NovelToon NovelToon

Menikah Dengan KAKAK TIRI MANTAN

01. Mengetahui

“Ahh, senangnya, dapat kenaikan gaji bulan ini. Pergi ke tempat Johan, ahh.... Berikan kejutan kecil untuknya, pasti dia suka.” Sore itu, Winda pulang dari tempatnya bekerja dengan hati gembira.

Winda Hapsari, seorang wanita karir cerdas, cantik, dan anggun. Bekerja di sebuah perusahaan besar sebagai seorang staf manajer. Dan Johan Aditama yang akan didatanginya adalah pria yang telah menjalin hubungan dengan nya selama 2 tahun.

Winda segera mencari taksi untuk pergi ke tempat biasanya Johan nongkrong dengan teman-temannya. Di dalam taksi Gadis itu tersenyum-senyum sendiri membayangkan betapa bahagianya Johan melihat kedatangannya.

Taksi yang ditumpangi Winda sampai di rumah kontrakan teman Johan setelah beberapa menit perjalanan. Suasana tampak sepi seperti tak ada orang. Tetapi pintu yang tak tertutup rapat, membuat Winda tetap mendekat.

"Apa mereka berkumpul di ruang belakang?" gumamnya.

Winda sudah biasa datang ke tempat kontrakan teman Johan itu. Di tempat itu biasanya Johan berkumpul dengan teman-temannya. Ia segera membuka pintu lebar-lebar, tetapi sesaat langkahnya terhenti. Di ruang depan tempat saat ini dia berpijak, pakaian pria dan wanita berceceran. Bahkan pakaian dalam.

“Bukannya teman Johan belum menikah? Kenapa bisa ada pakaian wanita di sini?” gumamnya.

“Halo, apa ada orang di dalam?” Sama sekali tidak ada sahutan. “Tidak ada orang tetapi kenapa pintunya tidak dikunci? Dasar mereka itu ceroboh!”

"Ternyata Johan tidak ada di sini. Kalau begitu lebih baik aku pulang saja.” Winda membalikkan badan dan bersiap untuk pergi dari tempat itu. Akan tetapi…

“Oh baby, kamu benar-benar luar biasa. Aku benar-benar merasa terjepit di dalam sana.”

Sebuah suara yang sangat familiar masuk ke dalam indra pendengarannya. Winda terbelalak dengan mulut terbuka lebar. “Itu seperti suara Johan. Apa mungkin telingaku salah?” Membawa jantungnya yang berdegup kencang, Winda melangkah pelan menuju ke arah sumber suara.

“Oh sweet heart. Kamu juga sangat perkasa. Kau membuatku melayang berkali-kali”

Jantung Winda berdetak semakin kencang. Suara wanita itu pun sangat familiar.

“Tidak, tidak mungkin itu dia.” Winda bergerak melangkah semakin mendekat. Suara-suara laknat semakin jelas terdengar.

“Tapi suara-suara itu mirip Johan sama Revi? Ah tidak, pasti telingaku yang salah. Mana mungkin itu mereka?” Tidak percaya dan jijik. Namun, ia ingin memastikan.

Perlahan-lahan Winda memutar handle pintu, yang ternyata tidak terkunci. Ia ingin mengintip untuk memastikan

“Kamu sangat seksi, dan juga aduhai. Aku benar-benar puas bersamamu.”

Mata Winda terbelalak sempurna demi melihat apa yang terpampang di depan matanya. Itu benar-benar Johan. Bersama Revi Mareta, sahabat yang telah dianggap sebagai saudara. Keduanya sedang bermain kuda-kudaan.

Winda memegangi dadanya yang terasa sakit. Berulang kali menggelengkan kepala, tanpa terasa air matanya menetes membanjiri wajahnya yang halus mulus.

“Ah, Jo. Kamu terlalu memujiku. Padahal kamulah yang begitu perkasa. Kamu membuatku ingin terus lagi dan lagi.”

Winda menutup mulutnya dengan telapak tangan air matanya semakin tak tertahan. Pantas saja rumah kontrakan ini begitu sepi, tampaknya si pemilik kamar sengaja pergi untuk memberikan ruang bagi mereka berdua saling adu keringat.

“Aku kira ini hanya rumah kontrakan biasa untuk mereka mangkal. Siapa sangka ini juga dijadikan sebagai tempat gulat. Apa mungkin mereka semua memang sering seperti itu?”

Winda menghapus air matanya dengan punggung tangan. Mengambil nafas dalam-dalam. Untuk apa ia menangisi pria seperti itu? Tidak,air matanya lebih berharga.

“Tapi, Jo? Bagaimana kalau suatu hari nanti Winda tahu hubungan kita?” Suara Revi yang begitu munafik terdengar mendayu-dayu di telinga Winda.

“Apa yang harus dicemaskan?” tanya Johan. “Tahu ya biar saja. Dengan begitu kita tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi.”

Winda mengepalkan tangannya erat. Ternyata semua yang dilakukan selama ini tak ada artinya sama sekali bagi Johan.

“Tapi dia pasti akan sangat marah padaku, Jo. Aku akan merasa tidak enak padanya. Dia itu teman terbaikku.”

Cukup sudah. Winda tak lagi ingin hanya mengintip dan menguping.

“Kalau aku teman terbaikmu, kenapa kau tega mengkhianatiku?”

Winda membuka pintu lebar-lebar dan berdiri santai dengan bersandar pada dinding, bersedekap dengan dagu terangkat. Sebenarnya Winda merasa jijik tapi dia harus menampakan diri agar mereka tak bisa lagi mengelak.

“Sayang?”

“Winda?”

Revi dan Johan sama-sama terbelalak melihat kedatangan Winda. Buru-buru Johan menutupi tubuhnya dengan selimut. “Ini,,, ini tidak seperti yang kau pikirkan." ucap Johan. Wajah pria itu tampak memerah. Malu dan takut karena sudah terpergok.

“Memangnya apa yang aku pikirkan? Aku tidak berpikir apapun.” Winda masih bersandar dengan santai. Matanya menatap datar.

"Aku bersungguh-sungguh. Ini gara-gara temanmu ini yang menjebakku!”

“Joo?” Revi menatap tak percaya pada lelaki yang baru saja bergulat dengannya. Apa maksud dari pria ini? Kenapa malah menyalahkan? Kenapa dia terlihat takut sekali pada Winda?

"Bullshit." Winda mengarahkan pandangannya pada Revi. Yang tanpa tahu malu, bahkan tak berusaha untuk menutupi tubuhnya. Mungkin memang sengaja ingin menunjukkan bekas percintaannya dengan Johan. Tapi dia salah jika menganggap bahwa Winda akan mengamuk melihat itu.

“Selamat ya, Rev. Akhirnya kamu berhasil membuktikan sumpahmu!” Winda tersenyum manis.

“Sayang, Aku bisa jelaskan.” Johan mencoba berbicara setelah dia berhasil mengenakan celana panjangnya.

“Tidak perlu. Waktu sepuluh menit berdiri di sini sudah cukup untuk membuatku mengerti. Mulai hari ini tidak ada KITA. Aku, Kamu, END. Semoga kalian bahagia.”

Setelah berkata demikian Winda segera pergi dari tempat itu, tidak peduli dengan Johan yang terus berteriak memanggilnya. Berlagak kuat dan baik-baik saja, meskipun sebenarnya hatinya sangat terluka. Dia sudah tidak kuat lagi untuk berpura-pura bersikap seolah tidak melihat apa-apa.

***

Langkah Winda, sampai di sebuah taman kota. Duduk bersandar di sebuah bangku panjang. Tangannya tak berhenti menyeka air mata yang terus-menerus membasahi pipinya.

“Ini sungguh lucu. Ha ha ha…” Winda tertawa terbahak-bahak, menertawakan kebodohannya sendiri. Sungguh miris. “Ternyata, selama ini aku hanya memberi makan seekor ular. Ha ha ha ha..."

Winda terus berusaha untuk menghentikan air matanya. Di depan Johan dan revi Dia terlihat tetap terpengaruh. Sebenarnya, dia hanya tak ingin dianggap lemah, yang akan membuat Revi merasa menang.

“Oh tidak. Untuk apa aku bersedih hanya karena penghianatan mereka? Justru lebih bagus kalau aku sudah tahu sekarang.” Winda memukul-mukul dadanya yang terasa sakit.

Sakit yang paling sakit adalah sakitnya dikhianati oleh orang terdekat.

“Selama ini, apa yang kurang dari persahabatan kami. Aku bahkan tak segan membantu setiap kesulitannya. Tak kusangka, inilah balasannya.”

Hahhh…

Winda membuang kasar nafas yang terasa berat. Membuang udara dari dalam mulut, lalu berdiri dan berkacak pinggang.

“Tidak. Aku tidak boleh terlihat lemah. Atau ini akan membuat si brengsek Revi itu merasa gembira. Ini hanya akan membuat dia merasa menang telah berhasil merebut sesuatu dariku.”

“Huhh.. memang apa hebatnya si Johan buntung itu? Setelah aku pikir-pikir ternyata Sebenarnya aku ini hanya menghidupi parasit. Ha ha ha…”

Lagi-lagi Winda tertawa terbahak menertawakan kebodohannya sendiri. Bukan mereka yang terlalu pintar, tapi dialah yang terlalu bodoh hingga tak sadar telah dimanfaatkan. Dan kejadian yang baru saja dia lihat telah membuka matanya.

"Apa sudah puas tertawa? Apa tidak tahu, suara tawamu terdengar seperti kuntilanak kesiangan?"

02. Pria asing

“Apa kau sudah puas menangis?”

Suara itu membuat Winda tersentak. Ia menoleh, mendapati seorang pria dengan kaos putih polos, celana jeans biru yang pas di tubuhnya, dan sepatu kets putih bersih duduk dengan wajah angkuh di bangku tak jauh darinya. Rambutnya sedikit berantakan, menambah kesan santai namun tetap terlihat rapi. Wajahnya tampan meskipun datar tanpa ekspresi yang mampu membuat jantung Winda berdebar. Ia terlihat sempurna, bahkan dengan penampilan kasualnya.

“Sejak kapan ada orang di dekatku, kenapa aku tak menyadarinya?” Winda bertanya dalam hati. Sejenak matanya sebagai wanita normal terpesona. Yang ada di hadapannya sungguh makhluk Tuhan yang sempurna. Kelihatan sangat berkelas. Mahal.

“Apa kau tidak tahu? Suara tawamu seperti kuntilanak kesiangan!”

“Kau…!” Ucapan Winda tertahan. Tangannya terkepal geram. Menatap pria yang berbicara tanpa menoleh sedikitpun. Bersedekap. Wajahnya datar tanpa ekspresi, tatapan matanya jauh ke depan.

“Tertawa lalu menangis, lalu tertawa lagi. Kau mirip orang gila!” Lagi-lagi pria itu bicara tanpa menoleh.

Winda benar-benar kesal. Rasanya seperti ingin makan orang. Sudahlah dia sedang kecewa dengan pengkhianatan kekasih bersama sahabatnya, tiba-tiba pria itu muncul dengan suara yang tak enak. Apa tidak ada perumpamaan yang lebih buruk lagi.

Pria itu bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan ke tempat Winda, duduk di bangku sebelah gadis itu tanpa basa-basi. Kembali menyilangkan tangan di dada, dan menatap jauh ke depan.

"Apa kau sedang patah hati? Kekasihmu selingkuh, ya?" Bertanya dengan nada penuh ejekan, suaranya rendah dan tajam, seperti pisau yang membelah keheningan.

Winda mendengus kesal. Ketajaman suara pria itu menusuk telinganya, setajam rasa sakit yang masih bercokol di hatinya. Apalagi tebakan pria itu benar-benar tepat.

Winda menghempaskan punggungnya pada sandaran bangku. Melipat tangan seperti yang dilakukan pria itu. "Itu urusan saya," jawab Winda ketus, berusaha menyembunyikan air mata yang masih membasahi pipinya.

Pria itu mengangkat sebelah alis. "Dan aku juga tidak peduli. Tapi, suara tangismu terdengar seperti simfoni yang menyedihkan. Kau mengganggu ketenanganku.”

Winda mengerutkan dahi. "Lalu, apa urusanmu?"

Pria itu tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak sampai ke matanya, membuat Winda semakin merinding. "Aku bisa membantumu."

Winda mengerutkan dahi. "Membantuku?”

Pria itu menoleh menatap lekat wajah Winda. . "Menikahlah denganku! Dan aku punya cara untuk membuat Johan dan Revi menderita.”

Winda tersentak. "Kau... kau mengenal Johan dan Revi?"

Pria itu tertawa mengejek, suaranya masih tajam, penuh cemooh. “Malang sekali nasibmu. Menghabiskan dua tahun sia-sia untuk orang-orang yang tidak pantas.”

Winda menelisik pria di hadapannya. Siapa sebenarnya pria ini? Kenapa sepertinya pria ini mengetahui hubungan antara dia dan Johan?

“Siapa Kamu sebenarnya?” Winda berusaha menulikan telinganya dari suara sinis pria di hadapannya.

Pria itu menarik napas dalam-dalam, menoleh, menatap lekat ke arah Winda lalu berkata, "Namaku Ardan. Dan ya, aku adalah kakak tiri Johan.

Winda terbelalak. Ia tak pernah mendengar jika Johan memiliki seorang kakak tiri.

“Menikahlah denganku. Aku akan membantumu membalas dendam pada Johan dan Revi. Aku punya cara untuk membuat mereka menderita."

Winda terdiam. Tawaran Ardan sangat mengejutkan. Menikah memang pernah menjadi rencana hidupnya. Tapi bukan dengan orang yang baru dikenal.

“Dengan menikah denganku, kau bisa membuat Johan marah. Atau mungkin cemburu. Apa yang lebih menyakitkan dari melihat orang yang pernah menjadi miliknya menjadi milik musuhnya.”

Winda membenarkan ucapan Ardan. Namun, ia masih ragu. Sepertinya status Ardan tak sesederhana itu. Baginya Ardan adalah sosok misterius. Penampilannya yang kasual mungkin terlihat biasa, tapi tidak di mata Winda. Apakah ini jebakan? Apakah Ardan memiliki motif tersembunyi?

“Selain itu, aku bisa memenuhi semua kebutuhanmu. Walaupun ini hanya sebatas kesepakatan, Aku akan tetap bertanggung jawab atas hidupmu.” Ardan melanjutkan tawarannya.

"Aku… aku perlu waktu untuk berpikir," jawab Winda akhirnya, ia masih belum bisa memutuskan. Mana mungkin ia tiba-tiba menikah dengan orang yang baru saja berjumpa.

Ardan mengangguk. Wajahnya tetap datar. "Aku mengerti. Ambil waktu yang kau butuhkan. Tapi ingat, kesempatan ini mungkin tidak akan datang lagi."

“Aku akan pikirkan.”

“Berikan ponselmu!” Ardan menengadahkan tangan tanpa menoleh. Ia tidak meminta. Itu lebih mirip dengan perintah.

Ardan mengotak-atik ponsel Winda yang kini telah berpindah ke tangannya. Hanya sepersekian detik lalu mengembalikan tanpa menoleh.

"Aku sudah menyimpan kontak ku . Hubungi aku jika kau sudah memutuskan." Ia berdiri, meninggalkan Winda sendirian di bangku taman.

Pikiran Winda campur aduk. Ditatapnya nama kontak yang baru tersimpan di ponselnya, Ardan Bagaskara. Nama yang cukup familiar, tapi dia lupa dimana pernah mendengar nama itu.

Tapi itu tidak penting. Yang ia pikirkan adalah tawaran pria itu. Di satu sisi, ia ingin membalas pengkhianatan Johan. Namun, di sisi lain ia ragu sekaligus takut. Ia bahkan tidak mengenal siapa dan bagaimana Ardan sebelumnya.

***

Kembali ke kontrakan teman Johan.

“Aaarrrghhhh…!” Johan menggeram marah. Pria itu bahkan melempar semua barang yang ada di hadapannya, membuat Revi merasa takut. Ia tak pernah melihat Johan yang seperti itu.

“Sayang, kenapa? Ada apa? Bukankah tidak masalah, jika Winda tahu hubungan kita?” Revi merasa aneh. Bukankah sebelumnya Johan mengatakan kalau sebenarnya ia tidak mencintai Winda?

“ Hraaa…!” Johan berteriak seperti orang kalap. “Tahu apa kau? Kau tidak tahu apapun. Winda sudah tahu semuanya. Sekarang tak ada lagi sumber keuanganku.”

“Dan kamu! Memangnya apa yang bisa kau berikan selain aksi di atas ranjang?” Johan berteriak tepat di depan wajah Revi. Ia marah dan kecewa.

“Kamu? Apa maksudmu, Jo? Jadi selama ini hubungan Kita?” Revi menutup mulutnya dengan telapak tangan. Tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut Johan. Wanita itu benar-benar terpukul. Tak menyangka, selama ini kehadirannya di samping Johan tak memiliki arti apapun.

“Sekarang pasti akan sulit membuat Winda percaya lagi padaku. Semua ini gara-gara Kamu!” Johan mencengkeram dagu wanita itu. Wanita itu meringis menahan sakit. Matanya berkaca-kaca.

“Kalau Kamu tidak terus menerus merayuku, aku tak mungkin mengkhianati Winda!” Johan menghempaskan wajah Revi hingga tertoleh ke samping.

“Katakan itu tidak benar, Jo!” Revi menatap mengharap. “Bukankah selama ini kau juga mencintaiku. Kau selalu bilang aku lebih baik dari Winda.” Revi meraih dan menggenggam tangan Johan. Berharap apa yang dia dengar tadi tidaklah benar.

Johan menghempaskan tangan Revi. Berkacak pinggang dan berdecak sinis. “Dasar bodoh!” Johan menoyor kening Revi dengan ujung jari telunjuk. “Apa kau tidak bisa melihat dirimu sendiri? Kau pikir Kau bisa dibandingkan dengan Winda?” Johan tertawa mengejek.

Johan maju membuat Revi memundurkan wajah. “Dengar ya cewek bodoh. Sebrengsek apapun seorang pria, untuk menikah dia akan tetap memilih wanita baik-baik. Bukan piala bergilir sepertimu.”

Revi menggelengkan kepalanya. Kata-kata Johan sungguh melukai hatinya. Tapi... Tidak. Johan tak boleh bersikap seperti itu padanya. Kalau tidak, Winda pasti akan merasa menang.

03. Nasehat teman

Siang hari di jam istirahat, kantin perusahaan ramai. Aroma masakan bercampur dengan aroma keringat dan parfum memenuhi ruangan. Suara-suara obrolan dan gelak tawa saling bersahutan.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Winda duduk sendirian, terisolasi dalam lamunannya sendiri.  Ia hanya mengaduk-aduk soto ayam yang ada dalam mangkok di hadapannya tanpa selera.  Makanan yang biasanya ia lahap dengan semangat, kini terasa hambar, tak ubahnya hidupnya yang terasa hampa sejak kemarin.

 Johan, Revi dan Ardan. Ketiga nama itu terus berputar-putar di kepalanya seperti lagu yang terputar berulang. Pengkhianatan Johan dan Revi Pertemuan tak terduga dengan Ardan terus menari-nari di pelupuk matanya.  

Terutama Ardan Pria asing dengan wajahnya yang dingin dan datar dan tatapan mata yang begitu dalam, telah menawarkan sesuatu yang tak pernah terbayangkannya; pernikahan.

“Win…!”

Winda tersentak. Lamunannya buyar  ketika tepukan kecil mendarat di pundaknya. Winda mendongak dan mendapati Silvia, teman satu divisinya, berdiri di sampingnya, wajahnya penuh kekhawatiran.

 “Kamu kenapa sih? Kok makannya cuma diaduk-aduk gitu?” tanya Silvia khawatir. “Dan aku perhatikan, sepertinya dari tadi kamu kayak nggak fokus kerja juga. Ada masalah?” Suara Silvia lembut penuh perhatian.

 Winda menggeleng, mencoba menyembunyikan kekacauan batinnya.  “Ah, nggak papa, Sil. Cuma lagi nggak nafsu makan aja. Pusing sedikit,” jawabnya, berusaha terdengar biasa saja.

 Silvia menatap Winda dengan tajam.  Ia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar pusing yang sedang dialami temannya itu.  “Pusing? Jangan dipaksain kalau nggak enak badan. Mendingan kamu istirahat aja dulu. Nanti kalau udah baikan, baru lanjut kerja,” saran Silvia, tangannya dengan lembut menyentuh lengan Winda.

 Winda hanya mengangguk lemah. Ia kembali mengaduk-aduk makanannya, namun tetap tak menyuap sesendok pun.

Silvia yang melihat itu merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan sahabatnya. “Ada apa sih? Kamu bisa cerita sama aku kalau memang lagi ada masalah.” 

Winda menunduk. Sebenarnya ia merasa ragu, tapi ia memang membutuhkan tempat untuk berbagi cerita. “Kalau misalnya aku menikah, bagaimana pendapatmu?” tanya Winda, suaranya hampir tak terdengar di tengah riuhnya kantin.

 Silvia mengerutkan kening. “Menikah? Dengan Johan? Apa hubungan kalian seserius itu? Apa kau tidak ingin berpikir ulang?” 

Sejujurnya, Silvia sama sekali tidak setuju dengan hubungan Winda dan Johan. Silvia tahu Johan bukan orang yang tulus. Ia bahkan melihat selama ini Winda hanya dimanfaatkan. Pernah ia mencoba untuk mengingatkan Winda, tetapi sahabatnya itu tampak sudah terlalu bucin.

 Winda menggeleng, sebuah sentakan kecil yang menunjukkan emosinya. “Lupakan pria brengsek itu! Jangan pernah sebut namanya. Aku tidak berbicara tentang dia.”

 Kening Silvia semakin berkerut. Ada apa dengan sahabatnya ini?  “Bukan Johan? Lalu…? Ehh, tunggu. Kau ada masalah dengan Johan?” 

Winda menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum menceritakan semuanya. Ia mulai bercerita tentang pengkhianatan Johan bersama dengan Revi, sahabatnya sendiri. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi buru-buru ia mengangkat wajahnya agar air mata itu tak jadi terjatuh. 

Winda menceritakan bagaimana ia melihat Johan berselingkuh dengan Revi, di rumah kontrakan teman Johan. 

Silvia mengepalkan tangan. Tidak rela sahabat yang paling baik mendapatkan penghianatan seperti itu. “Aku sudah pernah menasehatimu dulu. Kamu yang tak pernah mau mendengarkanku.” Silvia marah pada Johan, tapi juga kesal pada sahabatnya. 

“Maaf,” ucap Winda. “Andai kata dulu aku mendengar kata-katamu. Mungkin aku tak akan merasakan sakit ini.”

“Sudah lupakan laki-laki mokondo itu. Jangan membuang air mata secara sia-sia untuk dia. Air matamu terlalu berharga, ia tak pantas mendapatkannya!” Silvia menggenggam tangan Winda. Mencoba memberikan kekuatan. 

Winda mengangguk. Iya benar-benar merasa beruntung memiliki seorang teman seperti Silvia. 

“Lalu tentang pernikahan yang kau sebut tadi, siapa pria yang kau maksud jika itu bukan Johan?” Silvia ingin menuntaskan rasa penasarannya. 

Winda menghela napas panjang, lalu melanjutkan ceritanya dengan pertemuannya dengan Ardan di taman kemarin.  Ia menceritakan tentang Ardan, kakak tiri Johan yang selama ini tak pernah ia kenal, dan tentang pria itu yang menawarkan pernikahan.

Silvia mengetuk-ngetukkan jarinya di meja,   Wajahnya tampak serius, keningnya sedikit berkerut seakan sedang memecahkan sebuah teka-teki rumit. Hingga akhirnya angkat bicara setelah beberapa saat terdiam.

“Aku merasa ada hubungan yang buruk antara Johan dengan Ardan. Sepertinya Ardan juga memiliki dendam pada lelaki mokondo itu,”  ucapnya, suaranya terdengar yakin,  matanya menatap Winda dengan penuh keyakinan saat mengeluarkan asumsinya, sebuah intuisi yang muncul dari cerita Winda barusan.

 Winda menghela napas, rasa frustasi masih terasa jelas.  “Jadi menurutmu aku harus bagaimana?” tanyanya, suaranya terdengar putus asa, mencari sebuah titik terang di tengah kebimbangannya.

Silvia tersenyum tipis, mencoba memberikan sedikit keceriaan di tengah situasi yang berat.  “Bagaimana penampilan Ardan menurutmu?” tanyanya, ia harus tahu lebih banyak duku sebelum mengeluarkan pendapat. 

 

Winda terdiam sejenak, seakan mengingat kembali sosok Ardan. Seulas senyum tipis muncul di bibirnya. “Cukup baik. Penampilannya modis. Dia juga tampan. Bahkan menurutku lebih tampan dari Johan,”  akunya, suaranya terdengar sedikit lebih ceria,  seakan menunjukkan rasa kagum. 

 

Silvia mengangguk,  matanya berbinar.  “Kalau aku jadi kamu, aku akan menerima tawaran itu,”  ucapnya, suaranya terdengar tegas,  memberikan sebuah saran yang berani dan tak terduga.

 

Winda menggeleng, keraguan dan ketakutan masih tampak jelas di wajahnya. “Tapi itu adalah pertemuan pertama kami. Masa iya aku akan menikah dengan orang yang baru saja aku jumpai,”  bantahnya.

 

Silvia tertawa kecil, suaranya terdengar menghibur. “Kenapa tidak? Terkadang kebahagiaan tidak selalu kita dapatkan dari orang lama. Nyatanya kamu berhubungan dengan Johan sudah dua tahun, dan dia tetap saja menyakitimu,” ucapnya.

“Orang baru juga tidak selalu buruk. Menikah dengan Ardan, jelas akan membuat Johan marah dan cemburu. Apalagi kalau Ardan lebih tampan. Ia akan nangis guling-guling karena kamu mendapat yang lebih baik darinya,” lanjut Silvia. Suaranya terdengar sedikit jahil. “Aku bahkan berharap ada plot twist, ternyata dia CEO tajir. Ha ha ha, aku gak bisa bayangin tuh muka si kodok.” 

“Kamu pikir ini drakor atau novel, yang habis dikhianati terus dapat yang kaya raya?” Winda memukul.pelan punggung tangan sahabatnya. Sedikit kesal, tapi dia merasa terhibur. Wajahnya yang tadi mendung, sedikit demi sedikit kembali bersinar. 

“Aku sih Aaminn. Siapa tahu jadi kenyataan.” Silvia masih tak berhenti dengan pemikirannya sendiri. 

“Dasar ratu drakor. Sana bikin film, DIKHIANATI KEKASIH DI PINANG SULTAN. Mungkin saja laris manis.” Berkata ketus, tapi Winda mulai membenarkan semua ucapan Silvia. 

“Apa aku terima saja ya tawaran Ardan?” 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!