Senja itu turun secara perlahan, mewarnai langit dengan jingga keemasan. Namun, keindahan senja tak mampu meredam ketegangan di dalam rumah mewah berlantai dua milik keluarga Wirawan.
Di ruang tengah yang megah, sebuah teriakan menggema di seluruh ruang rumah tersebut.
"Berani-beraninya kamu menolak perintahku! Kalau aku tidak memungutmu, kau sudah jadi gembel di jalanan sana!," bentak Rita, sang ibu tiri, dengan mata yang menyala marah.
Bahkan, gaun merah menyala yang membungkus tubuhnya pun seolah ikut menyalakan amarahnya.
Azura, gadis berusia dua puluh satu tahun, tengah terduduk lemas di lantai marmer yang dingin. Air matanya mengalir begitu deras, membasahi pipi pucatnya yang tampak lelah.
"Tapi Bu... aku tidak mengenal laki-laki itu... hiks hiks... bagaimana bisa aku menikah dengannya..." ucap Azura dengan suara yang parau, bahkan nyaris hilang tertelan isak tangisnya.
Mendengar keluhan Azura, Rita pun mendekat dengan langkah yang cepat, sehingga tumit sepatunya pun berdetak nyaring menghantam lantai.
Tap! Tap! Tap!
Setelah berada tepat di hadapan Azura, jarinya yang runcing langsung menunjuk wajah Azura tanpa ampun.
"Justru karena kau tidak mengenalnya, pernikahan itu akan berjalan damai! Kamu pikir kamu siapa sampai bisa pilih-pilih jodoh? Aku yang membesarkanmu setelah ibumu mati!," teriak Rita.
Mendengar kata ibu, hati Azura terasa begitu sakit. Dulu, ia tidak kekurangan kasih sayang dari ibu kandungnya itu sampai akhirnya dunia telah merenggutnya hingga menjadikan ia seorang anak tiri yang tidak di sayangi.
Azura pun semakin menunduk dengan tubuh yang bergetar. Sementara itu, di sudut ruangan, nampak berdiri sosok lelaki paruh baya.
Dialah Pak Wirawan, ayah kandung Azura. Ia duduk di sofa tanpa ekspresi, sambil menyesap tehnya tanpa peduli pada apa yang terjadi pada putrinya.
"Ayah..." lirih Azura sambil menoleh, dengan sorot mata yang memohon. "Ayah, tolong aku... aku tidak mau menikah dengan orang itu..."
Namun, sang ayah hanya mendesah lalu menjawab, "Rita sudah memutuskan. Dia tahu apa yang terbaik. Jangan mempermalukan keluarga ini, Azura."
Mendengar jawaban sang ayah, dada Azura terasa seperti tertikam. Ayah kandungnya... lelaki yang seharusnya melindunginya... justru berpaling dan tega mengabaikannya.
Deg deg!! Deg deg!! Deg deg!!
Jantung Azura berdegup keras, seolah berusaha menyuarakan ketidakadilan yang tidak bisa ia teriakkan.
"Laki-laki itu... dia bahkan-bahkan tidak sadar siapa dirinya sendiri... orang-orang bilang dia tidak waras, Bu!," seru Azura dengan suara yang masih bergetar.
"Itu bukan urusanmu!," sergah Rita tajam. "Yang penting dia punya harta. Tanah. Rumah. Kau tinggal diam dan menikah! Habis perkara!."
"Ti-dak...."
Azura menggelengkan kepalanya dan mencoba bangkit dari lantai. Tapi Rita segera menahannya, lalu tangan dinginnya mencengkeram lengan Azura kuat-kuat.
"Kau pikir kau bisa hidup nyaman di rumah ini selamanya tanpa bayarannya? Hari ini kau tunduk, atau aku usir kau keluar tanpa sehelai pun pakaian!," teriak Rita lagi.
Seketika mata Azura membulat. Napasnya terengah. Dalam hatinya, ribuan pertanyaan dan ketakutan saling bertabrakan.
Siapa lelaki itu sebenarnya? Bagaimana hidupnya setelah ini? Mengapa tidak ada satu pun yang peduli pada keinginannya?
**
Keesokan harinya, Azura mengunjungi makam sang ibu tercinta. Kesedihan hatinya membuat gadis cantik itu tidak bisa memendamnya sendiri.
Angin sore berhembus lembut di tengah komplek pemakaman yang sepi. Aroma tanah basah dan bunga melati begitu tercium karena terhembus angin.
Langit tampak murung, menggantungkan awan kelabu seolah turut merasakan duka Azura yang belum usai.
Azura berjongkok di hadapan sebuah nisan sederhana bertuliskan nama ibunya, Saraswati Dewi.
Ia mengusap pelan batu nisan yang sudah mulai berlumut di pinggir, lalu meletakkan sebuket bunga mawar putih di atasnya.
"Bu... aku datang lagi," lirih Azura pelan.
Ia duduk di tanah sambil memeluk lutut dan memandangi nisan itu dengan mata yang berkaca-kaca.
"Maaf ya, Bu... aku cuma bisa datang diam-diam. Kalau bu Rita tahu aku ke sini, pasti aku dimaki-maki lagi. Katanya, nangis di kuburan itu kerjaan orang lemah," lirih Azura.
Azura mencoba menguatkan diri dari rasa kehilangan yang tidak pernah terlupakan, seraya menahan air matanya yang mulai menggenang.
"Tapi Bu, aku lelah... aku benar-benar lelah. Mereka jahat, Bu. Ibu tahu kan? Bu Rita... Nadine... mereka selalu menyakitiku. Nadine bahkan pernah menyiramkan teh panas ke tanganku cuma karena aku lupa menyiapkan bajunya," lanjut Azura.
Matanya kini memejam sehingga air matanya pun jatuh satu per satu.
"Ayah lihat semuanya. Tapi dia... dia cuma diam. Sejak Ibu pergi, Ayah bukan lagi ayahku. Dia milik bu Rita sekarang," ratap Azura sambil menggenggam rumput di depannya, lalu mencabutnya perlahan.
"Kadang aku iri, Bu. Iri sama orang-orang yang punya rumah tempat mereka pulang dengan tenang. Aku pulang ke rumah bukan untuk istirahat, tapi untuk dihukum. Untuk disuruh. Untuk dicaci hiks... hiks...."
Azura kini hanya diam dalam waktu yang cukup lama. Hanya suara dedaunan dan burung yang terdengar samar menemani hatinya yang bersedih.
"Mereka bilang aku harus menikah, Bu... dengan pria yang bahkan tidak aku kenal. Dan Ayah... Ayah menyetujuinya. Aku ini apa sih, Bu? Barang? Boneka? Kenapa hidupku seperti ini?," lanjut Azura.
Azura lalu menunduk dan menangis sejadi-jadinya. Tapi itu hanya sebentar. Ia langsung mengusap air matanya dengan cepat dan berkata,
"Maaf, Bu... aku janji tidak akan menangis lagi. Aku tahu menangis tidak akan mengubah apa-apa. Tapi... aku juga tidak tahu harus bagaimana lagi. Satu-satunya tempat yang masih mendengarkan aku cuma di sini hiks... hiks...."
Setelah beberapa saat, Azura berdiri perlahan, lalu menatap nisan itu untuk terakhir kalinya sebelum pulang.
"Doakan aku ya, Bu... entah akan seperti apa hidupku setelah ini, aku cuma ingin satu... jangan biarkan aku lupa bahwa aku juga pantas bahagia, meski cuma sedikit."
Kemudian, Azura melangkah menjauh, meninggalkan makam dengan hati yang berat. Sementara itu, hujan pun mulai turun rintik-rintik, seolah langit pun ikut menangis bersama Azura.
**
Hari berganti hari, tapi keadaan seolah tidak mendukung kehidupan Azura.
Hari itu hujan turun begitu deras. Langit pun menggelap lebih cepat dari biasanya. Jalanan kota lengang, sebagian besar orang memilih berteduh. Tapi tidak Azura.
Dengan mantel panjang dan tas belanja di tangannya, Azura melangkah dengan cepat menuju halte.
Nafasnya memburu di karenakan udara dingin yang menusuk, di tambah karena pikirannya yang kacau.
Sejak pagi, Rita tak henti-hentinya membahas soal pernikahan. Sementara Ayahnya hanya diam. Diam yang memekakkan dan meleburkan harapan Azura.
Tiba-tiba...
DUARRR!!!!
Sebuah petir yang menyambar langit menghentikan langkah Azura sejenak karena saking terkejut. Ia lalu mencoba mengatur napas, tapi matanya tertumbuk pada sesuatu di kejauhan.
Ia melihat seorang pria yang berjalan tanpa alas kaki. Bajunya basah kuyup dan berantakan. Matanya liar, rambutnya awut-awutan.
Pria itu berlari menyeberangi jalan dengan sembrono, dan hampir saja ditabrak oleh mobil yang melintas.
Tidiid!!! Tidiid!!
Suara klakson pun meraung dengan pengemudi yang mengumpat keras. "Dasar gila!!! Kau mau mati ya!!."
Melihat pemandangan itu, Azura pun menjerit dan spontan berlari mendekati pria yang terlihat malang tersebut. "Tunggu! Hati-hati!."
Pria itu pun berhenti lalu menatap Azura dengan tajam namun terlihat kosong. Bibirnya bergerak pelan, seperti menggumamkan sesuatu yang tidak dimengerti.
"Dia... dia di sini... aku tahu... suara itu... suara itu hidup..."
Azura tertegun melihat racuan pria tersebut tapi ia tidak bisa hanya berdiam diri melihat seseorang hampir celaka.
"Kau baik-baik saja? Siapa namamu? Kau tersesat ya?," tanya Azura pelan, sambil menunduk agar wajahnya sejajar dengannya.
Pria itu tiba-tiba tersenyum. Aneh. Manis, tapi juga menakutkan karena matanya tetap kosong.
"Kau cantik... kamu datang dari mimpiku, ya? Aku tahu kamu bukan nyata... kamu juga dengar mereka kan? Suara-suara itu..." racuan pria itu lagi.
Gllek!!!
Azura menelan ludah, tubuhnya pun menegang karena sedikit takut. Tapi ia tidak mundur.
"Aku... aku tidak tahu kamu bicara apa. Tapi kamu harus keluar dari jalanan. Ayo ke pinggir. Kamu bisa kedinginan," ucap Azura.
Tiba-tiba, terdengar suara teriakan dari seberang jalan. Lalu dua lelaki yang berpakaian seragam putih berlari ke arah mereka.
"Pak Rangga! Jangan lari lagi! Kami sudah bilang ini berbahaya!."
"Astaga! Dia hampir ketabrak mobil lagi!."
Azura pun menoleh dengan cepat. Rangga?
Sebelum Azura bereaksi lebih, pria di hadapannya yang tampak tidak waras itu tiba-tiba menggeram dan memegangi kepalanya.
"Argghh!!! Mereka mau suntik aku lagi... jangan! Aku benci jarum! Mereka jahat! Jahat semua!," teriak pria yang bernama Rangga itu.
Ia meronta, lalu berlari menjauh. Dan, dua petugas itu pun segera mengejarnya.
Sementara itu, Azura hanya bisa berdiri terpaku dengan jantung yang berdebar-debar, dan basah kuyup di bawah hujan.
~Jangan lupa kasih dukungan buat karya baru author ini ya... Selamat membaca 😊~
BERSAMBUNG...
Air hujan masih menetes dari ujung rambut Azura ketika ia akhirnya tiba di depan rumah megah bercat putih gading itu.
Pakaian panjangnya basah kuyup, bahkan lengket menempel di tubuh. Udara dingin membuatnya menggigil, tapi ia tetap menggenggam tas belanjaan yang basah, demi menyelamatkan apa pun yang tersisa.
Saat Azura membuka gerbang, suara sinis langsung menyambutnya tajam seperti duri.
"Wah! Wah! Wah! Ratu kita baru pulang rupanya. Disuruh belanja malah keluyuran!," seru Rita dari teras, seraya menyilangkan tangan di dada sambil mengerling ke arah Azura seolah gadis itu adalah parasit.
Namun, Azura hanya menunduk, tubuhnya semakin membungkuk karena dingin dan rasa lelah.
"Aku... tadi di jalan ada orang hampir tertabrak, Bu... jadi aku—"
"Alasan!," potong Rita, lalu ia melangkah sedikit mendekat dengan wajah yang penuh kekesalan. "Kau kira aku mau dengar drama tak pentingmu itu? Sana! Masuk! Jangan bikin malu, jangan sampai tetangga melihat kamu yang seperti gembel!."
BRAKK!!
Belum sempat Azura bergerak, tiba-tiba pintu utama terbuka dengan keras. Kemudian, saudari tirinya yang bernama Nadine keluar dengan wajah yang murka.
Lalu, Nadine berjalan mendekati Azura dan langsung merebut sebuah kantong plastik basah yang isinya sudah hancur.
"INI SEMUA SALAHMU!," teriak Nadine. "Makanan favoritku jadi rusak! Dasar nggak bisa diandalkan!."
BRAK!!
Sekali dorong, Azura pun terhempas ke arah dinding batu di samping pintu. Suara tubuhnya menghantam tembok hingga terdengar nyaring.
"Aw!!," pekik Azura kesakitan.
Akibatnya, lutut Azura kini tergores, dan siku kanannya memar seketika.
Tapi Nadine hanya menatapnya penuh jijik dan berseru, "Aku nggak mau tau! Kamu harus beli ulang! Sekarang juga! Jangan pulang kalau nggak bawa yang baru!."
Azura hanya menggigit bibirnya karena menahan sakit. Sementara itu, Rita malah tertawa kecil dan menimpali,
"Yah, Nadine. Anak ini memang keras kepala. Pantas kalau dikerasin balik. Sudah besar tapi otaknya lambat."
KEJAM!!
KETERLALUAN!!
Tak ada tangan yang menolong. Tak ada suara yang bertanya apakah ia baik-baik saja. Yang ada hanya sindiran dan tatapan penuh kebencian dari keluarga tirinya.
Kini, Azura perlahan berdiri sambil mengusap air matanya yang bercampur air hujan.
Ia tidak berkata apa-apa. Hanya melangkah ke belakang rumah, lalu menyusuri gang kecil menuju pintu dapur yang selalu dibiarkan terbuka.
Azura masuk tanpa suara, lalu mengganti bajunya dengan pakaian tipis seadanya, lalu ia duduk di lantai kamar kecil di dekat dapur. Di sana, ia memeluk lutut karena tubuhnya masih menggigil.
Matanya menatap kosong ke langit-langit. Dan saat itulah bayangan pria yang ia temui tadi dan hampir celaka terlintas di benaknya.
Tatapan kosong pria itu... gumamannya yang aneh... namun juga senyumnya yang samar. Tak tahu mengapa, Azura merasa seperti melihat dirinya sendiri di matanya. Terjebak. Luka. Terlupakan.
"Apa hidup semua orang serumit ini... atau cuma aku?," bisik Azura lirih.
**
Beberapa hari kemudian...
Hari itu rumah keluarga Azura tampak berbeda. Karpet merah dibentangkan dari pagar hingga ke ruang tamu.
Rita dan Nadine sibuk mondar-mandir dengan mengenakan pakaian terbaik mereka. Bahkan meja ruang tamu yang biasanya kosong kini dipenuhi camilan mahal dan vas bunga segar.
Sementara, Azura hanya bisa memperhatikan dari balik tirai dapur, dengan masih mengenakan daster lusuh dan rambut dikuncir seadanya.
"Ada tamu apa? Kok kayak mau lebaran," gumam Azura pelan.
Namun rasa penasarannya terhenti saat suara langkah kaki berat terdengar dari halaman. Tak lama kemudian, seorang pria berjas hitam masuk ke ruang tamu.
Wajahnya tegas, sorot matanya tajam namun bermartabat. Tidak hanya itu, beberapa pria berbadan besar menyertainya yang tampak seperti pengawal.
Dialah Adrian Atmaja. Konglomerat besar, pemilik jaringan rumah sakit dan properti, yang tak lain ayah dari laki-laki yang akan di jodohkan dengan Azura.
"Selamat datang, Pak Adrian... sungguh suatu kehormatan!," sambut Rita dengan senyuman palsu dan lebar, sambil menunduk rendah, lebih rendah dari biasanya.
Sementara, Wirawan hanya mengekor di belakang Rita tanpa banyak tingkah dan hanya bersikap sesuai yang Rita perintahkan.
Pak Adrian pun hanya mengangguk singkat, lalu duduk. Kemudian, tatapannya yang tajam menyapu seluruh ruangan seolah mencari sesuatu.
"Kita langsung saja. Aku ke sini bukan untuk basa-basi. Aku ingin menjodohkan putraku dengan anak perempuan Anda," tutur Adrian.
Mendengar penuturan itu, Rita dan Wirawan pun saling melirik, ekspresi mereka begitu nampak girang dan bersemangat.
"Wah... tentu, tentu... Tapi, Anda tahu kan Azura itu bukan anak kandung saya, Pak. Dia cuma anak dari istri pertama suami saya. Tapi, ya... bisa diatur," ujar Rita.
"Aku tahu. Dan aku justru memilih dia. Bukan Nadine, putri kandungmu," jawab Adrian seraya menatap langsung ke mata Rita, sehingga membuat wanita itu merasa kaku sejenak.
Melihat kecanggungan Rita dan Wirawan, Adrian pun tersenyum tipis. Bukan sebuah senyuman yang ramah, melainkan lebih seperti senyum dari pria yang sudah tahu isi hati lawannya.
"Aku tidak butuh wanita glamor. Aku butuh seorang istri yang bisa... merawat dan menemani putraku," jelas Adrian.
"Tentu saja. Kami sama sekali tidak keberatan."
Kemudian, Adrian berdiri perlahan dan berkata, "Putraku bernama Rangga. Mungkin kalian sudah mendengar. Ia memang memiliki gangguan. Tapi dia tetap anakku. Anak sulung di keluargaku. Dan aku ingin ia mendapatkan kehidupan yang layak, termasuk seorang istri yang tidak memandangnya sebagai aib."
"Tentu, tentu... kalau itu permintaan Bapak... ya, Azura bisa kami siapkan..." seru Rita yang berusaha tersenyum, tapi matanya menyipit penuh perhitungan.
"Bagus. Tapi aku minta ini menjadi urusan kita saja. Keluarga besarku tidak perlu tahu. Mereka menganggap Rangga sebagai aib. Tapi bagiku, dia tetap darah dagingku."
"Tentu, Pak. Rahasia aman. Kami tahu menempatkan diri," jawab Rita yang semakin membungkuk.
Tanpa basa-basi, Adrian lalu meninggalkan rumah, diiringi para pengawalnya.
Sementara itu di balik dapur, Azura hanya berdiri mematung. Ia mendengar semuanya. Jelas. Kata demi kata.
"Rangga...?."
BERSAMBUNG...
"Ayah, aku mohon... Jangan nikahkan aku dengan pria asing. Selama ini, aku tidak pernah banyak meminta. Ayah, tolong lihat aku sebagai putrimu, anak dari istri yang pernah Ayah cintai. Aku mohon...."
Malam itu sunyi. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar mengisi kekosongan rumah besar itu.
Semua orang sudah masuk kamar untuk bersiap menyambut pesta besar esok hari, hari pernikahan Azura.
Tapi di salah satu sudut rumah, seorang gadis tengah berlutut di ruang tengah, tubuhnya gemetar, wajahnya sembab.
Dialah Azura.
Ia duduk di depan seorang pria paruh baya yang berdiri membelakangi nya. Pria itu nampak sedang termenung menatap bingkai foto di meja, foto almarhumah Saraswati, ibu kandung Azura.
"Ayah..." panggil Azura lirih.
Ayahnya adalah satu-satunya harapan untuk menyelamatkannya dari pernikahan bisnis itu.
Ya, pernikahan bisnis karena Azura seolah di jual pada keluarga kaya hanya untuk harta semata.
Beberapa detik kemudian, Wirawan perlahan menoleh. Matanya nampak letih, penuh beban, namun masih menyimpan sisa kelembutan yang pernah dimiliki pria itu pada masa lalu.
"Ayah, aku mohon...."
Air mata pun terus menetes dari sudut mata Azura, hingga jatuh ke lantai yang dingin. Tangannya menggenggam ujung bajunya erat-erat, seperti menggenggam secuil harapan.
Lalu, Wirawan maju satu langkah. Tangannya yang mulai keriput dan gemetar mengangkat dan menyentuh bahu Azura dengan ragu.
"Azura... kamu memang putriku. Tapi Ayah—"
"ADA APA, MAS!?."
Suara nyaring tiba-tiba menggema di ruangan yang sunyi itu. Rita muncul dari balik pilar, dengan mengenakan daster satin dan wajah yang penuh curiga.
"Apa kamu mau mempermalukan keluarga ini, Mas?!," bentak Rita, lalu melangkah cepat dan berdiri di antara mereka.
Spontan Wirawan pun segera menarik tangannya dari bahu Azura, seperti tersentak dari hipnotis.
"Kamu mulai terhasut oleh perkataan anak ini, Mas?! Anak yang tidak tahu diuntung dan hanya menyusahkan!," seru Rita sambil menyilangkan tangannya di dada. Sementara, sorot matanya menyala tajam pada Azura yang masih berlutut.
Sedangkan Azura hanya menggigit bibirnya karena menahan amarah dan kepedihan. Matanya lalu berpaling pada sang ayah dan masih berharap... meski sedikit saja.
Namun harapan itu musnah saat Wirawan menunduk dan berkata datar, "Cukup, Rita. Ini sudah malam. Lagipula, pernikahan itu akan tetap terlaksana."
Teg!!
Tanpa menunggu jawaban, Wirawan pun berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan ruangan dan anak kandungnya yang masih berlutut.
Langkah kakinya terasa berat, tapi hatinya lebih berat.
Adapun Azura, ia hanya membeku dan tak bergerak. Napasnya mulai tersengal. Punggungnya terguncang karena tangisnya yang pecah.
"Heh! Malang sekali. Jangan mimpi mau hidup senang," cibir Rita sambil tertawa kecil penuh kemenangan kemudian berlalu menuju kamarnya.
Beberapa saat kemudian, lampu ruang tengah pun padam. Dan Azura masih di sana, sendiri dalam gelap.
Hatinya seolah terkubur hidup-hidup. Esok, ia akan menikah dengan lelaki yang bahkan tidak mengenal dirinya.
Tapi lebih dari itu...
ia telah kehilangan satu-satunya orang yang ia harap bisa menyelamatkannya, ayah kandungnya sendiri.
**
Tek! Tek! Tek! Tek!
Malam terasa berlalu terlalu cepat bagi Azura. Mata yang sembab karena tangisan belum sempat terpejam saat fajar datang menggantikan malam.
Hari yang paling ingin ia hindari... akhirnya tiba juga. Hari pernikahannya.
Di dalam kamar yang telah disulap menjadi ruang rias, dua orang MUA profesional sedang sibuk menata rambut dan wajah Azura.
Wajah gadis itu kini tampak sangat cantik dan anggun dalam balutan kebaya putih gading.
Tapi tak satu pun senyum tergurat di wajah cantiknya. Hanya tatapan kosong dan kaku yang membalas pantulan dirinya di cermin.
"Kamu cantik sekali, Dek. Calon suami pasti langsung jatuh cinta," kata salah satu MUA yang berusaha menghibur.
Namun, Azura hanya mengangguk kecil, dengan bibir yang tetap terkatup rapat. Karena di dalam hatinya, badai sedang mengamuk. Ia merasa seperti boneka hidup yang dirias untuk dikorbankan.
Sementara itu, di ruangan berbeda, suasana jauh berbeda. Rita dan Nadine bersorak gembira. Riasan mereka bahkan lebih mencolok dari calon pengantin.
"Hahaha, sebentar lagi kita akan semakin kaya! Gadis bodo itu akan jadi ATM berjalan kita!," seru Rita sembari membenahi maskara di cermin.
"Benar, Bu. Aku dengar kekayaan keluarga Pak Adrian itu tidak terbatas. Kita akan kaya tujuh turunan!," tambah Nadine dengan tawa yang mengejek.
"Si Rangga itu sakit jiwa, tapi siapa peduli? Uang tetap uang, sayang. Azura itu cuma tiket kita masuk dunia elite!."
HA HA HA HA HA...
Mereka tertawa sangat keras, tanpa tahu, bahwa di balik pintu yang sedikit terbuka, seorang kerabat dekat Azura mendengar segalanya dengan ekspresi getir.
"Malang sekali nasibmu Azura...."
**
Kembali ke kamar pengantin...
Azura perlahan berdiri saat kebaya sudah sempurna dikenakan. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia merasa seperti berjalan menuju tiang gantungan.
"Sudah siap, Dek? Pengantin pria dan rombongan akan tiba sebentar lagi," ujar salah satu MUA.
Azura memejamkan matanya. Dalam hatinya ia berdoa. Bukan agar pesta ini sukses. Tapi agar Tuhan memberinya jalan... untuk tetap hidup.
Sementara, di ruang tamu rumah sudah penuh dengan tamu-tamu penting dan dekorasi megah.
Para wartawan juga mulai berdatangan, karena kabarnya, keluarga besar Atmaja akan hadir. Tapi nyatanya hanya satu mobil hitam mewah yang terlihat menepi.
Lalu, Pak Adrian turun dari mobil dan terlihat sendiri tanpa Rangga.
Semua mata memandang ke arah pria karismatik itu, namun tak seorang pun tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Karena... Rangga menghilang. Dan pernikahan yang dirancang sebagai perjodohan bisnis bisa saja berubah jadi skandal besar dalam hitungan menit.
Dimana calon pengantin laki-lakinya?
**
Langit pagi yang awalnya cerah, kini mulai mendung, seolah turut berduka atas nasib seorang gadis yang akan dipaksa menikah tanpa cinta dan tanpa harapan.
Namun, tetap saja. Rumah besar itu kini semakin ramai oleh tamu undangan dan suara musik yang mengalun lembut.
Semua terlihat megah. Semua terlihat sempurna. Namun di balik itu, segalanya retak dan penuh duka.
Kini, Azura berdiri di balik tirai putih di sebuah ruangan. Wajahnya memang cantik, namun matanya tak memantulkan cahaya kehidupan. Hatinya berkecamuk, tubuhnya dingin seperti es.
"Sebentar lagi akad dimulai. Kamu harus siap. Jangan mempermalukan keluarga ini," tegas Rita sambil menyibak tirai.
Azura hanya menunduk dan tidak menjawab. Dalam benaknya, hanya satu pertanyaan yang terus berulang, di mana lelaki yang akan menjadi suaminya?
Tak lama kemudian, semua orang mulai berkumpul. Penghulu sudah duduk. Para saksi pun sudah siap. Tapi kursi mempelai pria masih kosong.
Sementara itu, Pak Adrian, sang calon mertua, ia tampak tenang dan berwibawa, meski raut wajahnya menyiratkan sesuatu.
Ia melirik jam tangan, lalu memberi isyarat ke salah satu orang kepercayaannya.
"Kita mulai saja," ucapnya pelan.
"Tapi, Tuan Muda Rangga...?," bisik Rita dengan heran.
"Tenang saja. Ini sudah sesuai rencana," jawab Pak Adrian dengan tatapannya yang tajam.
Kemudian, seorang pria berbaju putih dengan wajah yang tertunduk datang masuk dari belakang.
Wajahnya nyaris tak terlihat karena sorotan kamera dan lampu ruangan. Lantas ia langsung duduk di tempat mempelai pria tanpa banyak bicara.
Lalu, Azura pun melangkah pelan menuju pelaminan dengan langkah yang goyah. Setiap langkah dan setiap detik terasa seperti mimpi buruk yang nyata baginya.
Dan saat ia duduk di sebelah pria itu, Azura menoleh sekilas, namun wajah pria itu tetap tertunduk dan nyaris tidak terlihat.
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Rangga Atmaja bin Adrian Atmaja dengan Azura binti Wirawan, dengan mas kawin uang tunai 1 miliar dibayar tunai."
"Saya terima nikahnya Azura binti Wirawan..."
Prok Prok Prok Prok Prok!!!
Tepuk tangan pun bergemuruh dan semua orang pun bersorak.
Tapi Azura hanya terpaku.
Benarkah itu suaminya?
Kenapa wajahnya tak terlihat?
Kenapa jantungnya tidak tenang?
Selesai akad, pria yang baru saja menjadi suami Azura langsung digiring pergi ke mobil pengantin oleh pengawal pribadi Pak Adrian.
Tanpa sepatah kata. Bahkan tak sempat menyentuh tangan Azura.
Pemandangan itu spontan membuat semua orang heran dan tertegun. Pasalnya, tidak semua orang tau jika laki-laki yang menjadi pengantin itu mengidap gangguan jiwa.
Yang mereka pikirkan adalah rasa heran dan iba pada pengantin perempuan yang di tinggal sendiri setelah akad berlangsung.
Ada apa ini? Kenapa pengantin pria langsung pergi?
Mungkin ini pernikahan yang di jodohkan.
Merasa bingung dan tidak tau harus bagaimana, Azura pun hanya terpaku di tempat duduknya dan bertanya-tanya, "Apa... apa benar dia suamiku?."
BERSAMBUNG...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!