NovelToon NovelToon

Time Travel Raja Perang Memburu Istrinya

Misi Terakhir

Langit malam menyelimuti kota dengan sunyi yang palsu. Lampu jalan di dermaga 17 berkedip seperti isyarat kematian. Novi, mengenakan pakaian serba hitam dengan wajah setengah tertutup masker, menempelkan punggung ke dinding kontainer. Telinganya dipenuhi suara napasnya sendiri melalui earpiece.

“Target masuk. Lima orang. Dua senjata laras panjang, satu bahan peledak,” suara Darius, pemimpin tim, terdengar dari alat komunikasi.

Novi menyentuh pelipisnya, mengaktifkan lensa taktis di matanya. Segala detail suhu tubuh dan posisi musuh terpeta dengan jelas.

“Serahkan bahan peledaknya ke aku,” bisik Novi. “Aku bisa lumpuhkan itu dari jarak dua puluh meter.”

“Aku suka wanita percaya diri,” sahut Kaze, penembak jitu tim, dari posisi di atap crane. “Lima detik, beri aku sinyal.”

Novi menarik napas, menghitung waktu. Dia berlari cepat, diam seperti bayangan, menyelinap di balik peti kemas. Musuh pertama terkejut saat melihatnya, tapi tidak sempat bersuara—pisau meluncur dari tangan Novi, tepat menancap ke leher.

"Satu," gumamnya dingin.

“Dua musuh di belakangmu, pukul 10,” seru Arin dari sudut pengawasan. “Satu bawa RPG!”

Novi melompat mundur, berguling, lalu melemparkan dua bola kecil ke arah lawan. Ledakan kecil mengguncang udara, bukan cukup kuat untuk membunuh, tapi cukup untuk membutakan.

Dengan gerakan lincah, dia maju, menjatuhkan mereka berdua. Satu dihantam dengan tulang lutut ke tenggorokan, yang lain dilumpuhkan dengan suntikan racun di nadi.

“Target utama di ruang kontrol,” lapor Darius. “Dua menit sebelum pasukan cadangan datang.”

“Aku masuk lewat ventilasi,” sahut Novi cepat.

Dia melompat ke atas peti kemas, membuka panel ventilasi dengan obeng kecil dari pergelangan tangannya, dan masuk. Setiap gerakan terlatih, setiap tarikan napas terkalkulasi. Di dalam, target berdiri dengan dua penjaga. Di meja, ada koper hitam, data chip berisi daftar agen rahasia dari seluruh dunia.

Itu tujuannya.

Novi menyusup turun seperti ular. Salah satu penjaga menoleh, tapi Novi telah menendang tengkuknya sebelum sempat bicara. Yang satunya menarik senjata, terlambat. Jarum racun mengenai dadanya.

“Siapa kau?!” Target utama berteriak panik, meraih koper.

“Namaku tak penting. Tapi efek racunku... akan kau ingat sampai mati.”

Novi melemparkan kapsul gas tipis ke arah target. Lelaki itu terbatuk keras, matanya memerah, tubuhnya gemetar. “Apa ini?!”

“Neurotoxin ringan. Kau masih bisa hidup... asal tak bergerak selama 30 menit,” ujarnya santai sambil meraih koper.

“Tugas selesai. Aku keluar.” Novi memberi sinyal. Ledakan kecil terdengar dari arah lain oleh Darius.

Novi melompat keluar jendela kaca, mendarat dengan gerakan jungkir balik. Di depannya, dua mobil hitam mengarah ke tempat mereka.

“Kontak musuh! Plan B!” seru Kaze.

Sebelum mobil mendekat, Novi meraih senjata dari punggungnya, peluncur mini EMP. Ia menembak ke arah mesin mobil. Seketika mobil mati total.

“Kau bawa mainan baru lagi?” Darius tertawa di telinganya.

“Selalu.”

Sirene polisi terdengar di kejauhan. Sudah waktunya kabur.

“Lima belas detik ke titik ekstraksi!” Arin berteriak.

Novi dan timnya berlari ke helikopter tak terlihat yang menunggu di atap gudang tua. Darius naik lebih dulu, lalu Arin dan Kaze.

Novi meloncat terakhir, tangannya nyaris tak menjangkau tali.

“Got you!” Darius menangkap lengannya dan menariknya naik. “Kau suka bikin deg-degan.”

“Adrenalin itu candu,” balas Novi, duduk dan membuka helmnya.

Angin malam membelai wajahnya. Di tangannya, koper hitam berisi informasi senilai miliaran dolar dunia. Misi selesai.

Beberapa jam kemudian, markas bawah tanah Shadow Squad

“Nice work, tim,” ucap Komandan Zhang. “Data chip berhasil diambil, semua musuh lumpuh. Tidak ada korban sipil. Operasi Hitam: sukses total.”

Novi memutar lehernya, terasa kaku. “Terima kasih. Tapi aku cuti malam ini.”

“Cuti? Kita baru selesai misi dan kamu....”

“Aku ingin treadmill, dan... membaca novel. Otakku perlu racun baru,” katanya sambil tersenyum kecil.

Darius terkekeh. “Hanya Novi yang menyebut membaca dan racun dalam satu kalimat dan masih terdengar santai.”

Malam menyelimuti langit kota dengan kemilau lampu yang memantul di kaca jendela mobil sport hitam berkilap. Novi duduk di balik kemudi, wajahnya yang cantik dan dingin terpoles cahaya neon yang menari di kaca depan.

Atap mobil terbuka, membiarkan angin malam menyapu rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. Musik remix bernuansa etnik Nusa Tenggara Timur berdentum dari speaker mobil, perpaduan dengan bass EDM menyulap jalanan menjadi runwAy dramatis bagi sang mata-mata elit.

“Akhirnya bisa santai,” gumamnya, menekan gas.

Mobil meluncur mulus menembus jalanan kota yang hampir sepi. Adrenalin sisa misi tadi masih berdenyut di tubuhnya.

Begitu sampai di basement apartemen mewah lantai 42 miliknya, Novi turun dengan santai. Petugas keamanan hanya mengangguk kaku melihatnya, mereka tahu siapa Novi. Bukan hanya sebagai penghuni, tapi sebagai wanita yang bisa membuat pria berpangkat jenderal bertekuk lutut... secara harfiah, dan mungkin dengan jarum beracun.

Lift bergerak naik tanpa suara, membuka ke ruang tamu bergaya minimalis-futuristik. Lampu otomatis menyala pelan mengikuti langkahnya. Ia menaruh kunci, melepas heels, lalu membiarkan dirinya menjatuhkan tubuh ke sofa kulit putih sejenak.

Tapi tidak lama.

“Aku butuh air panas,” desahnya pelan.

Novi berjalan ke kamar mandi. Ia mengisi bathtub dengan air hangat, meneteskan beberapa tetes minyak lavender ke dalamnya. Aroma menenangkan langsung memenuhi ruang.

Saat uap mengepul, ia melepaskan pakaiannya dan masuk ke dalam bak mandi. Suhu hangat menyelimuti tubuh pegalnya, dan untuk sesaat, Novi menutup mata.

Setelah berendam hampir 30 menit, Novi keluar dari kamar mandi dengan tubuh segar. Ia mengikat rambutnya ke atas dengan handuk kecil, lalu mengenakan legging hitam dan kaus longgar berwarna abu. Wajahnya polos, namun tetap terlihat tajam.

Ia mengambil earphone nirkabel, menyelipkannya ke telinga. Musik instrumental santai mengalun, menggantikan dentuman EDM sebelumnya.

Tangannya meraih tablet digital di meja, lalu naik ke atas treadmill yang sudah tertanam otomatis di area gym kecil apartemennya. Novi mengetuk layar tablet, membuka novel online berjudul “Sang Raja Perang.”

Baru bab keempat, tapi tokoh utama pria, Liang Si Wei, sudah membuatnya ingin menyemprot wajah layar dengan air racun.

“Laki-laki tipe pangeran galak, ha? Sering banget model begini,” gumamnya sambil menyipitkan mata, membaca dialog sang raja perang yang memerintah pembantaian tanpa berkedip.

Novi mulai berjalan lambat di treadmill, tangannya menggulir layar. “Astaga, sepertinya racun ular Asia Selatan, dosis mikro sangat cocok untuknya.”

Ia terkekeh sendiri, menaikkan kecepatan treadmill jadi lari ringan.

Di luar jendela, langit malam tiba-tiba berpendar. Sebuah suara ledakan kecil memecah keheningan.

Novi langsung menoleh, refleks sebagai mata-mata aktif. Tangannya refleks meraih pinggang, lupa bahwa ia tidak sedang memakai sabuk senjata.

Namun ketika ia mengintip dari balik kaca, yang terlihat hanyalah kembang api.

Warna merah, emas, biru, meledak dan bersinar di atas taman kota, suara sorakan dari kejauhan menyusul kemudian.

Festival musim gugur.

Ia menghela napas, menggeleng kecil. “Refleksku kelewat aktif.”

Dengan santai ia kembali ke posisi, lalu menaikkan kecepatan treadmill. Ia kembali fokus ke tablet-nya. Bab lima. Adegan pernikahan paksa.

“Ini cewek malah nurut dinikahin... aduh, kenapa gak kabur aja sih,” gumamnya. “Kalau aku... langsung kabur malam pertama.”

Tiba-tiba, layar treadmill berkedip.

Novi sempat mengernyit. “Huh? Error?”

Namun sebelum ia bisa menekan tombol berhenti, mesin itu melonjakkan kecepatannya secara otomatis. Novi tersentak, tubuhnya maju tak terkendali.

“Tunggu—apa—!”

Kecepatan meningkat drastis. 8... 10... 12... 15 km/jam.

Tubuh Novi berusaha menyeimbangkan diri, tapi kakinya tergelincir. Tablet-nya terlempar dari genggaman, membentur dinding dan pecah.

“Stop! Sistem, berhenti!” teriaknya sambil mencoba menekan tombol darurat. Tidak merespons.

Kepalanya menabrak panel depan treadmill saat dia terpental. Tubuhnya terjatuh ke belakang, menghantam lantai marmer.

BRAK!

Napasnya tertahan. Dada kirinya seperti diremas dari dalam. Ia menggeliat, mencoba bangkit, tapi tubuhnya tak merespons. Telinganya berdenging. Dunia berputar.

“Engg...” erangnya pelan, darah menetes dari sudut bibirnya.

Pandangannya kabur. Lalu semuanya gelap.

Tolong dukungannya readers...

Raja Liang Si Wei

Novi mengerang pelan. Kepalanya terasa berat, tubuhnya panas seperti terbakar dari dalam.

Ia membuka mata perlahan, atap kain merah menyambut pandangannya. Kain-kain bordir keemasan menggantung, bergoyang pelan seiring guncangan kendaraan yang ditumpanginya.

“Aku... di mana ini...?”

Suara seraknya nyaris tak terdengar. Keringat membasahi pelipis. Wajahnya pucat, nafasnya memburu.

Tangannya bergerak ke leher, mencari alat komunikasi atau identitas, tapi yang ia temukan hanya kulit halus dan kalung giok.

Pakaian yang ia kenakan... gaun berat berwarna merah menyala, dengan bordiran naga dan phoenix.

“Apa ini... gaun pengantin?”

Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat. Treadmill. Kembang api. Dan kemudian treadmill konslet, dan ia meninggal.

Napasnya makin berat. Panas di tubuhnya semakin menggila, seolah ada aliran api yang menyebar dari dalam dada hingga ke ujung jari.

“Oh tidak... ini... ini gejala racun...”

Ia mengerutkan kening, mencoba menganalisis dengan naluri seorang dokter sekaligus ahli racun.

“Panas tubuh meningkat drastis, detak jantung tidak stabil... ini... Afrosidak?” bisiknya kaget.

“Astaga... siapa bajingan yang meracuni tubuh ini?!”

Novi menoleh cepat, mencoba melihat sekeliling tandu. Ia mencari benda tajam, logam, apapun yang bisa ia gunakan untuk mengalirkan sedikit darah. Setidaknya untuk memperlambat efek racun.

Tangannya meraba-raba badannya hingga tangannya menyentuh hiasan rambut panjang dengan ujung tajam yang menjuntai dari sanggulnya.

“Ini bisa,” gumamnya.

Dengan tangan gemetar, ia mencabut hiasan rambut itu, lalu menggigit bibir sebelum menggoreskan ujung tajamnya ke pergelangan tangan kiri.

“Ahh!”

Darah segar menetes. Luka kecil, tapi cukup untuk membantu tubuhnya membuang sebagian racun.

Rasa panas sedikit mereda, tapi tubuhnya masih menggigil dan berkeringat. Gaun pengantin itu menempel di kulitnya seperti penjara neraka.

“Gawat... aku butuh penawar.”

Dengan sisa tenaga, Novi membuka jendela kecil tandu, mendorong tirainya terbuka.

Pemandangan luar menyambutnya: jalan tanah berbatu, diapit pohon willow, dan sekelompok dayang serta prajurit di luar. Namun yang paling dekat adalah seorang wanita bertubuh gemuk dengan pakaian merah, kira kira ia adalah mak comblang, wajahnya bulat dan sedikit panik saat melihat jendela terbuka.

“A.. Ah! Nyonya! Ada apa?!” serunya kaget.

Novi menatapnya dengan mata berkaca. Suaranya nyaris habis, tapi nadanya tetap tegas.

“Kau... tolong aku... cari air dingin... dan... daun zhao lan, kalau ada...”

Si Mak comblang membelalak ketika melihat tangan wanita ini berdarah. “Astaga... nyonya kenapa kau bunuh diri di tandu pengantin?!”

“Bunuh diri ndasmu! Aku di racun, bukan bunuh diri. Bangke...” ucap Novi pelan.

Mak comblang itu langsung panik dan berlari tergopoh ke arah kereta kuda di depan nya, berteriak pada kusir.

Novi menutup tirai itu kembali. Napasnya semakin cepat, dunia mulai berputar.

Tubuh itu gemetar, semakin lemah. Rasa panas menggerogoti dari dalam, seolah darahnya berubah menjadi lahar. Novi mencengkeram hiasan kepala itu yang meneteskan darah, napasnya terengah.

“Kenapa... kenapa tubuh ini mengandung begitu banyak racun?”

Ia memejamkan mata sejenak. Di tengah rasa sakit yang menyiksa, pikirannya tetap tajam, naluri agen profesionalnya masih hidup meski dalam tubuh asing.

“Astaga... apa aku benar-benar melintasi waktu? Ini bukan dunia yang kukenal. Tapi bukan saatnya memikirkan itu. Aku harus bertahan. Netralisir dulu racunnya, pikirkan sisanya nanti.”

Dengan sisa tenaga, ia meraih potongan kain dari sisi tandu, entah dari tirai atau lapisan gaun pengantin yang mengganggu. Ia robek dengan gigi dan tangan, lalu mengikat luka di pergelangan tangannya erat-erat untuk memperlambat aliran racun.

Di luar tandu, mak comblang tadi berteriak panik. “Cepat! Jalankan tandunya lebih cepat! Nyonya bunuh diri! Cepat, ini darurat!!”

Kuda berlari lebih cepat, roda tandu berderit membelah jalanan kekaisaran Dongxin. Tujuan mereka adalah kediaman Raja Perang, Liang Si Wei.

Sesampainya di halaman utama kediaman raja Liang, para pelayan berlarian. Mak comblang tadi membuka pintu tandu dan membopong Novi dengan sekuat tenaga. “Tahan sedikit lagi, nyonya! Kami segera memanggil tabib!”

Mereka membawa Novi ke kamar pengantin, sebuah ruangan luas dengan ranjang besar berkelambu merah emas, lilin merah menyala di tiap sudut, dan aroma bunga peony memenuhi udara.

Pelayan menjatuhkan tubuh Novi ke atas ranjang lembut.

“Panggilkan tabib.” teriaknya lagi.

“Baik!” para pelayan menjawab bersamaan dan segera berlarian keluar.

Namun belum sempat Novi menarik napas lega, langkah kaki berat terdengar mendekat dengan cepat dan terlihat kacau di luar.

“Yang Mulia.. Tenanglah, nyonya sedang di dalam kamar, kami telah memanggil tabib istana!”

“Pergi! Aku ingin melihat sedang apa wanita itu di dalam!” suara nya dingin dan tegas.

Pintu kamar pengantin terbuka keras. Seorang pria tinggi dengan pakaian merah gaun pengantin dan mata tajam seperti elang masuk dengan aura marah menyala.

“Yang Mulia...!!” teriak para pelayan, pengawal dan semua orang yang berada di luar.

“Tetap diluar, jangan ada yang berani masuk ke dalam kamar ini sekalipun tabib istana tanpa perintahku. Ingat itu!”

Setelah memperingati para pelayan dan orang diluar, Raja Liang segera menutup pintu kamar itu dengan keras. Lalu melangkah menuju ke tempat Novi berada.

“Kau sedang main trik apa?!” suaranya tajam seperti cambuk.

Tangannya langsung mencengkeram leher Novi.

Novi tersentak. “Astaga... siapa lagi kau ini. lepaskan aku! Aku sedang... diracun...!” Suaranya parau, matanya membelalak.

Pasokan oksigen di tubuhnya menipis, darah di tangannya yang kembali terbuka, belum lagi racun gairah yang mulai bekerja kembali ingin segera menuntaskan efeknya.

“Racun?” Liang mencibir. “Kurasa kaulah yang berniat meracuniku di malam pernikahan ini! Sun Yu Yuan! Dasar perempuan licik!”

“Sun... Yu... Yuan?” Novi tergagap. “Aku... tidak tahu siapa itu... aku bahkan tak mengenalmu!”

Liang menyipitkan mata. “Berani sekali kau berpura-pura. Sudah kubilang, aku tak akan membiarkan keluarga Sun mendekatiku. Tapi kalian tetap mencoba! Dan menyodorkanmu padaku, sungguh memalukan.”

“Lalu... kenapa kau malah bunuh diri di tandu, kalau begitu akan aku bantu kau mati saat ini.”

“Kau... brengsek!!” teriak Novi.

“Kau panggil aku apa? Brengsek?” ucap Liang yang segera menekan cengkramannya lebih kuat.

Novi merintih, kesulitan bernapas. “Jangan salahkan aku jika sesuatu terjadi padamu setelah ini. Sudah kuperingatkan!”

Tiba-tiba, dengan gerakan cepat dan terlatih, Novi mengangkat tangannya yang bebas, meraba badan Liang dan menotok bagian tertentu di bahu Liang.

“Ceklek.”

Liang tertegun. Tubuhnya tiba-tiba kaku. Ia tidak bisa bergerak.

“Sun Yu Yuan, Berani kau padaku? Apa yang... kau lakukan?!”

Novi terjatuh ke ranjang, memegangi lehernya yang memerah. “Huk... huk... astaga... kau benar-benar gila... Mau main bunuh aja... tanpa tahu apa-apa... Dasar pria bajingan, kenapa aku tak berani padamu? Kau bahkan berani ingin membunuhku.”

“Kau.. Bagaimana bisa mempelajari teknik ini? Apakah keluarga Sun mu sudah memprediksi nya?” geram Liang.

“Prediksi apa? Huh kau terlalu banyak bicara!”

Novi bangkit sedikit, masih lemas, tapi bibirnya tersenyum tipis.

Sun Yu Yuan

Ia mengamati wajah tampan di depannya. “Oh... Siapa si tampan ini?”

“Apa maksudmu? Lepaskan aku! Kau lupa siapa aku? Aku Raja Perang Liang Si Wei ” teriak Liang, masih dalam posisi kaku.

“Liang Si Wei? Sun Yu Yuan? Bukankah ini karakter novel yang terakhir aku baca. Astaga bisa-bisa nya aku masuk dalam novel ini.” ucap Novi dalam hati.

“Jadi ini wajah Raja Perang yang disebut-sebut di novel itu... Yang katanya pintar, sedikit bicara, membasmi musuh tanpa ampun.. Hmm... tampan juga...”

“Apa maksudmu? Lepaskan aku! Kalau tidak, aku akan membunuh seluruh keluargamu.” teriak Liang, masih dalam posisi kaku.

Novi mendekat perlahan, tangannya mengelus wajah Liang yang tidak bisa menghindar. “Tubuhku masih panas... Racunnya belum hilang... Kau yang masuk ke kamar ini... ya tanggung jawab dong.”

“Lepaskan aku, wanita gila! Kau akan menyesal seumur hidupmu!!”

Novi mendekat, napasnya hangat dan terengah. “Aku sudah bilang... aku diracun. Dan aku tidak bohong. Jadi... nikmati saja, Jenderal.. Atau Raja... Siapapun kamu, aku tak peduli.”

Liang menggertakkan gigi. “Kau akan menyesal...”

Novi menatap wajah lelaki di hadapannya. Meski napasnya masih berat karena racun yang mendidihkan darahnya, ia tidak bisa mengabaikan sosok yang ada di hadapannya.

Garis rahang tajam, alis tegas, dan tatapan mata tajam itu, semua begitu nyata dan memesona. Bahkan dalam keadaan diam tak berdaya, aura dingin dan angkuhnya masih menyelimuti ruangan.

“Aku harus menurunkan suhu tubuhku... setidaknya menyerap hawa dingin dari siapa pun yang ada di dekatku,” bisik Novi pelan, entah pada diri sendiri atau pada pria yang masih menatapnya dengan geram.

Tangan Novi terangkat perlahan, mengusap sisi wajah Liang dengan lembut. “Ternyata kulitmu juga dingin ya... ini bisa membantu.” Suaranya terdengar lemah namun menggoda, seperti desahan napas yang tersisa.

“Berhenti. Apa yang akan kau lakukan?” Liang menatap ke arah mata Novi, sementara tubuh Liang mendadak merinding, bulu bulu halus di badannya seketika berdiri.

“Apakah kau pernah tidur dengan seorang wanita?” tanya Novi penasaran

“Sun Yu Yuan!” teriak Raja Liang.

“Uh, telingaku! Tak usah berteriak, aku hanya bertanya. Lagipula aku bertanya dengan sopan padamu!”

Novi menatap mata Raja Liang. “Berapa banyak wanita yang telah kau gauli?”

“Aku tidak suka memelihara wanita, apalagi wanita kotor yang telah dipakai orang lain. Apalagi kau!”

“Eits, jangan sembarangan bicara, kau bahkan belum mencobanya!”

“Sun Yu Yuan, aku akan membunuh mu!” geram Raja Liang.

“Jangan marah, nanti kau cepat tua. Lagipula kita sudah menikah. Jadi wajar sebagai suami istri yang sah, kita melakukan itu bukan?” ucap Novi dengan senyum simpul.

Tangannya turun ke bagian leher Liang, jari-jarinya menyentuh bagian dada yang terbuka sebagian. Ia perlahan membuka jubah luar pria itu. “Malam ini adalah malam pernikahan kita!”

Liang menyentakkan tubuhnya sekuat tenaga, namun titik totokan nya sempurna. Tubuhnya masih lumpuh, tak bisa bergerak sedikit pun.

“Kau benar-benar wanita gila!” desisnya.

“Kalau aku gila, maka kau penyebabnya,” ucap Novi dengan senyum lemah. “Racun ini bukan main-main. Tapi tubuhmu... cukup dingin untuk menyeimbangkan suhu tubuhku. Kalau bukan karena racun ini, mana mau aku menyentuhmu.”

Jubah merah itu jatuh perlahan ke lantai, kainnya menggesek permukaan batu halus kamar. Novi memandangi dada bidang Liang dengan ekspresi yang tak terbaca, antara kagum, kesakitan, dan pasrah. Tangannya kembali mengusap dada pria itu, menyerap dingin dari kulitnya yang sejuk.

Liang mengerutkan alis. “Apa kau sadar apa yang sedang kau lakukan?”

“Aku sadar sepenuhnya,” bisik Novi. “Aku sedang berjuang untuk hidup. Kalau kau tidak bisa membantu... setidaknya diamlah.”

Keheningan menyelimuti kamar untuk sesaat. Suara napas mereka berdua menyatu dalam ketegangan yang menggantung di udara. Lilin merah berkedip ditiup angin, membuat bayangan tubuh mereka bergerak di dinding.

Liang masih terdiam. Meski tubuhnya tak bisa bergerak, ia bisa merasakan kehangatan yang perlahan menyerap ke dalam kulitnya, bisa merasakan sentuhan lembut wanita di depannya ini.

“Kau terlihat lebih tampan, jika mulutmu diam seperti ini!”

Liang menutup mata, napasnya sedikit bergetar.

Novi, dengan napas tersengal dan wajah yang memerah akibat panas racun yang menjalar di tubuhnya, tetap menatap pria di hadapannya. Matanya tak gentar, meski tubuhnya bergetar karena suhu tinggi yang nyaris membakar kesadarannya.

Dengan perlahan, ia menurunkan lapisan pakaian Liang satu demi satu. Ia tidak tergesa. Setiap gerakannya seperti menahan gejolak di dalam dirinya agar tak meluap, seolah memberi jeda pada dirinya sendiri untuk tetap sadar di tengah hasrat dan bahaya yang menyatu dalam satu malam.

Liang tiba-tiba menggertakkan giginya, ekspresi wajahnya berubah. “Kau berani sekali! Apa kau ingin mati, hah? Keluarlah dari sini!” bentaknya, suaranya meledak, menggema di kamar pengantin yang remang.

Novi tidak gentar. Meski jantungnya berdetak cepat, ia menatapnya dengan tatapan lurus. “Tubuhku terbakar... racun Afrosidak ini, aku sudah bilang padamu sejak tadi.”

Suara Novi parau, namun penuh keteguhan. Ia menghapus keringat di dahinya dengan punggung tangan, lalu melanjutkan, “Racun ini menyerang pusat suhu dan saraf. Jika tak dinetralisir, aku akan mati. Dan satu-satunya penawarnya... adalah kau.”

Liang terdiam sejenak. Matanya memicing, penuh badai emosi. “Afrosidak... siapa yang berani-beraninya memberi racun seperti itu... di hari pernikahan ini..? Apa mereka mencari mati dengan raja ini?”

Kemarahan membuncah di dadanya, bukan hanya kepada wanita di hadapannya, tetapi juga pada siapa pun yang telah merancang kekacauan ini. Siapa pun yang tega menjadikan pengantin wanita sebagai alat, dan dirinya sebagai alat penawar.

Novi sudah kehilangan sebagian kendali. Ia melepaskan pakaiannya satu demi satu, bukan karena nafsu, tapi karena tubuhnya benar-benar terasa seperti terbakar dari dalam.

Tatapannya menantang, meski wajahnya terlihat lemah. “Jadi bagaimana, Yang Mulia? Jika aku menyentuhmu sekarang... apakah kau akan berteriak lebih kencang, sehingga seluruh orang kediaman ini datang dan melihat kita... seperti ini?”

Liang membeku, kemarahannya bertabrakan dengan kenyataan yang membuatnya tak bisa bergerak.

“Kau... kau wanita tak tahu malu!” desisnya, wajahnya memerah karena marah dan, ia benci mengakuinya, kebingungan.

Novi tersenyum samar, langkahnya maju perlahan hingga jaraknya dengan Liang hanya beberapa jengkal. “Kalau aku tak tahu malu, mungkin aku tak akan memberitahumu soal racun ini sejak awal. Cukup diam saja dan biarkan aku bekerja untuk mengambil suhu dingin dari tubuhmu.”

Liang masih tidak bisa menggerakkan tubuhnya karena totokan yang Novi lakukan sebelumnya. Tapi matanya menatap wanita di hadapannya dengan ragu, marah, bingung, dan... heran. Tidak ada ketakutan dalam sorot mata itu

Novi menyentuh pipinya pelan, kali ini bukan menggoda, tapi lebih seperti meyakinkan bahwa ia masih sadar, bahwa ia tahu batasnya.

“Aku tahu ini keterlaluan... Tapi aku tak punya pilihan,” bisiknya.

Ia bersandar ke dada pria itu, memejamkan mata sambil menarik napas panjang, seolah mencoba menyerap suhu tubuh Liang yang dingin ke kulitnya yang menyala.

“Aku tak percaya kau bisa seenaknya menaruh nyawa di tanganku,” gumam Liang akhirnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!