jual rumah itu. Nanti kan hasil jualnya bisa dibagi-bagi. Ya sampai rumah itu terjual, kamu harus tinggal di sana, Dennis. Hutang itu kan kewajiban ahli waris.”

“Hasil jualnya... dibagi-bagi gimana maksudnya Pakde?” aku merasa ada sesuatu yang tidak wajar dari kalimat ini.

“Ya kamu kan belum pintar mengelola uang. Nanti kalau kamu yang pegang ya habis semua. Bisa kamu titipkan kepada kami, nanti kalau kamu ada kebutuhan kamu bisa hubungi kami. Dulu kami membantu ayah ibumu, sekarang sudah saatnya kamu bantu kami. Balas budi lah istilahnya. Jangan berpikiran buruk ya Dennis. Rumah ayahmu itu kegedean, bisa beli rumah segitu besar hanya untuk ditinggali 3 orang, kok ya masih pinjam uang ke kami untuk biaya sehari-hari. Kan nggak masuk akal. Nah dibagi-bagi itu ya anggaplah bunga berbunga. Begitu Dennis. Karena awalnya ayahmu-ibumu pinjam untuk modal usaha, jadi ya sifatnya profesional lah.”

Runtuh sudah keyakinanku.

Keyakinan kalau akan ada yang menolongku.

Aku sendirian.

Benar-benar sendirian.

Aku sebenarnya hampir menangis, saat ada WA dari bahar, berbarengan dengan WA dari Tante Vivianna.

Bahar mengirimiku pesan WA “Bro, dah boleh pulang kau? Ini kamarmu sudah disiapkan ibuku. Kalau sudah boleh pulang kujemput sekarang. Ini bapak juga mau kesana mau urus administrasi.”

Pandanganku yang tadinya gelap, langsung berubah cerah.

Aku masih memiliki teman.

Lalu kubaca WA dari Tante Vivianna. “Administrasi RS sudah saya bereskan. Kalau Pakde Budemu sudah pergi, orang saya akan ke atas menjemput kamu. Tanyakan ke mereka berapa hutang Doni, dan nomor rekening mereka.”

Loh?

Tante Vivianna kok tahu ada Pakde dan Bude di sini? Dia bahkan tahu aku sudah boleh pulang hari ini.

Sudahlah, kuturuti dulu kemauannya.

“Pakde, kalau boleh saya tahu, berapa total hutang Ayah?”

“Buat apa kamu tahu? Nanti kamu sakit lagi.”

Mereka ini berusaha menunjukkan kepedulian dengan kepura-puraan yang kentara. Kebanyakan basa-basi. Malah membuatku semakin muak.

“Pokoknya nanti Pakde yang atur setelah rumah itu kamu jual.” Begitu kalimat penutupnya.

“Saya sepertinya masih lama akan menjual rumah itu, Pakde. Karena beritanya sudah viral. Kalau orang ketik alamat pasti akan segera ketahuan kalau rumah itu bekas bundir. Saya harus pastikan stigma negatifnya hilang dulu.” Ini bisa-bisaku saja bicara. Sekedar untuk tahu berapa jumlah hutang dan rekening aja susah amat sih?

Ini sih ketahuan banget mereka akan mengambil jatah melebihi jumlah hutang.

Atur-atur matamu...

Dikira aku ini anak kecil yang mewek pasrah nggak jelas apa?

“Ohya? Memangnya viral? Waduuuh...” bisik Bude.

“Jadi? Berapa jumlahnya Pakde, siapa tahu saya bisa mencicilnya dengan mencari pekerjaan.”

“Jadi rumah itu nggak bisa dijual ya? Gimana nih? Gede loh jumlahnya, ya kamu jual apa kek, masa di dalam rumah nggak ada yang bisa dijual? Perabotan? Elektronik?”

Kok Pakde malah sewot?

“Kita kan nggak tahu racun itu dibubuhkan dimana saja Pakde, siapa tahu bukan hanya di sate.” Kujawab saja begini.

Barulah mereka diam.

“Sampai penyelidikan polisi benar-benar selesai, ya saya nggak mau ambil risiko.” Kutambahkan begini.

Aku mengaktifkan mode rekam suara di ponselku.

“Ya sudah, jumlah hutang ayahmu 150 juta, tambah bunga karena sudah telat bayar 2 tahun, jadi sekitar 180 juta. Lalu kemarin kan saya yang urus pemakaman, saya bayarin dulu tuh jasa pemandian jenazah dan pengurusan kepulangan jenazah dari Kantor Polisi. Ada uang capek juga ya, total 250jutaan lah.”

Kok jadi nambah 100juta sendiri? Pakdeku ini lebih parah dari Debt Collector. Memang apa sih yang dilakukan ayahku sampai saudara-saudaranya begini memperlakukanku?

Apakah ini sebabnya Ayah dan Ibuku selalu gelisah kalau ada acara kumpul-kumpul keluarga? Sampai mereka menjauhkanku dari semua saudara? Hutang 150juta itu apakah akan selalu diungkit kalau ada kumpul keluarga? Saling menjatuhkan?

Atau jangan-jangan gara-gara hutang ini alamat ibuku jadi Tim Cuci Piring dan Pembantu Dadakan Gratisan kalau ada acara keluarga?

Dan akhirnya kukirim rekaman suara itu ke Tante Vivianna.

Berikutnya, Pakde mulai berbicara mengenai keburukan ayah dan ibuku. Tentang ayahku yang tukang selingkuh, ibuku yang suka marah-marah sendiri, dan lainnya yang menjadikan hatiku semakin sakit.

Seakan kehilanganku belum lah cukup.

Mereka bahkan menambahkan julukan kalau Ayah Ibuku orang tua yang tidak bertanggung jawab dan seorang pembunuh, Karena gara-gara mereka bundir, mereka jadi menelantarkanku. Pola pengasuhan orang tuaku juga dipermasalahkan karena ternyata selama ini aku dianggap anak angkuh dan manja yang tidak mau bersosialisasi. Lebaran waktunya kumpul keluarga kok malah naik gunung. Ada acara nikahan keluarga Kok malah ikut olimpiade matematika, kok malah ikut pesantren kilat di hutan belantara.

Loh... itu kan prestasi ya?

Mereka pikir aku sengaja cari kesibukan untuk menghindar.

“Kami ini memang tidak selevel sama kamu. Keluargamu itu sok kaya, hedon! Memangnya kami tidak tahu apa kalau semuanya itu pinjaman? Bukan hanya Pakde yang dipinjami uang loh, keluarga yang lain juga! Begitu kok masih bisa-bisanya kamu sombong!” begitu kata Bude.

Aku ingin nonjok tembok, tapi nanti malah dipermasalahkan.

“Lihat saja nih, kamar ini! Kamu itu pasti ada simpanan uang sampai bisa kamu nginap di kamar VIP! Bohong saja kalau kamu bilang nggak punya duit! Sombong Cuma kejang-kejang aja nggak pakai BPJS!”

Uang, Uang dan Uang.

Yang ada di pikiran mereka hanya itu.

Semua diperhitungkan.

Tak ada yang diikhlaskan.

Aku padahal tidak pernah bicara ke mereka, aku tidak pernah menyakiti mereka. Apakah karena itu aku dihujat? Karena tidak menjalin silaturahmi?

Siapa yang ingin menjalin silaturahmi kalau lawannya sepicik ini?

Ya jelas ayah ibuku menjauhkanku dari mereka! Keluargaku Toxic.

“Permisi...” seseorang masuk ke dalam kamarku. Aku tidak mengenal pria ini.

Tapi dari caranya memandangku, aku yakin sekali ini adalah karyawan Tante Vivianna.

“Dennis udah boleh pulang kan ya? Om mau jemput kamu.” Dia menghampiriku.

“Eh, iya Om. Udah boleh pulang.”

“Om udah urus administrasi kamar. Ini siapa?”

“Ini... Pakde dan Budeku, Om. Kerabat ayah.” Aku sok kenal aja sama si Om misterius ini.

“Pakde dan Bude? Jadi kakaknya Doni ya? Kenalkan saya Ikhsan, saya rekan kerja Doni dulunya.” Si Om yang mengaku namanya Ikhsan ini menjabat tangan Pakde dan Bude.

“Kata Doni dia ada hutang ke saudaranya. Betul? Jumlahnya 180 juta?” dan dia tidak berbasa-basi. Langsung membahas hutang.

“Sebenarnya lebih dari itu.” Kulihat Pakdeku salah tingkah.

“Lebihnya dari mana? Pemakaman kan perusahaan yang urus semua, dari asuransi jiwa dan dari Masjid? Doni juga sudah booking tanah pemakaman keluarga dari tahun-tahun sebelumnya dan cicilannya sudah lunas.”

“Perusahaan siapa yang urus? Memangnya Doni masih kerja?!”

“Perusahaan Asuransi lah, Pak.” Jawab Om Ikhsan

Pakde makin salah tingkah, ia tampak mengusap keningnya.

“Ya saya kan juga ikut memakamkan, kan capek turun turun ke dalam tanah.”

“Kalau Doni masih hidup dan Anda meninggal, saya yakin Doni tidak akan mempermasalahkan turun-turun ke dalam tanah untuk memakamkan kakaknya, sih,” sarat sindiran.

Oh, gitu ya... Pakdeku ini benar-benar potret orang yang... ah entahlah bagaimana cara menyebutnya.

“Tapi tak apa-apa daripada nanti Anda ngejar-ngejar Dennis buat hutangnya Doni. Kasihan dia yatim piatu. Ini saya bawa tunai 250juta. Ada tanda terimanya ya pak. Saya akan foto juga KTP bapak dan ibu sebagai sarat pelunasan, juga ada surat pernyataan bermaterai yang sudah saya persiapkan. Ngomong-ngomong profesi saya pengacara.” Dan Om Ikhsan pun memberikan kartu namanya.

Dia punya kantor pengacara sendiri.

Pakde dan Budeku pun mau nggak mau menurut karena sudah kepergok.

Dan saat ruangan itu sudah sepi, kutanya padanya, “Om beneran temannya Ayah?!” tanyaku tak yakin. Ia membereskan berkas dan dimasukannya ke map. Lalu map itu dia berikan padaku sambil tersenyum.

“Bukan lah. Saya pacar Vivianna.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!