“Pergi kau dari sini! aku tak sudi melihat wajahmu lagi,” bentak lelaki paruh baya kepada seorang gadis di hadapannya, yang tak lain adalah anaknya sendiri. Gadis itu hanya terdiam mematung saat ayahnya kembali masuk ke dalam jeruji besi yang dijaga dengan ketat oleh para polisi.
Gadis itu pun kembali ke rumahnya dengan keadaan murung. Oline—nama gadis itu, dia baru saja diusir ayahnya karena tak ingin melakukan perintah sang ayah, menurutnya perintah ayahnya adalah perbuatan yang kejam dia juga tidak ingin seperti ayahnya, yang selalu saja menuruti kemauan hatinya hingga dia berada dihukuman seperti saat ini.
Sudah enam tahun ayah Oline mendekam di penjara, dan selama itu juga dia dijauhi orang-orang di sekitarnya. Mereka enggan bertegur sapa bahkan untuk melihat ke arahnya, meski yang mereka lakukan semata-mata hanya melindungi dirinya dan keluarganya dari rumor yang beredar tentang keluarga Oline tetapi bukan berarti mereka tidak menganggap Oline sama, bahkan mereka mengganggap Oline sama seperti ayahnya meski pun tidak ada bukti tentang Oline. Dia frustrasi, anak berumur 17 tahun itu harus tinggal sendiri tanpa belas kasihan orang-orang disekitarnya, kadang disaat-saat seperti itu Oline melampiaskan semuanya pada dirinya sendiri.
“Semua orang membenciku, semua orang menganggap aku sama seperti keluargaku.” Dia berucap lirih
Dia bertekad ingin membuktikan kepada semua orang bahwa dirinya tidaklah sama seperti Antoni—ayahnya.
Dia menunduk sembari menyayat-nyayat tangan mulusnya. “Memang kenapa jika aku terlahir dari keluarga seperti ini? Bukan keinginanku dilahirkan dalan keluarga ini!” teriaknya.
Itulah yang dilakukan Oline saat dia frustrasi dengan keadaannya, dia terisak tanpa memperdulikan darah yang mengucur deras dari tangan indahnya.
Oline pun lemas, dia berbaring di atas tempat tidurnya tanpa memperdulikan tangannya yang berlumuran darah, lambat laun Oline pun tertidur dengan nyenyaknya.
Di pagi itu Oline berangkat ke sekolah seperti biasa, di sepanjang perjalanan banyak pasang mata yang menatapnya tajam seakan ingin mengulitinya hidup-hidup, Oline ingin sekali mencongkel kedua bola mata mereka tetapi di lain sisi ia menahan hasratnya yang kadang muncul secara tiba-tiba.
Setibanya di sekolah Oline langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk menenangkan pikirannya yang sedang berkecamuk. Banyak yang memandangnya dengan sinis, tapi tidak sedikit juga yang memandangnya dengan tatapan ketakutan, sebenarnya Oline sudah terbiasa dengan semua itu. Oline pun kembali ke dalam kelas saat bel berbunyi.
“Waww ... coba liat siapa yang datang?”
“Anak seorang napi,” lanjutnya.
Setiap Oline masuk kelas gadis yang tak lain adalah musuhnya dari dulu itu selalu saja menghinanya. Oline sendiri pun harus exstra sabar, dengan mengontrol amarahnya sendiri.
Oline duduk sendiri di kursinya karna semua siswa menjauhinya dan tak ingin berteman dengannya. Tetapi Oline bahkan merasa senang karena baginya kesendirian adalah ketenangan.
Ruangan itu seketika hening saat wali kelas datang, baru saja hendak duduk guru itu berteriak histeris karena di lokernya terdapat bangkai tikus yang termutilasi, lengkap dengan darah segar yang menggenang di dekat bangkai itu.
“Siapa yang meletakkan bangkai tikus disini?!” teriak sang guru geram.
Semua murid memandang satu sama lain mereka bertanya-tanya siapa yang berani melakukan itu. Tiba-tiba saja sebuah suara menyebut nama Oline, semua pasang mata menatap sumber suara tersebut, ternyata suara itu berasal dari Zola—musuh Oline.
“Aku benar, ‘kan? Pasti Oline yang melakukan itu secara kan dia anak seorang napi, pasti sifat kejamnya menurun dari aayahnya.” Ucapnya sinis.
Semua mata beralih menatap Oline yang duduk di kursinya dengan tenangnya seakan tak peduli dengan kejadian saat ini, Zola menghampiri Oline yang keliatan acuh.
“Heh, anak napi! Ngaku aja deh, pasti kamu ‘kan yang meletakkan bangkai tikus itu?”
Oline tetap diam tak bergeming, dia asik dengan jangkanya. Karna tak dihiraukan Zola merasa kesal dan merampas jangka itu dari tangan Oline, Oline pun berdiri dari duduknya dan merebut jangkanya kembali sembari mengangkat jangka itu tepat di depan mata Zola seperti berniat untuk menusuk bola mata Zola. Sebagian siswa histeris menyaksikan per seteruan Zola dan Oline, untung saja wali kelas cepat-cepat menengahi perseteruan mereka berdua.
Zola terkejut, dia tidak menyangka akan mendapatkan serangan dadakan dari Oline, karena selama ini Oline selalu diam saat dirinya mem-bully bahkan bertindak kasar pada gadis Oline.
“Oline kamu ikut Ibu.”
Wali kelas menggiring Oline ke ruang BK, di sana Oline di interogasi, seakan-akan memang Oline lah pelakunya. Marah, sedih, kecewa, dan lelah berkecamuk dalam dirinya. Semua orang seakan sudah membencinya, bahkan tanpa mendengar pembelaan dari Oline sang guru sudah menganggap Oline adalah pelakunya, hanya karena satu kesalahan ayahnya. Tetapi, dialah yang harus menerima semua per lakuan orang-orang terhadap dirinya, bahkan ART saja tidak ada yang mau bekerja di rumahnya, itulah sebabnya Oline tinggal sendiri di rumah besar itu. Dia benar-benar sendirian!
“Oline apa benar kamu yang meletakkan bangkai tikus itu?”
“Untuk apa saya melakukan itu, Bu?”
“Saya benar-benar tidak tahu menahu tentang bangkai tikus itu,” belanya
“Saya memang anak seorang napi, dan rumor tentang keluarga saya itu benar, darah seseorang yang kalian adili dengan kejamnya menyatu dengan darah saya, tapi bukan berarti saya juga seperti dirinya 'kan? Kenapa semua orang menghukumku padahal semua itu kesalahannya!?”lanjutnya sambil meninggalkan ruangan tersebut tampa permisi.
Semua orang tidak mempercayainya, semua orang membencinya meski dia tidak melakukan kesalahan apa pun.
Waktu sekolah telah usai, semua siswa berhambur keluar kelas masing-masing 'tak terkecuali Oline dan Zola, saat pulang sekolah pun Oline tak pernah luput dari Bullyan Zola, seperti hari ini, ketika hendak keluar dari kelas Zola tiba-tiba saja menyiram Oline dengan air berwarna merah pekat seperti darah, Oline tetap berusaha untuk tenang dan tidak melawan.
Zola meninggalkan Oline sambil tersenyum puas, dia bertindak demikian karna dia tau Oline 'tak akan membalas perbuatan buruknya. Tampa dia sadari ada sosok misterius yang mengintai mereka dari kejauhan, matanya memerah menahan amarah seakan tidak rela Oline di perlakukan sedemikian rupa. Tetapi dia hanya pasrah melihat itu semua, karna dia tidak ingin Oline melihat keberadaannya di situ.
Oline berjalan pulang ke rumahnya dengan keadaan gontai, kebetulan letak rumah Oline tak jauh dari tempat ia belajar. Orang-orang melihat Oline dengan tatapan sinis karena baju yang dia pakai terdapat noda merah seperti darah.
“Tuh, liat ... anak si Antoni. Pasti besarnya nanti akan sama seperti ayahnya! Ibunya saja mati tanpa diketahui sebabnya.”
Gunjingan Ibu-ibu itu sukses membuat Oline marah, Oline pun menghampiri Ibu-ibu yang berkerumun itu.
“Ayahku tidak sekejam itu, kalian hanya melihat dari satu sudut pandang!” bentak Oline kepada mereka
“Heh ... kami mau liat dari sudut pandang mana pun yang salah tetap ayahmu,”
Oline terdiam, pasalnya dia tidak tahu seperti apa kejadian yang sebenarnya, hingga membuat sang ayah harus mendekam di tempat dingin itu.
“Kamu itu anak dari keluarga gak benar, lebih baik kamu pergi dari sini!”
Seorang ibu berbaju merah mendorong Oline hingga terjatuh ke tanah.
Lelaki itu terus saja mengawasi Oline dari kejauhan, tangannya mengepal erat saat Oline terjatuh karna didorong wanita paruh baya itu.
“Berani sekali kau membuatnya terluka!” ucap lelaki itu geram.
Oline kembali meneruskan perjalanan untuk pulang, setelah sampai di rumahnya ia langsung bergegas mengganti dan mencuci seragam kotornya. Dia memang melakukan semuanya sendiri untungnya Oline cukup pandai memasak sehingga dia tidak perlu pusing-pusing memesan makanan ketika dia lapar asalkan persediaan di kulkasnya masih ada.
Sore itu Oline memutuskan untuk jalan-jalan di taman kota, ketika sedang duduk dengan santai sambil menikmati pemandangan tiba-tiba saja anak kecil terjatuh di hadapannya, Oline bermaksud menolong tetapi tangannya segera ditepis oleh seseorang, ternyata Ibu berbaju merah yang tadi siang mendorong Oline, dia berada di taman itu juga.
“Jangan sentuh anakku dengan tangan kotormu.”
“Tetapi saya hanya ingin menolongnya saja, Bu”
“Tidak perlu!” jawabnya ketus sambil meninggalkan Oline sendiri.
Oline melihat tangannya yang terdapat darah anak kecil itu, hasratnya kembali muncul apalagi luka anak itu cukup membuat gairahnya terpancing. Oline segera menepis pikiran kotornya dan cepat-cepat pergi dari taman itu.
Di kamar, Oline langsung memecahkan kaca ingin sekali dia menyayat kakinya dengan kaca itu tapi ia urung melakukannya, dia memilih mengikat dirinya sendiri. Suara teriakan dan darah segar kembali memenuhi otak Oline, dia berteriak dan menangis untuk menghilangkan bayangan kotor itu dalam pikirannya.
Setelah dirasa cukup mendingan, Oline segera melepas ikatannya dengan serpihan kaca, pergelangan tangannya memerah karena dia terlalu kencang mengikatnya. Oline kembali lemas tapi perutnya merasa lapar minta di isi, mau tidak mau dia harus turun ke bawah untuk mengambil sepiring nasi. Oline menyuap nasi sambil menangis dia tidak tahan jika harus seperti ini terus tapi dia juga tidak mau menjadi seperti ayahnya.
Pernah terbesit dalam dirinya untuk mengakhiri hidupnya sendiri, tapi tekadnya untuk membuktikan bahwa dirinya tak sama lebih besar dari keinginannya. Dia ingin membuktikan bahwa dirinya tidaklah sama, dia akan tetap berusaha meski terlalu banyak masalah yang datang bahkan menantinya.
“Tenang Oline, aku tak akan membiarkan orang yang menyakitimu hidup tenang,” gumamnya lirih.
Seseorang berhodi hitam itu pergi dari depan rumah Oline saat matahari sudah mulai tenggelam.
Tengah malam Oline dikagetkan dengan suara gaduh di luar rumahnya, Oline bergegas keluar untuk memastikan apa yang sedang terjadi.
Di luar banyak orang berkumpul sambil membawa obor dan senter, Oline masuk ke dalam kerumunan itu untuk bertanya apa yang terjadi, tapi semua orang menatapnya tak suka.
Oline pun memberanikan diri untuk bertanya
“Maaf, Pak. Ini sedang apa ya?” tanyanya polos.
“Tidak usah banyak tanya deh, lebih baik kamu pergi dari sini!”
Tiba-tiba dari kejauhan seseorang berlari mendekat.
“Di sana ....” Bapak itu mengatur nafasnya sambil menunjuk ke arah sungai.
“Yang jelas atuh,” tanya bapak yang satunya lagi.
“Di sungai ada mayat,” jelasnya lagi.
Semua orang yang berada di sana terkejut tak terkecuali Oline, semua orang berlari menuju ke sungai untuk memastikan mayat siapa di sana.
Sesampainya di sungai Oline terkejut, dia tidak bisa berkata apa-apa, pasalnya mayat itu adalah mayat wanita yang mendorong Oline kemaren. Mayat wanita itu sudah tak utuh lagi, kedua tangannya sudah terpotong dan mulutnya dijahit. Seseorang menghampiri Oline dan langsung menjambak rambutnya, Oline meringis menahan sakit.
“Heh, ini pasti perbuatanmu, 'kan?”
“Tidak, Bu ... saya benar-benar tidak tahu. Tolong lepas, sakit ....” pintanya memelas.
Sebagian orang melerai perlakuan wanita itu kepada Oline, sebagian lagi mengunjing dan membela wanita tersebut.
“Ngapain di lerai sih, Pak?”
“Dia anak kecil,” belanya
“Halah ... ini pasti perbuatan dia, secara Bu Hesti kemaren mendorongnya sampai dia terjatuh, mungkin dia dendam,” paparnya
Oline menggeleng, air mata membasahi pipinya yang mulus, tatapan matanya memohon kepada orang-orang yang berada di sana.
“Jangan asal menuduh, kamu liat badan anak ini. Bagaimana mungkin badan kecilnya bisa menarik Bu Hesti ke sungai, dan liat badan Bu Hesti badannya 2X lebih besar dari badanmu,”
Wanita itu terdiam, mungkin sedang mencerna perkataan dari orang tadi.
“Sudah sudah ... jangan berdebat, lebih baik kita bawa mayat Bu Hesti ke rumahnya.” lanjutnya.
Semua orang bergegas pergi meninggalkan sungai sambil menggotong mayat Bu Hesti. Oline masih tak menyangka ternyata masih ada orang yang mau membelanya, meski dalam hatinya ber tanya-tanya siapakah yang membunuh Ibu itu?
Keadaan sungai pun kembali sunyi, semua orang telah pergi meninggalkan Oline sendiri ditepian sungai yang airnya mengalir sangat deras itu. Oline berjalan pulang dengan pikiran yang dipenuhi rasa penasaran sedangkan di lain sisi tak jauh dari Oline ada seseorang dengan senyum misteriusnya, dia berharap setelah kejadian ini tidak ada lagi orang yang berani mengganggu bahkan berbuat kasar pada Oline.
Lelaki misterius itu pergi sesaat setelah ia benar-benar memastikan Oline kembali ke rumahnya, dia seperti bodyguard yang selalu melindungi majikannya.
Isu tentang kematian Ibu itu beredar dengan sangat cepat hingga sampai ke telinga para siswa termasuk Zola. Semua orang mengira Oline lah pelakunya, meski dipikir sekali lagi menggunakan logika hal itu sangatlah mustahil untuk anak di umur 17 tahun dan memiliki badan yang terbilang kurus sepertinya. Bagi orang yang membencinya semua itu memungkinkan, dia berusaha tak peduli dengan gunjingan semua siswa yang mengatakan dialah dalang semuanya. Semakin dia menahan itu semuanya semakin menjadi-jadi, Oline kehilangan kesabaran dan berniat membalasnya tetapi hati kecilnya berkata jika ia melakukannya lalu apa bedanya dia dengan mereka? Lagi pula dia sudah bertekad untuk mematahkan semua pemikiran buruk mereka tentang dirinya.
Tetapi dia juga ingin mencari tahu siapa dalang dari pembunuhan itu yang membuat namanya terseret, dan membuat dirinya bersalah dihadapan semua orang.
“Apakah salah satu keluargaku yang masih hidup? Tapi itu tidak mungkin, atau mungkin ada orang yang memiliki kepribadian yang sama dengan ayah?” tanyanya pada diri sendiri.
“Mungkin saja, karna bukan hanya keluargaku yang seperti itu, 'kan?” lanjutnya meyakinkan diri sendiri.
Dua orang siswa masuk ke dalam kelas dan melihat Oline berbicara sendiri.
“Lihat dia, setelah semua yang terjadi sekarang dia menjadi tidak waras,” katanya sambil tersenyum mengejek.
“Benar, kasian sekali dia,” balas temannya.
Oline hanya menunduk tak mengindahi mereka berdua, baginya masalahnya sudah cukup besar, dia tak ingin menambah masalah lagi dengan membalas hinaan mereka. Oline membuka gadgetnya, banyak sekali yang DM dan mengatakan bahwa dia adalah dalang dari kejadian tadi malam, ada juga yang mengatakan Oline tidak melakukan aksinya sendiri. Tak terasa air matanya menetes, sesak rasanya menghadapi kenyataan ini seorang diri, tanpa ada orang yang mau mendengarkan keluh kesahnya.
Semenjak kabar burung itu Zola semakin gencar mem-bully Oline, dari menyiram Oline dengan air bekas pel lantai sampai menggunting baju milik Oline saat berganti pakaian olahraga di toilet, tetapi meski begitu, Oline tetap saja tak ingin membalas perlakuan Zola kepadanya. Lain halnya dengan seseorang yang mengikuti Oline kemana pun selama ini, dia jengah dengan perlakuan gadis itu kepada Oline, dia tersenyum, tidak! lebih tepatnya menyeringai melihat Zola sendirian di lapangan sekolah. Entah rencana apa yang ia pikirkan sekarang.
Zola terlihat menggurutu, di sekolah itu bukan hanya Oline yang di-bully olehnya, beberapa siswa juga tak luput dari Bullyan Zola. Tetapi tidak ada yang melawan karena takut kepada ayahnya yang seorang pemilik sekolah tersebut, oleh sebab itu dia seenaknya kepada seluruh siswa di sekolah.
Ketika tiba pulang sekolah, Oline tidak sengaja menabrak seorang pria hingga membuat hodinya terjatuh, Oline mengejar pria itu bermaksud mengembalikan hodinya yang terjatuh tadi tetapi pria itu sudah menghilang. Mau tidak mau Oline memakai hodi itu dan membawanya pulang.
“Seharusnya dia hati-hati saat berjalan, kalau begini 'kan barangnya ada di tanganku, bagaimana caraku untuk mengembalikannya? Sedangkan aku tidak melihat seperti apa wajahnya barusan,” gerutunya sambil berjalan pulang.
Oline memasukkan hody itu ke dalam mesin cuci, tanpa dia sadari ada bekas noda darah yang mulai mengering di sana.
“Dari pada menunggu ini baju, lebih baik aku masak dulu. Udah laper ini.”
Oline berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan makanan. Dia makan dengan lahapnya sambil menyalakan siaran televisi yang menampilkan film barat.
Setelah selesai makan, Oline kembali ke dapur untuk mencuci piring dan mematikan mesin cucinya. Untung saja mesin cuci itu dilengkapi pengering juga, jadi Oline tidak harus repot-repot menjemur pakaian setelah selesai dicuci.
“Sudah bersih, lalu harus aku apakan jaket ini? Haruskah kupajang di luar supaya orangnya mengambilnya? Tapi kalau orang lain yang mengambilnya gimana? Ah ... lebih baik kusimpan saja dilemari,” ucapnya berdialog dengan diri sendiri
Hari-hari Oline berjalan seperti biasa, meski kadang ada saja seseorang yang nggunjinginya dan menyangkut pautkan kematian Bu Hesti dengan dirinya.
Dia tak mau ambil pusing dengan semua itu, dia juga tak ingin amarahnya terpancing.
Di sekolah keadaan tampak berbeda tanpa kehadiran Zola, itu membuat Oline bisa belajar dengan tenang tanpa gangguan dan bully-an Zola. Tetapi lain halnya dengan teman-teman Zola yang mengatakan Zola sudah dari kemaren tidak pulang ke rumahnya karna sedang cekcok dengan sang Mama, kabarnya Zola meminta Handphone keluaran terbaru, sedangkan baru sebulan yang lalu Ayahnya membelikannya Handphone.
“Dasar anak manja, apa-apa harus dituruti,” sungut Oline.
Dia merasa tenang kala itu tanpa tau kejadian yang akan menimpanya suatu saat nanti.
“Tetapi Zola sangat beruntung, mendapatkan kasih sayang kedua orang tua yang utuh, sedangkan aku? Bahkan tak pernah melihat seperti apa wajah Ibuku,”
Buliran bening dari matanya jatuh membasahi novel yang sedang ia baca, pikirannya menerawang jauh di waktu para polisi memborgol tangan ayahnya tepat dihadapannya. Para polisi menyeret dan tak segan memukul bahkan menendang ayahnya.
Awalnya Oline tak percaya kalau ayahnya membunuh beberapa orang, hingga pengakuan itu meluncur bebas dari mulut sang ayah saat di pengadilan. Bagai disambar petir, dadanya sesak menerima kenyataan itu, ayahnya seorang pembunuh dan sekarang dialah yang harus menerima kebencian dari orang-orang di sekitarnya karna ulah sang Ayah, meski ditanya alasan kenapa dia membunuh dia tidak menjawab dan hanya tersenyum sinis, bahkan sudah ribuan kali ditanya ayah Oline tetap bungkam. Dia seakan enggan, dan apabila dipaksa dia akan mengamuk seperti kesetanan.
Oline tersadar dari lamunannya, dia baru teringat kalau besok dia harus menjenguk ayahnya, meski waktu itu dia diusir dan bahkan sang ayah mengatakan kalau tak ingin melihat wajahnya lagi. Tetapi pria itu tetap ayahnya bukan? Seburuk apapun dia, bagi Oline hanya dialah satu-satunya keluarga yang ia punya.
Tepat jam 05:00 pagi alarm di handphone Oline berbunyi, dia memang sengaja bangun sepagi itu meski sekarang hari libur, dia bersiap-siap membuat makanan kesukaan ayahnya, nasi goreng ayam suwir dengan beberapa sayur yang menghiasi. Setelah siap Oline langsung membersihkan seluruh rumah, dari menyapu hingga mengepel lantai semua ia lakukan dengan senang hati, Oline tidak suka jika rumah dalam keadaan kotor dan berantakan.
“Akhirnya beres juga, kalau begini 'kan aku bisa langsung rebahan nanti setelah pulang menjenguk ayah,”
“Baiklah, sekarang sudah jam setengah 7, waktunya mandi,” lanjutnya sambil berlari kecil ke dalam rumah.
Seseorang tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat tingkah kekanak-kanakan Oline, entah apa yang dia pikirkan hingga sudah berada di depan rumah Oline sepagi ini, dia pergi dari situ saat perutnya sudah berbunyi minta di isi.
Oline bersiap-siap, dia memakai baju oversize dan celana jeans panjang, dia keluar dari rumah dengan menenteng 2 rantang nasi ditangannya. Dia bergembira, pagi ini suasana hatinya sedang tenang, tak ia pedulikan tatapan aneh orang-orang pada dirinya, dia hanya ingin cepat sampai dan bertemu ayahnya.
Di Halte, Oline memberhentikan sebuah bus dan langsung buru-buru naik, semua orang di bus sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, ada yang sibuk dengan handphonenya, ada yang sibuk bercerita dengan teman sebangkunya, sedangkan Oline dia memakai earphone dan menyalakan musik K-Pop kesukaannya.
Tidak butuh waktu lama, bus pun berhenti di tempat tujuan Oline, dia berjalan sambil bersenandung kecil, menyapa dan memberi senyum pada para polisi yang ditemuinya, para polisi membalas senyuman Oline, ada rasa iba dalam hatinya karna biasanya anak seumur Oline mendapat perhatian yang khusus dari orang-orang terdekatnya, tetapi Oline hidup sendiri, ayahnya entah sampai kapan harus mendekam di penjara dengan hukuman berlapis pembunuhan dan penganiayaan.
Oline menemui penjaga sel, tak lupa senyum manis selalu ia tebarkan.
“Selamat pagi om,” sapanya.
“Pagi juga Oline, mau jenguk ayah?”
“He’em”
“Oh iya, ini tadi Oline masak banyak, ini buat om-om polisi. Tolong dibagi ya om,” lanjutnya sambil menyerahkan satu rantang berukuran besar kepada si polisi.
“Wah ... terima kasih banyak ya.”
Oline hanya mengangguk dan duduk di kursi ruang tunggu, tidak butuh waktu lama Oline sudah bertatap muka dengan ayahnya.
“Ayah, Oline bawakan nasi goreng ayam suwir,” jelasnya sambil membuka tutup nasi itu.
Ayahnya tersenyum dan langsung memakan masakan Oline. Biasanya Oline akan langsung menceritakan hari-harinya kepada ayahnya, tapi kali ini dia diam sambil melihat ayahnya makan dengan lahap.
“Kau tidak bercerita hari-harimu pada ayah?” tanyanya memulai obrolan.
Oline hanya menggeleng, sepertinya sang ayah paham, dia juga bersalah telah membuat Oline hidup menanggung beban untuk anak seusianya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!