Satu persatu barang bawaannya serta oleh-oleh yang dibelikan ke dalam tas ranselnya yang khusus dibeli untuk keluarganya di kampung.
“Arianna dengan Brianna pasti senang aku belikan boneka, bapak juga pasti menyukai baju batiknya, kalau ibu hijabnya lumayan lembut kainnya cocoknya banget kalau dipakai sehari-hari,” cicitnya seorang perempuan cantik.
Dia mencepol asal rambutnya yang panjang karena kerepotan ketika mengatur beberapa barang-barangnya yang akan dibawanya untuk pulang kampung.
“Rara, Lo jadi balik ke kampung nggak sore ini?” Tanyanya Hani yang melihat temannya yang sedang memasukkan dan mengemas beberapa pakaiannya.
Gadis cantik berusia 21 tahun itu berhenti sejenak dari rutinitasnya sembari menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.
“Insha Allah, aku sudah kangen dengan bapak, ibu sama dua adik kembarku kenapa emangnya?” Tanyanya balik seraya menoleh sekilas ke arah Hani teman sekamarnya.
“Kamu pake bus atau make motormu sendiri?” Tanyanya Hani lagi yang tersenyum kikuk dan salah tingkah ketika ditanya balik sambil merapatkan jaket hoodienya.
“Kamu baik-baik saja, kenapa cuacanya panas gini kamu pake jaket?” Tanyanya dengan raut keheranan.
Hani gelagapan ditanya seperti itu,” panas sih cuman lihat di luar sana kayak mau mendung deh,” elaknya yang mengalihkan pembicaraan yang salah tingkah.
“Oh ho, Kalau pake bus kayaknya uangku nggak cukup, kalau pake motor kan palingan beli bensin saja dengan makanan,” balasnya Rara.
Hani berinisiatif membantu Rara tapi dicegah untuk membantunya mengemas barang bawaannya.
“Iya juga sih, apalagi kita butuh banget uang karena kita mau ujian skripsi butuh banyak dana soalnya. Tapi perjalanan kurang lebih tujuh jam itu bukan waktu yang singkat loh, apa nggak capek nantinya disaat berkendara?” Tanyanya lagi yang gerak geriknya terlihat aneh karena sesekali memperbaiki letak jaketnya.
Rara tersenyum simpul, “Jauh sih iya, tapi kan sudah terbiasa juga sih. Makanya aku berhemat, kasihan bapak sama ibu di kampung kalo aku minta dikirimkan lagi uang,” ujarnya.
“Aku balik mungkin minggu depan pas hari sabtu saja, aku masih banyak urusan mau aku selesaikan. Titip salam sama Mama Papa yah,” ucapnya Hani
Hani kemudian berjalan sambil menyerahkan sebuah paper bag untuk kedua orang tuanya yang diletakkan di dalam lemarinya.
Rara mengambil paket titipan untuk Pak Muhammad Said dan Bu Rosmala. Kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya sesekali terlihat senyum tersungging di bibirnya.
“Oke siap! Aku mau siap-siap dulu takutnya kemaleman di jalan,” ujar seraya berjalan ke arah kamar mandi yang ada di sudut dalam kamar kosannya.
Hani tersenyum tipis kemudian berjalan ke arah meja belajarnya, karena masih ingin melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Hani bisa bernafas lega ketika Rara masuk ke dalam kamar mandi.”hampir saja ketahuan.”
Perbincangan mereka berlanjut setelah mandi,” Mei, kalau Denis datang ke kosan katakan padanya aku balik dua mingguan lagi dari sekarang.”
Hani menautkan kedua alisnya mendengar ucapan teman kosnya sekaligus teman sekampungnya tersebut.
“Kenapa nggak kau yang langsung mengatakan padanya kan bisa ditelpon atau dichat kan?” Tanyanya balik.
“Hpku masih di konter HP belum selesai diservis, jadi aku meminta tolong padamu itupun kalau kamu nggak keberatan,” pintanya.
Azzahra berharap penuh kepada temannya karena hanya Hani yang bisa dipercayanya. Sedangkan temannya yang bernama Liana, dia tidak berani karena menurutnya Lisna itu sering curi-curi pandang dengan kekasihnya yang bernama Dewangga.
“Insha Allah, tapi nggak janji yah! Semoga saja aku ingat. Kamu kan tau aku sibuk banget akhir-akhir ini,” imbuhnya.
“Nggak apa-apa kalau nggak bisa,” balas Rara dengan santai.
Berselang beberapa menit kemudian…
Rara menatap ke arah langit yang sedikit menghitam sore itu sebelum memakai helmnya.
“Bismillahirrahmanirrahim, moga saja ga hujan,” gumamnya sambil mengendarai sepeda motor maticnya menuju jalan raya.
Ia melajukan motornya dengan kecepatan yang sedang saja karena kondisi jalan yang sedikit macet.
“Apa aku menemui kak Dewa langsung ke kosnya? Aku kangen banget sudah lima hari nggak ketemu soalnya,” ide itu terlintas begitu saja dibenaknya sambil melihat jam tangannya yang terpasang di sebelah tangan kanannya.
Rara memutuskan untuk berbelok ke arah jalan dimana letak kosan pemuda yang menjadi kekasihnya sejak tiga tahun lalu.
“Sebentar saja ketemuannya yang paling penting aku bisa melihatnya sebagai obat dikala rindu sebelum balik kampung,” cicitnya.
Rara akhirnya memutuskan untuk berputar arah kembali ke pusat kota karena akan mengunjungi kekasihnya. Meski sudah berjalan lebih jauh, dia tidak mempermasalahkannya dan berputar berlawanan arah dengan jalan tujuannya.
Sekitar tiga puluh menit lebih perjalanan yang ia tempuh karena kondisi jalan yang dilaluinya terjadi kemacetan di sepanjang jalan.
Dia melebarkan senyumannya dikala dia melihat sepeda motor sport Dewangga yang sering dipakainya ketika ke kampus.
“Syukurlah,kak Dewa ada di dalam,” cicitnya kemudian mematikan mesin motornya.
Dia berjalan dengan langkah kakinya yang mantap menuju kamar yang paling ujung dari deretan kamar di kost khusus putra itu. Sesekali tersenyum ketika berpapasan dengan penghuni kamar lainnya yang dikenalnya.
Tetapi, ia merasa ada yang aneh dari arti tatapan orang-orang tersebut yang dilayangkan kepadanya.
“Kenapa, aku merasa mereka menatapku seperti ada hal aneh pada diriku. Apa jangan-jangan ada yang aneh-aneh di wajahku lagi?” tanyanya pada dirinya kebingungan dengan kondisi yang sedang terjadi.
“Mungkin aku tambah cantik kali jadi diperhatikan seperti itu,” candanya.
Rara berjalan menyusuri jalan setapak tersebut yang seolah tidak ada ujungnya karena semakin berjalan semakin lama dia sampai. Tatapan matanya tertuju pada sepasang sepatu perempuan tepat di depan pintu kamarnya Dewa.
“Sepatu cewek!? Bukan punyaku, aku nggak pernah beli sepatu model kayak gitu. Entah kenapa kayak pernah melihatnya, tapi dimana yah?” Tanyanya yang terlihat kebingungan.
Rara berhenti sejenak berfikir tentang keberadaan sepatu berwarna putih dengan merk yang cukup terkenal dan terbilang mahal.
“Entahlah, mungkin itu sepatu yang kebetulan saja nyempil dimari,”
Dia akhirnya menyerah juga karena tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.
Rara memutar knop pintu kamarnya Dewa, tapi ternyata terkunci. Dia gegas mengambil kunci serep yang selalu dipakainya ketika datang berkunjung.
Baru terbuka sebagian pintu berdaun satu itu, tapi telinganya menangkap suara yang cukup aneh dari dalam kamar tersebut.
“Oh sayang aahhh, enak!!” Racaunya seorang perempuan yang berada di bawah kungkungan pria yang sangat jelas diketahui siapa orangnya.
Kepalanya spontan tertarik ke belakang, refleks menutup mulut, wajah berubah pucat dan memerah mendengar suara kekasih pujaan hatinya. Bahkan rahangnya terbuka lebar, karena mendengar desahan kenikmatan dari dalam kamar itu.
Tangannya terkepal erat,” ini tidak mungkin ya Allah! Aku pasti hanya salah dengar saja.”
Rara masih danial dengan suara-suara gaib yang semakin terdengar jelas. Tetapi, Rara semakin dibuat penasaran dengan suara aneh dan ajaib itu yang semakin terdengar nyaring seiring langkah kakinya menuju ke arah lebih dalam.
“Aku yakin itu kak Dewa, tapi siapa perempuan jalang itu?” lirihnya.
Alisnya menyatu, kepala miring satu sisi, matanya menyipit, indera pendengarannya ditajamkan. Dia semakin dibuat penasaran dengan siapa perempuan yang bersama dengan Aditya Dewangga.
Kamu semakin cantik, kamu sangat seksi. Inilah yang gue sukai dari Lo Hani sayangku,” ucapnya Dewa.
Matanya terbelalak, keringat sebesar biji jagung, wajahnya pucat pasi. Ia tahan napasnya karena tidak berani mengeluarkan suara walaupun itu nafasnya sekalipun.
“Astagfirullahaladzim, ya Allah apa maksud dari semua ini?” Cicitnya sembari menutup mulutnya air matanya lolos seketika.
Tubuhnya reflek mematung, nafasnya memburu hebat saking terkejutnya melihat adegan plus-plus yang dilihatnya secara langsung terpampang jelas di depan matanya.
Dia memegangi dadanya yang terasa sesak seolah pasokan udara semakin menipis di sekitarnya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Dia mengatupkan rapat-rapat bibirnya agar suara isak tangisnya tidak terdengar. Hidupnya seolah berhenti berputar ketika melihat kekasih dan cewek yang sudah dianggap saudara kandungnya sendiri berhubungan intim dengan begitu panasnya mengalahkan panasnya matahari sore itu.
“Kita akan selesaikan segalanya setelah aku balik dari kampung. Oke! Aku akan berpura-pura tidak mengetahui apa yang kalian perbuat. Aku akan menuntut pertanggungjawaban dan akan membalas dendam dengan apa yang sudah kalian perbuat!” geramnya.
Rara mengusap wajahnya dengan kasar sambil mengepalkan tangannya kemudian berjalan mengendap-endap menuju pintu keluar dan tak lupa mengunci rapat pintu itu. Ia berlari cepat ke arah dimana kendaraan roda duanya terparkir.
Tangannya tremor tubuhnya gemetaran memasang helmnya ke kepalanya. Dia berjongkok sebentar untuk menetralkan rasa esmosi dan amarah yang membuncah di dadanya.
“Astaghfirullah aladzim, ya Allah apakah ini yang ingin Engkau tunjukkan padaku sehingga aku gelisah dan tidak tenang untuk pulang kampung?”
Beberapa orang yang melihatnya cukup prihatin tapi, tidak ada yang berani ikut campur mengingat Dewangga adalah keponakan dari pemilik kosan itu.
“Kasihan juga Azzahra, pasti hatinya hancur berkeping-keping melihat kekasihnya berselingkuh dengan temannya sendiri,” ucap pria yang tanpa sengaja melihat apa yang diperbuat Azzahrah.
“Kalau gue di posisinya sudah gua hajar mereka biar kapok dan tau rasa agar tidak lagi semena-mena mempermainkan perasaan orang lain!” Gerutu yang satunya.
Setelah dirasa cukup baik, dia melajukan roda duanya. Dan terus mengendarai motornya menuju sebuah masjid untuk melaksanakan shalat ashar terlebih dahulu.
Dia berniat untuk menenangkan dirinya yang hatinya hancur lebur dan bagai ribuan jarum yang menusuk hati dan jantungnya dalam waktu bersamaan m Perasaan itu tak akan bisa kembali utuh seperti sedia kala.
“Bismillahirrahmanirrahim, insha Allah semuanya akan kembali normal. Azzahrah Elara Sofia kamu bisa melupakannya! Kamu itu gadis kuat dan tangguh!”
Rara menyemangati dirinya sendiri agar tidak larut dan meratapi nasibnya yang begitu sedih dan menyakitkan.
“Sudah cukup meratapi pria penjahat selangkangan itu dan selingkuhannya. Aku akan membalas dendam dengan cantik pengkhianatan kalian berdua,” gumamnya.
Rara berulang-ulang menarik nafasnya dalam-dalam kemudian membuangnya dengan cukup keras.
“Syukur Alhamdulillah, Allah SWT masih membuka mataku dengan menunjukkan siapa mereka yang sebenarnya. Untungnya aku mengetahui keburukan dan kebusukannya mereka sebelum hubungan kami lebih serius,”
Rara kembali melanjutkan perjalanannya setelah merasakan kondisi mental dan psikologisnya lebih baik dari sebelumnya.
“Sudah cukup menangisi pria yang tidak pantas aku tangisi. Silahkan kalian berbahagia di atas penderitaanku. Sang Maha Kuasa itu maha adil dan tidak tidur melihat salah satu umatnya menderita,”
Beberapa menit kemudian…
Rara sesekali mampir ke rest area selama perjalanannya. Dia tidak ingin kondisi tubuhnya bermasalah sedangkan masih jauh jarak yang harus ditempuhnya untuk pulang ke kampus halamannya.
Dia mengisi bensin motornya full tangki dan membeli beberapa makanan dan minuman sebagai temannya selama perjalanan.
Perjalanan yang awalnya lancar jaya, tiba-tiba terganggu karena terjadi kecelakaan di jalan lintas kota yang sering dilaluinya itu.
“Sudah sore banget malah terjadi kemacetan lagi,” cicitnya.
Rara memelankan laju kendaraannya setelah melihat beberapa kendaraan yang berderet Karena terjadi kemacetan cukup panjang sudah mirip seperti ular raksasa putih yang berkelok-kelok.
“Astaghfirullahaladzim, kenapa jalannya harus macet segala sih!?” Gerutunya.
Rara memperhatikan ke arah langit yang semakin menggelap menghitam pertanda akan turun hujan lebat.
“Ya Allah, masih butuh waktu sekitar empat jam lebih perjalanan juga eh mau hujan lagi,” cicitnya Rara.
Dia sedikit kesal dengan kondisi jalan yang dilaluinya ditambah masalah yang dibuat oleh Dewangga bersama dengan Hani temannya sendiri.
“Benar kata orang hari apes itu nggak ada di dalam kalender masehi maupun hijriah,” Rara mengambil botol yang berisi air putih kemudian menenggak ya hingga tandas tak bersisa.
Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore menjelang magrib, tapi dia belum sampai juga di kampung halamannya dikarenakan macet dan masih dalam barisan beberapa kendaraan yang ikut terjebak macet.
Rara melihat ada bapak-bapak yang berjalan di tepi jalan raya. “Pak, apa yang terjadi di depan sana?” tanyanya yang bertanya kepada salah seorang warga masyarakat yang kebetulan ada di sana.
“Ada kecelakaan beruntun, kalau adek mau ke kabupaten X sebaiknya adek berputar dan melewati jalan yang ada di sana saja, itu jalan alternatif lagian di depan ada perbaikan jalan mungkin karena itu juga yang memperparah kondisi jalan,” jelas bapak itu panjang sepanjang jalan kenangan.
Kening Rara saling bertautan keheranan karena bapak itu mengetahui arah tujuannya.” bapak cenayang! Kok bisa mengetahui kalau aku mau ke desa X?”
Bapak itu hanya tersenyum tipis sambil berlalu dari hadapannya Rara yang tetap masih dalam mode bingung.
“Lah bapak, ditanya kok nggak ngejawab malah hanya nyengir,” sungutnya Rara sambil geleng-geleng kepala.
“Assalamu alaikum,” ucap Rara tapi bapak itu tetap berjalan tanpa membalas salamnya Rara.
Bapak-bapak itu langsung pergi dan menghilang di tengah keriuhan suara mobil dan motor malam itu.
“Bapaknya langsung menghilang saja kayak hantu,” sungutnya Rara.
Bulu kuduknya tiba-tiba meremang ketika mengingat bapak-bapak yang tidak jelas asal usulnya itu.
“Astaga dragon ngeri-ngeri sedap,” cicitnya.
“Makasih banyak Pak sudah membantuku, semoga Allah SWT membalas kebaikan bapak!” Rara sedikit meninggikan nada suaranya beberapa oktaf karena Bapak itu semakin jauh melangkah tanpa berbalik badan lagi.
Rara memeriksa persediaan airnya karena sudah sebotol minumannya habis diminumnya karena lehernya terlalu kering dan juga kehausan.
Rara kemudian kembali menyalakan mesin motornya lalu, ia mengikuti arah jalan yang ditunjuk oleh bapak-bapak itu.
“Bismillahirrahmanirrahim lancarkanlah perjalananku ya Allah, aku sudah kangen dengan bapak dan ibu juga dengan si kembar,”
Rara ersyukur karena jalan itu cukup bagus dan terbilang lebih cepat dari jalan yang seringkali dilaluinya, tapi hujan turun dengan cukup lebatnya tanpa aba-aba.
“OMG! Kenapa meski harus hujan segala kan semakin lama sampainya di rumah kalo gini,” gerutunya.
Dia menepikan motornya ketika melihat ada ruko yang tertutup dan memutuskan untuk mampir berteduh dibawah emperan toko tersebut.
Rara membuka sadel motornya yang hendak mengambil jas hujannya, tapi yang terjadi yaitu mantelnya tidak ada di tempat biasa.
“Astaghfirullah aladzim! Kenapa bisa aku sampai melupakan menaruhnya di dalam sadel, semoga saja nggak demam gegara hujan-hujanan,”
Ia kembali merutuki kebodohannya karena melupakan jas hujannya di dalam lemarinya.
Azzahrah berdiri sambil sesekali melihat jalan yang semakin malam semakin sepi tapi, hujannya tak kunjung reda.
Rara melihat jam tangannya yang untungnya waterproof sehingga anti air anti badai pelakor juga yang sangat menjijikkan.
“Ya Allah sudah jam sepuluh malam, hujannya malah semakin awet saja, apa aku harus nginap di sini. Gimana kalau ada anjing liar, pencuri, maling tapi itu nggak mungkin banget kata orang daerah sini adalah daerah yang paling aman saking amannya nggak ada warga yang melakukan ronda setiap malamnya,”
Sesekali, ia menguap karena sudah jam sembilan lewat. Perjalanannya cukup lama karena harus mampir di kosan terlucknut itu sehingga dia yang seharusnya sudah sampai di rumahnya, masih di jalan.
Tiba-tiba suara dentuman yang cukup keras yang membuatnya terkejut setengah hidup karena dia yang sedang mengingat insiden beberapa jam yang lalu sehingga dibuat kaget.
Reflek Rara mengusap dadanya,” astaghfirullah aladzim, itukan orang kecelakaan!”
Ketika ia melihat dengan jelas apa yang terjadi tidak jauh dari tempatnya berdiri sebuah mobil mewah menabrak sebuah pohon.
“Ya Allah semoga saja pengemudi dan orang di dalamnya tidak kenapa-kenapa,” harapnya Rara yang mendoakan keselamatan sang pemilik mobil.
Tanpa berfikir panjang, dia berlari ke arah mobil berwarna putih itu tanpa peduli dengan kondisi tubuhnya yang basah kuyup.
Rara menempelkan salah satu sisi wajahnya agar bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di dalam sana.
“Allahu Akbar, lailaha illallah apa jangan-jangan supirnya meningal dunia?” tebaknya.
Rara melihat seorang pria yang sepertinya tidak sadarkan diri setelah menabrak pohon.
“Bismillahirrahmanirrahim semoga saja pintunya nggak terkunci,” gumam Rara.
Dia gegas berusaha untuk membuka pintu mobil tersebut dan untungnya tidak terkunci, Rara bersyukur karena pintu mobil berwarna putih itu tidak terkunci.
“Apa bapak ini sudah meninggoy? Semoga saja nggak nanti dikira aku lagi tertuduh bahkan akan menjadi tersangka karena cuman aku yang ada di sini,” celetuknya Rara.
Rara mengecek nadi di pergelangan tangannya,”Alhamdulillah dia masih nafas berarti belum ketemu malaikat maut dong yah,” ia tersenyum lebar karena orang asing yang tidak dikenalnya terbayang masih sadar.
“Ya Allah, innalillahi wa Inna ilaihi raji'un! Pak hey sadar pak!” teriak Rara sambil menepuk-nepuk pipi pria tersebut.
Berulang Kali mencoba menyadarkan pria yang kemungkinannya mabuk karena aroma bau minuman alkohol yang menguar menerpa wajahnya ketika pria itu sadar.
“Salsa! Apakah itu kamu sayangku,” racau pria itu yang berbicara ngelantur seperti orang yang mengigau dalam mimpinya.
Rara melihat banyak botol bekas minuman beralkohol di atas lantai mobil itu hingga aromanya cukup menusuk dan mengganggu indera penciumannya Rara.
“Bau banget, pantesan menabrak pohon karena sedang mabuk toh rupanya. Mentang-mentang orang kaya jadi menghamburkan duit saja kerjanya!” Rara malah ngedumel sambil menutup hidungnya.
Awalnya Rara bersyukur karena pria itu akhirnya siuman juga setelah ditepuk pipinya. Tetapi, rasa senang itu berubah menjadi kemarahan karena sang lelaki berusaha untuk mencium dan memeluknya.
Pria itu memegangi kedua tangannya Rara dengan erat-erat,” Keiza, Gue sayang banget sama Lo. Ayo kita menikah jangan putuskan gue. Gue berjanji akan bekerja di sekolahnya Papa agar kita punya masa depan yang cerah.”
Rara berusaha melepaskan pegangan tangannya pria pemabuk itu, “Aku bukan Keiza tunangannya bapak! Anda salah orang!” Protesnya yang terus berontak karena tangannya dipegang kuat oleh pria mabuk itu.
“Lo itu tunanganku! Lo itu Keiza Almira!?” Bentak sang pria.
Rara berusaha melawan sekuat tenaga, tapi yang namanya perempuan sekuat apapun pasti tetap dibawah tenaganya sang lelaki. Dia kalah jauh dengan kekuatan pria yang berperawakan layaknya seorang atlet sepakbola tersebut.
Pria itu terus menarik paksa tangannya Rara dan mendekatkan wajahnya hingga kedua bibir mereka saling bersentuhan.
“Lepasin Pak! Aku bukan tunangannya bapak!” rengeknya Rara.
Pria itu seperti tuli dan tidak peduli dengan permintaan dan suara ratapannya Rara. Air matanya menetes membasahi pipinya bersamaan dengan tangan pria yang terus menjamah tubuhnya.
Rara tidak mau menyerah begitu saja dan masih berjuang semampunya, tapi usahanya kembali sia-sia karena pria itu berhasil merebut ciuman pertamanya.
“Aku mohon jangan Pak! Aku bukan kekasihnya bapak,$ ratapnya Rara.
Tubuhnya sekali lemah karena kedinginan gara-gara kehujanan. Tenaganya seolah tidak ada yang tersisa untuk menolong dirinya sendiri.
“Tolong!!”
“Lepasin!!”
Pria yang sudah hilang akal sehatnya karena pengaruh alkohol semakin menggerayangi tubuhnya Rara yang sudah tidak memakai selembar kain pun yang menutupi tubuhnya.
“Ya Allah tolonglah aku, datangkan orang yang bisa membantuku,” lirih Rara.
Hingga suara teriakan yang terus diucapkan oleh Rara sudah berubah menjadi suara desa*han dan era*ngan menahan rasa nik*mat.
Air matanya jatuh membasahi wajahnya yang tubuhnya sudah berhasil dimasuki oleh pria yang tidak dikenalnya.
Tubuhnya remuk redam, setelah pria yang tidak dikenalnya melakukan tindakan yang tidak terpuji kepada dirinya.
Pria itu melakukannya sampai beberapa kali dalam keadaan mabuk tak tahu diri karena pengaruh alkohol. Pria itu seperti kese*tanan terus melakukan aksi tidak terpuji dan tak berakhlaknya kepada tubuh perempuan muda yang dianggap adalah kekasihnya sendiri.
Rara berulang kali meminta tolong dan memohon belas kasih pria yang ada di atas tubuhnya, tapi permohonannya, ucapannya, tangisannya, ratapannya tak dihiraukan oleh pria yang melakukan aksinya tanpa peduli dengan gadis yang ada di bawah kunjungannya.
“Ya Allah, maafkanlah diriku ini yang sudah kotor dan tak suci lagi,” ratapnya yang menyesali kesalahannya.
Azzahrah bangkit dari posisi baringnya, ia bangun sambil memunguti pakaiannya yang berserakan di atas jok mobil. Dia tak sudi dan jijik melihat wajah pria itu dan berharap kelak tidak bakalan bertemu kembali.
“Ya Allah, kelak jangan pertemukan aku dengan pria bejat ini lagi. Aku nggak bisa jamin diriku akan diam begitu saja mengingat penderitaan yang aku alami malam ini,” cicitnya Rara.
Rara tak segan-segan menampar sampai dua kali wajahnya pria yang tertidur entah sudah pingsan karena kelelahan memompa tubuhnya diatas tubuhnya Rara yang memang semok seksi putih mulus tanpa cacat sedikitpun meski tidak melakukan treatment perawatan mahal untuk tubuhnya.
Rara berharap suatu hari nanti, kelak Pria yang tidak dikenalnya ini, pria yang merenggut paksa kesucian yang dijaganya selama 20 tahun terakhir tidak muncul lagi di dalam kehidupannya untuk selama-lamanya.
“Astaghfirullah aladzim,” Rara terus beristighfar agar Allah SWT senantiasa memaafkan dan mengampuni segala dosa dan khilafnya.
Tangannya tremor, tubuhnya gemetaran ketika mengancingkan satu persatu kancing kemeja yang dipakainya.
Tak henti-hentinya air matanya menetes membasahi pipinya. Dia tidak pernah menduga, jika akan berada di dalam situasi yang seperti ini.
“Ya Allah, kenapa takdir dan garis tanganku seperti ini! Apa salah dan dosaku ya Rabb!?”
Sore harinya, dia mendapati kekasih pujaan hatinya berselingkuh dengan wanita yang sangat dikenalnya yang tidak lain adalah teman satu kampung sekaligus teman kosnya.
“Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mungkin pulang menemui bapak dan ibu dalam keadaan seperti ini,” Rara terus meratapi nasib malangnya.
Rara terduduk di atas aspal yang basah karena air hujan. Tidak cukupkah baginya merasakan kepahitan hidup, pria yang begitu amat dicintainya sepenuh hati malah bermain serong dengan perempuan lain yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri.
Dewangga Aditya Nugraha, pria yang katanya sangat mencintainya dengan setulus hati dan berniat akan melamarnya setelah acara wisuda nanti. Pria yang katanya serius dan setia tau-taunya seorang pengkhianat.
Guyuran air hujan membasahi tubuhnya. Dinginnya air hujan tidak mampu meredam segala emosi yang berkecamuk di dalam hatinya.
Air matanya seolah enggang untuk berhenti membasahi pipinya, air mata itu terus saja lolos hingga bercampur dengan air hujan malam itu sehingga tak sanggup untuk membedakan antara air hujan dengan air matanya.
Langkahnya gontai menapaki setiap ruas jalan yang dilaluinya. Tubuhnya diseret agar bisa berjalan lebih cepat, mesti kondisi fisik dan mentalnya dalam keadaan yang sangat memprihatinkan.
“Apa lagi yang aku harapkan dari tubuhku ini yang terlanjur kotor? Nggak ada lagi pria yang rela dan mau menikah dengan gadis yang tidak perawan lagi,” ratapnya.
Petir, halilintar menyambar, angin berhembus dengan kencang hingga mampu menumbangkan beberapa pohon yang berdiri kokoh di sepanjang jalan yang dilaluinya. Tetapi, hal demikian tak membuat Rara menyurutkan niatnya untuk pulang ke rumahnya.
“Arghh!! Tidak!” Teriaknya lantang dan histeris sembari memukul genangan air yang mengalir di sampingnya.
Malam yang begitu sepi, cuaca ekstrim yang melanda kabupaten tempat dia dilahirkan menjadi saksi bisu ketidakadilan dunia padanya.
“Belum hilang di kepalaku rasa sakit dan kecewanya diriku memergoki dan melihat langsung dengan mata kepala sendiri, pria yang begitu aku cintai dengan setulus hati jiwa ragaku berselingkuh dengan temanku sendiri. Sekarang diriku yang malang tanpa kesalahan apapun kepada pria itu begitu kejam dan teganya menyiksaku,”
Rara tidak berdaya dengan nasib buruk yang terjadi padanya.”Apa salah dan dosaku argh!!??”
Hal yang tidak pernah terbayangkan dibenaknya dialaminya saat ini. Perempuan mana yang akan tertawa terbahak-bahak mendapat cobaan seperti yang dialaminya.
“Ya Allah, aku pasrahkan hidupku kepadaMu. Aku tak sanggup hidup lagi tapi kalau aku mengakhiri hidupku bapak ibu pasti akan semakin sedih kehilanganku. Ya Allah, aku bingung harus bagaimana lagi? Aku benar-benar tidak sanggup,” rutuknya Rara seraya memukul pelan dadanya yang terasa hancur lebur berkeping-keping.
Entah kenapa malam itu satupun kendaraan tidak melewati jalan tersebut, andaikan ada mungkin Rara bisa tertolong. Seolah bumi tidak ingin menolongnya.
Rara mengangkat telapak tangannya ke atas hingga air hujan tertampung di tangannya, “Ya Allah, akan bagaimana jadinya diriku ini? Aku tidak tahu harus berbuat apa menghadapi kedua orang tuaku jika bapak ibu melihatku kayak gini!?
Berselang beberapa menit kemudian, Rara mengusap wajahnya dengan kasar, tubuhnya semakin menggigil kedinginan.
“Semoga bapak dengan ibu tidak bertanya, kalaupun bertanya aku pasrah saja,”
Dia belum puas meratapi nasibnya tetapi kedua orang tuanya pasti menunggu kepulangannya. Ia berjalan tertatih, meskipun sakit, terasa ngilu, perih dibagian daerah sensitifnya, tetapi dia berusaha untuk berjalan ke arah motornya yang terparkir di depan sebuah emperan toko sembako.
Pria yang memperkaosnya, tertidur lelap di dalam mobilnya. Tanpa menghiraukan dan peduli terhadap nasibnya Rara.
Setelah dirasa kondisinya cukup stabil dan membaik, dia memberanikan diri mengendarai roda duanya menuju ke arah rumahnya.
Mulutnya komat-kamit terus melafalkan asma dan keagungan Tuhan Yang Maha Kuasa agar dirinya bisa lebih tenang dan sabar.
Hanya dalam waktu beberapa menit perjalanannya menuju ke kampung halamannya yang terasa lebih cepat dari awal perjalanannya hari.
Rara memandangi bangunan yang berdiri kokoh di hadapannya, air matanya kembali tumpah ruah membasmi wajahnya yang nampak pucat pasi karena kedinginan. Giginya bergemelatuk menahan rasa dingin yang semakin menusuk ke dalam tulang-tulangnya.
Dia membuka pagar besi bercat biru itu, perlahan-lahan dia mendorong pagar itu dan memasukan motornya berhati-hati karena tidak berniat mengusik dan membangunkan orang di rumahnya dan juga beberapa tetangga yang bersebelahan langsung dengan rumahnya.
Rara menyeka air matanya terlebih dahulu dan berusaha untuk menetralkan suaranya yang semakin serak karena tak henti-hentinya menangis sebelum mengetuk pintu rumahnya.
Tepat pergantian hari, dia baru sampai di depan rumahnya. Perjalanan yang seharusnya ditempuhnya dalam waktu kurang lebih enam jam molor menjadi hampir sepuluh jam waktu tempuh karena terlalu banyak drama yang dilaluinya di sepanjang jalan kepulangannya.
“Bismillahirrahmanirrahim, bapak, ibu,” ucapnya dengan suara parau sambil mengetuk pintu rumahnya.
Bu Hartati yang mendengar pintu rumahnya diketok setelah melaksanakan shalat tahajud buru-buru berjalan ke arah depan tanpa melepas terlebih dahulu mukenah yang dipakainya.
“Itu pasti Rara yang sudah sampai,” tebaknya karena sangat mengenal suara putri sulungnya.
Bu Hartati membuka pintu berdaun dua itu dan terlihatlah sosok anak yang sangat disayanginya berdiri menatap nanar dirinya.
Rara langsung berhamburan memeluk tubuh ibunya, wanita yang selalu menyayanginya dan mengasihinya tanpa pamrih. Wanita yang siang malam melangitkan doa-doa terbaik untuk kebaikan ketiga anak-anaknya.
“Ibu,” cicitnya Rara yang berusaha untuk menahan air matanya yang dadanya tiba-tiba terasa sesak.
Perasaan Bu Hartati langsung tidak enak, tiba-tiba hatinya berkata ada sesuatu yang tidak beres dengan putrinya saat ini.
“Ibu sangat merindukanmu Nak, ayo Kita ke dalam. Kamu harus cepat ganti baju, kamu basah kuyup begini harus cepat-cepat bilas tubuhmu pakai air hangat,” ucapnya Bu Hartati yang masih berusaha untuk tidak berfikir aneh-aneh terlebih dahulu.
Rara mematuhi apa yang dikatakan oleh ibunya karena tubuhnya butuh dibersihkan terlebih dahulu sebelum berbicara jujur mengenai apa yang terjadi kepadanya.
Bu Hartati tidak ingin langsung mengajak anaknya berbicara apapun karena ia ingin anaknya membersihkan tubuhnya dan beristirahat sejenak kemudian mengajak anaknya berbincang-bincang.
Rara berjalan ke arah dalam kamarnya tanpa berbicara sepatah katapun lagi. Yang namanya perasaan ibu yang sangat menyayangi anaknya pasti mendapatkan feeling dan bisa merasakan ada yang tidak beres.
Bu Hartati memperhatikan dengan lamat-lamat putri sulungnya, tiba-tiba air matanya lolos seketika itu juga ketika sudut netra hitamnya melihat ada beberapa tanda cupang di lehernya Rara dan kondisinya Rara yang berantakan tidak seperti biasanya setiap kepulangannya.
Bu Hartati mengatupkan mulutnya rapat-rapat agar suara isakan tangisannya tidak terdengar oleh siapapun. Tubuhnya jatuh lunglai terduduk di atas sofa yang sedikit usang yang ada di ruang tengah rumahnya penghubung kamar putrinya.
“Ya Allah, jangan biarkan menjadi kenyataan apa yang ada di dalam pikiranku. Saya tidak sanggup membayangkannya,” gumamnya Bu Hartati.
Rara kembali menangis tersedu-sedu di dalam kamar mandi. Ia kebingungan harus bagaimana menjelaskan kepada ibunya mengenai apa yang dialaminya.
“Kuatkan hambaMu ini ya Allah, mungkin aku terlalu banyak dosa dan khilaf serta memiliki kekurangan sehingga Allah SWT menegurku dengan cara seperti ini,” cicitnya kemudian gegas memakai piyama tidurnya.
Rara tidak memperhatikan kondisi tubuhnya yang terdapat banyak tanda kissmark karena fokus memikirkan cara menyampaikannya kepada ibunya mengenai kejadian pria yang rudapaksa dirinya.
Bu Hartati menyeka air matanya kemudian berjalan ke arah dalam kamar sang putri tercinta.
“Insha Allah semuanya akan baik-baik saja,”
Rara menolehkan kepalanya ke arah kedatangan ibunya ketika pintu berderit. Ia kembali berjalan cepat dan langsung bersujud di hadapan ibunya.
“Ibu maafin Rara Bu, aku tidak…,” ucapannya tertahan di pangkal tenggorokannya karena sangat sulit mengatakan apa yang terjadi sebenarnya.
Lidahnya keluh karena kesulitan berbicara hanya air mata yang mewakili betapa hancur hatinya.
Air matanya kembali menetes deras membasahi wajahnya seperti tetesan air hujan yang masih membasahi atap rumahnya hingga detik ini.
Bu Hartati memegangi pundak putrinya yang terus tertunduk terisak dalam tangisnya, “Sayang, berbicaralah. Ibu tidak akan pernah memarahi anaknya ibu karena ibu sangat mengetahui semua sifat dan karakter anak-anak yang ibu lahirkan,” pintanya Bu Hartati dengan penuh kasih sayang.
“Ibu, Rara diperkaos Bu,” lirihnya Rara.
Akhirnya Rara bisa mengucapkan kata yang sangat keramat itu baginya yang paling menyakitkan hati dan jiwanya. Kata-kata yang selalu tertahan di dalam bibirnya, kata-kata yang amat sangat sulit diucapkannya.
Bagaikan godam besar yang menghantam jantungnya, Bu Hartati sampai shock mendengarnya. Tubuhnya Bu Hartati gemetaran menahan emosi yang membuncah di dadanya.
Tubuhnya mematung seketika itu juga, Air matanya songtak menetes membasahi pipinya.
“Astaghfirullah aladzim Nak, sungguh malang nasibmu putriku,” Bu Hartati memeluk erat tubuh anaknya.
“Maafin Rara Bu, tubuh Rara sudah kotor dan tidak suci lagi. Maafkan Rara yang tidak bisa menjaga diri,” ngaku Rara.
Bu Hartati memeluk anaknya untuk memberikan kekuatan moril kepada Rara melalui pelukan.
“Kamu yang sabar dan tabahkan hatimu Nak, kita berdoa semoga kedepannya baik-baik saja. Ibu minta kepadamu masalah ini jangan sampai bapakmu mengetahuinya cukup ibu saja yang tau,” pinta Bu Hartati.
“Siapa yang melakukannya padamu!?” Tanyanya orang yang baru muncul di dalam kamarnya Rara.
Bu Hartati dan Rara terkejut setengah hidup melihat kedatangan suaminya. Awalnya berencana untuk merahasiakan dan menyembunyikan kebenaran tentang keadaan Rara yang tidak perawan lagi tapi malah bapaknya bangun dan mendengar langsung ucapan kedua ibu dan anak itu.
Matanya Pak Rizal terlihat memerah berkilat api kemarahan yang seketika menguasai tubuh, hati dan akal sehatnya. Pria yang selama ini dikenal bijaksana dan ramah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!