Hujan deras turun sangat lebat sore itu, bukan saat yang tepat untuk sosok anak hawa pergi berkeliaran. Namun berbeda dengan Gia, sore itu dia tetap bertekad melarikan diri dari pengapnya duniawi yang membakar rungu dan jiwa.
Sesak di dalam raga dan telinga yang seakan telah lelah terbakar oleh pedihnya jiwa, menjadi bukti betapa lelahnya dirinya kini. Gia telah lama memikirkan ini sedari dulu, namun tak ia sangka jalan 'melarikan diri' yang tengah ia hadapi seperti ini. Ia pikir akan melarikan diri dengan bekerja diluar kota dengan cara baik-baik, bukan seperti ini. Kini ia hanya tampak seperti pencuri kecil yang melarikan diri agar tidak tertangkap.
Usianya saat ini masih sangat sangat mudah. 18 tahun. Bukan umur cukup dewasa untuk memikirkan kehidupan yang cukup lelah. Terbukti dari tindakannya yang amat impulsif ini.
Melarikan diri bukan karena dia tak mendapatkan cinta dari kedua orang tuanya. Dia amat sangat dicintai oleh kedua orang tuanya itu. Tetapi cinta itu tak cukup untuk membangun rumah yang nampak aman dan hangat untuk disinggahi oleh seorang anak. Ketidak cocokan diantara kedua orang tuanya amat sangat mengganggu dirinya selama ini. Perdebatan dan kekerasan yang sering kali juga tertuju padanya, hanya karena orang tuanya tak menemukan solusi terhadap perbedaan yang terjadi pada kedua orang tua Gia.
Namun apakah pantas, dia yang tak tahu apa-apa selalu dilibatkan dalam pertengkaran yang tengah orang tuanya alami. Sudah berapa kali Gia katakan pada kedua orang tuanya, bahwa dia bukanlah sosok pasangan mereka yang berkali-kali tak sepaham. Dia hanyalah seorang anak yang tak tau apa-apa yang sering kali terbangun hanya mendengar pertengkaran diantara kedua orang tuanya. Dipaksa sana sini, untuk mengerti kedua orang tuanya. Dipaksa untuk memberi cap benar kepada salah satu diantara kedua orang tuanya, yang nyatanya keduanya sama-sama salah.
Jika sekali saja dia menasehati salah satu kedua orang tuanya bahwa mereka salah, langsung dia akan mendapatkan hal yang tak mengenakan, yang cukup untuk membuat mental seorang anak hancur.
Dia hanya tak ingin mencari siapa yang benar diantara kesalahan kesalahan yang jelas nyata adanya. Buat apa? Dia bukanlah sosok politikus yang harus mencari abu abu diantara hitam dan putih. Dia bukanlah sosok hakim yang harus memutuskan siapa yang salah dan benar. Dia hanyalah sosok anak yang tak tau apa-apa, berusaha netral diantara pahit yang semakin menggerogoti.
Uang tak seberapa telah ia siapkan di dalam kresek kecil yang ia tenteng kemana mana. Tas selempang telah bertengger indah di bahunya membawa beberapa keperluan kehidupannya kedepan. Tak lupa, ia juga menyelipkan uang disana, agar berjaga jaga jika kreseknya mengalami hal sial seperti tercopet. Dan beberapa uang rupiah juga terdapat di kantong bajunya yang tengah ia kenakan. Tak lupa jas hujan yang melapisi tubuhnya agar tak secara langsung bertemu dengan derasnya hujan.
Telah banyak ilmu yang ia persiapkan untuk mengurangi kemungkinan terburuk yang akan ia alami kedepannya.
Surabaya adalah kota tempatnya tumbuh, dan kini ia tengah berada di kota Jakarta. Akan mencari kos-kosan yang telah ia list untuk ia tempati nanti.
Dia amat sangat berharap dapat membayar kos-kosan minimal 3 bulan kedepan. Masalah pekerjaan, akan ia pikirkan nanti.
Setelah mencari kesana kemari, hingga tengah malam baru ia temui, kos kosan yang menurutnya pas untuknya, dari segi fasilitas dan segi harga.
Setelah menaruh semua barangnya di dalam kamar, Gia memilih keluar dari kamar kosnya, menatap kosong ke arah depan. Menerawang, apa yang setelah ini akan ia hadapi. Dia lelah, tetapi tak bisa bertindak lebih selain dari ini. Bunuh diri? Jangan gila, tuhan alasannya memilih tetap hidup.
Sehari, seminggu, dua minggu, dan sebulan sudah ia berjuang hidup di kota yang kata orang sangat tidak cocok untuk dijadikan tempat bekerja untuk orang yang 'lemah'.
Benar, itu amat sangat benar. Hingga kini, pekerjaan belum juga ia dapati. Bahkan satu-satunya pekerjaan yang ia dapatkan hanyalah sebagai asisten rumah tangga. Baiklah, tak apa. Jika itu yang harus ia lakukan. Toh, dia hanya melanjutkan hidup hingga tuhan berbaik hati memanggil namanya kelak untuk berpulang ke sisinya.
Gia hanya bekerja sebagai art harian yang ketika malam hari menjelang datang, ia akan pulang ke rumahnya.
Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Gia sekuat hati meneguhkan pikiran dan optimisme yang nyaris habis itu. Kini dia tengah memaksakan makanan untuk tuannya. Yah, hanya tuannya yang berada disini. Majikannya itu sama halnya dengan Gia yang masih sangat muda, masih sangat impulsif. Lihat saja, lelaki itu pulang dengan mendobrak rumahnya dengan sangat kencang.
Sontak saja Gia menghentikan kegiatannya, mengintip dari balik dinding dapur. Menatap sang majikan yang tertatih-tatih duduk di sofa ruang bersama. Gia bukan orang yang bodoh untuk tak bersikap hati-hati pada orang yang tengah mabuk itu. Gia tak akan menghampiri sang majikan hanya untuk sekedar menolong sang majikan. Gia pikir, bukan dia yang akan menolong, tetapi dia yang akan memohon pertolongan, seandainya lelaki pemabuk itu melakukan yang tidak tidak padanya.
Gia dengan cepat menyelesaikan masakannya dan segera pulang setelah itu. Ditengah kegiatannya, Gia menatap ke arah dinding jam yang masih menunjukan pukul 5 sore. Tentu Gia tak bisa pulang sebelum jam kerjanya habis.
Sembari menata makanannya, Gia memikirkan kemana kah tempat yang akan ia jadikan pelarian untuk melindungi diri dari sang majikan yang tengah mabuk itu.
" Bisa-bisanya anak orang kaya itu, pulang mabuk jam segini? Normal kah dia? Biasanya orang pulang mabuk itu malem, kenapa ini sore? " Gerutu Gia, berusaha menekan rasa takutnya.
Sesuai menghidangkan makanan, Gia cepat cepat hendak keluar dari dapur menuju tempat cuci. Namun belum juga Gia berusaha kabur dari arah dapur, mata gelap Gia tengah menangkap sosok majikan yang berjalan mendekat kearahnya.
Sontak saja Gia menunduk dan berusaha tetap melanjutkan jalannya. Namun belum juga Gia berhasil keluar dari ruang makan, tubuh kecil itu sudah direngkuh erat oleh lelaki berusia 20 tahun itu.
" Mau kemana, hm? " Bisik pria itu dengan suara serak.
Gia bergetar di dalam dekapan pria itu. Alarm bahaya di dalam kepalanya seolah memperjelas keadaannya kini.
" Saya mau menyetrika baju, tuan. Tolong lepaskan saya. " Air mata Gia telah membasahi pelupuk matanya.
Majikan yang seingat Gia memiliki nama, Josan itu tersenyum manis ke arahnya. Namun tatapan tajam pria itu cukup membuat Gia sadar akan apa yang tengah terjadi oleh dirinya setelah ini.
~|~
Sebulan. Sudah sebulan dari kejadian yang semakin merusak mental Gia itu. Sebuah garis dua telah menjadi bukti kebejatan dari pria yang berada diluar kamar mandi yang tengah Gia tempati itu.
Gia terduduk dibawah shower kamar mandi, tangan mungilnya sudah berkali-kali menjambak rambutnya dengan tak berperasaan. Suara isakan yang awalnya terendam oleh suara rintikan air shower, kini seakan hilang.
Gia menatap ke arah depan dengan sorot lelah yang amat kentara. Tangannya kini mulai melukai tubuhnya semakin membabi buta. Membuat Gia mau tak mau berteriak histeris. Berusaha mengeluarkan sesak yang berulang kali menghantui batinnya itu.
Hal itu cukup membuat sosok pria yang tertidur diluar masuk kedalam kamar mandi dengan cepat, masih dengan wajah khas bangun tidur.
Josan, yah pria itu menangkap sosok wanita yang terus menerus menyakitinya sembari berteriak histeris. Sontak saja Jordan berlari ke arah Gia dan dengan cepat mematikan air shower yang masih menyala. Lalu merengkuh tubuh Gia dengan erat, tak lupa menggenggam tangan Gia yang masih saja memberontak untuk menyakiti tubuhnya.
" Lo udah gila? " Sentak Jordan penuh amarah.
Gia semakin mengeraskan teriakannya. Tak memperdulikan tubuh polosnya kini tengah Jordan rengkuh dengan tubuh sama-sama polos. Maklum saja, pria itu baru saja tertidur setelah puas menggaulinya.
" Hei-hei-hei, Lo kenapa sih? " Ucap Jordan bingung.
" Lo. " Gia menatap tajam Jordan. " Lo jahat anjing. Gue punya salah apa sama lo, sampek Lo tega banget ngelakuin ini ke gue? "
" Apaan sih? We just having fun, apa salahnya coba? Toh lo pas dimasukin juga diem-diem aja keenakan. " Ucap Jordan seenaknya.
Mendengar hal itu, Gia mendorong tubuh pria itu dengan bahunya. Namun sayang tubuh itu tak bergeser sedikit pun.
" Gue diem karena gue capek, anjing. Bukan malah gue nikmati semua perbuatan yang Lo perbuat! Sebelum berhubungan juga gue selalu berontak gak mau kan, terus kenapa Lo tetep ngelakuin itu!? " Teriak Gia, hingga urat di leher Gia tampak.
Jordan mengerutkan dahinya bingung.
" Santai aja kali. Dah biasa di sini kayak gini. Lo gak usah sok dramatisir kek gini. Toh gue pake pengaman. " Saut Jordan yang sudah tersulut emosi.
Gia menunduk dan mulai berteriak pedih. Bagaimana hal salah seperti ini menjadi hal yang tampak lumrah? Salah Gia yang memilih tetap bekerja di sini, meski sudah mendapatkan hal tak enak pada dirinya. Tapi harus Gia ingatkan sekali lagi, Gia selalu memberontak ketika sang majikan meminta hal 'itu' padanya.
Gia tak punya pilihan, Gia hanya dihadapkan pilihan, tidak dapat bekerja dan tidak dapat makan, atau tetap berusaha menetap dengan harap agar tuannya itu tak melakukan apa pun pada tubuhnya lagi. Bukan Gia tak mau mencari pekerjaan lainnya, tetapi wanita itu meski telah mencari, tetap saja pekerjaan lain seolah tak mau berbaik hati menerimanya.
Gia telah berusaha selama ini, namun sayang usahanya membuahkan hasil yang amat pedih untuknya. Garis dua seolah menamparnya pada takdir yang tak pernah berpihak padanya.
Gia berusaha menarik tangannya dan meraih tubuh pria itu, menyakar tubuh tegap pria itu dan menjambak rambut pria itu dengan gilanya.
" Fuck, sakit goblok. " Teriak Jordan kesakitan.
Air mata berderaian keluar dari mata Gia, menunjukkan lara yang tak kunjung usai.
" Pertama kali berhubungan Lo gak pake pengaman, anjing! Sekarang gue hamil! Puas lo ngerusak hidup gue?? Puas hah?! "
Wajah yang kian kusam akan kelutan jiwa akan masa depan yang entah bagaimana. Hal itu yang tengah menghiasi wajah sosok pria tampan yang amat digandrungi wanita diluar sana, Jordan.
Dia tak tahu, amat sangat tak tau jika hal buruknya akhir-akhir ini telah membuahkan hasil dan menunjukkan karma padanya. Surat keterangan hamil yang dimiliki oleh wanita yang akhir-akhir ini ia tiduri itu, seolah nyata menampar dirinya.
Bukan, bukan karena dia tak ingat dengan perbuatannya saat itu. Dimana dengan paksa ia merenggut mahkota yang telah dijaga dengan baik oleh sosok wanita bernama Gia Answara itu. Tapi tolong ingatlah, bahwa dia saat itu berada dalam pengaruh alkohol.
Tentu Jordan tak bisa berbuat apa-apa. Bukan hanya Gia yang pertama kali dalam hal ini, Jordan juga sama halnya. Pria itu baru pertama kali mencicipi alkohol yang pada saat itu temannya tawari.
Namun bodohnya Jordan, setelah mengetahui dirinya tak memiliki kendali terhadap tubuhnya setelah mengonsumsi cairan haram itu, Jordan masih saja tetap mengonsumsi cairan haram itu. Dan berakhir kembali memperkosa art-nya yang tak tau apa-apa itu.
Setalah berkali-kali mencicipi tubuh sang art, Jordan semakin candu akan tubuh sang art. Jadilah, dengan atau tanpa alkohol, pria itu tetap memaksa sang art untuk melayaninya.
Setelah beberapa kali berhubungan dengan sang art, Jordan akhirnya memakai alat pengaman untuk menggauli sang art. Dan berakhir yakin sang art akan aman dari kemungkinan hamil.
Namun sayang seribu sayang, Jordan lupa bahwa kemungkinan Gia hamil masih ada. Dan buktinya surat keterangan hamil itu berada ditangannya kini. Meski awalnya tak yakin dan teguh terhadap pendiriannya tentang dia dan Gia berhubungan aman. Lalu meminta Gia untuk memeriksakan ke rumah sakit, dan yah kini keyakinannya runtuh. Jordan telah menghamili wanita itu.
Jordan menatap ke arah Gia yang tengah duduk disampingnya dengan pandangan kosong. Jordan menghembuskan napas berat. " Gue bakalan nikahin lo. "
Tanpa mengucapkan kata apa pun Gia memilih pergi. Sontak membuat Jordan mengikuti wanita itu pergi kemana pun wanita itu berada.
~|~
Gia menenggelamkan kepalanya pada bantal, dengan tubuh yang berposisi miring. Buliran air mata menetes tak terhingga.
Lelah, kecewa, marah, tak berdaya dan berbagai hal yang tak dapat diungkapkan, memenuhi rungu Gia.
Gia mulai beranjak, menatap sekeliling yang seakan menyesakkan. Seolah olah tengah mengejeknya, yang kini tengah kalah dengan keadaan yang tak kunjung usai mengujinya.
Hari ini, satu hari setelah Gia sah menjadi istri Jordan Utomo. Sosok yang awalnya menjadi majikan, kini menjadi teman hidupnya.
Masih dengan deraian air mata Gia berjalan lunglai ke arah meja rias. Masih dapat Gia ingat, meja rias ini awalnya tidak ada. Entahlah bagaimana kamar yang dulunya amat sangat manly kini disulap menjadi kamar yang cocok untuk pasutri.
Gia menatap pantulan wajahnya yang menunjukkan betapa perihnya hatinya kini. Dari balik kaca, dapat Gia lihat terdapat kertas dan pena yang berada diatas meja. Yah itu milik Jordan, ingat kan padanya, Jordan masih kuliah, tentu dia masih membutuhkan kedua hal itu. Jikalau tak ingat Jordan adalah anak orang kaya, Gia pasti akan bertanya-tanya darimana pria itu masih bisa berfoya-foya dengan tak tahu dirinya.
Gia mengambil kertas dan pena itu, lalu membawanya kembali ke meja rias. Mulai mencoret coret abstrak disana. Sembari air mata masih saja menetes deras.
Jangan kalian kira coretan Gia akan membentuk sebuah gambaran. Kalian keliru. Gia bukanlah seorang yang berbakat dalam menggambar. Bahkan wanita itu tak memiliki bakat yang berarti selama dirinya hidup.
Coretan itu tak berbentuk, benar benar tak berbentuk, bahkan hampir menutupi kertas putih itu dengan warna hitam dari pena itu.
Tiap gores, Gia menekan penanya. Begitu pula dengan laranya yang terus ia tekan dalam-dalam.
Isakan kecil menjadi backsound, sebuah coretan terbentuk.
Kertas yang telah penuh akan coretan itu, Gia pandangi lamat lamat. Perlahan namun pasti, Gia kembali menggoreskan pena. Kali ini bukan hanya coretan, tetapi tulisan tulisan yang mengganjal hatinya lah yang ia tengah tulis. Jangan harap tulisan itu tampak, karena bagaimana bisa kertas yang penuh akan warna hitam dapat ditulisi dengan sebuah pena hitam juga?
Kala dunia berkali-kali terenggut.
Tak ada ada yang dapat digenggam.
Berusaha hilang namun tak mungkin.
Membuat diri terbelenggu sesak.
...Menyakitkan....
...Dituntut mengerti,...
...Namun tak ada yang dapat mengerti....
...Jiwa terenggut paksa....
...Hingga pilu berdarah....
...Berusaha hidup lebih baik....
...Nyatanya semakin hancur....
...Lelah....
...Namun tak ada tempat berpulang....
Yah, itulah tulisan yang Gia timpa berkali-kali dalam satu kertas.
Gia menghentikan kegiatannya sejenak. Menatap coretan itu.
Coretan itu nampak seperti tak ada isinya. Namun nyatanya terdapat bait berusaha dituangkan.
Gia mengusapi kertas itu dengan tahan gemetar. Hingga tanpa sadar, kertas yang dianggap tidak akan menyakiti itu baru saja membuat goresan luka dalam di salah satu jarinya.
Berdarah.
Tangannya luka. Namun pedihnya tak sebanding dengan luka didalam hatinya.
Gia menatap tangannya dengan gemetar. Membuat tangannya yang lain menekan darah itu, berusaha luka itu tak nampak.
Bukannya tertutupi, tapi darah yang semakin deras keluar.
Gia menggigit bibirnya kuat-kuat. Merasa air matanya semakin deras berjatuhan.
Beberapa detik kemudian tangan Gia ditarik secara paksa oleh seseorang. " What is wrong with you? " Sentaknya
Gia menatap pria itu dengan pandangan kosong. Yah, Jordan berada dihadapannya saat ini.
" Aku tidak melukai diri. Aku terluka tanpa sadar. " Ucap Gia berusaha menjelaskan.
Tak tahu mengapa Gia harus menjelaskan itu, tetapi luka dimasa lalu yang memintanya untuk memberi penjelasan. Gia hanya terbiasa untuk selalu menjelaskan. Ingatkan padanya, dia dulu hanya dapat menjelaskan agar tak terjadi kesalahpahaman yang semakin membuatnya terimbas.
Jadi jangan salahkan dia. Gia hanya telah terbiasa.
Jordan merengkuh tubuh Gia dalam dekapannya.
Katakanlah dirinya dulu sangat jahat terhadap wanita yang berada didekapannya itu. Namun apa yang kalian harapkan pada dirinya? Sudah biasa orang diluar sana melakukan itu. Apalagi Jordan memiliki privilage lebih. Pantas waktu itu dia salah dalam melangkah.
Tetapi Jordan telah berubah. Benar-benar berubah. Menjadi sosok calon ayah, memaksanya untuk menjadi lebih baik. Kini Jordan hanya dapat menyesali perbuatannya waktu itu.
" Sorry. " Lirih Jordan, tempat ditelinga Gia.
Matanya menangkap, Gia kini hanya diam tanpa kata dan tanpa tangisan. Hal itu membuat Jordan menatap sendu ke arah Gia.
Melepaskan dekapannya, Jordan dengan perlahan mengobati luka Gia. Berharap tak kembali menyakiti wanita itu.
Sesuai mengobati Gia, Jordan membawa Gia merebahkan diri di kasur. Jordan ikut merebahkan diri, lalu menarik wanita itu dalam dekapannya. Mengecup puncak kepala Gia dalam-dalam, seolah mengatakan Gia tidak sendiri sekarang.
Jordan mengusap perut Gia yang entah kenapa sudah sedikit menonjol itu, meski umur kandungan Gia baru memasuki Minggu ke 5. Berusaha mencurahkan kasih sayangnya pada sang calon anak pada usapannya itu.
Namun bukannya Gia merasa nyaman, Gia malah semakin terusik
Matanya membayang jauh melanglang buana. Kini dia menjadi calon seorang ibu. Menjadi salah satu korban kekacauan orang tua, membuat ketakutan demi ketakutan mengisi benaknya.
Gia tak mampu.
Paling tidak jangan sekarang. Gia tak mampu
Gia menggelengkan kepala, dengan buliran air mata kembali berjatuhan.
" Tidak, jangan sekarang. " Lirih Gia.
Membuat Jordan menatap wajah Gia. Tampak sekali dalam kedua mata itu terdapat ketakutan besar.
" Hey, Gia sayang.. " Jordan mengusap wajah Gia lembut, berusaha menyadarkan wanita itu dalam kemelut pikirannya.
Gia termenung sesaat.
Lalu menatap ke arah Jordan dengan mata berkaca-kaca.
" Aku gak bisa. Tolong jangan sekarang. " Racau Gia sembari menggapai tangan Jordan.
" Apanya yang gak bisa, sayang? Apanya? " Tanya Jordan bingung. Bagaimana tak bingung, wanitanya itu nampak jiwanya tak berada ditempatnya kini.
Bukannya menjawab, Gia semakin meracau tak jelas.
Jordan semakin mengeratkan tubuh Gia dalam pelukannya, dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Mengusap surai indah Gia dengan amat perlahan, seolah takut merusak harta paling berharga didunia ini.
Maaf Jordan tak tahu diri. Namun dirinya kini sama hancurnya dengan wanita dihadapannya itu. Penyesalan benar benar terpupuk semakin banyak didalam batinnya. Hingga membuat sesak yang tiada akhir pada diri Jordan.
" Sorry, sorry.. " Berkali kali, kalimat itu keluar dari bibirnya. Berharap wanita didalam dekapannya itu memaafkan dirinya. Meski Jordan tahu, perbuatannya tak layak dimaafkan.
Seandainya Jordan dapat mengulang waktu. Jordan tak akan merusak wanita yang berada didekapannya. Berusaha menjalani hidup dengan baik tanpa mengacaukan apa pun lagi. Dan berbagai perandaian yang hanya akan membuat jiwa Jordan semakin lara.
7 bulan sudah Gia telah mengandung buah hatinya dengan pria yang menjabat menjadi suaminya itu. Banyak hal yang telah terjadi selama itu. Pahit berkali-kali harus Gia dan Jordan telan dalam pernikahannya itu.
Sudah tak dapat dihitung berapa kali kata maaf terucap di bibir Jordan, yang tentu saja tak mendapatkan respon apapun oleh Gia.
Sudah beberapa kali Jordan telah menghadapi Gia yang hilang kendali. Sudah berapa kali juga Gia harus melawan trauma demi trauma yang seakan tiada henti berusaha berkawan dengannya.
Namun, izinkan sekali saja asa bahagia memenuhi hati Jordan. Seperti kali ini, Jordan yang baru saja mengetahui bahwa anak yang tengah Gia kandung bukan hanya 1, tetapi 4. Gila, benar-benar gila, Jordan juga tak menyangka dia dapat mendapatkan bayi sebanyak itu. Jordan bersyukur, sangat bersyukur.
Ketika mengetahui jika anak-anaknya berjenis kelamin cewek cowok, semakin membuat rasa bahagia Jordan semakin membuncah. Dua cewek dua cowok adalah calon anaknya kelak.
Reaksi Jordan berbeda pula dengan reaksi Gia. Wanita itu semakin termenung dalam ribut pikirannya itu. Membuat bulir-bulir air mata berjatuhan, sembari menatap ke arah layar yang tengah menunjukkan bayi-bayinya itu.
Gia meneguk ludahnya paksa. Merasa tak yakin.
Usai mengecek kondisi sang buah hati, Gia dan Jordan dituntun ke arah meja dokter. Dengan Gia dan Jordan duduk berdampingan, dihadapan dokter yang dibatasi oleh meja kerja.
Rangkaian demi rangkaian kata, keluar dari bibir sang dokter, menasehati untuk calon ayah dan ibu muda dihadapannya itu.
" Dengan usia Bu Gia yang masih sangat muda, membuat tubuh Bu Gia cukup rawan untuk janin yang dikandung. Terlebih terdapat 4 janin yang tengah ibu Gia kandung. " Jelas sang dokter dengan senyuman tulus.
Jordan termenung dalam pikirannya. Terdapat perasaan takut yang mulai muncul di lubuk hatinya terdalam. Jordan menggapai tangan Gia dibalik meja. Mengusap dengan lembut tangan wanita itu, berusaha mencari kenyamanan disana.
Gia melirik ke arah tangannya dengan bibir yang masih membisu, tak berniat berucap.
" Tapi tidak apa, kita cukup dengan berwaspada dan berdoa agar Bu Gia dan janinnya dapat baik-baik saja hingga lahiran nanti. Jadi saya akan menyiapkan vitamin untuk Bu Gia konsumsi nanti, agar janin didalam kandungan dapat tumbuh dengan kuat. " Ucap sang dokter masih dengan senyuman, sembari menuliskan beberapa vitamin yang akan Gia konsumsi nantinya.
Masih dengan menulis, sang dokter memberi nasehat apa yang boleh dan tidak boleh Gia lakukan.
~|~
Jordan berjalan menuju balkon meninggalkan Gia yang tengah terlelap dalam tidurnya.
Matanya dapat melihat kolam renang dirumahnya, diatas sini.
Menghembuskan nafas gusar. Jordan menatap ke arah hpnya yang masih saja berdering dan menunjukkan tulisan 'mama' disana. Jordan mulai menekan tombol hijau dilayar Hpnya.
" Halo, ma. " Sapa Jordan.
Rentetan demi rentetan kata keluar, lagi-lagi mulai menyakiti batinnya. Diam, hanya itu yang dapat Jordan lakukan. Tentu, dari kehamilan yang tengah dialami Gia itu, bukan hanya menyakiti Jordan saja, tetapi juga orang tuanya. Jadilah Jordan hanya dapat menerima apa pun yang dilontarkan padanya. Menghukumnya dengan itu.
Yah, pernikahan Jordan dan Gia tidak mendapatkan restu oleh orang tua Jordan. Berkali-kali Jordan menutupi hal itu pada Gia, tak ingin semakin membebani pikiran calon ibu dari anak-anaknya itu.
Bagaimana Jordan dapat meminta restu, jika orang tuanya saja telah menjodohkannya dengan rekan bisnisnya. Tentu mendapatkan penolakan mentah-mentah dari orang tuanya.
Yang kaya milik yang kaya. Itu benar adanya. Mitos itu turun temurun menjadi tradisi tersendiri dikeluarganya. Tentu Jordan tahu, sangat tahu.
" Maaf ma, Jordan gak bisa. Jordan udah nikah, ma. Gak mungkin Jordan melukai hati istri Jordan sendiri. " Lirih Jordan, sembari menghembuskan nafas lelah.
Memijit pelipisnya lelah, Jordan mendengarkan dengan amat baik tiap untaian kata yang di ucapkan wanita yang telah melahirkannya itu.
Awalnya dia diam, mendengarkan. Namun, kini urat urat kecil mulai tampak dirahangnya. Menunjukkan betapa geramnya dia saat ini.
" Ma, dia istri Jordan. Cukup mama jelek-jelekin Gia. Gia sekarang tengah mengandung anak Jordan sendiri, ma. Tolong ma.. jangan jelek-jelekin Gia lagi. Jordan sakit ma setiap mama jelekin Gia. " Sela Jordan merasa geram.
" Ini semua salah Jordan, cukup mama marah, bahkan benci ke Jordan. Jangan ke Gia. " Pinta Jordan semakin melirik.
Jordan menundukkan kepalanya dalam, menahan pedih didalam hati.
Perbincangan itu terus menerus berlanjut hingga beberapa saat kemudian.
Seusai menelpon Jordan kembali menghampiri Gia, merebahkan diri disamping wanita itu. Merengkuh wanita itu erat. Menenggelamkan wajahnya pada bahu Gia, mencari kenyamanan disana.
Jordan tanpa sadar menitikkan air matanya. Jordan salah, sangat salah. Jordan sadar itu. Tapi jangan sakiti wanita yang banyak ia sakiti itu. Cukup ia saja.
Detik demi detik, hari demi hari telah Jordan lewati dengan wanitanya itu. Sedikit demi sedikit mulai mengenali sang wanita, yang tetap berusaha tetap tegar diantara badai yang terus-menerus menerjang.
Perasaan cinta kasih, telah tuhan anugerahkan padanya bersamaan dengan rasa bersalah amat mendalam.
Tentu siapa yang akan menerima, sosok yang amat dicinta di sakiti? Begitu juga dengan Jordan. Dia tak rela wanita itu disakiti. Meski di masa lalu, Jordan lah yang telah menyakiti.
Wanita itu tak mengeluh, tak pernah mengeluh. Namun itu lah yang semakin membuat rasa di lubuk hati semakin tertanam dalam dan mengakar, hingga menjeritnya tak dapat bernapas.
Lalu bagaimana bisa, sang mama memintanya untuk meninggalkan wanita tegar itu dan beralih ke wanita lain? Tentu itu tidak mungkin. Jordan dan Gia, telah sah. Dan kini telah menjadi satu didalam ikatan rumah tangga.
Duhai hati pembolak balik hati.
Alangkah indahnya jalan yang telah terangkai.
Lara dan cinta melebur dalam satu.
Menciptakan arti hidup hanyalah milik semesta.
Mungkin pernah ingkar.
Namun tak apa, ia amat pemurah dalam memaafkan.
Sesal, tak usainya selalu membayang.
Harap menjadi pemegang utama.
Esok, menjadi tanda tanya.
Kelabu atau cerah menjadi hasil.
~|~
9 bulan usia kandungan Gia. Wanita itu kini tengah disibukkan dengan masakan yang tengah ia buat.
Meskipun urusan masak memasak telah dilarang oleh Jordan. Gia tetap bandel untuk memasak sesekali, agar membunuh suntuk dan bosan yang semakin menguras pikiran. Anggap saja, Gia hanya ingin mencari kesibukan agar teralihkan dari ributnya pikiran.
Sebuah lengan melingkar indah pada pada perutnya yang tampak sangat membuncit itu. Sebuah kecupan pada lehernya dan usapan lembut pada perutnya tengah Gia rasakan. Gia tahu, suaminya itu baru saja pulang dari kampusnya.
" Kamu masih bandel aja yah, sayang. Apa gak berat bawa perut segede itu kemana-mana? Kamu capek, hm? " Tanya pria itu tepat pada telinga Gia.
Gia tersenyum kecil sebagai tanggapannya, yang tentu saja ditangkal oleh penglihatan Jordan.
Yah, hubungan mereka menjadi lebih baik kini. Bukan karena telah ikhlas dan memaafkan, hanya mencoba menerima keadaan yang selalu saja membuat diri menyesak. Itu yang mereka hadapi. Berusaha menjadi lebih dewasa. Meskipun terkadang menjadi sosok anak-anak amat sangat di inginkan, karena merasa lelah akan hidup yang tak seindah itu.
Jordan kembali menciumi tengkuk Gia, sembari mulai mengangkat perut Gia ke arah atas. Hal itu membuat perut Gia menjadi lebih ringan. Paling tidak itu yang dapat Jordan lakukan, sedikit mengurangi beban sang istri, jikalau wanita itu tetap bandel untuk beraktivitas.
Tindakan kecil Jordan membuat Gia memejamkan mata merasa nyaman. Cukup lama posisi pasutri itu tidak berganti.
Namun, tiba-tiba saja Jordan berbisik kembali. " I love u. " Singkat, sangat singkat. Namun cukup berarti untuk keduanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!