Perkenalkan, Brianna Marya William. Lahir dari rahim kekayaan, ia adalah anak tunggal William Mahendra, pewaris imperium tekstil yang menjulang tinggi dengan cabang-cabang perusahaannya yang menjamur. Ibu nya, Bernada, seorang ratu bisnis yang menguasai deretan butik dan brand pakaian papan atas. Seringnya mereka menetap di luar negeri untuk mengurus kekaisaran bisnis membuat mereka lupa memiliki anak secantik berlian. Diliputi kemewahan, ironisnya, Brianna merasa seperti yatim piatu yang kehilangan tempat untuk berbagi suka duka. Kesunyian itu menghantarkan nya mencari serpihan kebebasan di luar sana, di luar kemilau harta yang tak pernah bisa mengisi kekosongan hati.
Ia juga mengenyam pendidikan di salah satu universitas bergengsi bertaraf internasional di negara nya, tubuhnya yang menjulang tinggi 175 cm dan berat 65 kg sering kali membuat orang salah mengira usia nya yang sesungguhnya. Rupanya, gen campuran dari sang ayah, blasteran Inggris-Indonesia, menjadi warisan yang nyata. Di tengah kesibukan kuliah, ia juga mulai merambah ke dunia bisnis, mengambil alih kendali salah satu perusahaan milik keluarga dibantu oleh asisten kepercayaan William. Harapan william begitu besar, setelah anaknya wisuda, ia begitu berharap anak tunggalnya itu akan lebih terlibat dan membawa inovasi pada salah satu cabang perusahaan.
Ketertarikan Brianna pada kehidupan bebas bermula saat ia mengerjakan sebuah tugas kuliah secara berkelompok di rumah. ia dan salah satu temannya yang bernama Andre dikelompokkan jadi satu karena jarak rumah mereka berdekatan. Siang itu Andre datang membawa tugas ke rumah.
"Permisi pak, bisa bertemu Brianna?" sapa Andre pada satpam penjaga rumah.
"Oh, Andre ya? Silakan masuk, tadi Non Anna sudah berpesan."
"Oh baik, terima kasih Pak."
Andre, seorang pria bertubuh atletis, anak basket dengan tinggi 180 cm dan memiliki kulit putih, ia keturunan Perancis. Brianna yang melihat Andre datang segera menghampiri.
"Hey ndre masuk yuk."
"Thank you by the way lu tinggal dirumah sendirian."
Tanya andre seraya mengikuti Brianna masuk ke dalam rumah
"Hmm gak juga sih ada mbak dapur, supir dan penjaga rumah yang memang tinggal disini yuk kita ke atas."
Di rumah besar itu, terdapat beberapa sosok yang sudah seperti keluarga sendiri. Mbak Tuti, yang berusia 45 tahun, bekerja dengan setia sebagai asisten rumah tangga. Bang David, yang berumur 27 tahun, bertanggung jawab sebagai supir. Sedangkan Pak Sapri, penjaga keamanan rumah, seringkali tertidur lelap karena usia senjanya yang sudah tidak memungkinkan dia untuk terlalu banyak bergerak, hingga terkadang sepertinya ia pun tak akan sadar jika ada pencuri yang masuk.
Namun, walaupun rumah itu terasa ramai, baginya bagaikan kuburan yang hening; tak ada gelak tawa antara seorang anak dengan kedua orang tuanya yang hangat dan penuh cinta.
"Tolong bawakan cemilan dan dua jus jeruk ke atas, ya Mbak," teriak Brianna.
"Baik, Non," jawab Mbak Tuti dengan suara lembutnya.
Begitu sampai di kamar, Brianna langsung menyiapkan laptop dan tumpukan buku untuk mengerjakan tugas, begitu pula dengan Andre, yang juga tampak sibuk dengan bukunya. Suasana menjadi sangat tenang, hanya suara ketukan tombol laptop dan gesekan pena di atas kertas yang terdengar, memecah kesunyian yang menyelimuti ruangan.
Andre terlihat begitu tampan meski hanya mengenakan kaos berwarna putih dan celana pendek.
sedang Brianna hanya mengenakan tanktop bewarna cream dan hotpants. ya gadis iti memang terbiasa begitu jika di dalam rumah.
*tok ..tok.*
"Iya mbak masuk."
"Ini minum ama cemilan nya non mbak kembali ke dapur dulu non."
"Oke makasih mbak."
"Lo sexy juga ternyata Brian."
Ucap andre seraya menatap ke arah Brianna.
"Ups...sorry ndre..apa gue perlu ganti baju, gue biasa begini kalau dirumah."
"Enggak perlu udah itu aja biar gue semangat ngerjain tugas nya ."
"Yee...bisa aja lo."
Sahutku sambil melempar penghapus ke arah nya.
"Hahahaha kan gue normal Brian, bokap nyokap lo kemana."
"Biasa lagi ke LN mungkin minggu depan baru balik, yaudah kita mulai yuk Ini laptop nya juga udah siap."
Karna andre tidak membawa laptop akhirnya mereka pun join laptop, posisi mereka saling telungkup berdampingan di lantai kamar yang di lapisi permadani.
"Lo dirumah punya adik."
Tanya Brianna pada andre. sebuah pertanyaan yang sengaja ia lontarkan untuk memecah ketegangan karena berdampingan dengan andre membuat nya salah tingkah. Andre sendiri adalah salah satu pria idaman di kampus karena ia tampan dan anak basket.
"Sama aja ama lo, gue juga anak tunggal Brian, ini harus banget ya kita ngerjain 5 halaman."
"Ya mau gimana lagi ndre tugas nya begitu."
Entah mengapa, jantung Brianna berdebar saat sadar Andre mencuri pandang ke arah dada. Ada rasa malu yang tiba-tiba menyelimuti, membuat pipinya merona. "Yaudah, oke, kita kerjain," ucap Andre, berusaha meredam situasi yang tiba-tiba menjadi canggung.
Kesenyapan terasa begitu panjang saat kami sibuk dengan soal masing-masing, seolah tiap detik bergulir lebih lama dari biasanya. Dalam keheningan itu, tiba-tiba saja Brianna merasakan tangan kiri Andre perlahan melingkar di pinggang nya. Alih-alih menepis, ada bagian dalam dirinya yang mengizinkannya, seolah-olah rasa diamnya adalah sebuah jawaban atas rasa penasaran yang tak terucap. Ini membuat detak jantungnya semakin tak menentu, terjebak di antara rasa ingin menolak dan rasa yang lain yang ingin membiarkan segalanya terjadi.
Perlahan ia rasakan tangan andre mulai meraba raba bagian bongkahan belakang nya.
Brianna mencoba memejamkan mata, merasakan setiap detik yang berlalu sebagai pengalaman baru dalam hidupnya. mereka berdua terhanyut dalam kehangatan yang mendalam, saat Andre mengangkat wajahnya dan perlahan melumat bibir ranum Brianna, Brianna memejamkan matanya dan mulai menikmati permainan nakal Andre. Semakin dalam tangan Andre pun semakin nakal, tanpa ia sadari pakaian nya telah bercerai berai. pria tampan itu membuainya dalam kenikmatan sampai mencapai puncak kebersamaan yang tak terlupakan. Setelah itu, Brianna segera bangkit, mencari tisu untuk membersihkan diri. Ia merasakan kelelahan yang menyenangkan dan memutuskan untuk berbaring kembali.
Andre memeluknya erat, mengucapkan terima kasih dengan tulus. Brianna merasa seperti melayang, tanpa rasa penyesalan, meskipun ini adalah pengalaman pertama yang sangat berarti baginya. Sejak saat itu, ia sering merasa tubuhnya merindukan sentuhan, dan terkadang ia memanjakan diri sendiri hingga terlelap dalam kelelahan.
Dengan andre adalah pengalaman pertamanya, dan sejak saat itu ia sering meminta pada andre untuk memuaskan nya. Terkadang mereka melakukan nya di sebuah hotel, di rumah Brianna bahkan terkadang di gudang kampus. Brianna benar benar ketagihan dengan kenikmatan semata itu. Apalagi Andre seringkali mengatakan jika ia mencintai Brianna dan selalu memuji setiap permainan yang diajarkan oleh Andre meski playboy kampus itu tak pernah mengartikan hubungan mereka sebagai sepasang kekasih.
Seiring bergantinya waktu Andre mulai menunjukan sifat aslinya, Andre memiliki pacar baru seorang mahasiswi yang baru saja masuk, sejak saat itu andre cenderung tak punya waktu untuk nya dan itu membuat dirinya semakin kacau.
Saat libur datang, Brianna memutuskan untuk menyegarkan diri. Dengan membayar sewa sebuah hotel di tepi pantai, ia berharap bisa meninggalkan semua penat. Di tengah perjalanan, hasrat yang sudah lama terpendam seolah menggelora. Hampir satu bulan ini Brianna mengatasi kesepian dengan cara sendiri, tanpa kehadiran Andre.
Di tengah malam yang menyelimuti kota, Brianna yang tenggelam dalam kebosanan memutuskan untuk melarikan diri dari kesunyian kamar hotelnya, menyeret langkahnya ke sebuah klub malam yang hanya berjarak beberapa blok. Memasuki tempat itu, ia langsung memesan minuman keras sambil terhanyut dalam gempita musik yang menggema dan sorotan lampu disco yang berkelip-kelip.
Sorakan musik memenuhi ruang, memacu jantungnya seiring dengan setiap tegukan yang membanjiri pembuluh darahnya dengan alkohol. Kepalanya mulai terasa seperti dibebani oleh kumpulan awan kelabu. “Ah, pulang? Untuk apa? Tak ada satu pun yang peduli...” gumamnya saat membaca pesan dari sang ibu yang memberitahu jika mereka akan pulang, seraya dia berdiri dengan langkah yang berat dan pincang.
Dengan botol minuman yang tergenggam erat, Brianna merangsek masuk ke tengah kerumunan yang tengah larut dalam euphoria tarian. Badannya limbung, goyah ke sana ke mari. Namun, dengan nyali yang dibangkitkan oleh minuman keras, dia meneriakkan lantunan lagu bersama para penari lainnya, sambil sesekali menyesap isian botolnya yang semakin menipis. Menari baginya malam itu bukan hanya sebuah pelarian, melainkan sebuah protes terhadap kesepian yang selama ini menghantuinya.
Di kursi lain, sosok pemuda tampan berdarah Eropa dengan postur yang tegap dan rambut gondrong yang terikat rapi mencuri perhatian. Mata biru tajamnya tertancap pada Brianna dari kejauhan, sementara cahaya lampu memantulkan kulitnya yang putih. "Kenapa kau tertarik pada gadis itu?" desis teman di sampingnya, yang juga menangkap arah pandang Kelvin.
Kelvin, seorang pemuda kaya keturunan Eropa yang sedang menikmati liburan di tanah leluhurnya, hanya tersenyum simpul tanpa suara pada sang teman. "Ayo, dekati dia sebelum dia terbuai dalam dekapan orang lain." Tepat saat temannya mengucapkan itu, seorang pria yang berpenampilan kurang ajar mendekati Brianna yang tampak semakin mabuk.
Tanpa membuang waktu, pria itu langsung mengambil kesempatan dengan melingkarkan tangannya di pinggang Brianna. Dalam keadaan setengah sadar, Brianna berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan yang tak diinginkan itu.
"Lepas!! Pergi, aku tidak membutuhkanmu!" teriak Brianna sambil bergoyang, berusaha menstabilkan tubuhnya yang mabuk. "Tenang, manis. Aku akan membuatmu melayang," ucap si pemuda dengan nada bengis sambil menarik kasar tangan Brianna.
"Lepas! Sakit!" Brianna mencoba meronta dengan sisa kekuatannya. Kelvin, yang geram melihat kekasarannya, segera bergerak mendekat, diikuti beberapa temannya yang terburu-buru turun dari kursi untuk membantu.
"Lepaskan dia, Bung!" perintah Kelvin sembari dengan sigap menarik paksa tangan pemuda itu dari tangan Brianna. Keseimbangan Brianna terganggu karena mabuk, namun Kelvin berhasil menangkap tubuhnya tepat waktu, menariknya ke dalam pelukan yang aman.
"Cih! Kau ini siapa, berani-beraninya menyentuhku. Jangan sok jagoan!" teriak pemuda itu, kesal, seraya melayangkan tinjuan ke arah wajah Kelvin. Namun, dengan refleks yang cekatan, Kelvin menangkis serangan itu dan memberikan tendangan balasan yang menghantam pemuda tersebut hingga tersungkur ke lantai.
Keributan itu menimbulkan kepanikan di antara kerumunan yang ada, menggambarkan situasi yang semakin memanas di tengah malam yang semestinya damai.
"Lo urus dia nald,"
Ucap kelvin pada teman nya yang tak lain bernama Ronald ,dan ia berlalu pergi membawa brianna .
"Siap, lumayan olahraga malam,"
Dengan gerakan gesit, Ronald melayangkan beberapa pukulan yang keras ke pemuda yang sudah tak berdaya di bawahnya. Dengan cekatan, ia kemudian menyeret tubuh lemas tersebut keluar dari keramaian klub malam. Setelah menyelesaikan urusan kerugian atas kekacauan yang terjadi, Ronald kembali menyelam ke dalam suasana malam dengan segelas wine dan dikelilingi oleh dua gadis cantik di sampingnya. Ronald sendiri adalah sahabat sekaligus tangan kanan Kelvin.
Sementara itu, di sudut lain kota, Kelvin memacu mobil sport mewahnya, membawa Brianna yang masih linglung tak sadar ke sebuah rumah megah yang merupakan milik keluarga Kelvin. "Oh shitt, kepalaku..." keluh Brianna pelan, tidak menyadari bahwa dia sedang berada dalam perjalanan penuh misteri bersama seseorang yang sama sekali tidak ia kenali.
"Heh ..stupid girl," Lirih kelvin sambil melirik kearah Brianna.
Mereka berdua tiba di depan rumah yang megah dan menawan, dengan halaman parkir yang luas menampakkan kemewahan yang terpancar dari setiap sudutnya. Kelvin dengan cermat dan penuh kehati-hatian mengangkat Brianna yang masih tak sadarkan diri dengan gaya bridal, melangkah masuk ke dalam istana marmer tersebut. Seorang maid segera membuka pintu, menyingkapkan akses ke dalam.
Meski para pelayan tidak asing dengan kebiasaan tuan mereka yang kerap mengganti-ganti pasangan, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Kelvin, untuk pertamakalinya membawa masuk seorang wanita ke dalam kastilnya. Keheranan tergambar jelas di wajah-wajah mereka, namun rasa penasaran itu tak berani mereka suarakan.
Kelvin menapaki tangga yang dilapisi karpet tebal dengan napas yang semakin memburu. Setiap anak tangga terasa semakin menantang, dan beban di pundaknya - bukan hanya berat Brianna, namun juga beban perasaannya - semakin terasa. "Oh, sial, dia benar-benar berat," keluhnya perlahan, menahan rasa pegal yang mulai menerjang.
Sesampainya di kamar, ia dengan lembut meletakkan Brianna di atas ranjang besar yang mewah, yang seolah-olah dipersiapkan hanya untuk momen ini. Kelvin kemudian beranjak, meninggalkan Brianna dalam keheningan kamar tersebut. Ia melangkah ke balkon, duduk di kursi berlengan sambil meraih sebatang rokok dari saku. Di luar sana, langit malam terhampar dengan bintang yang berkelip, namun pikiran Kelvin terasa lebih suram dari malam itu sendiri, ia tak tau mengapa tiba tiba ingin mebawa wanita yang baru dilihatnya itu.
Disaat pikirannya tengah melayang, tiba-tiba *bught*... suara yang keras bagaikan buah nangka terlepas dari batangnya. "Aduh, sial!" Brianna mengerang kesakitan, pantat dan kepalanya terasa nyeri setelah jatuh dari ranjang. Matanya membelalak, bingung mencoba memahami di mana dia berada saat itu. Kelvin segera berlari mendekatinya. "are you okay?" ucapnya penuh kekhawatiran. "Heh... kamu siapa?" tanya Brianna dengan nada bingung sambil mengusap pantatnya yang sakit. Kelvin tak bisa menahan tawa melihat ekspresi kesakitan Brianna sambil memegang bokongnya. Ia kemudian berjongkok di depan Brianna. "Kamu mabuk, baby... dan seharusnya kamu berterima kasih kepadaku karena telah menyelamatkanmu dari lelaki bejat itu." "Heh, lain kali jangan menyelamatkan orang jika hanya ingin mendapat ucapan terima kasih," balas Brianna dengan ketus, sambil menyisir rambutnya karena kepala yang begitu pening. "Stupid girl," ucap Kelvin kesal, lalu beranjak menuju balkon dan meninggalkan Brianna sendirian. Dia duduk, menyalakan sebatang rokok, dan mulai menyesap nikmatnya, sementara angin malam mulai menerpa wajahnya yang tampan.
Kelvin diam diam mengambil jarum suntik dan memasukkan cairan misterius dari botol kecil yang berkilauan dalam cahaya redup ruangan itu. Brianna, dengan perasaan yang bergolak dalam dada, mengumpulkan tenaga terakhir untuk bangkit dan mengekori Kelvin, kemudian melemparkan tubuhnya yang terasa seolah akan pecah ke bangku di depan Kelvin dan meletakkan kepala beratnya di atas meja. "Heh... lain kali tidak perlu minum, jika kamu tak kuat," ejek Kelvin dengan nada merendahkan. Brianna, yang merasakan darahnya mendidih mendengar ucapan sinis itu, bangkit dengan cepat, melangkah dengan langkah yang goyah ke arah Kelvin, dan dengan cepat menarik keras kerah bajunya. "Bisakah kamu diam!" desisnya dengan suara yang tajam, penuh dengan frustrasi. Kelvin hanya terkekeh, raut mukanya tenang tapi matanya menyiratkan ejekan, sambil terus menikmati asap rokok yang mengepul dari tangannya. "Aku benci pria cerewet sepertimu," ujar Brianna sambil menunjuk ke wajah Kelvin dengan jarinya yang bergetar. Namun, hanya sesaat kemudian, tubuhnya terasa ringan, kekuatan di kakinya menghilang, dan ia limbung, jatuh ke pelukan Kelvin. "Heh, kamu marah-marah tapi mencuri kesempatan untuk memelukku," goda Kelvin, mendekatkan wajahnya ke wajah Brianna sehingga nafasnya yang hangat menyapu wajah Brianna yang pucat.
Brianna mendorong wajah Kelvin, namun Kelvin menahannya. Brianna berontak dan menampar wajah Kelvin, yang hanya membuat Kelvin semakin tertantang. Dengan cepat, Kelvin menyuntikkan sesuatu ke lengan Brianna. "Awww, sakit," teriak Brianna, merasakan lengan yang tertusuk jarum dan terasa ngilu. Kelvin hanya menyeringai seraya mencabut jarum dari lengan Brianna, dan Brianna pun kemudian ambruk ke tubuhnya. "Benar-benar menyebalkan," gumamnya lirih, seraya menggendong kembali Brianna dan merebahkannya di kasur. Ia diam di samping Brianna, menunggu efek obat berjalan, sambil terus memandang wajah Brianna yang begitu cantik. Sejenak kemudian, Brianna merasakan tubuhnya bergairah, menggeliat merasakan sesuatu yang menggelitik, ia ingin sekali disentuh. Tangan Brianna mulai meremas lembut. Kelvin tersenyum melihat Brianna yang tampak terpengaruh oleh suasana. Ia menyiapkan sebuah kamera dan memasangnya di meja dekat ranjang, ingin merekam momen bersama Brianna. Brianna yang menyadari kehadiran Kelvin di sampingnya segera bangkit dan menarik tubuh Kelvin, membuatnya terjatuh ke ranjang. Brianna kemudian naik ke pangkuan Kelvin dan mulai membuka pakaian, menunjukkan siluet tubuhnya yang anggun. Kelvin tersenyum, membiarkan Brianna memberikan kelembutan pada bibir dan leher nya, sambil perlahan melepaskan pakaian yang dikenakan. Brianna dengan lembut membuka satu persatu pakaian Kelvin, kemudian dengan penuh perhatian menyusuri setiap inci tubuh Kelvin dan memberikan kelembutan pada bibirnya.
Gairah di tubuh nya amat sulit di kendalikan,
Untuk pertamakalinya Kelvin mau menyambut ciuman dari seorang wanita.
"Oh shit, dia benar benar menggoda," ucap Kelvin tak tahan dan segera membanting tubuh Brianna kemudian melancarkan aksinya.
Malam ini keduanya berolahraga hingga berkali kali sampai akhirnya mereka kelelahan dan terkapar dengan posisi masih saling memeluk hingga pagi, Brianna dan Kelvin sama sama saling memuaskan dan terpuaskan.
Keesokan harinya, Brianna terbangun dengan rasa nyeri yang menusuk-nusuk seluruh tubuhnya. Seketika itu juga, terkejut bukan kepalang ia mendapati dirinya terbaring dalam pelukan seorang pria yang tak dikenalnya, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Mata Brianna tersesat memandang pria di sampingnya, yang tangannya erat memeluk perutnya. Flashback peristiwa semalam terputar kembali dalam ingatannya, meninggalkan rasa hangat namun sekaligus panas yang menyengat. Dengan perihnya yang menusuk, Brianna mencoba untuk bangkit. Setiap gerakan terasa seperti luka yang menganga, tetapi ia tahu ia harus melarikan diri. Dengan langkah yang gemetar, ia turun dari ranjang yang telah menjadi saksi bisu kenistaan itu, meraih pakaian yang berserakan, dan berusaha membungkus tubuhnya yang terasa begitu rapuh. Brianna mengendap-endap meninggalkan kamar, sementara Kelvin masih terlelap tanpa sadar akan kepergian dirinya. Langkahnya di koridor penuh dengan pandangan mata para pelayan yang menusuk tanpa sepatah kata pun—tapi itu bukan prioritas Brianna. Ia ingin keluar dari neraka ini. Ia melangkah serba salah, menahan sakit yang teramat sangat di selangkangan nya setiap kali kakinya menapak. Setibanya di halaman yang luas, terasa seperti belantara yang tak berujung. Ia tersandung-sandung, dengan perih yang semakin menjadi setiap langkahnya, mencapai gerbang yang tampak seperti pintu kebebasan. Hembusan angin pagi tidak mampu menyejukkan bara api dalam hatinya, sembari setiap jengkal tubuhnya menjerit menginginkan keadilan atas apa yang telah hilang dari dirinya semalam.
"Tolong buka segera," ujar Brianna dengan tegas pada penjaga rumah Kelvin. "Baik, tapi apakah tuan tahu jika Anda pergi, Nona?" Balas sang penjaga dengan hati-hati. "Pertama, aku bukan nyonya-mu. Kedua, dia tidak peduli dengan kepergianku. Cepat buka!" desak Brianna semakin tidak sabar. Tanpa menunggu lebih lama, satpam itu akhirnya membuka pintu untuknya. Brianna segera menyita sebuah taksi yang lewat dan bergegas pergi menuju hotelnya. Sampai di hotel, dia langsung menghilangkan kelelahan dengan mandi yang menyegarkan sebelum merebahkan diri di kasur yang empuk. Setiap otot di tubuhnya terasa lenguh dan lelah, mendorongnya untuk memesan layanan spa yang bisa memanjakan dirinya. Sementara itu, Kelvin terbangun dari tidurnya dan mendapati ranjangnya kosong tanpa kehadiran wanitanya. Dengan rasa cemas bercampur penasaran, ia berpikir bahwa mungkin wanitanya menunggu di bawah. Dia pun segera mandi dan bergegas turun untuk menemui wanitanya, namun betapa kecewanya, dia tak juga menemukan sosok wanitanya di mana pun.
"Kalian, kemari sekarang!" teriak Kelvin, matanya menyala-nyala memerintah setiap pelayan yang berada di rumah. "Di mana wanitaku? Jawab!" Tapi, semua pelayan menggeleng tanpa suara. "Di mana wanitaku?!" bentaknya lebih keras, napasnya memburu. Kepala pelayan gemetar, "Ti-tidak tahu, tuan. Nona tadi pergi keluar." "Oh sialan, kenapa kalian tidak menahannya, ha?!" marahnya semakin menjadi-jadi. "Kelvin, cukup!" teriak seorang wanita dari arah pintu. Regina, ibu Kelvin, baru saja tiba, dan dia geram melihat putra keduanya membentak para pelayan. "Berhenti bersikap kasar pada pelayanmu, atau momy yang akan mengirim kamu ke neraka." Kelvin mendengus kesal, tatapan tajam ibunya membuatnya merasa kecil. "Kembali ke dapur," perintah Regina pada para pelayan dengan suara yang lebih tenang namun tetap tegas. "Baik, Nyonya," ucap mereka serentak, lega bisa meninggalkan ruangan. Regina kemudian mengambil tempat duduk di bangku yang berhadapan dengan Kelvin. "Duduk, kamu!" ujarnya. Kelvin, meski dengan malas, menurut dan duduk, menatap ibunya dengan pandangan yang sulit diuraikan.
"Sejak kapan kamu membawa pelacur mu masuk kerumah ini,"
"Oh stop mommy,dia bukan pelacur,"
"Lalu apa jika bukan pelacur!! wanita yang mau kau tiduri dan bawa masuk kerumah ini,"
"Mom stop, jangan ikut campur urusan pergaulan kelvin oke,"
"Kamu pikir kamu siapa berani memberi perintah pada mommy, kamu cuma anak kemarin sore yang hoby berfoya foya ngerti!!
"Kelvin besar mommy, kelvin sudah besar momy tahu itu,"
"Mommy tidak mau lihat lagi kamu membawa perempuan ke rumah ini, dan ingat nanti malam kamu harus ikut mommy untuk makan malam bersama sahabat mommy,
Mommy akan mengenalkan kamu dengan putri sahabat mommy,"
"Now mom, Kelvin sibuk,"
Kelvin yang malas mengikuti acara pertemuan orang orang tua pun menolak dengan seribu alasan.
"Mommy bilang datang ya datang!" "tidak ada alasan untuk tidak ikut,atau mommy akan memaksamu untuk menikah dengan gadis pilihan momy,"
Kelvin pun mengacak rambut nya dengan kasar dan kemudian pergi ke kamar nya.
Di tempat lain brianna yang tengah menikmati pijatan, di kejutkan dengan kehadiran ibunya,
Ya, Bernada mengunjungi putri semata wayang nya itu.
"Oh honey sweety mommy, sepertinya kamu kelelahan sayang," Ucapnya seraya mengecupi pipi sang anak
"Are you oke baby," tanya sang ayah
Brianna pun dengan malas bangkit .
"Oke dad," jawab Brianna singkat.
"Punggung nya mbak,"
Ucap nya pada pelayan spa yang tengah memijit nya .
"Sayang, sepertinya kamu tidak bahagia dengan kepulangan kami,"
"Happy mom," Jawab Brianna dengan malas.
"Oh ya, momy punya sesuatu untuk kamu, nanti malam kamu pakai ya,"
Bernada dengan lembut menyodorkan paper bag yang berisi baju pesta kepada putrinya. Brianna tahu, seperti biasanya, ibunya akan menghabiskan malam itu dengan para sahabat sosialitanya. Sebuah ritual yang selalu membuat Brianna muak, harus tersenyum dan menyapa para ibu yang bangga menampilkan anaknya, namun nyatanya tak lebih tahu soal kehidupan buah hati mereka sendiri. "Brian capek mom, aku tak ingin ikut malam ini," keluh Brianna dengan suara serak. "Oh sayang kamu harus ikut, malam ini spesial, Momy ingin kamu bertemu dengan anak dari teman Momy saat SMA, bukan rekan bisnis," desak sang Ibu, mata berbinar penuh harap. "Momy, sungguh, Brian lelah," ucapnya lagi, suara menggantung lelah. Sementara itu, sang ayah hanya diam, matanya tak lepas dari layar laptop, seolah larut dalam dunia digitalnya, abai pada perdebatan yang memecah keheningan antara sang Ibu dan putri tercintanya.
"Bentar saja sayang, setelah bertemu dan berkenalan dengan teman teman momy kamu boleh pulang oke,"
Brianna malas menjawab dan memilih untuk tidur dengan menikmati pijatan di tubuh nya. Sedang Bernada segera meraih ponselnya yang berdering.
"Iya jadi ya pokok nya nanti malam jangan lupa anak anak diajak, biar mereka saling kenal dan menerus kan pertemanan kita,"
Terdengar Bernada dengan semangat ingin mengenal kan Brianna pada teman teman nya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!