"Awas ...!!"
Terdengar suara benturan begitu keras saat jalanan dalam kondisi sepi. Tidak ada orang satupun yang menolongnya karena hari sudah larut malam. Sandra yang sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sakit tiba-tiba mengalami kecelakaan bersama suaminya.
Kondisi mobil yang rusak parah membuat seluruh penghuninya terkapar dan bersimbah darah. Beberapa menit setelah kejadian, ada orang yang melintas dan memberanikan diri menolongnya. Ambulan pun berdatangan bersama polisi.
Sandra, Arka dan anaknya di larikan ke rumah sakit terdekat. Seluruh dokter yang berjaga sigap menolong ketiganya. Namun sayang, bayi mungil itu lebih di sayang oleh Tuhan, dia menghembuskan nafas terakhir sesaat setelah tiba di rumah sakit. Polisi sudah menghubungi pihak keluarga dan sekarang dalam perjalanan menuju rumah sakit.
"Kenapa ini bisa terjadi," ucap mertua Sandra saat berada di dalam mobil.
"Tenang, Ma. Arka baik-baik saja," ujar Nena adik Arka.
"Bagaimana bisa tenang, Kakakmu dalam kondisi kritis. Lalu cucuku ..." Ibu Arka menangis histeris. Hanya Arka yang dia khawatirkan tanpa memikirkan sang menantu yang sangat di bencinya.
"Kalian ini hanya memikirkan anak tidak berguna itu saja. Pikirkan juga Sandra, dia juga menantumu," ucap Rahman ayah Arka.
Diah dan Nena saling senggol mendengar ucapan sang ayah. Di dalam keluarga Rahman hanya Rahman saja yang baik kepada Sandra. Sedangkan Arka jika emosinya tidak terkendali dia akan memukuli istrinya hingga babak belur. Sandra sudah cukup sabar menghadapi sang suami yang temperamennya buruk.
Pernah sekali dia ingin berpisah dengan Arka, tapi apa yang dia dapat? Bukannya merubah sikap, Arka justru menghajar Sandra hingga masuk rumah sakit. Sejak saat itu Sandra tidak berani lagi meminta berpisah dengan Arka. Sandra hanya bisa mengalah dan berusaha menjaga emosi suaminya agar tidak terkena marah.
Tidak lama mobil tiba di depan rumah sakit. "Bagaimana kondisi anak saya, Dok?" tanya Diah begitu mereka sampai di unit gawat darurat.
"Tuan Arka masih menjalani operasi karena benturan di kepalanya cukup parah. Sedangkan Nyonya Sandra lukanya tidak terlalu serius dan sedang dalam perawatan."
"Kalau cucu ku?" tanya Diah lagi.
"Kalau itu ... kami mohon maaf. Kami semua sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkannya, tapi Tuhan berkehendak lain," jawab dokter turut prihatin.
"Tidak, tidak mungkin! Kalian pasti salah. Periksa lagi, Dok! Kalian pasti salah." Diah histeris menangisi cucunya. Ini adalah cucu pertamanya.
"Pa ... Dokter pasti salah," ujarnya lagi sambil memeluk suaminya.
"Sabar, Ma. Terima semuanya dengan ikhlas."
Sedangkan Nena tidak terlihat prihatin sama sekali meski keponakannya sudah tidak ada. "Sangat merepotkan," batin Nena.
Ibu Arka dan Nena menunggu di depan ruang operasi sedangkan Rahman pergi menemui sang menantu yang belum sadar meski kondisinya tidak terlalu buruk. Dia mengalami syok berat karena kehilangan anaknya. Bayi mungil itu adalah harta satu-satunya yang berhaga bagi Sandra, hanya dia yang membuat Sandra tetap bertahan hingga saat ini.
"Sandra, maafkan Papa. Papa tidak bisa menjadi orang tua yang baik untukmu," lirih Rahman duduk di samping sang menantu. "Ini salah Papa. Kalau saja kamu tidak menikah dengan Arka, semua ini tidak akan terjadi. Maafkan keegoisan Papa, Nak. Kalau bukan karena perjodohan itu, mungkin kamu akan hidup bahagia."
"Pa," lirih Sandra baru saja membuka matanya.
"Kamu sudah sadar?" Rahman terlihat senang.
"Papa kenapa menangis? Di mana Mas Arka? Apa dia baik-baik saja?" Sandra memberondong banyak pertanyaan. Dia tidak mau lagi kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupnya meski Arka banyak menyakitinya.
"Dia sedang di operasi. Kamu tenang saja, Arka anak yang kuat. Dia pasti bisa bertahan."
Sandra melihat sekeliling, hanya ada papa mertuanya saja di ruangan itu. Sandra sudah tahu kalau mama dan juga adik iparnya tidak akan pernah datang menjenguknya. Mereka sangat membencinya sejak awal mengenalnya. Kalau bukan karena Papanya yang memohon untuk menikah dengan anak dari keluarga Rahman, Sandra tidak akan mau menikah. Demi persahabatan dan kelangsungan perusahaan, dengan terpaksa dia menerimanya.
"Pa, maafkan Sandra. Sandra tidak bisa menjaga cucu Papa dengan baik. Sandra orang jahat, Pa," tangis Sandra pun pecah juga akhirnya.
"Stttt... jangan bicara sembarangan. Kamu anak baik, semua itu sudah takdir Tuhan. Sekarang fokus pada kesehatanmu saja. Jangan biarkan hal itu membebani pikiranmu," ujar Rahman mencoba menenangkan menantu kesayangannya.
Di ruang operasi, Arka berhasil di selamatkan dan kini di pindah ke ruang perawatan. Diah terus saja menangisi anak kesayangannya.
"Ma, udah, dong. Kayak Kakak mau mati saja." Nena selalu seperti itu. Sejak kecil dia selalu di manjakan oleh mamanya. Makanya kalau bicara selalu seenaknya saja tanpa memikirkan perasaan orang lain.
"Jaga mulut kamu, Nena! Dia Kakak kamu!"
Nena memutar bola matanya malas.
"Ini semua gara-gara wanita si*lan itu. Kalau saja dia tidak memaksa ke rumah sakit saat itu juga, maka hal ini tidak akan terjadi. Cucu ku juga akan selamat. Dasar jal*ng tidak tahu diri! Awas saja kalau sudah keluar dari rumah sakit ini, jangan berharap kamu bisa bersama Arka," ujar Diah menggebu-gebu.
.
.
.
Beberapa hari setelah kejadian, Sandra sudah di perbolehkan pulang. Sedangkan Arka dia masih butuh beberapa hari lagi di rumah sakit. Selama dia di rumah sakit, Sandra sama sekali belum menjenguknya. Entah apa sebabnya, Arka sendiri tidak tahu.
"Bagaimana kondisi anakku, Ma?" tanya Arka. Kondisi Arka sudah mulai membaik dan bisa di ajak berinteraksi.
"Dia ... dia ..."
"Dia kenapa, Ma? Baik-baik saja, kan?!" Arka mulai panik. Sejak kecelakaan itu, dirinya memang belum tahu pasti kondisi sang anak.
"Dia sudah tidak ada, Kak. Sesaat setelah tiba di rumah sakit, cucuku menghembuskan nafas terakhirnya," ujar Diah memasang wajah sedihnya.
"Beruntung dia mati. Kalau tidak, Mama akan susah untuk memisahkan kalian," batin Diah tersenyum. Meski terlihat paling sedih, sesungguhnya itu hanya tipu muslihat saja.
"Nggak mungkin, Ma! Dia gak akan pergi secepat itu!"
"Kalau kamu tidak percaya tanyakan pada adikmu."
"Lalu bagaimana Sandra? Aku tidak melihatnya sejak tadi."
"Dia sudah pulang beberapa hari yang lalu, tapi tidak pernah menjenguk mu. Jangan hiraukan dia, istrimu baik-baik saja. Fokus saja pada kesembuhanmu," ujar Diah. "Hanya Mama, Papa dan Adikmu saja yang menemani kamu. Istrimu enak-enakkan di rumah." Diah mencoba memprovokasi anaknya.
"Casandra tidak mungkin berbuat seperti itu! Dia istri yang baik dan penurut."
"Kamu tidak tahu dia yang sebenarnya seperti apa, Kak. Adanya kejadian ini saja membuktikan kalau dia tidak mau menderita." Diah terus memprovokasi anaknya agar cepat berpisah.
Arka akhirnya diam memikirkan setiap kata Mama dan Adiknya. Ada benarnya juga jika dia melihat kejadian hari ini. Tetapi ini bukan sifat Sandra yang sesungguhnya. Sejak dulu dia tidak pernah tega jika dirinya atau keluarganya terluka, pasti Sandra akan membantunya.
"Kalian keluarlah, aku ingin sendiri," ujar Arka mulai merasa pening. Meski memperlakukan istrinya cukup kasar, Arka begitu mencintai istrinya. Karena cinta itu membuat Sandra harus berhenti dari pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga di rumah mertuanya. Arka masih belum menyadari bagaimana perlakuan ibunya terhadap sang menantu. Dia seakan seperti seorang pembantu di rumah suaminya sendiri.
Mengajaknya berpisah pun juga percuma, Arka paling tidak suka jika dia membuka suara tentang perpisahan. Hidup Sandra bagai di penjara yang sangat dalam. Bahkan saking dalamnya dia sampai susah untuk bernafas dan memikirkan caranya untuk pergi. Penjara yang di berikan oleh keluarga suaminya cukup membelenggu dirinya hingga tidak bisa berpikir jernih. Tubuhnya kurus kering, matanya terlihat cekung, dan ada beberapa bekas luka yang dia terima dari suami dan keluarga Arka.
Arka adalah laki-laki yang begitu terobsesi kepada Sandra sejak pertama kali bertemu. Dia tidak ingin ada orang lain yang melihat istrinya ketika dia sedang bekerja atau tidak bersamanya. Makanya Arka memutuskan untuk menyuruhnya berhenti bekerja dan merawatnya di rumah selayaknya seorang istri yang patuh.
Sebelum pergi Diah memberikan selembar kertas yang sudah ada cap dari istrinya. Dia membacanya dengan seksama. Darahnya mendidih, emosinya mulai tidak terkontrol namun terhalang dengan kondisinya saat ini. Arka hanya bisa menarik nafasnya dalam-dalam.
"Pikirkan lagi kata Mama. Jika besok dia masih tidak menjenguk mu, ceraikan saja!" ucap Diah sebelum menghilang di balik pintu. Diah terus memprovokasi anaknya agar bisa segera berpisah dan dirinya bisa segera mencarikan penggantinya.
Kepala Arka semakin di tambah pusing oleh sang Mama. Memang, sejak awal Adik dan Mamanya tidak begitu suka dengan kehadiran Sandra. Tapi itu dulu, ini sudah berjalan beberapa tahun dan mereka mempunyai seorang anak meski saat ini dia telah pergi. Seharusnya mereka sudah bisa menerimanya. Tapi kenyataan yang diterima Sandra tidaklah sesederhana dengan pemikiran Arka.
.
.
.
"Tanda tangani ini dan pergi dari sini, maka hidup Arka akan membaik," ujar sang ibu mertua sambil memberikan selembar kertas yang berisikan pesan untuk suaminya.
"Tapi, Ma! Aku tidak ingin berpisah dengan Mas Arka, apalagi kondisinya saat ini sedang tidak baik-baik saja." Sandra memohon di depan ibu mertuanya di saksikan Adik iparnya. Bohong jika dia tidak mau berpisah, tetapi tidak dalam keadaan yang seperti ini. Apa kata orang nanti jika dirinya tiba-tiba meninggalkan Arka di saat suaminya dalam kondisi buruk. Sudah dipastikan dia yang akan menerima banyak hujatan dari orang sekitar.
Setelah kondisinya membaik, Sandra di paksa ibu mertua nya untuk berpisah dengan Arka tanpa sepengetahuan Ayah dan juga suaminya. Meski menerima perlakuan tidak adil, hati Sandra sudah bertahta nama Arka. Dia mencintai sepenuhnya walaupun awalnya itu terasa sulit.
"Pikirkan baik-baik. Jika Arka terus bersamamu, maka hidupnya akan hancur di hantui rasa bersalah atas meninggalnya anak kalian. Kalau bukan karena kamu memaksa malam itu untuk ke rumah sakit, tidak mungkin semua ini terjadi. Semua ini karena kamu adalah wanita pembawa sial di keluarga ini. Jadi sebaiknya kamu pergi agar tidak menambah kesialan yang lainnya," sarkas Diah tak punya perasaan.
Karena tubuh bayi kecil itu panas dan sempat kejang-kejang, Sandra memaksa Arka untuk mengantarnya ke rumah sakit. Ibu mertuanya sempat melarang karena hanya akan buang-buang uang dan haru juga sudah malam, dirinya tidak mau kalau sampai terjadi apa-apa dengan anak kesayangannya.
"Tapi Ma, kondisinya saat itu sangat mengkha ..."
"Halah, banyak alasan! Cepat tandatangani ini!" sahut adik iparnya. Nena yang tidak sabaran, menarik tangan Sandra dan memberikan pena agar menandatangani surat yang menyatakan bahwa dirinya tidak ingin hidup menderita lagi. Dia ingin hidup bebas tanpa tanggung jawab apapun. Serta mempersilahkan Arka menikah lagi dengan wanita pilihannya kelak. Tidak hanya itu saja, Sandra juga harus pergi meninggalkan kota ini selamanya dan tidak akan pernah menampakkan diri di depan Arka.
"Jika kamu mau menandatanganinya, aku akan memberikan kompensasi untuk semua ini. Uang di dalam kartu ini cukup untuk hidupmu hingga tua kelak," ucap Diah sambil memberikan sebuah kartu hitam bergaris emas.
"Ma! Gak bisa gitu, dong! Masa dia dapat banyak, sedangkan aku kalian berikan limit," ujar Nena tidak terima.
"Diam, kamu! Saat ini bukan waktu yang tepat untuk membahas hal itu."
"Awas saja kalau sampai kamu terima. Tidak akan aku biarkan kartu itu jatuh ke tangan serakah seperti kamu," batin Nena.
Sandra bimbang dengan pilihannya. Di satu sisi dia ingin tetap bersama suaminya, di satu sisi ucapan mertuanya ada benarnya juga. Mungkin dia di lahirkan ke dunia hanya untuk membawa sial untuk orang sekitarnya saja.
Karena banyaknya desakan dari adik dan ibu mertuanya, Sandra pun memutuskan untuk menerimanya. Mungkin dengan begini dia bisa memulai hidup baru meski rasanya cukup berat untuk dia bayangkan.
"Aku akan menandatanganinya, tapi ada syaratnya," ucap Sandra dengan nafas berat.
"Katakan."
"Ijinkan aku bertemu Mas Arka sebentar saja. Setelah itu aku akan pergi." Sandra sudah memikirkan semuanya. Mungkin ini yang terbaik. Dia akan pergi ari kota ini dan mencari pekerjaan baru setelah sekian lama menjadi ibu rumah tangga.
"Baiklah, setelah itu tepati janjimu." Selesai menandatangi kontrak, Dia langsung pergi meninggalkan Sandra sendiri di ruangannya.
"Tunggu!"
"Ada apa lagi?" tanya Nena membalikkan badan.
"Bawa ini. Aku tidak membutuhkannya," Sandra menyodorkan katu hitam berlapis emas kepada adik iparnya.
"Sombong sekali!" ucap Diah memandangnya remeh.
Kondisi Arka yang belum sadar, membuat Diah mau menerima tawaran Sandra agar anaknya tidak tahu jika istrinya dia paksa untuk pergi.
Setelah mengemasi barangnya, Sandra memasuki ruangan laki-laki bertubuh tegap nan tampan. Sebagai seorang istri, apapun kondisinya, apapun keadaan suaminya, apapun perlakuannya, dia tetap menyayanginya sepenuh hati. Walaupun di matanya terkadang kita di anggap seperti orang bodoh, tetapi tetap saja kita menuruti semua perintahnya dan mengabaikan perlakuan buruknya.
"Mas ..." Sandra menjeda kalimatnya, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Dalam benaknya dia tidak tahu lagi harus bagaimana setelah ini. Jiwanya sudah bergantung dengan Arka selama ini. "Maafkan aku jika aku membuat hidupmu kesulitan selama ini. Aku tahu ini bukan pilihan yang baik, tapi demi kamu bisa bahagia, aku rela melepaskan semuanya."
"Mas ..."
"Kelak jika tanpa sengaja kita bertemu lagi, abaikan saja, aku. Jangan pernah kamu menderita lagi setelah ini." Sandra tidak sanggup mengungkapnya. "Maaf aku telah membunuh anak kita, Mas. Seandainya aku menuruti kata-kata Mama malam itu, mungkin dia di sini bersama kita." Tangis Sandra pun pecah seketika. Hidup sendiri, orang tua sudah pergi mendahuluinya dan anaknya pun mengikuti ke dua orang tuanya. Sandra benar-benar hidup sebatang kara kali ini. Sandaran hidupnya harus rela dia tinggalkan demi kebahagiaannya.
Tubuhnya condong ke depan untuk mengecup sesaat suaminya sebagai tanda perpisahan. Air matanya menetes membasahi kulit Arka. Wanita cantik dengan hati tulus itu beranjak meninggalkan laki-laki tercinta. Meski berat dia tetap melangkah tegak tanpa menoleh kebelakang. Tekadnya kini sudah bulat untuk pergi dari sisi laki-laki yang pernah memberikan seorang anak untuknya.
.
.
.
Di mana kamu Sandra? Kenapa kamu tega." Arka menangis seperti anak kecil. Dia menyesal selama ini sering mengabaikan istrinya. Bahkan tidak segan-segan dia memukul Sandra jika emosinya tidak terkontrol.
"Aku harus mencarinya sekarang sebelum dia lebih jauh." Arka melepas semua selang yang menempel pada tubuhnya. Dia harus bergegas menemui sang istri untuk minta kejelasan.
"Tuan Arka!" Perawat baru saja tiba sudah di buat panik oleh pasiennya.
"Tuan tidak boleh keluar dulu! Kondisi Anda masih belum stabil," ujar perawat. "Dokter! Dokter!" Teriak perawat meminta bantuan.
"Biarkan saya pergi, Sus. Saya mau mencari istri saya!" Arka terus histeris sambil melepas selang infusnya. Dokter yang datang langsung menyuntikkan obat penang pada lengannya.
Tidak butuh waktu lama obat itu bereaksi. Arka kembali tenang di bantu perawat dia terbaring di bed. Matanya kembali terpejam.
Dari balik pintu nampak seulas senyum misterius yang di sembunyikannya. Akhirnya dia berhasil membuat anaknya dan wanita pembawa sial itu berpisah. "Maafkan Mama, andai saja Papa mu tidak memaksa menikahkan kamu dengan wanita pembawa sial itu, mungkin saat ini kamu bisa semakin sukses dengan dukungan dari keluarga Vena. Hanya ini satu-satunya cara agar kalian bisa berpisah," batinnya.
Setelah keluar dari rumah sakit, dia menyempatkan diri ke rumahnya untuk mengambil beberapa barang pribadinya. Entah kebetulan atau memang sudah di atur oleh Diah, Papa Arka tidak ada di tempat. Menurut maid yang ada di sana, dia sedang pergi bersama teman lamanya.
Dengan cepat Sandra mengemasi baju dan buku tabungan miliknya yang dia simpan selama ini. Uang ini adalah hasil dia menabung dari sisa pemberian Arka. meski tidak banyak, tapi masih bisa dia gunakan untuk hidup kedepannya.
"Nona mau ke mana? Tuan Rahman masih belum kembali, tunggulah sebentar," ujar Maid dengan wajah kebingungan saat melihat majikannya yang baik hati membawa koper.
"Jangan bilang siapa pun kalau aku pulang ke rumah, terutama Papa."
"Tapi, Non ..."
"Turuti saja apa kata ku, Bi. Bibi nggak mau kan, kalau Papa jatuh sakit? Jadi jangan sampai ada yang tahu."
"Ba-baik, Non. Tapi ... apa kita masih bisa bertemu lagi? Bibi sangat menyayangi Non Sandra," lirih Bibi.
"Kalau Tuhan masih mengijinkan. Yang penting sekarang Bibi baik-baik saja di sini."
Banyak orang yang menyayangi Sandra di rumah itu, hanya Nena dan Diah saja yang begitu membencinya. Dia selalu menghalalkan segala cara untuk merusak rumah tangga Arka dan Sandra.
"Aku pergi dulu, Bi. Jaga diri baik-baik," ujar Sandra lalu berjalan ke luar pintu utama. Di depan sudah menunggu taxi yang akan mengantarnya pergi ke terminal. Uang yang dia miliki tidak begitu banyak jadi dia harus berhemat dengan menaiki angkutan umum nantinya.
"Ya Tuhan ... berikanlah petunjuk-Mu, harus ke mana kakiku melangkah." Sandra mulai kebingungan. "Seharusnya uang ini cukup untuk menyewa hotel yang harganya miring. Besok pagi aku akan cari kontrakan sekalian melamar kerja," gumamnya.
sesampainya di terminal, Sandra menaiki bus menuju luar kota. Beruntung, itu adalah bus terakhir menuju ke Kota Sanan. Jadi dia bisa segera meninggalkan kota kelahiran suaminya.
Butuh waktu dua jam untuk tiba di Kota Sanan. Sesampainya di sana, dia mencari kamar termurah untuk istirahat dan melanjutkan perjalanan esok.
"Sepertinya ini lebih baik," lirihnya sambil berjalan memasuki bangunan kecil yang terlihat bersih.
"Apa ada kamar kosong?" tanya nya pada petugas yang berjaga.
"Kebetulan hanya ada satu. Yang lainnya penuh."
Setelah menyetujui harga, Sandra menuju kamarnya. "Tidak buruk juga." Sandra mulai menata barangnya dan membersihkan diri.
Setelah selesai, dia nyalakan ponselnya untuk mengirim pesan pada temannya. Namun, fokus matanya tertuju pada nomor seseorang yang sangat dia hafal. "Mas Arka?" lirihnya terkejut.
Tidak berselang lama, Arka menghubunginya kembali, tetapi Sandra abaikan. Selesai mengirim pesan, Sandra mematikan lagi ponselnya. Dia tidak mau berurusan lagi dengan keluarga Rahman.
.
.
.
Cahaya pagi menyinari seluruh penjuru dunia termasuk paginya seseorang yang sedang di landa kegundahan. Sandra kembali melanjutkan perjalanan menuju kota besar untuk mengadu nasib. Sesampainya di pusat kota dia mencari kontrakan kecil. Sayangnya harga di sini cukup mahal untuk orang tanpa penghasilan seperti dirinya.
"Kalau mau ada rumah kos, sewanya lebih murah. Tempatnya juga bersih dan nyaman," ujar pemilik kontrakan.
"Boleh, di mana itu? Apa jauh dari sini?"
"Tidak. Ikut denganku."
Sandra mengikuti wanita setengah baya itu menuju tempat kos anak-anak kuliah yang sangat luas dan banyak kamarnya.
"Itu," tunjuknya.
Casandra memperhatikan lingkungan sekitarnya. "Sangat bersih, ini akan terasa nyaman. Sambil menunggu pekerjaan aku akan tinggal di sini saja kalau begitu," batinnya.
"Baiklah, saya ambil yang ini saja."
Setelah melakukan pembayaran, dia membersihkan kamarnya dan menata barang-barangnya. Tidak banyak yang dia bawa, namun ada beberapa surat berharga miliknya termasuk buku nikah miliknya. Karena sudah sejak kemarin dia belum juga makan, akhirnya dia memutuskan untuk keluar mencari warung terdekat yang harganya terjangkau.
"Sepertinya aku harus keluar mencari makanan. Sejak kemarin perutku belum terisi," gumamnya. Sandra mengambil selembar uang dan mengganti bajunya.
Tidak banyak yang berjualan di sana, hanya beberapa saja yang menurutnya harganya murah.
Antrian yang panjang membuatnya harus sedikit bersabar. Namun di satu sisi itu adalah keberuntungannya karena dia bisa bertemu dengan teman sekolahnya yang lama hilang kontak dulu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!